MERANTAU KE JATINANGOR

Judul tulisan di atas mungkin memang terdengar menlankonlis, tetapi sungguh tulisan ini bakal berupa paparan yang realistis. Jadi, tulisan ini bukanlah runtutan kata-kata puitis. Betul-betul fakta nyata yang bakal diungkapkan yang paling, penulis bakal berusaha menyajikan dengan sedikit manis. Setidaknya telah dicoba pada judul sebagai pembuka wacana. Isinya sih, sepertinya, hanya berupa sebuah deskripsi layaknya berita saja. Tentang sebuah tempat bernama Jatinangor, dimana terdapat empat perguruan tinggi berdiam disana. Unpad salah satunya.
Universitas Padjajaran (Unpad), rasa-rasanya nama ini sudah cukup dikenal dimana-mana. Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri yang tergolong papan atas dan dalam barisan perguruan tertua, dan juga apalagi terdapat di Pulau Jawa, Unpad memang cukup punya nama di republik ini. Apalagi buat para pelajar SMU dan sederajat, yang bakal segera melanjutkan studinya sebagai mahasiswa dari sebuah universitas, nama Unpad memang cukup menjanjikan buat dijadikan pilihan. Budaya sentralistik yang masih cukup terasa dalam dunia pendidikan di Indonesia membuat Unpad menjadi salah satu pilihan yang sangat dicita-citakan oleh para pelajar dari seantero nusantara. Setiap awal tahun ajaran, akan berduyun-duyunlah para calon mahasiswa dari berbagai daerah akan menapak kaki guna melanjut studi ke sini. Ke Jawa Barat? Ya. Ke Bandung? Tunggu dulu.


***
Pagi yang cerah, rumput-rumput terlihat basah, angin semilir membelai bunga-bunga yang hendak merekah, terkadang alam memang ada masanya untuk terlihat indah. Di hamparan lereng pada kaki bukit ‘Gunung’ Manglayang, disanalah sekarang sebagian besar Fakultas dari Universitas Padjajaran melangsungkan kegitan perkuliahan. Setahu orang awam, memang kampus Unpad itu terletak di Kota Bandung. Dan memang, rektorat, dua buah fakultas yakni hukum dan ekonomi,gedung-gedung program sarjana serta doktoral, dan beberapa unit ‘kecil’ lainnya masih dipertahankan tetap berada di Bandung. Tetapi selain yang tadi semua fakultas yang ada di Unpad telah dipindahkan ke Jatinangor, termasuk sekretariatan dari unit-unit kegiatan mahasiswa. Sehingga, buat para calon mahasiswa Unpad dari berbagai daerah setiap tahunnya, kalau Anda tak dihukum atau diekonomikan, bersiap-siaplah untuk menggabung menjadi penghuni Jatinangor. Setidaknya di saat perkuliahan bagi mahasiswa yang memilih tinggal di Bandung, tak mengontrak tempat tinggal di sini. Jadi, seperti apakah Jatinangor itu?
Jatinangor adalah sebuah kecamatan yang sudah termasuk wilayah dari Kabupaten Sumedang. Tetangganya Kabupaten Bandung yang tetangganya Kota Bandung. Jadi, dari Unpad pusat ke kampus yang ‘dipinggir’ ini, seseorang akan melalui jalan-jalan dari satu kota besar dan dua kabupaten. Meski kelihatannya cukup dramatis juga, sebetulnya, jarak yang ditempuh tak lah terlalu jauh. Dalam setengah jam, kadang, dari Bandung, Jatinangor bisa dicapai sebagai tujuan. Terserah, jika ini dianggap masih cukup lama dan bikin lelah. Kecamatan Jatinangor ini tepat berada setelah keluar dari jalan di Kabupaten Bandung. Berturut-turut akan dijumpai berjejer cukup berdekatan empat perguruan tinggi yang ada disini, STPDN, Ikopin, UNWIM, dan terakhir Unpad. Dan jalan seterusnya menuju hingga Kota Sumedang. Akan terlihatlah, sepanjang daerah kampus yang dilabeli kawasan pendidikan tinggi ini, dempetan bangunan rumah-rumah kost yang ditinggali oleh para mahasiswa yang merantau mencari ilmu ke Jatinangor. Juga disepanjang pinggir jalan, terdapatlah deretan kios-kios atau warung makan yang tentu masih berhubungan dengan ‘kebutuhan anak kost di perantauan’. Bagaimana perikehidupan mereka di Jatinangor? Dan sesuai dengan tujuan tulisan ini, tentang kehidupan mahasiswa rantau di tempat ini, menunjangkah tempat ini bagi cita-cita pendidikan mereka?
