suratcintrong

SURAT `SE-RIOUS` BUAT REKAN-REKANKU `SE-PROPESI` (DALAM-PADA AKHIR PERJALANAN KITA INI)

Buat Teh Santy,
The, ehtt..teh…(ribeut!). Melihat karya yang nak engkau analisis, (cukup menggugah), akupun jadi ternganga sembari mendesis. Barangkali sama seperti anak-anak yang lain, dengan pengetahuan kami yang minim tentang engkau, akupun berpikir gila! teh Santy mau mengacak-acak kewarasannya bermain-main dengan teror demi teror peristiwa dalam novel Putu. Apalagi yang hendak teteh analisis itu mengenai kejanggalan unsur kejiwaan pada seorang tokoh cerita yang dilabeli titel: “Hasrat Membunuh!”, gila! batin gua sungguh tak menyangka. Dengan beranggapan masih berpikiran waras, saya berpikir bahwa sebaiknya Teh Santy mencari karya lain dan mencari unsur lain lah yang sebaiknya dijadikan bahan penelitiannya. Memang, asumsi sebuah penelitian objektif taklah memperdulikan subjektifitas peneliti dalam memilih-milih objek penelitiannya. Namun kuatnya unsur kapabilitas pribadi dalam meneliti sebuah objek yang erat kaitannya dengan unsur-unsur budaya yang merupakan produk manusia, yang sangat tinggi tingkat mobilitasnya, yang sehingga menuntut kebersesuaian seorang peneliti dengan “sikon” objek yang akan ditelitinya, membuat saya berpikir: Apakah Teh Santy memang matching dengan “Lho!”-nya Putu tersebut? Lalu saya baru insyaf, apalah yang betul-betul saya ketahui tentang seorang Santy. Seperti kebenaran sebuah teori yang umurnya hanya sampai lahirnya sebuah teori lain, yang baru, yang menggugurkannya, saya yakin masih banyak kenyataan empirik pada anda yang saya, temen-temen lainnya, belum tahu apa-apa. Dan, Teh Santy, kaupun adalah sebuah misteri. Keterkejutan kami terhadap yang teteh lalukan itu sendiri adalah sebuah bukti tentang “hal-hal” yang tak kami ketahui. Saya yakin, ada “sesuatu” pada dikau yang membuat hasratmu sangat terobsesi dengan “hasrat membunuh” tersebut. Maka pesan saya, sebaiknya begini saja: teteh, dikau harus betul-betul percaya diri untuk mengeksploitasi “sesuatu” padamu itu. Soal teknik penulisan, cara retorika, kemampuan mengoherensikan persoalan – seperti yang kebanyakan dipersoalkan dalam seminarmu itu – saya kira adalah hal-hal teknis yang dengan kerja keras bisa dipelajari. Yang penting adalah modal dasar berupa “sesuatu” padamu itu, dikau harus berani mengpeksploitasinya. Maka, seperti ketika orang-orang tak habis pikir dengan apa yang hendak engkau kerjakan, buatlah kami, ketika teteh telah selesai mengerjakannya, hanya bisa berkata: “Lho!”

