PIKIR DULU, BATU BICARA…!!

Sebuah analisis terhadap puisi “Di Atas Batu” dan puisi ”Batu”
dalam kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono


I. Pendahuluan
Suasana, romansa, barangkali hingga nelangsa, itulah kesan yang terasa, ketika kita, membaca, sajak-sajak buah tangan Sapardi Djoko Damono ( sebagai seorang pujangga ). Namun apalah arti kata-kata, bila tanpa makna. Biarin Sutardji pernah berusaha memerdekakan kata-kata semerdeka-merdekanya dari makna, yang dianggap penjajah – kayak Belanda aja! Toh, kembali kita-kita, sebagai sosok penafsir karya, membutuhkan makna-makna dari kata-kata, agar tak sekedar jadi sekedar penikmat doang aja. Seorang penafsir selalu berusaha mencari ( kalau perlu ‘mencari-cari’ ) makna dari objek telaahnya. ( Nah, apalagi kalo namanya telaah ). Yang penting, dalam sebuah pertanggung jawaban ilmiah, logika penafsiran bisa dibuktikan. Jadi, puisi Sapardi yang berkesan penuh suasana seperti yang diungkap di awal tadi, ternyata juga bermakna. Tentu saja! Tapi lebih penting makna mana ( atau kita kasih saja nama pesan-pesan yang bisa disampaikan oleh karya! ) dibanding suasana yang terasa ( kita beri jugalah nama: kesan-kesan belaka! ) yang barangkali sekedar ( kembali lagi pakai kata sekedar nih ) membuat terlena atau, astaga, malah bisa terlupa.

Baiklah, sekarang akan dikutip sederet kata-kata dari kata pengantar Sapardi pada kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” itu :………., yang suasananya – atau entah apanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku. Pengarang sendiri telah secara eksplisit merasakan sesuatu yang menonjol dari karyanya, meski tak mutlak pula hanya bisa ditafsirkan seperti ditujukan pada pandangan pertama, eh, maksudnya pemikiran pada kalimat pertama tulisan ini. Tapi begitulah yang terasa dalam, secara umum, atas seluruh sajak dalam kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni”. Kata ‘suasana’ sendiri memang lebih bersuasanakan romansa dan nelangsa seperti yang dimaksud untuk penilaian disini. Walaupun suasana juga bisa berarti suasana buruk atau muram, pengertian ini ( meski juga bisa saja ada untuk beberapa puisi ), bisa lebih dipadatkan saja kepada kesan umum tentang kata ‘suasana’.
Jika dibandingkan dengan kumpulan puisinya yang lain yakni “Ayat-ayat Api” yang lebih bernuansa keras, emosi, dan meledak-ledak, dapat dipahami bahwa “Hujan Bulan Juni” lebih bersuasana. Pengertian bersuasana ini dapat lebih diperjelas dengan perlambangan pada beberapa jenis kata-kata yang acapkali ditemui pada berbagai sajak dalam kumpulan puisi ini, misal: hujan turun semalaman ; ketika matahari mengambang; dalam gerimis; ilalang; bunga rumput; sungai; sepoi angin. Hampir dalam setiap puisinya Sapardi selalu melakukan personifikasi terhadap benda-benda alam di sekitar kita ( mulai dari yang besar-besar seperti langit hingga yang kecil-kecil seperti cangkir ). Memang hal seperti ini juga lumrah dalam sebuah sajak, jadi lumrah juga penyair lain juga seperti itu dalam bersajak. Tetapi, khusus puisi-puisi Sapardi, khusus lagi dalam kumpulan “Hujan Bulan Juni” ini, hal-hal seperti itu terasa sangat dominan sekali.
Persoalan mengenai antara isi puisi atau tema yang diangkat atau pesan yang ingin disampaikan dengan puisi sebagai sekedar pelukisan suasana ( alam, dalam hal puisi Sapardi ) ke dalam kata-kata, akan bisa kita lihat pada dua buah puisi yang akan dibahas berikut ini. Keduanya dianggap mewakili saja dari puisi-puisi yang lain dalam kumpulan ini, yang satu dianggap dominan pada bidang tematik, yang satu lagi mewakili keunggulan pemaparan bahasa ( yang menimbulkan suasana, seperti yang diungkap tadi). Kemudian juga sebagai tambahan catatan, barangkali juga sekedar “kebetulan cuma” bahwa kedua puisi ini memiliki judul yang sama-sama menggunakan kata batu. Batu, sesuatu yang sangat bersuasana alam. Lalu unsur tematik dan pesan apa yang bisa kita dapat dari kedua puisi ini ( meski tadi secara kasar kita telah membagi keduanya bahwa yang satu bersuasana, yang satu jago tema ). Dalam penafsiran, apalah yang tak bisa dihubungkan dan pembagian manalah yang bisa tanpa pembatasan. Yang penting sejauh dan seperti apa hubungan itu, begitu juga sesampai mana pembagian itu. Mari dilihat.

