BUMI KEJORA

Gerakan mengusung tema feminisme atau isu gender memang cukup marak dewasa ini dalam percaturan komunitas sastra (di) Indonesia. Bukti teranyar adalah dengan digondolnya ‘piala’ juara satu hingga tiga sayembara menulis novel DKJ oleh kaum hawa. Entah apa erat kaitannya antara tema feminism tersebut dengan perempuan-perempuan novelis yang tengah berjaya tersebut pula, yang jelas salah satu novel perempuan pemenang tersebut memang benar-benar dengan gagah mengusung tema ini. “Geni Jora”, novel ‘perlawanan’ karangan Ibu Abidah El Khalieqi inilah yang bakal dibahas dengan menggunakan tinjauan stilistika dalam tulisan ini.

Dengan menggunakan latar tempat Timur Tengah pada beberapa ‘tempat’ pula dalam novel ini, juga latar suasana ke- Timur Tengah -an – dan sehingga pula (kenyataannya memang begitu ) berimplikasi pada hadirnya adat serta relijiusitas beraroma Timur Tengah ( dalam hal ini ‘Arab’ dan ‘Islam’ ) dalam versi cita rasa Indonesia tentunya – membuat novel ini memiliki keunikan dan keeksotikan tersendiri. Dari sudut stilistika, berhadapan dengan novel macam ini sudah tentulah wajar jika banyak bakal ditemukan istilah-istilah Timur Tengah yang berpadu dengan stuktur bahasa Indonesia ( sebagai bahasa kenegaraan yang digunakan buat novel ini ). Juga dalam hal pemahaman makna bahasanya, dituntut pula kapabilitas wawasan terkait materi budaya ( Arab, Islam, plus bentuk akulturatisnya di Indonesia ) yang menjadi referensi bagi novel ini. Dan tak lupa pula, sebagai novel sekali lagi dengan isu gender, pemahaman tentang feminisme itupun, juga. Sehingga, tinjauan stilistika atas novel ini pun tak sekedar analisa formal ( atau totok ) stuktur bahasanya saja.