Buat Om Bule,
Om Bule, aku tahu kau adalah orang yang sangat aktif(is). Aku tahu kau orang yang senang bergerak-gerak sehingga yang berupa aktivitas (apa aktifitas?) otakpun
kau gerakkan menuju arah yang berbau pergerak(-gerak)an. Itu bagus, sebab dunia ini akan mati tanpa ada bunyi bebunyi dan keringat asem para lelaki. Dan hal inipun terbaca dari minatmu pada novel atau naskah skenario film yang akan engkau teliti itu. Naga Bonar, ia seorang sosok yang cekatan dalam berbagai reflek tindakan, yang berbau tangan dan badan. Ia sosok yang tak mau ber-lemot-lemot dengan keberhati-hatian pada sifat analitik sebuah pikiran. Tak perlu banyak pertimbangan. Dan hakikat, makrifat, ia malah permainkan. Hal-hal yang sebetulnya meminta perhatian serius malah dengan enteng ia percandakan. Hasilnyapun, segar menyegarkan. Bagi Naga Bonar segala tindakan adalah hasil kerja saraf reflek motorik yang memotong ke-lembek-an jalur birokrasi kita punya badan. Maka berbagai persoalanpun dengan cepat bisa selesai karena memang tak pernah “mau ia persoalkan”. Inilah ciri hidup praktis. Sejarah gagah perkasa para kesatria sejati. Profesional, dan proporsional, maksudnya. Cepat, sigap, jelas, tegas, tangkas, no compromize. Kompromi hanya berlaku bila perut mulai beraksi. Waw, betapa indahnya jalan hidup bila segala sesuatu dijalankan sebagaimana mestinya. Tak ada yang melenceng, tak ada yang perlu dipersoalkan. Setiap masalah diantisipasi dengan humor-humor dan celetukan. Maka, seperti kekuatiran GM terhadap kondisi perteateran dewasa ini (dengan mengutip kata-kata Bakhtin): sejarah memang sejenis drama dimana setiap babak diikuti oleh paduan suara ketawa. Segala sesuatu, entah kenapa, di tangan Naga Bonar jadi seolah lucu. Suasana perang dalam cerita Naga Bonar seperti tak ada bedanya dengan “situasi perang-perangan” di kala “Aku belum Besar”. Oh, kok jadi aku? Oke, kembali ke soal Om Bule. Tentu saja aku tak sedang menyamakan Om dengan Si Naga Bonar. Setahuku, Om tak begitu lucu. Hihihi. Lagian, tak mungkin pula aku menyamakan Om yang aktivis ini dengan “Si Raja Copet” itu. Sungguh sulit dipercaya. Tetapi, walau begitu besar perbedaan antara Om dengan Si Bonar itu, saya sarankan Om jangan patah semangat untuk menjadikannya sebagai objek penelitian. Saya kira dalam situasi seperti ini sikap objektif tersebut perlulah ditunjukkan. Kemaren-kemaren kita sudah sempat mengobrolkan tentang pendekatan semiotik dan dekontruksi guna “mendekati” karya yang akan Om teliti tersebut. Meski betul-betul belum pernah membaca utuh sekenarionya itu, tiba-tiba sekarang saya mau memunculkan sebuah ide terbaru dan tampaknya amat brilian Om. Kajilah “Naga Bonar” tersebut dengan pendekatan sosiologi sastra. Om `kan seorang aktivis juga. Jadi sedikit banyak punya referensilah bagaimana seorang Naga Bonar mengorganisir rekan-rekannya. Juga, Om Bule, kau `kan seorang “mantan dan calon” Jenderal pula…

Buat Mbak Surya,
Hmmm…, Orang-orang Bloomington, gaya euy! Mbak, aku salut pada kemauan Mbak untuk bersulit-sulit mengikuti jalan pikiran mengalir dan menerabasnya Mbah Budi Darma. Asal Mbak tahu, bisa dibilang titik balik saya untuk betul-betul perhatian pada dunia sastra adalah ketika saya mulai membaca karya-karya “rumit” yang diproduksi oleh Budi Darma serta kawan-kawannya: Simatupang, Putu, dan Danarto. Sebab sejak dulu saya, perasaan, sudah terlalu biasa membaca fiksi yang biasa-biasa saja, saya rasanya nggak semangat lagi jika setelah kuliah di Fakultas Sastra ini masih harus mengurusi cerita-cerita yang tak ada bedanya