Family value

oleh Samuel Mulia


Setelah lama absen di gedung bioskop, akhir pekan minggu lalu saya menyaksikan beberapa film.

Dari empat film, hanya dua saja yang berkesan: We Own the Night dan Georgia Rule. Setelah empat jam di gedung bioskop, saya teringat pada peristiwa berpuluh tahun lamanya saat untuk pertama kali menyaksikan film biru ditemani ayah.

Ayah menjelaskan ini dan itu karena ia berpikir, daripada anaknya tersesat di luar rumah, lebih baik ia memberi tindakan preventif dari dalam rumah. Saya menceritakan kepada teman-teman kejadian itu, mereka mengatakan ayah saya gila.

”We Own the Night”

Family value. Nilai yang ada dan berbeda-beda di setiap rumah tangga. Itulah yang saya dapat dari dua film di atas. Nilai yang dibuat dan yang pada akhirnya memengaruhi setiap anggota keluarga tentang bagaimana memandang hidup.

We Own the Night mengisahkan hubungan kakak beradik dan ayahnya yang keras, mirip ayah saya. Yang satu jadi anak ”malaikat”, yang lain jadi anak ”setan”. Mengapa ada dua sosok berbeda dari dapur yang sama? Ayahnya yang keras dan dimainkan apik oleh Robert Duvall mengatakan kepada si anak ”setan”, ”Ibumu terlalu lemah kepadamu.”

Sementara itu, si anak ”malaikat” malah memuji perilaku si anak ”setan” akan keberanian dan kebebasan untuk memilih jalan hidup, bukan seperti dirinya yang menjadi anak ”malaikat” hanya sekadar menuruti keinginan sang ayah. Tentu sang ayah senang dan bangga karenanya. Sementara yang tak menurut dianggap anak durhaka. Jadi, nurut adalah nilai agung yang tak terbantahkan! Mau itu berisiko menjadi muna, itu tak penting lagi.

Perbedaan nilai itu juga yang membuat ayah saya menjerit di butik Louis Vuitton beberapa belas tahun silam di Los Angeles saat pertama kali saya meminta kepadanya untuk membelikan tas bermerek yang mahal itu. Ia menganggap barang semacam ini tak ada nilainya. ”Cuma untuk gaya-gayaan,” kata dia.

Tentu, masa itu saya hanya tahu barang semacam ini hanya untuk gaya-gayaan dan tak pernah terbayangkan sekarang nilai tas-tas bermerek itu melambung tinggi. Wah..., kalau saja ayah saya masih hidup, saya akan bagikan uang dari hasil penjualan tas bermerek itu agar ia tahu yang dahulu dianggapnya tak bernilai itu keliru sama sekali.

Dan, datanglah masanya ia meninggal dunia. Saya, sebagai si anak ”setan” dalam keluarga, terpaksa harus menjalankan usaha dia, bukan adik saya yang pandai dalam hitung-menghitung. Sekarang, ia malah bekerja di salah satu bank di luar negeri, mengurus usaha orang lain, dan mungkin ia merasa tak penting mengurus usaha ayahnya. Anak ”setan”-kah adik saya dan anak ”malaikat”-kah saya?

Mungkin saya salah mengartikan nilai menghormati orangtua. Saya menyamakannya dengan harus meneruskan usaha Ayah. Sementara adik saya memiliki kebebasan memilih. Ia menghormati orangtua dengan nilai berbeda, yang membuat saya naik pitam. Mungkin, saya saja yang tak punya nyali, seperti Mark Wahlberg yang berperan sebagai anak ”malaikat” yang terpaksa.

”Georgia Rule”

Kebebasan yang diambil adik saya itu juga diperlihatkan Lindsay Lohan dalam film Georgia Rule. Kebebasan yang telah membuat teman saya yang nonton bersama mengatakan, ”Kalau saja aku punya keberanian memiliki kebebasan itu, tanpa harus terikat dengan nilai-nilai kita yang kadang baik, tetapi banyak muna-nya, saya bisa jadi manusia berbahagia.”

Saya terdiam. Sebagai orang Asia, eh... salah... sebagai manusia Indonesia, oh... maaf, salah lagi. Sebagai saya sendiri, saya berpikir usaha orangtua itu seharusnya diteruskan anaknya. Itu nilai hidup yang baik.

Saya naik pitam kepada adik saya karena ia seperti tak peduli. Selang beberapa menit, saya mulai berpikir. Mungkin saya salah, adik saya benar. Itu bukan tanggung jawabnya untuk meneruskan warisan Ayah. Itu juga bukan urusan saya untuk meneruskan itu.

