Postingan

Menampilkan postingan dari 2005

Media Kak Tarsis Dalam Karyo The Asu Sastrooo

Gambar
Seorang koruptor zaman Orde Baru yang lolos dari pengawasan Indonesian Coruption Watch bersantap malam bersaama keluarga besarnya. Sambil menyantap makanan yang lezat-lezat, sambil seluruh anggota keluarganya melahap sepuas-puasnya semua hidangan yang serba nikmat, sang koruptor berbicara panjang lebar tentang perbuatan korupsi yang dilakukannya, yang bagaimanapun itu demi kesejahteraan dan kemakmuran keluarga. Yang bagaimanapun, untuk itu ia bersedia menanggung semua dosa. Demi modal hidup baik-baik anak cucunya kelak. Sementara, acara makan-makan yang serba lezat terus berlangsung dengan sangat nikmatnya. Tulang belulang segala macam daging berserakan di piring-piring. Sehabis itu, giliran puding, karamel, berbagai rupa pencuci mulut, meluncur ke meja makan. Sementara di luar, hujan turun dengan derasnya. Dari Aceh sampai Jakarta. Di Aceh, di tengah-tengah derasnya hujan, di antara suara guntur dan halilintar yang bersambung-sambungan, orang-orang sedang bekerja keras membongkar sebu

artikel buat pr

Tanggapan Secakap-Non-lisan dari Non-tokoh n’tuk Tokoh Penulis Teks tentang Kematian Teks   Kemaren-kemaren, sebuah teori baru lahir: teks telah mati. Tak usahlah saya beri tanda seru, nanti dibilang hiperbolik dan hiper-ekspretik. Nanti dibilang propagandis dan   provoka(tif/toris) dan, apalagi, teroris! Ngeri. Padahal saya cuma menulis apa yang orang (Tokoh) telah tuliskan, apa yang orang (Lain) telurkan, apa yang...nah itu! Djoe-djoer saya, saja terguncang. Dengan hebat. Saya rasa (bukan saya pikir) hal ikhwal tentang kematian teks itu akan cukup menyiutkan nyali kami. Siapa kami? Saya Noto, asal Sono, kerjanya di bidang reparasi’ teks. Bahkan bukan pemroduksi teks. (Konsumtor teks, saya yakin negeri ini rajanya. Apalagi hal perihal yang berbau keilmuan seperti itu.) Ibarat motor, ibarat TG (Telepon Genggam), dan ibarat dan lain sejenisnya, kami, saya, hidup dari “hidup”-nya teks. Dan harus disertai: kehidupannya yang bermasalah, ber-masalah. Jika teks telah dibunuh diri ?

esei buat sirojawahaj

Gambar
(SU)SASTRA INDONESIA Dalam sebuah eseinya yang diberi judul “Keindonesiaan”, Seno Gumira Azidarma ikut mempersoalkan erti daripada kata ‘indonesia’ bagi label kesusastraan “kita”. Sejauh mana ia berjarak dengan sastra yang “bukan Indonesia”, sejauh mana pula ia punya ciri tersendiri (dan bisa dianggap berdiri mandiri sebagai sastra “yang Indonesiana”), Seno – barangkali untungnya – juga menambah kerumitan, mem-bikin jarak dengan kepastian jawaban. Sementara juga daripada itu, dalam bidang teori sastra, pada medio tahun ’80-an telah terbit pula sebuah buku yang berbicara tentang “menuju kritik sastra Indonesia yang relevan”. Buku yang berupa kumpulan makalah (dan esei) hasil pertemuan para kritikus sastra terkemuka Republik Indonesia di Padang (yang daerah bukan pusat itu) merupakan salah satu puncak akademis daripada tentang kegelisahan tentang menemukan bentuk metode penelitian sastra yang khas Indonesia. Sementara pula lagi daripada itu, cukup banyak penerapan-penerapan teori barat p

KISAH SEORANG PERAMU-RIA

Mr. Terrorist, I don’t know who are you But, I know how bad you are Who has done the bad thing? Yes, he is ‘bat-man’ Where did he come from?