II. Pemaknaan terhadap puisi “Di Atas Batu” dan puisi “Batu”
Jika puisi “Di AtasBatu” ini dibagi ke dalam empat baris, maka tiga baris yang pertama dapatlah dikategorikan sebagai kurang kebih tak lebih dari sekedar pelukisan suasana alam (meski dengan ada objek atau subjek manusia didalamnya). Pada baris pertama diceritakan, atau barangkali lebih tepatnya digambarkan, tentang sosok objek yang sedang duduk di atas batu dan melempar-lempar kerikil ke tengah kali. Pada baris kedua digambarkan Ia meng-gerak-gerakkan kaki-kakinya di air sehingga memercik kesana kemari. Pada baris kertiga digambarkan tentang objek yang memandang ke sekeliling sehingga terlihatlah olehnya matahari yang hilang timbul di sela daun, jalan setapak., capung-capung. Baru pada baris terakhir terdapat kalimat yang cukup filosofis yakni ia ingin yakin bahwa ia benar-benar sendiri sehingga dapat kita kategorikan bahwa ini mulai membawa beban tematis, tak penggambaran lukisan suasana saja seperti kata-kata sebelumnya. Dan yang disebut baris terakhir inipun sebenarnya bisa juga dipandang hanya bagian dari baris ketiga sebab adanya tanda hubung yang menghubungkan keduanya. Yang penting ada perbedaan di kata-kata ini dibanding kata-kata sebelumnya. Model penekanan pada akhir ini juga dapat kita temukan pada banyak puisi lain dalam kumpulan ini. Salah satu yang cukup ’tegas’ misalnya adalah pada “Catatan Masa Kecil,2”. Modelnya seperti itu juga, setelah berbelit-belit dalam penggambaran suasana alam berdasarkan kenangan masa kecil, pengarang baru memunculkan kata-kata yang cukup filososis dan mengagetkan pada dua kalimat terakhir, lebih terpusat lagi pada kalimat satu kalimat terakhir yang cuma berupa satu kata, tapi berjuta rasanya : Ada.
Kemudian, pada puisi “Batu” kita akan berhadapan dengan sebuah puisi yang secara eksplisit dibagi dalam tiga bagian. Pada bagian pertama dapat ditafsirkan bahwa batu yang dimaksud adalah Malin Kundang. Diceritakan ia ingin ketentraman dan tak ingin terganggu dengan orang yang memahat pada si batu alias padanya. Pada bagian kedua, batu yang dimaksud adalah sebongkah batu yang didorong oleh sysypus dari mitologi Yunani Kuno. Si Batu, juga seperti batu Malin Kundang, menginginkan ketentraman. Ia tak mau terlibat dalam pekerjaan sia-sia mendorong ke atas bukit hanya untuk digulungkan kembali ke lembah. Dari kedua bagian itu, dapat dilihat betapa kutukan malah dianggap’baik’ sebab mendatangkan ketentraman.Lho? Lalu mari lihat bagian ketiga. Pada bagian ketiga diceritakan bahwa batu tinggal di lembah yang menghadap jurang, sedang mencoba menafsirkan rasa haus yang kekal. Tak ada referensi bahwa bagian ini secara khusus merujuk pada suatu kisah tertentu. Penafsiran yang dapat dipakai hanyalah bahwa ini adalah batu secara umum dan kolektif mewakili manusia yang mencari ketenangan dengan dilambangkan dua buah batu yang disebut pada dua bagian pertama. Cuma menarik sekali ketika melihat bahwa kata ketentraman dirangkaikan dengan kata sekarat dan rasa haus yang kekal. Seperti kutukan yang menjadi ketentraman.