dengan sinetron punya. Dan Orang-orang Bloomington Budi Darma membuat daku kembali ceria. Ternyata memang ada sisi lain dalam dunia “sastra”. Cerita saya ini mungkin perlu saya tambahkan dengan ke-kurang berminatan saya pada sastra-sastra asal bunyi dan asal cari sensasi tapi tak punya isi. Jadi sebetulnya, tak semua yang rumit saya sukai. Dan jika ditarik lebih ke belakang lagi, awal “terlempar”-nya saya ke dunia pemikiran yang absurd hingga obscurd ini adalah minat saya pada pemikiran-pemikiran filsafat dan ilmu tentang tingkah laku manusia. Dan hal ini Mbak, saya dapatkan pada karya-karya tersebut. Terlebih pada Orang-orang Bloomington, sangat kental “ilmu” tentang tingkah laku manusianya. Mbak sendiri tentu tahu bahwa Mbah Budi Darma itu disertasinya sendiri adalah mengenai karakter tokoh dalam sebuah novel “kelas dunia” yang sarat “karakter tokoh”. Saya sempat berpikir bahwa tanpa kemauan (barangkali juga kemampuan) untuk terjun dalam pemikiran-pemikiran filsafat dan minat pada “tingkah laku manusia”, seseorang sangatlah tak akan tertarik pada karya-karya yang saya sebut tadi itu. Oke, seperti kasus yang terjadi pada rekan anda sebelumnya, tentu juga ada “sesuatu” pada anda yang membuat cerita, dan mudah-mudahan juga makna, dalam kumcer tersebut menarik perhatian. Saya cuma berharap “sesuatu” pada Mbak itu bukan lagi sekedar “pengalaman pribadi” tetapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, untuk mampu meresapi makna dari karya tersebut, anda Mbak, perlu memiliki minat pada filsafat dan ilmu tentang karakter manusia. Inilah kunci pembedah “kesembarangan” dan “kebertolol-tololan” karya dan karya-karya tersebut. Analisis pada seminar anda masih menunjukkan bahwa makna karya masih sekedar anda pahami dalam kerangka “pengalaman pribadi” tersebut. Dan malah saya kuatir, sebab dangkalnya, Mbak nanti malah tersesat (entah apa ini sekedar menurut saya). Karya dan karya-karya tersebut, Mbak, menuntut kemauan kita untuk memberi perhatian pada sesama manusia, memberi perhatian kepada sudut pandang orang lain, mau menerima keber-ada-an “orang lain” itu. The Others, sebuah konsep yang membuat penyakit moslemphobia di Amerika sana. Tentu anda, Mbak, juga tak mau menderitanya. Maka, belajar menyukai karya-karya gelo tersebut saya kira “sehat” untuk kehidupan anda selanjutnya. Dan yang namanya belajar, setahu saya Mbak, emang nggak bisa suka-suka gua.

Buat Mester Nunu,
Nu, ingat kamu aku jadi ingat perpustakaan kampus kita sebelah rak sejarahnya. Disanalah sering tak sengaja mataku melirik pada kamu yang sedang pada rak buku asyik mengulik. Andai dikau wanita, barangkali waktu itu akulah sang pria yang sedang jatuh cinta. Aha. Dulu, Nu, waktu yu pernah sering nge-date ke cottage-ku, betapa cukup banyak kita saling bertukar cerita. Dan bertukar pikiran. Sebab sekali lagi, aha, kita bukan pacaran (lamun he-euh, lha si BLc dikamakeun?). Dari sana aku tahu betapa jou termasuk sebangsa (cuma ini catatannya: jika “dikondisikan”) bisa diajak “mikir”. Dan buktinya, jou mau bersusah-susah bergelimang dengan fakta sejarah. Lihat aja betapa “dahsyatnya”-nya makalah seminarmu Mester Nunu. Cuma…. Sebelumnya, Nu, aku pernah membaca tulisan seseorang yang menceritakan tentang Sri Paus (yang baru mati itu) baahwa ia merupakan sosok kristiani sejati, yang menerapkan: “apabila ditamparnya pipi kirimu, maka berikanlah pipi kananmu”. Jou tentu masih ingat tempo hari ketika kau berhasil membantah dengan sangat “berargumen” usaha analisis dalam penelitianku. Semula aku mengira itu sebuah