Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2005

KOIN SERATUSAN, DADA SEORANG PEREMPUAN DAN MATA-MATA BERWARNA MERAH

Sopir angkot itu menyerahkan koin seratusan kembalian ongkos kepada seorang mahasiswi yang baru turun dari angkotnya. Gadis itu sangat cantik. Rmbutnya yang tak sampai sebahu dioles dengan cat rambut sehingga berwarna pirang. Kulit wajahnya, dan juga seluruh tubuhnya, yang putih mulus memberi kesan cewek modernya. Apalagi jika dilihat pakaian yang dikenakannya, sebuah kaos mini dengan lengan sangat pendek dan bawahan sangat pendek juga sehingga terlihatlah daerah yang bebas lihat pada pinggang dan perut mulus itu. Celana jeans yang dikenakannya juga tak tanggung-tanggung super-ketatnya, super bermodelnya dan tentunya juga bakal super menarik perhatian orang lain. Koin seratus tersebut oleh gadis ini dimasukkan ke kantong baju kaos ketat dan mininya, yang terletak di dada kirinya. Tapi sesaat gadis ini terlihat tertegun. Ia merasa aneh, entah apa. Sejenak dirabanya koin seratus di saku dada kirinya itu. Tapi tak lama raut mukanya kembali berubah. Ia lalu terlihat tersenyum saja pada or

BUMI KEJORA

Gerakan mengusung tema feminisme atau isu gender memang cukup marak dewasa ini dalam percaturan komunitas sastra (di) Indonesia. Bukti teranyar adalah dengan digondolnya ‘piala’ juara satu hingga tiga sayembara menulis novel DKJ oleh kaum hawa. Entah apa erat kaitannya antara tema feminism tersebut dengan perempuan-perempuan novelis yang tengah berjaya tersebut pula, yang jelas salah satu novel perempuan pemenang tersebut memang benar-benar dengan gagah mengusung tema ini. “Geni Jora”, novel ‘perlawanan’ karangan Ibu Abidah El Khalieqi inilah yang bakal dibahas dengan menggunakan tinjauan stilistika dalam tulisan ini. Dengan menggunakan latar tempat Timur Tengah pada beberapa ‘tempat’ pula dalam novel ini, juga latar suasana ke- Timur Tengah -an – dan sehingga pula (kenyataannya memang begitu ) berimplikasi pada hadirnya adat serta relijiusitas beraroma Timur Tengah ( dalam hal ini ‘Arab’ dan ‘Islam’ ) dalam versi cita rasa Indonesia tentunya – membuat novel ini memiliki keunikan dan

LELAKI FAUJAH

Ia berdiri, menatap ke luar jendela. Bukan pandangi langit dengan sia. Tapi kosong. Mata menerawang. Entah kenapa, bisa-bisanya sekarang batin yang bicara. Dan apa betul ini batin? Ah, hidupku ini terlalu indah untuk kutinggalkan. Bah! Apa yang ada sekarang terlalu nikmat untuk dilepas. Bangsat!! Apa yang ada dalam otakku ini. Iblis! Persetan….Persetan nurani! Laki-laki itu hampir saja membanting genggaman gelas di tangannya. Tapi keburu sentuhan tangan nn.Barbara lembut membelai kepalanya. “Hmnsijidjieioeofjfjjgj.” “Dsheufmfkfklrorklf!” “Mhshdriucvufnfhjfjfjfjfjhgfujfgjfififiktfrjfu.” Kembali aku ke tengah ruangan tempat pesta dilangsungkan. Dengan tangan saling bergandengan, aku dan nn.Barbara berdansa mengikuti musik yang mengalun. Sambil berpelukan, di telingaku ia terus membisikkan: apa yang kuharap dari bangsa yang tenggelam dalam kebodohan dan kehinaan ini? Dan, ketika berhadapan lagi dengan pertanyaan seperti ini, biasanya aku selalu hanya mengiyakan. Aku selalu tertawa terbaha