III. Hubungan dan perbandingan keduanya
Seperti yang diutarakan sebelumnya, perihal yang ingin dianalisis pada tulisan ini adalah mengenai dominasi unsur suasana berupa pelukisan citra alam pada puisi-puisi Sapardi dalam kumpulan ini dan sikap mempertanyakan akan unsur tematik ( dalam artian pesan-pesan) pada puisi-puisinya. Puisi “Di Atas Batu” adalah perwakilan dari contoh puisi penuh suasana romansa yang secara kualitatif mayoritas mengisi kata-kata dalam sajak-sajaknya. Memang Sapardi kerap kali menggunakan asosiasi-asosiasi personikatif terhadap benda-benda sekitar manusia yang kerapnya juga membuat seolah-olah pemaknaan tematik sudah tak terlalu penting lagi. Dalam larik-larik sajak “Di AtasBatu” seolah pembaca hanya diberi pelaporan citraan alam dan peristiwa kecil-kecil juga ‘sederhana’ ( nah, ini jugalah salah satu ciri pendukukung dominasi unsur suasana ). Begitu juga pada larik-larik sajak lain seperti “Pada Suatu Malam” hingga “Hujan Turun Sepanjang Malam”. Namun, dalam tingkatan yang berbeda, sebagian sajak memang lebih memuat pemaknaan alias tak sekedar reportse perjalanan.
Sementara pada puisi “Batu” ditemukan model lain. Sapardi tak lagi bermain-main dengan sekedar citraan alam dalam peristiwa kecil-kecil. Disini unsur tematik lebih kuat dan mengalahkan kebiasaan suasana romansa pada mayoritas puisi-puisinya. Namun, apa judul puisi ini? Batu. Ya, batu adalah sesuatu yang sangat berbau alam. Untuk menyampaikan sebuah sajak yang lebih ‘berpesan’ Sapardi ternyata tetap tergoda untuk meneruskan kebiasaannya bermain-main dengan benda-benda di sekitar kita. Itulah,kebiasaan ‘buruknya’,dan barangkali memang begitulah penyair. Sambil tersenyum di tengah padang bunga, barangkali awan mendengar Sapardi bersenandung : aku yang berpikir, biar batu yang bicara. Dan kita menikmati hasil karyanya, dan mengertikah kita bahasa batu? Pikir, maka.
IV. Penutup
Maka. Analisis ini menarik sebuah fenomena tentang kecintaan Sapardi pada seni menuansakan bahasa lewat teknik personifikasi atau citraan-citraan alam. namun meski tertutup dengan dominasi hal tersebut kita juga bisa menemukan penyampaian tema yang lebih gamblang dalam puisinya.dari mayoritas puisi yang lebih bermain dengan citraan alam. Pada puisi jenis ini, kalaupun ada penegasan pesan, biasanya ditekankan pada kata-kata akhir dalam bait-bait sajaknya ( setelah usai bermain-main dengan nuansa bahasanya ). Jadi, upaya pencitraan ini pulalah yang membuat puisi-puisinya semakin berjarak dengan ide eksplisit yang ingin disampaikan.
“Penyair bukanlah seorang Nabi,” kira-kira begitulah ungkapan polos seorang Sapardi pada makalahnya di sebuah acara diskusi tentang proses kreatif beliau. Mungkin juga tak polos karena ternyata Sapardi juga sering berbisik dalam sajak-sajaknya tentang pencarian-Nya. Dan seperti-Nya,yang berbicara lewat alam, benda-benda serta titah yang ghaib-Nya, Sapardi seperti berpesan: kita harus berusaha membacanya. Maka, bacalah! kata Jibril kepada Rasul-Nya.***





-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!