****
Tak bisa disangkal lagi, semangat perlawanan terhadap tata nilai patriarkhat, dalam novel ini sangat gamblang terlihat. Tapi ini pulalah yang bisa menimbulkan perihal mengenai bentuk retorika bahasa pengarang yang sangat ekspresif ( jelek-jeleknya akan jatuh ke penilaian yang sangat subjektif ) serta, dan hingga, tuturan narasinya banyak terlihat dibuat sangat hiperbolistis. Dengan meminjam analisis karakter dari tokoh-tokoh dalam novel ini, digambarkanlah tentang sosok perempuan modern yang kuat, perempuan kuno yang bodoh, laki-laki kuno yang juga bodoh, serta laki-laki modern yang pintar tapi tetapi tetap harus ‘kalah’ dari kehebatan perempuan-perempuan modern. Oleh karena itu, sepanjang cerita novel ini, selain tokoh utama dan tokoh-tokoh perempuan (berpikir modern) lainnya akan selalu diserang habis-habisan.
Bentuk ekspresifitas dalam novel ini lebih banyak ditampilkan dalam bentuk sikap yang dingin meski dengan sindiran yang sangat tajam. Pertama terkait dengan kenyataan bahwa dunia ini masih menganut sistim nilai yang patriarkhat, yang mana laki-laki masih mendominasi atas kaum perempuan sehingga harus terus diperjuangkan, dan kedua bahwa novel ini memang sangat ‘berambisi’ untuk memperjuangkan itu. Bentuk sikap dingin ini paling nyata terlihat dalam dialog-dialog antara Kejora, sebagai tokoh utama, dengan Zakky, ‘pacarnya’ yang pintar dan berpikir modern tapi tak ada apa-apanya jika berdebat dengannya.
Ketika Kejora masih kecil ( sehingga belum mampu melawan dengan ‘intelektualitas’ seperti saat berdebat denga Zakky ), bentuk perlawanannya lebih banyak diangkat dalam bentuk perlawanan batin ( dinarasikan oleh pengarang ). Dan nuansa inipun sebenarnya terbawa juga hingga jalan cerita selanjutnya. Mungkin ini memang soal pilihan sarana bahasa dalam bentuk narasi saja, tapi pada bagian perdebatan dengan Zakky pun ( makanya kata intelektualitas di atas diberi tanda petik ) kecerdasan seorang Kejora tak terlihat betul-betul teruji. Zakky terlihat lebih banyak mengalah daripada betul-betul kalah, yang disebabkan cintanya pada Kejora. Penggambaran bahwa seorang Zakky adalah sosok yang pintar ( masak pejuang kemajuan kaum perempuan mau sama laki-laki bodoh?) menjadi kabur karena dihadapan Kejora, Zakky tak berkutik apa-apa. Dan dalam novel ini tak ada laki-laki yang lebih baik dari Zakky. Perihal seperti ini juga memperlihatkan ekspresifitas yang ‘agresif’ dalam novel ini
Dalam perihal intern sesama kaum wanita sendiri : Guna mengangkat kehebatan kaum perempuan modern tersebut, kaum perempuan modern tersebut dalam novel ini selalu ditampilkan dalam sosok yang anggun dan perfektif, hingga secara hiperbolis bahkan, bersamaan dengan itu sebaliknya sosok perempuan non-modern ( semisal diwakilkan pada nenek Kejora ) ditampilkan dengan begitu buruknya. Terdapat ketegangan yang cukup hiperbolistis disini. Jika tokoh nenek bahkan sempat ‘dicaci’ oleh Kejora kecil dengan teriakan si nenek jahat, maka sebaliknya tokoh-tokoh kawan seperjuangannya dilukiskan dengan sangat menakjubkan, disebandingkan dengan berbagai keajaiban alam seolah-olah, malah, bagaikan penilaian seorang laki-laki yang sangat kasmaran. Menarik juga menyimak perihal ini, semisal ketika novel bergerak kearah persoalan antara sesama perempuan modern ( untungnya, demi objektifitas, masih ada juga dibanding nggak sama sekali ), maka pembicaraan tak akan terlalu mendalam dibahas ( yaitu pada bagian ketika adanya tokoh Sonya yang anak orang kaya sehingga sekurang-kurangnya modern jika diperbandingkan dengan sosok stereotip perempuan ‘kampung’ yang ‘dicaci’ dalam novel ini ). Sebab apa? Sebab kepentingan utama yang ingin dibawa novel ini adalah menyuarakan perlawanan terhadap nilai-nilai patriarkhat. Sebuah gerakan perlawanan mau berlembe-lembek dengan sikap objektif? Lebih baik menggunakan gaya yang ekspresif. Mengambil hal-hal berupa : perdebatan dengan laki-laki yang bodoh dan pertentangan dengan perempuan yang terbelakang.
Sebagai penetralisir dari ketegangan-ketegangan yang timbul sebab beban ‘amanat’ yang diemban novel ini sebagai jenis sastra bertujuan ( tendenz literature ) adalah pemaparan materi terkait berbagai tempat di Timur Tengah dan humor-humor yang segar pada beberapa bagian cerita. Ada satu hal yang menarik dalam salah satu humor di novel ini. Sewaktu Kejora kecil ada kejadian yang mampu ia berikan asosiasi ‘segar’untuk mengemban misi novel ini. Bandingkan dengan Kejora besar yang tambah pintar kok malah lebih langsung, sehingga ekspresif banget, mengumandangkan cam-annya. Ada juga jenis humor yang karena beban misi tadi malah jadi terasa hambar, sebab terlalu memaksakan ‘diri’ untuk selalu menghina laki-laki. Pemaparan materi ke- Timur Tengah –an yang tak dinyana lagi menuntut wawasan yang luas terkait dengan itu bagi pembaca untuk bisa lebih menikmati novel ini terkadang bisa menjadi peralihan bentuk ekspresi yang selalu menyerang ‘laki-laki’ ( semacam jedalah dari runtutan alur tujuan cerita yang berat, semisal penggambaran tentang betapa indahnya suasana sebuah kota di Timteng ), namun terkadang materi tersebut juga dimanfaatkan guna menyampaikan lagi idealisme perlawanan gender tersebut. Ada yang cukup membantu, ada pula bagian yang seperti dipaksakan sebagai argumen pendukung ideologi tersebut ( dalam artian peng-argumen-annya masih sangat berpeluang untuk seketika dipertanyakan lagi oleh pembaca, pembaca kurang puas dengan argumen yang diberikan).
Pembahasaan dalam novel ini sangat kuat sekali, terlepas dari bagian yang berupa bentuk ekspresifistis berlebih-lebihan tanpa disertai argumen pendukung yang memadai, sarana bahasalah yang menjadi kekuatan peyampaian idealisme tentang kesetaraan perempuan. Jika semisal kita bandingkan dengan pemilihan karakter tokoh-tokoh yang ada dalam novel ini, terasa sekali betapa pemilihan tersebut sangat semena-mena untuk kebutuhan tujuan novel. Dan dengan pemaparan bahasalah, baik lewat narasi atau dialog, hubungan antar tokoh ( termasuk juga dalam hubungan semisal tokoh utama dengan sistem nilai patriarkhat ) yang telah dipilih, dimanfaatkan. Dengan cara, mengemukakan logika-logika bagi perjuangan yang ingin digapai dalam novel ini. Pemaparan tersebut terkait dengan materi dan wawasan yang luas seperti disebutkan di atas ( sehingga bisa menghadirkan ketakjuban atau malah ke-bengong-an di kalangan pembacanya ). Dan karena itu pula menghadirkan suasana yang eksotik