tamparan yang dahsyat. Meski, insyaallah, bukan seorang nasrani, namun aku sangat termotivasi untuk menerapkan ajaran Joshua From Nazareth tadi padamu. Buktinya, seminggu sebelum engkau “menampar”-ku itu, aku dengan penuh “kasih sayang” berusaha mendukung usaha penelitianmu. Tetapi Nu, ternyata aku salah kira salah duga. Yang kusangka “tamparmu” itu ternyata..ternyata..malah anugrah bagiku. Waw! Terlepas dari apapun sebetulnya motivasimu, dan aku berusaha keras menghapus citra kotor di dalam otakku tentang karakteristik seorang Mester Nunu, aku..aku..sungguh sangat berterima-kasih padamu. (Namun disini bukan tempatnya untuk membahas soal tentang yang kubilang anugrah itu). Maka daripada itulah, wahai Mester Nunu, aku sekarang hendak sedikit membalas budi dengan sedikit saran yang mudah-mudahan berarti bagi calon skripsimu. Soal membaca tesis Pak Acep dan soal mengaitkan lagi bagian terakhir analisismu pada teks sastranya tentu tak perlu saya ulang lagi. Yang perlu sedikit saya tambahkan disini adalah jadikanlah kemampuanmu untuk memaui perminatan pada sumber-sumber sejarah tersebut menyerap tembus ke dasar hati. Ya, pilihan hidup boleh bohemian Nu. Tapi sayang rasanya seandainya wawasan yang telah terlanjur jou miliki itu hanya jadi pajangan sementara saja. Kenapa tidak, jou memrofesionalkan diri di bidang ini. (Sekali lagi, karaktermu lah yang membuat aku berkuatir tentang hal ini). Asli deh, salutlah aku atas analisis utamanya pada bagian pertama makalahmu itu (bagian kedua memang masih bermasalah `kan). Dan jika teori-teori itu masuk ke hati ya Nu, itu terlihat dari kemampuan dikau untuk memaparkan analisismu dengan bahasamu sendiri. Tak lagi, makalahmu itu, sekedar tumpahan bagi sekian kutipan dan pengklasifikasian dari sekian sumber tanpa proses pemilihan dan pemilahan. Tetapi, sungguh Nu, pada beberapa bagian jou cukup berhasil. Tinggal tentu upaya penyempurnaan demi penyempurnaan. Sebab menurutku Nu, jika kau mau pasti kau mampu. Tinggal sekarang, terserah jou yang memutuskan.

Buat Neneng Dea,
Aku orangnya bisa tahan / sudah berapa waktu bukan kanak lagi / tapi dulu ada suatu bahan / yang bukan dasar perhitungan kini //. Silahkan dianalisis Dea. Hahaha. Neng, bukan maksudku mengatakan bahwa kau, sebagai mahasiswi, tak pantas menyelidiki puisinya anak-anak. Tiap atap ada tiangnya, tiap lubang pintu pasti ada yang menyimpan anak kuncinya. Seperti dalam ketika seminarmu, aku sempat mengutipkan sebaris dari penggalan puisinya Anwar itu, aku cuma mau mengatakan kepadamu: ditanganku, puisi anak-anakpun bisa menjadi sangat rumit dan bermasalah. Soal contoh puisi anak-anak dari majalah Bobo yang sempat saya sampaikan itu perlu sekarang saya tambahkan. Ada sebuah puisi yang ditulis oleh seorang anak dari Bali yang dibawah judulnya dituliskan bahwa puisi tersebut diperuntukkan bagi seorang temannya di Aceh yang sedang terkena musibah Tsunami. Buat saya, puisi tersebut bukan lagi mengindikasikan perhatian seorang anak kepada temannya dari daerah lain yang sedang dilanda musibah. Sebagai contoh, saya mengimajinasikan sebuah perbandingan: Bali adalah daerah yang ramah terhadap orang asing sedang Aceh adalah wilayah yang rawan bagi Asing (dalam salah satu literature yang sempat saya dengar dibacakan di sebuah radio, orang Aceh dikenal selalu menaruh curiga terhadap orang lain). Lalu ini juga bisa saya kaitkan dengan betapa Bali adalah daerah yang menyenangkan bagi orang-orang pusat sedang Aceh…. Lalu lagi, ringkasnya, sampailah saya pada kesimpulan bahwa puisi anak yang lugu tersebut