cerita belum usai

Apa yang akan anda lakukan ketika berjalan di sebuah, katakanlah semacam tempat kumpulan pertokoan, berbelanja bukan? Nah, di suatu tempat di sebuah negri, terdapatlah sebuah tempat yang berupa tempat perkumpulan pertokoan itu. Tapi, eitt, jangan kecele dulu...ini adalah kumpulan pertokoan yang bertemakan "Keadilan". Yah, keadilan. Sesuatu yang kita idam-idamkan bukan? Siapa pula yang tak setuju akan pentingnya arti dari keberadaan sesuatu yang bernama keadilan. Ah, minimal setidaknya adalah sesuatu kali dari momen hidup anda saat-saat anda merasa tidak diperlakukan dengan adil. Ini juga kalau anda tergolong jenis makhluk yang selalu beruntung dalam menjalani perikehidupan ini. Bagaimana dengan orang-orang yang kerap kali merugi. Atau dirugikan. Wauu..., betapa sangat anda akan merasa membutuhkan barang yang bernama keadilan ini. Begitulah arti penting keadilan ini bagi umat manusia. Dan untuk itulah cerita ini ada, percaya nggak percaya. Bagaimana cerita belanja-belanja di k

nah, ini lagu lokal

HERMAN KARANGAN: PADA SUATU HARI Aku herman, eh, heran? Untuk kedua kalinya aku melewati tempat itu, laki-laki tersebut masih saja disana. Apa mungkin memang karena hal itu? Masa iya sih, Kekuatan ©inta itu sebesar (I)tu? Alaahhh... Waktu pertama kali melihatnya, kemaren malem, aku sudah menduga. Bagaimana tidak. Kira-kira apa yang akan muncul di benak para pembaca budiman sekalian, melihat seorang pemuda atau (barangkali masih remaja) sedang berdiri nggak jelas di gang sempit depan sebuah pondokan (kost) putri. Gelap-gelapan dan sendirian. Nggak ada orang lain, sebab tempat itu memang sekedar jalan kecil yang sesekali dilewati. Sekedar dilewati. Kecuali tempat keluar masuk para penghuni pondokan putri tersebut. Dan se-pengetahuanku, seperti umumnya tempat ngekost kaum putri, tempat itu termasuk yang sepi dari aktifitas ramai-ramai. Pintu pondokan itu selalu tertutup, sekedar dipakai keluar masuk lalu tertutup lagi. Dan belum pernah aku melihat ada penghuni pondokan tersebut yang duduk

lagu barat

PELUKIS YANG AGUNG manusia, siapa yang cipta Tuhan, kata ibu guruku di kala TK dan kini, setelah aku dewasa setelah sekian pengalaman dan sekian rintangan aku lewati setelah segala koran, majalah, mading dan buku-buku aku katami setelah serba bertanya kesana, kesini dan kesitu kutemukan, tak ada jawaban yang lebih baik dari pada itu lalu, yang belum berlalu…yang tak dilalu… dan contoh, juga contoh-contoh itu?

lagu barat

SAJAK AA NO-NAME BUAT TUHAN karya: Aa No-Name tuHan-ku (jika kau Ada), cintaku apa adanya bukan cinta buta tuHan…(jika itu Kebenaran), tundukku adalah kejujuran bukan sembah kepalsuan Han! imanku ini, andai setengahpun tak cukup kurasakan sebiji zarah itu masih selalu tersisa cuma apakah kami, manusia ini, akan menuju ke-Sana hanya berbekal lotre dan sekedar undian saja? tuHan, berbekal sekedar pemahaman masih selalu tertancap itu iman dibuai kenyataan aku membuat pilihan demi pilihan tuHan-ku, sebab itu disini: tak ada beda lagi antara menunggu dan mencari (sementara itu, anak manusia saling sanjung dan saling bunuh tanpa mau berpikir ala penyair…sepertiku?)

