Sastra yang Berangkat dari Lamunan

http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0115/bud2.html

Sastra yang Berangkat dari Lamunan
Oleh Indra Tjahyadi

Ada kalanya sebuah karya sastra bukannya tercipta dari sebuah permenungan, melainkan dari sebuah lamunan. Lihat saja puisi-puisi karya Nirwan Dewanto. Pada puisi-puisi karya Nirwan Dewanto lamunan menjadi semacam motor penggerak utama bagi dasar penciptaannya, dan bukannya permenungan.
Dengan menggunakan lamunan sebagai motor penggerak utama bagi dasar penciptaannya, ada sebuah konsekuensi logis yang tak dapat dielakkan muncul pada larik-larik puisi karya Nirwan Dewanto tersebut, yakni bahwa puisi-puisinya tersebut terkesan hidup dan dihidupi oleh lanturan-lanturan. Lanturan-lanturan yang hidup dan menghidupi larik-larik puisi karya Nirwan Dewanto tersebut bukannya tidak menimbulkan read effect bagi para pembacanya. Pertama, bahwa puisi-puisi karya Nirwan Dewanto cenderung lebih bersifat naratif, dan kedua bahwa puisi-puisi karya Nirwan Dewanto tersebut terkesan lebih cenderung menawarkan fantasi daripada imaji.

Tengok saja puisi karya Nirwan Dewanto yang berjudul ”Main Catur”:

Terkadang biji-biji catur ini mengembar jauh sekali
Itulah cara mereka menghentikan pikiran waras kami
Terkadang tubuh mereka berkerut bagai pohonan
Berayun-ayun dalam lagu panjang ketegangan
Dan jika mereka melenyapkan diri
Jutaan warna akan membakar papan main ini

Apakah sang patung mengenal rasa takut?
Seperti di masa kanak, aku memimpikan
Raja-raja terbang ke langit malam hari
Kuda-kuda mereka menghilang di dataran bulan
Dan ketika bintang-bintang itu terbakar
Aku pun memasuki daerah terlarang itu:
Para serdadu membuang senjata dan menari di depanku
Kemudian lenyap ke dalam gumpaan cahaya
Itulah saat kaudapatkan diriku tanpa perlindungan:
Lihatlah, tubuhku teramat murni itu
Perlahan-lahan berubah menjadi patung.
….

Dari sepenggal kutipan puisi karya Nirwan Dewanto tersebut dapatlah dilihat, bahwa puisi karya Nirwan Dewanto tersebut lebih bersifat naratif. Dan ia dengan sadar justru ingin memperlihatkan fantasi-fantasi apa sajakah yang muncul, daripada berusaha untuk ”menembak” imaji-imaji apakah yang meruak dari sebuah permainan catur tersebut. Hal yang sama juga dapat dilihat pada puisi-puisi karya Nirwan Dewanto lainnya, semisal: ”Masa Kanak-kanakku Mengambang di Laut”, ”Lautan di Bulan”, atau ”Kereta Api Malam”.
Seperti juga pada puisinya yang berjudul ”Ode untuk Pintu Rumahku”. Pada puisinya tersebut, sebenarnya, Nirwan Dewanto—sebagai penciptanya—hanya ingin menceritakan bagaimana si aku-lirik ketika menghadapi pintu rumahnya. Berbagai perasaan, ingatan, atau bahkan dendam muncul dan bermunculan terus-menerus, seakan-akan tak pernah ada habisnya. Hal ini mengakibatkan munculnya kesan, bahwa setiap larik puisi karya Nirwan Dewanto tersebut hanya berupa lanturan-lanturan dari apa yang diingat, dirasakannya. Bahkan lanturan-lanturan tersebut acap kali terkesan berlontaran jauh ke luar dunia, meskipun sebelah kakinya masih menginjak bumi.
Bagi pembacanya, hal ini menimbulkan banyaknya fantasi yang ingin dihadirkan dan mengajak pikiran para pebacanya untuk secara terus-menerus mengikuti ke mana kiranya fantasi tersebut akan terus berterbangan tentunya. Dan justru bukannya berusaha untuk mengajak atau memperlihatkan pada para pembacanya gambaran-gambaran imaji apa sajakah yang sekiranya dapat muncul dan hadir dari apa yang ia sebuah ”Pintu Rumahku”.
Hal ini secara jelas, terang, begitu gemilang dan jernih mengingatkan pada karya-karya dari para penulis semacam Mario Vargas Llosa, Gabriel Garcia Marquez, Sandra Ciceros, Gao Xin Jiang ataupun Milan Kundera. Di mana pada karya-karya mereka fantasi benar-benar berusaha untuk ditampilkan secara optimal pada setiap karya yang mereka ciptakan. Dengan metoda penciptaan yang didasarkan pada lamunan, dan menggunakan teknik penulisan yang mengedepankan lanturan-lanturan sebagai jalinan ceritanya. Sebagaimana juga pada karya-karya prosa Ben Okri—salah seorang penulis besar Nigeria.
Tengok saja karya-karya prosa Ben Okri, semisal cerpennya yang berjudul ”Doa dari yang Hidup”, pada bagian di mana tokoh ”aku” sedang melakukan pencarian akan jasad saudara laki-lakinya yang diperkirakan sudah mati di suatu tempat:

Aku terus mencari, aku mendapati sebuah wajah yang tidak akrab; dia saudara laki-lakiku. Aku mengangguk. Aku menebar pasir di tubuhnya. Beberapa jam kemudian, di dekat sumur kering, aku mendapatkan anggota keluargaku yang lain. Ibuku menggenggam erat-erat tulang yang begitu kering, yang lalat pun tak lagi mau makan. Aku menebarkan pasir di tubuh-tubuh mereka. Aku terus mencari. Ada satu wajah lagi yang ketidakakrabanna yang jelita akan mampu menghiburku. Pada saat aku menemukan wajah itu, aku siap menyerahkan diriku pada nyanyian-nyanyian gunung itu.
Matahari mendekat tenggelam ketika, dari gedung sekolah yang belum selesai, aku mendengar nyanyian. Itu adalah suara paling gaib yang pernah kudengar dan kupikir hanya mereka yang tahu menghayati manisnya kehidupan bisa menyanyi seperti itu, bisa menyanyi seolah setiap tarikan nafas adalah doa.
Nyanyian itu seperti awal yang penuh kegembiraan dari segala ciptaan, anggukan suci terhadap nafas dan cahaya yang menyusup ke segala, yang mebuat air berkilau, tumbuhan bertunas, hewan-hewan berlompatan dan bermain di ladang-ladang, dan yang membuat laki-laki dan perempuan menantikan cahaya pertama warna-warna, hijaunya tumbuhan, birunya laut, kencananya udara, peraknya bintang-bintang. Itu adalah akhir yang sesungguhnya dari pencarianku, musik untuk memahkotai kehidupanku yang penuh pengkhianatan, akhir yang tak pernah kuharapkan, atau kubayangkan.