adalah lambang koherensi dan korelasi anatar daerah sekaligus nasional yang menuntut pemikiran ulang kembali tentang kebijakan pusat-antar daerah selama ini. Sungguh saya sadar, ini sebuah kesimpulan yang cukup kurang ajar dan barangkali sangat asal. Masalahnya saya, dengan segala kerusakan otak yang saya derita, sudah tak sanggup membiarkan puisi anak itu suci-murni sebagaimana adanya. Libido saya menuntut puisi tersebut harus dikontekstualisasikan dan di-reaktualisasikan dalam persoalan-persoalan, yang menurut otak kumuh saya ini, penting. Lain padang lain belalang. Tentu kasusnya akan berbeda bagi seorang nenek eh Neneng Dea. Dan saya pikir juga pasti ada hal-hal menarik dalam kerangka jalan pikiran kanak-kanak tersebut (yangmana halnya barangkali sudah tak sanggup lagi yang sudah bukan kanak lagi ini mencerna) guna digali dan dieksploitasi. Dan pada Neneng Dea, yang sepengetahuan saya punya kompetensi untuk itu, harapan ini kupertaruhkan juga. Tiap orang ada bidangnya Dea. Tinggal, tentu Neng harus ingat bahwa penelitian ini adalah pekerjaan serius yang tidak diselesaikan dengan hanya mengandalkan perasaan saja. Bagaimanapun, Neng Dea sudah terlanjur mengenal berbagai teori yang kurang berperasaan itu, apalagi Psikoanalisa yang, kurang ajar, sangat tak menghargai wanita. Dengan modal selaman nek, eh nek lagi, neng..pada dunia kanak-kanak (dan ciri relijiusitas mereka), selamat melakukan penelitian dengan seperangkat teori serius yang tersedia.

Buat Bung Agit,
Ril, jika bung dalam beberapa waktu ke depan betul-betul masih berminat pada dunia baca-membaca, insyaallah wal mudah-mudahan Ril, bung bertemu dengan sebuah esai Budi Darma tentang karakteristik mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Indonesia. Terlalu meng-kakukan diri pada formalitas teori dan, yang lebih parah lagi, terkadang main asal tempel teori, itulah cirinya. Mohon maaf sebesar-besarnya Ril, hal ini pulalah yang kurasakan ketika dipaksa harus membaca “kerumit-rumitan” makalah bung. Hal pertama tentang karakteristik mahasiswa tadi barangkali terjadi pada kasus penelitian yang bersederhana-sederhana saja dengan cara asal isi slot-slot formalitas penelitiannya. Taroklah Ril, hal ini tak terjadi pada makalah bung sebab betapa kompleksnya pendekatan yang akan bung gunakan itu. Tapi justru karena itu pulalah, kompleksitasnya itulah, makalah bung jadi amburadul. Bahkan bukan lagi sekedar amburadul, makalah bung telah lari dari persoalan yang seharusnya bung bicarakan. Ehhh, aku ngomong gini Ril juga dengan sedikit banyak pengetahuan tentang pendekatan yang, katanya mau, bung gunakan itu. Kita sama-sama dan satu-duanya yang berbicara tentang resepsi sastra, ya toh le. Sayang ya, entah kenapa kita kurang sempat bertukar pikiran (apalagi udah di semester akhir ini). Seperti apa yang terungkap di seminar, anak-anak tanpa tahu banyak tentang resepsi sastrapun (setahu saya) bisa melihat bahwa makalah bung itu lebih merupakan “biografi”-nya Saudara Anwar, bukan resepsinya Sumandjaya. Dan saya salut, upaya berdalih bung terselamatkan dengan arah diskusi yang lari ke persoalan posisi teks skenario film dalam penelitian sastra. Ril, aku tahu kesulitan yang bung hadapi. Kita sama-sama bergelut dalam sebuah pendekatan yang memang belum terlalu populer untuk dicari contoh penerapannya. Sebab belum memungkinkan mencari artikelnya Iser, dan meski juga sebab, dari apa yang sudah saya ketahui, teorinya Iser tersebut belum sepenuhnya memadai untuk tujuan penelitian saya, apalagi juga sebab kemungkinan penerapan