lagu barat

SEPERTINYA) SALAM TERAKHIR Ada sesuatu yang busuk dihati ini tak tercium, barangkali bagi diri sendiri maka berkacalah, kawan kata seorang tua yang akan kembali ke tanah rumah masa depan ia sekedar mencoba terus mengingatkan di sedikit waktu yang barangkali…menyedia sebuah kesempatan berbuat sedikit kebaikan bagi bumi tercinta yang bakal ia tinggalkan bagi setiap kawan – dan setiap lawan, anggaplah juga kawan – bagi setiap manusia bagi kehidupan bagi keluhuran peradaban dan ia segera: mati, jangan kuatir namun, ada sesuatu yang busuk di hati – kawan mudah-mudahan tercium sendiri, nanti.

lagu barat

(M)ALAM digenitnya suara malam, di bisingnya hentakan siang, kita selalu menantikan sore yang tenang. ada juga suara-suara sunyi, seolah mengajak kita menjadi sahabat sejati, tapi mereka tak pernah setia, tak pernah sanggup lepas dari hawa dunia, menemu kita sekedar takut ada yang tersisa. atau patung-patung keengganan, yang tak mau tahu lagi seperti apa kehidupan berjalan. maka mereka semua berkata: buat apa berbicara tentang yang hakiki, serahkan saja pada…yang tersembunyi, serahkan saja pada kebutuhan, haha, perut ini. namun tak bisa. Kita selalu mencari tahu, karena selalu ada risau menyesak di hati, yang tak mampu diterangkan oleh kenyataan, yang tak bisa diselesaikan oleh keniscayaan. hati-hati. Kerisauan bisa menyesatkan, kata mereka. O, mereka ternyata mau peduli! dan kita makin risau mempertanyakan: di zaman yang mangkin menyampah ini, siapakah yang masih mau peduli tentang diri sendiri, selain Kami?

lagu barat

MATA INDAH ITU Disini, di sela baris-baris yang kaku aku mengumpulkan segala yang terserak menjadi satu dan mata indah itu, kapan kita akan Bertemu… aku igaukan namamu disini, selalu. NamaMu.

ANTARA VARIASI ESTETIS DAN KERUMITAN GRAMATIKAL

Termasuk ke dalam sebuah kumpulan cerpen yang secara tematis terlihat dihadirkan untuk ‘mempertanyakan cinta’, cerpen “Malamnya Malam” seperti mempunyai tempat tersendiri. Secara kasat mata, cerita ini ditempatkan pada urutan paling akhir. Kedua waktu pembuatannya merupakan yang paling awal dibanding yang lain, yakni tahun penulisan 1982, serta waktu pengerjaannya yang dalam kurun 2 tahun, yakni sampai 1983. Ketiga, ‘tipikal’ judul cerita serta bentuk pemaparan cerita yang secara kuantitas termasuk golongan minimalis dibanding dan dalam keseluruhan cerpen dalam kumpulan ini. Tipikal judul cerita mayoritas cerpen ini terasa dekat sekali dengan tema seperti yang ditandai dengan kata-kata : lelaki, perempuan atau cinta. Bentuk pemaparan cerita yang sepenuhnya berbentuk narasi juga hanya terdapat pada beberapa cerpen saja. Dan penulis menilai paparan narasi dalam “Malamnya Malam” ini pulalah yang paling penuh bentuk kenarasiannya dibanding beberapa yang lain itu. Salah satu bukti, yang s

MERANTAU KE JATINANGOR

Judul tulisan di atas mungkin memang terdengar menlankonlis, tetapi sungguh tulisan ini bakal berupa paparan yang realistis. Jadi, tulisan ini bukanlah runtutan kata-kata puitis. Betul-betul fakta nyata yang bakal diungkapkan yang paling, penulis bakal berusaha menyajikan dengan sedikit manis. Setidaknya telah dicoba pada judul sebagai pembuka wacana. Isinya sih, sepertinya, hanya berupa sebuah deskripsi layaknya berita saja. Tentang sebuah tempat bernama Jatinangor, dimana terdapat empat perguruan tinggi berdiam disana. Unpad salah satunya. Universitas Padjajaran (Unpad), rasa-rasanya nama ini sudah cukup dikenal dimana-mana. Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri yang tergolong papan atas dan dalam barisan perguruan tertua, dan juga apalagi terdapat di Pulau Jawa, Unpad memang cukup punya nama di republik ini. Apalagi buat para pelajar SMU dan sederajat, yang bakal segera melanjutkan studinya sebagai mahasiswa dari sebuah universitas, nama Unpad memang cukup menjanjikan buat dija

ATHEIS, KRITIS, KRISIS..