***
Kejora, itulah nama tokoh utama, pengemban misi cerita yang ‘pra-politis’ daalam novel ini. Kejora.., bintang.., bintang kejora. Bintang kejora yang selalu indah bisa disaksikan di setiap pagi itu kenyataannya adalah tak akan indah untuk ditempati. Terang saja. Sebuah planet yang tak beratmosfer. Tetangga bumi yang jaraknya lebih dekat pada matahari. Maka panassss...sss..ss. Ngomong-ngomong Mars juga pana(rrr)s. Juga tetangga Bumi. Tapi yang lebih jauh dari matahari. Tak ber-atmosfer. Dan kata sebuah judul buku, laki-laki itu dari planet mars sedang perempuan dari Venus. Sepertinya hanya di planet bumilah kedua insan ini akan saling mendingin. Maka, sekalipun tokoh Kejora dalam novel ini sangat cadas, ia tentu sadar bahwaa di bumi ini ia hidup dengan laki-laki. Mari saling berbagi. Keadilan, itulah yang dituntut Kejora sebab praktek nilai-nilai patriarkhat yang telah banyak membuat kaumnya (dianggap) menderita. Dan buat sebuah per-juangan, dibutuhkan semangat. Semangat melahirkan ekspresi dan agresifitas. Seperti realitas yang terlihat dalam novel ini. Mau tak mau, demi orientasi, ia harus mengambil bagian dari realita yang menguntungkan dan memperkuat ‘penggalian’ disana. Tapi Kejora, sebagai manusia, tentu akan kepanasan jika terlalu berlama-lama di planet sebrang sana. Biarlah untuk beberapa waktu, guna melepas berbagai beban dan tekanan, Kejora menjerit sejadi-jadinya di Venus sana. Bumi tetaplah tempat paling terindah buat kita. Dan, alam pikiran kejora, dalam memperlihatkan ekspresifitas novel ini, ternyata sangat puitis juga, sesuatu yang khas perempuan. Deskripsi yang detail, khas perempuan. Kejora masih membumi, mengikuti ‘geni kodrati’.**



-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!