teorinya tersebut yang bakal susah bin paiyah, sayapun berdalih menyusun metode sendiri. Tetapi itu dengan keterangan yang jujur tentang berbagai pendekatan yang mempengaruhi, argumen secukupnya bagi jalan yang kupilih, dan dengan segala kerendahan hatiku (yang memang udah rendah) ini saya tak merasa telah menemukan sebuah pendekatan baru yang luar biasa. Masih banyak hal-hal dalam kerangka analisis saya tersebut yang masih sangat membuat dahi ini berkerut dan saya merasa sangat berkewajiban untuk mencantumkan setiap pemikiran orang lain, yang saya sadari, mempengaruhi. Tapi sudahlah, kok jadi ngomong soal makalah saya di tempat yang harusnya membicarakan makalah bung ini. Ril, ini bukti makalah kita ibarat pinang dibelah dua. Dan buat saya Ril, seandainya saya memang tak sanggup merumuskan analisis saya, saya tak akan memaksakan diri. Pada kamu Ril, dengan resepsi Jauss yang jadi modelnya, kalau saya lihat sebetulnya bisa kamu terapkan untuk tujuan penelitianmu itu. Entah kenapa bung malah di jalur lain, ngomong kehidupannya Si Anwar itu. Namun ini bisa dimengerti Ril, meski bisa diterapkan, metode Jauss akan menuntut kerja keras mengumpulkan teks sumber dan saya yakin: bakal membutuhkan waktu cukup lama. Jadi, sudahlah sampai disini, isi penuh gelas lalu kacanya silakan makan. Saya cuma akan mengambil dua kesimpulan tentang faktor yang membuat makalah bung itu jadi begitu. Pertama, itu tadi: kesusahan untuk menerapkan pendekatan resepsi sastra tersebut, yang memang sulit sebab belum umum. Kedua, ya obsesi bung itu pada Si Anwar membuat bung meneliti jadi kurang bersabar dan berpagar. Tapi, eh, mudah-mudahan salah seandainya saya menduga hal yang ketiga, seperti kata Budi tadi: jangan-jangan betul, anda “sengaja” asal tempel, biar k`ren en b`ken. Aduh Ril, punten pisan ieu…. Tapi saya yakin bahwa bung masih punya semangat (dan vitalitas itu) untuk terus berkarya dan menemukan citra diri (dari ini muka siapa punya) buat hidup seribu tahun lagi!

Buat Abah Taryana,
“Bah, minta duit bah. Ananda mau ke Perugia. Itu, di Italia. Kalau bisa sekalian main ke Surga.” Jangan anakku. Ngapain juga ke sana. Bahaya. Banyak godaannya. Abah `kan pernah juga lihat di teve waktu ada siaran bola-sepak Liga Italia. Waduh, cewek-ceweknya seksi dan…astaga! Mmmmmmmmm. Entah kenapa mata Abah jadi melihat ke sana. Beberapa menit pemandangan…itu, membuat 2 x 45 menit pertaandingannya jadi terlupa begitu saja. Anakku, bolapun menjadi seolah bola-bola. Dunia ceria, penuh warna. Surga, ya surg…apa? Astaga. Mmmmmmmmm. “Tapi Bah. Kata Nobita, dengan baling-baling bambu ini (menunjukkan sesuatu-red) ananda bisa menuntut ilmu sampai ke negeri Italia. Disana, di Perugia Bah, ada anggur-anggur hangat yang mampu membasahi dahaga jiwa kita. Abah boleh percaya nggak percaya. Dengan tenang Bah, ananda akan bisa melukiskaan indahnya suasana kota-kota Mediterania. Tanah pertiwi yang damai ini akan selalu ananda kenang Bah, elok permai buminya, ramah tingkah rakyatnya dan ayu sumarah gadis-gadisnya tak akan pernah sanggup dilupa Bah. Aku anak jaman dibawah lindungan sinar Khayangan Bah. Juga Borobudur dan Candi Mendut Bah. Ayolah Bah, Janna..Janna.” Eh, tapi disana `kan juga banyak mafia. Ihhh, ngeri lho. Lagian, Italia `kan termasuk pendukung okupasi USA di Iraq sana. Benci Abah. Coba, baru kemaren-kemaren agen intelejennya dibunuh sewaktu…. “Sudahlah Bah, udah hampir subuh. Bagian Gembi belon nih. Udahlah, lu aja yang nafsirin pake semiotika, hermanetika, dan iristika tu. Lumayan, buat nambah-nambah latihan.”