Dari sepenggal kutipan di atas dapatlah dilihat bagaimana cerita pencarian yang dilakukan oleh si tokoh ”aku” tersebut, oleh Ben Okri”, secara sadar diceritakan dengan teknik melantur-lantur menyerupai apa yang dialami oleh seseorang yang sedang melamun. Ia tidaklah menceritakan secara seksama perihal pencarian yang dilakukan oleh si tokoh ”aku” terhadap saudara laki-lakinya. Melainkan malah berusaha menceritakan atau bercerita mengenai pikiran-pikiran apa sajakah yang muncul ketika si tokoh ”aku” melakukan pencarian tersebut. Hal ini jelas-jelas mirip atau menyerupai apa yang dialami oleh seseorang yang sedang melamun.
Pada seseorang yang sedang melamun, acap kali pikiran seseorang tersebut berusaha untuk mengembara sejauh yang diinginkan dan kerap kali bahkan tidak terkontrol jauhnya, meskipun masih berada pada koridornya. Hal ini mengakibatkan banyaknya bermunculan berbagai khayalan dan fantasi yang berasal dari alam bawah sadarnya. Akan tetapi, di sisi lain fantasi-fantasi tersebut tidak saja hadir secara utuh, melainkan ikut pula dicampuri oleh ingatan-ingatan dan kenangan-kenangan yang berasal dari kesadaran.
Ini jelas-jelas menyerupai pula apa yang dialami oleh seseorang yang sedang berada dalam sakratul maut. Konon, merujuk pada sebuah dialog dari film Daredevil yang baru beberapa bulan yang lalu diputar di bioskop-bioskop di negri ini, bahwa seseorang yang sedang mengalami sakratul maut ia akan mengalami pengingatan dan pengenangan dan pembayangan, atau mungkin lebih tepatnya pemfantasian, akan hal-hal yang pernah dilakukannya, juga akan hal-hal yang belum pernah dilakukannya akan tetapi begitu putus asa diinginkannya.
Oleh Ben Okri metoda penulisan seperti ini tidaklah diterapkannya hanya pada cerpennya yang berjudul ”Doa dari yang Hidup” saja, melainkan juga pada karya-karyanya yang lainnya, semisal pada cerpennya yang berjudul ”Kota yang Ditinggalkan”. Atau pada novelnya yang berjudul ”Famished Road”. Bahkan pada novelnya yang berjudul ”Infinite Riches” metoda penulisan semacam itu juga diperlihatkannya secara intens. Seperti pada bagian di mana ketika si tokoh ”anak” menanyakan mengapa ayahnya hanya melamun saja, sementara si tokoh ”ayah” menjawabnya dengan bercerita tentang seekor macan tutul yang ditemuinya ketika ia mengubur jasad seorang tukang kayu yang dibunuhnya di sebuah hutan. Ini jelas-jelas merupakan lanturan.
Jalan yang sama pun rupa-rupanya juga dipilih oleh Imam Muhtarom dalam menuliskan cerpen-cerpennya semisal ”Pelancongan”, ”Tanah Harapan”, ”Rumah Kaca”, ”Gerbong Maut”, ataupun ”Rumah yang Tampak Biru oleh Cahaya Bulan”. Bahkan pada cerpennya yang berjudul ”Kami Menemukan Diri Kami…” lanturan-lanturan yang muncul dalam teknik penceritaan terkesan begitu ekstrem. Seperti pada bagian di mana ketika tokoh ”anak” menanyakan pada ibu mereka perihal dada yang menonjol dari salah satu saudari perempuan mereka.
Sementara si tokoh ”ibu” lebih memilih menjawab pertanyaan tersebut dengan bercerita yang melantur jauh dari hal yang ditanyakan kepadanya. Si tokoh ”ibu” tersebut bahkan lebih lebih memilih untuk bercerita mengenai seseorang yang naik ke bulan, sampai tentang keberadaan kupu-kupu. Ini jelas-jelas gaya pembicaraan yang melantur. Apa yang dilakukan oleh si tokoh ”ibu” mirip apabila seseorang yang sedang melamun tiba-tiba diajak bicara atau bercakap oleh seseorang lainnya.
Mencermati hal tersebut, bisa jadi, ada babakan lain dari sebuah teknik penciptaan sastra dari telah banyak dikenali saat ini. Bahwa penciptaan sastra bukan saja tercipta dari permenungan, akan tetapi bisa juga menggunakan teknik lamunan.

***

Penulis adalah penyair, esais, Redaktur Jurnal Sastra ANARKI. Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya. Staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.




Copyright © Sinar Harapan 2003

How low will we go? Check out Yahoo! Messenger’s low PC-to-Phone call rates.

All-new Yahoo! Mail - Fire up a more powerful email and get things done faster. >>>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!