Sebuah analisis psikologik terhadap tokoh Hasan dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihahardja “Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk memperbaiki kesalahan? Untuk menebus segala dosa? Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan untuk menebuas dosa itu telah hilang?…..( kutipan tiga kalimat pertama dalam roman “Atheis” )” I. Pendahuluan Roman “Atheis” ini diterbitkan pertama kali tahun 1949. Tahun yang merupakan tahun-tahun bersejarah dalam menjelang ( atau boleh juga dibaca : mempertahankan ) kemerdekaan Republik Indonesia. Dan tak pelak, selain pergolakan politis, revolusi sosial pun bisa dimaklumi tengah menghebat di setiap anak-anak bangsa, yang sebentar lagi akan ‘betul-betul’ menjumpai kemerdekaannya. Menjadi sebuah negara merdeka berarti menjadi sebuah negara yang mengatur diri sendiri. Mengatur sendiri masyarakat untuk tentram hidup bersama sebagai satu bangsa ( yang besar lagi ). Dalam menemukan konklusi dan formulasi yang mengatur hidup bersama ini

ANTARA BARAT DAN TIMUR DI TEMBOK KAMPUS

Salah satu hal yang sedang berkembang dalam khasanah dunia kritik sastra di Indonesia saat ini, terkait dengan persoalan hangat mengenai usaha mencari teori tersendiri dalam menganalisis karya sastra Indonesia ( sebab teori dari ahli-ahli barat dipandang kurang memadai dan lain dunia untuk membedah sastra negeri ini ), adalah dengan kenyataan kurangnya kuantitas kritik sastra di Indonesia, seperti yang mengemuka dan menjadi keluhan dalam berbagai pembicaraan tentang dunia sastra di republik ini. Jika karya sastra dipandang tidak banyak peminatnya di republik ini, seiring dengan kenyataan minat baca orang Indonesia yang masih rendah, maka jumlah karya-karya sastra yang diproduksi masih sangat melimpah dan juga cukup dianggap berkualitas ( di sisi lain memang dibandingkan dengan peminat sastra yang tidak seberapa ) dibandingkan jumlah terbitan sastra berupa kritik atas karya. Malahan di dunia kritik sastra itu sendiri, kritik sastra dari kalangan non-akademis sendiri pun ( bahkan kritik

PIKIR DULU, BATU BICARA…!!

Sebuah analisis terhadap puisi “Di Atas Batu” dan puisi ”Batu” dalam kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono I. Pendahuluan Suasana, romansa, barangkali hingga nelangsa, itulah kesan yang terasa, ketika kita, membaca, sajak-sajak buah tangan Sapardi Djoko Damono ( sebagai seorang pujangga ). Namun apalah arti kata-kata, bila tanpa makna. Biarin Sutardji pernah berusaha memerdekakan kata-kata semerdeka-merdekanya dari makna, yang dianggap penjajah – kayak Belanda aja! Toh, kembali kita-kita, sebagai sosok penafsir karya, membutuhkan makna-makna dari kata-kata, agar tak sekedar jadi sekedar penikmat doang aja. Seorang penafsir selalu berusaha mencari ( kalau perlu ‘mencari-cari’ ) makna dari objek telaahnya. ( Nah, apalagi kalo namanya telaah ). Yang penting, dalam sebuah pertanggung jawaban ilmiah, logika penafsiran bisa dibuktikan. Jadi, puisi Sapardi yang berkesan penuh suasana seperti yang diungkap di awal tadi, ternyata juga bermakna. Tentu saja! Tapi lebih pen