Dan Buat Remaja Gembi,
Nak, camkan kata-kata nan amboi bijaksana ini baik-baik: menjadi besar itu pasti, menjadi dewasa itu pilihan. (Ada bagian yang salah nggak ya?). Nak, bagaimanapun, aku menyadari persoalan lingkung hidup yang kau hadapi. Apalagi dalam masa ini kau malah tergolong yang mengalami hyper-transitional. Biasa, pada masa jerawat itu tumbuh, seorang remaja merasa sedang ditikung oleh segunung persoalan. Dan dalam keceriaan mereka hidup bersama sebuah kealpaan. Barangkali upaya pelarian. Tapi Nak. Jangan kau biarkan jerawat itu meletus di tangan orang-orang yang tak berhak. Ada baiknya jerawatmu yang pasca-puberty itu kau sumbangkan ke sebuah lembaga amal atau yayasan sosial. Yang berakta notaris jelas dan punya jaringan luas usahakan. Disamping itu Nak, efek samping dari memikirkanmu, aku jadi bingung: kau itu sebetulnya merasa bangga telah memasuki masa poskanakkanakmu atau sedang gelisah berhadapan dengan dekonstruksi pada masa remajamu, dan walhasil…. Nak, aku yang sudah tua dan bau tanah ini sebetulnyapun berhadapan dengan persoalan yang cukup menggelisahkan sepertimu itu. Akupun orang yang bingung menentukan pilihan dan kadang sengaja harus menjebakkan diri dalam permainan setta...tapi Nak, kau masih ada, masih dibentang harapan. Sayang jika hal itu kau sengaja melupakan, sebab, jangan-jangan nanti betul-betul sama sekali terlupakan. Nak..aku sering menangis sendiri kalau mendengar Iman Pas menyanyikan “hidup hanya sekali wahai kawan, aku tak mau mati dalam keraguan”. Padahal, Nak, aku sudah sejak kecil diberi nama oleh ortu-ku dengan nama M.Keraguan Alamiah. Dan ketika aku mengurus pergantian nama, para petugasnya menyatakan bahwa Undangan-Undangan mensyaratkanku untuk juga mengganti wajah. Tak mungkin Nak, kulit ini telah terlalu keriput dan telah menyatu dengan daging dan tulang tipis tengkorak kepalaku, tak mungkin lagi dipisahkan. Maka Nak, sebagai bab simpulan dan saran, segera selagi ada waktu kau harus memutuskan. (Sorry Gem, belum dapat makalah ente. Makanya, jadi “ngelantur” kieu. Ndak ado waktu lagi. Kau tahu bohewemiannya aku `kan. Mumpung lagi mood mending ane selesaikan. Dan menjelang seminarmu rabu, tugasku pada sebuah mata kuliah ngulangbarenggarnis sudah menumpuk untuk dikerjakan. Daripada nggak jadi sama sekali, udahlah ya, begindang aza. Nanti di seminarmu kita diskusikan dengan tajam dan akademis sekali makalahmu).

Terakhir, buat diriKu sendiri:
“Jon, kowe manusia paling bangsat yang pernah kutemui. Melihat tampangmu, aku jadi teringat kebinalan air muka Yudas dan Al-Hajjaj di Tiang Penghukuman. Aku menjadi teringat akting nothing and don`t worry pada ekspresi wajah Mr.Bush Junior ketika kabar keruntuhan simbol kejayaan Kapitalisme dunia yang memakan ribuan korban tewas itu disampaikan. Melihat tingkah lakumu, aku seperti melihat seekor kerbau yang bermalas-malasan every time in the Kubangan. Aku seperti melihat kumpulan kera yang dari hari ke hari kerjanya menggelantung-bergelantungan. Apalagi kalau mulutmu yang dipenuhi 99kebusukan itu mulai angkat bicara (atau aku sebut saja igauan, atau barangkali lebih tepat …..). Hey Jon, mendengarnya aku jadi teringat pada sebuah sajak mbeling dari penyair-entahapaiyapenyair berinisial YANMM: kudengar kata-kataku di telinga, kutemukan gema dalam mulutku sendiri, Suara, sesekali terdengar semacam gonggongan yang asing, namun terasa betapa dekat anjing itu bersembunyi. Jon! Di