Berbicara tentang kebutuhan sehari-hari di Jatinangor, seperti yang juga telah disinggung sedikit sebelumnya, telah banyak warung makan atau kios-kios secara alami juga tumbuh di tempat ini, baik milik penduduk setempat atau para perantau pula yang mencoba mengais rejeki. Segala kebutuhan terkait kegitan perkuliahan para mahasiswa semacam rental komputer, warung fotokopi, atau toko-toko peralatan tulis yang istilahnya stationery, juga cukup memadai tersedia disini. Sebab memang, dimana ada gula disitu ada semut. Siapa pula yang mau membiarkan tempat meraup rejeki luput. Begitu juga toko-toko peralatan rumah tangga, wartel, gerai seluler dan foto, hingga rental komik dan playstation. Bahkan saat ini, sampai ada pula yang buka toko baju bekas dan dasi-dasi. Dua mini market yang cukup besar telah pula membuka cabangnya disini. Memang semakin lama, soal perimbangan ekonomi antara distributor dan konsumen, sesuai hukum pasar, semakin pula terpenuhi. Cuma, soal toko buku yang memadai atau sarana hiburan yang lebih ‘mengota besar’, orang-orang Jatinangor perlu ke Bandung guna mendapatkannya. Bagaimanapun, Bandung tentu lebih memiliki konsumen dibanding Jatinangor yang semula hanya wilayah pedesaan hingga didatangi oleh manusia-manusia yang bergaya ngota.
Tentang sarana olahraga, yang tentu dibutuhkan demi kebugaran mahasiswa sebagai bibit-bibit unggul generasi penerus intelektualita bangsa dalam era pembangunan setelah lebih dari setengah abad merdeka ( dari Belanda ), pun cukup memadai. Sarana-sarana yang terdapat dilingkungan kampus, pun tentu bisa dimanfaatkan. Sekurang-kurangnya, lari pagi di sekeliling kampus, pun akan terasa sangat menyenangkan sembari menyaksikan kesegaran alam, dan tentu membugarkan. Kemudian mengenai rumah kontrakan. Semakin hari semakin bertambah pula jumlah kost-kostan di Jatinangor yang bertebaran di seputar kawasan pendidikan tinggi Jatinangor. Memadai, kalu tak harus dibilang berlebih. Tetapi disini pulalah salah satu masalah yang muncul. Kebertambah padatan penduduk Jatinangor dari hari ke hari dianggap telah overlap terhadap daya dukung alamnya dalam hal kebutuhan air. Setiap musim kemarau, wilayah Jatinangor yang sebetulnya tergolong kering juga akan membuat menjerit sebagian rumah kost yang kesusahan mendapatkan air. Memang inilah salah satu titik isu dalam mempertanyakan perihal seperti kebijakan pemindahan kampus Unpad ke Jatinangor. Makanya, sebenarnya, Jatinangor juga tak seindah seperti yang pernah digambarkan sebelumnya tadi. Sebuah bukit yang berdiri tegap memagari kawasan ini dari arah timur bernama ‘Gunung’ Geulis ( geulis artinya cantik ), yang terlihat begitu rimbun dan sedap dipandang saat tetanahnya masih cukup basah, akan terlihat seolah gundukan gurun pasir saja kala kemarau t’lah tiba. Bagi mahasiswa rantau yang cukup berduit, tinggal di kost-an elit, dengan sistem pompa air yang komplit, hal tersebut tentu tak bakal jadi persoalan sulit. Ataupun mereka bisa memilih untuk tinggal di Bandung saja sebab urusan doku tak lah jadi perkara.