tengah bayi-bayi kelaparan di bentangan benua Afrika, jerit pilu anak-anak dan kaum wanita yang ditindas di tanah palestin, kaum muda yang dididik menjadi mesin produksi bagi kebesaran nama para elit penguasa, rapuh tulang para tetua yang tak punya kuasa atas kehendak si kuat yang mengangkanginya, dan milyaran buruh miskin yang memeras tenaganya ibarat kuda “zebra” demi uang..uang..uang..yang diputar en dimaenin oleh segelintir sanak-family Sang Pemodal Besar sambil ongkang-ongkang kaki di rumah-rumah mereka yang bagai istana dari surga, …kau..kau sibuk dengan abstraksi, idealisme, silogisme, kiraan, harapan, pemetaan, proposisi, identifikasi, klasifikisasi, estimasi, manajemen hati, dan segunung data-data statistikmu itu, dan segudang konsep-konsep… naudzubillah. Sadar, sadar Jon. Dunia ini tak berubah dengan cara bermimpi. Dan bukankah “darah itu merah Jendral,” kata PKI, ayo, bangun! Angkat senjata! Revolusi! Isi dahaga jiwamu dengan setiap tetes keringat dari tubuhmu. Aku tahu kau bukan marxis apalagi komunis. Aku tahu kau pun mau tak mau harus hidup dalam jerat kebudayaan bernama tradisi dan konsensi itu. Aku pun tahu, kau terkadang harus “memanfaatkan” agar tak jadi yang “dimanfaatkan”. Aku tahu kau harus mencari makan. Aku tahu kau bisa melupakan segala dosa dengan menampilkan diri sebagai sosok yang beramal berkebaikan. Aku tahu, aku tahu Jon. Bukankah kau juga tahu, betapa banyak yang aku tahu tentangmu. Tapi Jon, dunia ini butuh perubahan. Masa selalu bergerak menuju kebaruan. Waktu berputar ke depan. Sudah sampai disini, berhentilah bermanja-manja dengan puisi. Tapi… sudahlah. Rasanya tak banyak lagi yang boleh aku katakan. Aku kuatir objektifitas itu makin menghilang. Dan lagian aku kuatir, aku, kamu, nanti malu sendiri.
jawaban si Jon: (nggak) Siap komandan!”________________________________

Kawan, kawan. Tyutcev, seorang penyair Rusia, pernah mengatakan bahwa “pikiran yang diucapkan adalah suatu kebohongan” (ehm, dalam van Zoest, 1991: hlm 1 brs 1). Jika kalian sempat berpikir apa-apa yang kukatakan disini penuh dengan kebohongan, manipulasi, ketidakjujuran, hingga ketaktulusan, aku tak sanggup untuk berkomentar banyak lagi. Kami hanya tinggal tulangbelulang yang berserakan. Kaulah sekarang yang menentukan. Saya cuma bisa berdoa, mudah-mudahan, racun semiotik yang telah “dipaksakan” oleh salah sesuatu oknum dosen kita bisa berguna untuk kali ini. Silakan, anda-anda sangat berhak menafsirkan. Bergantung, sejauh mana “stok respon” oleh (t)Uhan ditakdirkan bagi kalian. Kaulah, kaulah sekarang yang menentukan. Kami hanya tinggal tulangbelulang..tinggal tulangbelulang yang berserakan. Baiklah kawan-kawan sekalian, sepertinya cukup sampai disini saja surat wasiatku ini. Sesuatu yang tak kurang-lebih absurd dibanding sebuah puisi barangkali. Makanya, jika kalian malas membaca. Jika betul memang demikianlah realitas sumber daya manusia Indonesia. Disini, sebagai penutup aku tuliskan lagi saja sebuah “puisi”. (Kenapa kuberi tanda “khusus”? Plis deh, jangan sampai aku yang memberi jawaban). Mudah-mudahan yang sedikit ini masih mampu memberi sejumlah arti. Wassalam.

“Pada suatu hari nanti
Barangkali sekedar namaku pun tak akan kalian ingat lagi
Tapi di antara baris kata-kata ini
Teman, lihatlah: aku ada disini. Hihihi..uhuk..uhuk..aha!”



Masih di Jatinangor, 18 April 2005




-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!