Pembicaraan terakhir yang seperti-nya perlu dibicara-i terkait dengan peri-hidup mahasiswa rantau di Jatinangor adalah mengenai proses akulturasi biaya. Tak pelak lagi, sebagai sebuah tempat bertemunya berbagai orang dengan berbagai asal budaya akan menghadirkan keunikan tersendiri pula dibanding pola kehidupan masyarakat homogen yang lebih berpola tetap. Satu hal yang perlu ditekankan mengenai pola perikehidupan multi kultur disini adalah bahwa sebagian besar pendatang tersebut adalah berstatus mahasiswa. Tentu sopan santun sikap formal akademistis akan menjadi perihal yang menyatukan di lingkungan kampus. Diluar lingkungan mahasiswa, sebab yang saling mengadakan kontak sosial disini sebagian besar merupakan manusia yang berstatus mahasiswa, tentu hal-hal mengenai gesekan sosial yang bersifat bar-bar lebih dapat dihindari. Bagaimanapun, berbeda mungkin dengan universitas semisal yang terdapat di Jakarta, disini budaya dan kultur sunda masih cukup mendominasi. Lagian, para perantau itupun sebagian besar juga masih berasal dari wilayah Jawa Barat, tatar tanah Pasundan, Banten, Cireboan, maupun Parahyangan. Bagi para perantau dari budaya luar sebenarnya cukup menyenangkan menyesuaikan diri dengan budaya sunda yang terkenal kehalusannya. Paling kemudian persoalan kedua yang perlu juga diperhitungkan adalah mengenai pertemuan antara budaya ngota dengan budaya yang ndeso. Dengan tetap budaya intelektualitas membayang-bayangi, kedua hal tersebut saling tarik menarik membentuk tipikal penghuni Jatinangor. Oposisi tersebut bisa antara orang dengan budaya Bandung yang ngota tersebut dengan keluguan suasana penduduk setempat yang bagaimanapun aslinya adalah orang desa atau antara mahasiswa yang berasal dari kota besar dengan mahasiswa dari daerah-daerah pelosok. Tetapi upaya mudernitas sepertinya tetap jadi ukuran yang membuat kita maklum akan tradisi-tradisi lama yang, sepertinya lagi, terus terkalahkan.

***
Demikian paparan apa adanya yang dapat penulis kiranya sampaikan. Memang sepertinya tulisan ini betul-betul paparan deskriptif biasa yang tak seromantis judulnya, seperti yang juga telah dikemukakan di awal. Tapi mudah-mudahan, bagaimanapun semoga saja, judul tersebut bisa memaniskan paparan ini. Selain itu, paparan ini memang sepertinya terlalu umum karena memang penulis tak lebih mengkhususkan lagi satu objek paparannya. Sehingga, banyak detil yang tak terlalu lengkap dan kajian yang tak terlalu dalam. Untuk deskripsi umum tentang mahasiswa yang (akan) merantau ke Jatinangor ini, penulis merasakan hal-hal tersebut adalah cukup berkecukupan. Begitulah sebuah tempat bernama Jatinangor, begitulah kira perihal yang bakal ditemukan para mahasiswa yang bakal menghuni Jatinangor. Dan jika Anda jadi berminat untuk datang kesini, ketika kendaraan Anda mulai keluar dari wilayah kabupaten Bandung, di pintu masuk Jatinangor akan Anda temukan sebuah plank melintas jalan bertuliskan : “Anda memasuki kawasan pendidikan tinggi Jatinangor, silakan mengurangi kecepatan!”.





-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!