Mungkin ayah saya saja yang kurang kerjaan membuat usaha. Mungkin nilai yang dimiliki Ayah dan yang dipercayainya adalah orangtua harus menjadi penyedia kebutuhan masa depan anak- anaknya sehingga dia berusaha supaya anaknya tak menderita. Sementara teman bule saya di Amsterdam dalam usia 15 tahun sudah bekerja paruh waktu. Jadi, dari kecil, ia dicekoki nilai bahwa masa depan ada di tangan setiap orang, bukan orangtua. Orangtua tak selalu menjadi a shoulder to cry on.

Dalam film Georgia Rule digambarkan nilai dalam keluarga yang membuat saya terkaget-kaget. Bagaimana ada anak dengan lantang mengatakan kepada ibunya untuk tidak lagi mengganggu hidupnya. Mengenyahkan si emak dari hidupnya.

Teriakan yang menurut saya kurang ajar sekali itu dijadikan opening scene. Saya merasa itu kurang ajar, teman saya bilang, Dik Lohan hanya mau berlaku jujur bahwa ibunya memang menyebalkan.

”Gimana enggak mau sebal pada ibu yang mabora (mabuk) setiap saat,” kata teman saya.

Setelah itu, diperdengarkan percakapan antara nenek dan cucu yang berakhir dengan umpatan kata kotor dari mulut si nenek untuk cucunya. Sementara nilai dalam keluarga saya, entah itu karena kami orang Asia, orang Indonesia, orang yang pernah terjajah, tak mungkin berkata kotor kepada orangtua. Itu tidak santun.

Permasalahan seks juga diungkap blak-blakan. Bukan secara fisik, tetapi secara percakapan. Buat seorang pria tampan yang cah ndeso dari Idaho, seks adalah sesuatu yang sakral, yang hanya bisa dilakukan setelah menikah. Nilai agung yang dipercayai si pria itu malah jadi bahan tertawaan untuk Lindsay Lohan.

Tertawanya itu seperti menggambarkan, jika seseorang mampu mempertahankan keperjakaannya, itu bukan prestasi, tetapi banyolan. Hal yang ketinggalan zaman.

Kemudian saya berkaca sebagai manusia Indonesia, manusia Asia, apakah saya memiliki nilai si pria cah ndeso itu atau seperti Dik Lohan. Saya seperti Dik Lohan ternyata.

Kata teman saya, ”Lo sok kebule-bulean.”

Suatu hari saya bilang berselingkuh itu salah, teman saya bilang itu sama sekali jauh dari salah. Tuh... daripada terus seperti itu, mending tidur, bukan? Secara hujan di luar, dingin, dan saya tak mau mumet karena bicara soal nilai.

Kilas parodi: Begini Saya Menilai...

1. Waktu Ayah meninggal, beliau disemayamkan di sebuah rumah sakit di Jakarta. Salah satu dari kerabat kami menyarankan saya untuk menjaga jenazah Ayah semalam suntuk. Katanya, sebagai anak laki pertama, itu tak jamak kalau tak dilakukan. Itu sebuah penghormatan.

Setelah mendapat petuah itu, saya datang ke depan peti jenazah dan mengatakan kepada Ayah yang terbaring tanpa bisa mendengar, saya tak mau menemaninya. Saya mengantuk mau pulang dan tidur nyenyak, besok pagi saya kembali lagi.

Buat saya, menjaga semalam suntuk bukan penghormatan. Penghormatan itu saat ia masih hidup. Saya tak mau membayar ketidakhormatan saya selama ia hidup pada saat dia tak lagi bernyawa.

2. Ayah saya menikah dua kali, setelah Ibu meninggal. Saya selalu saja kaget setiap kali ia menikah. Awalnya saya protes, kemudian saya mengerti dia membutuhkan teman. Tidak hanya untuk kebutuhan lahir, tetapi batin juga. Ia tak tahan kesepian.

Saya menghormati keputusannya itu. Penghormatan terhadap orangtua adalah family value yang saya dapati. Meski buat saya kesepian itu sebuah nilai yang tak perlu harus dieksekusi dengan menikah beberapa kali. Yah.., namanya manusia tak pernah sama, bukan?

3. Saya baru selesai makan siang bersama teman lama. Kami berbicara soal perselingkuhan. Sebuah tema pembicaraan yang menurut salah satu pembaca Parodi bosan banget untuk ditulis lagi. Akan tetapi, perselingkuhan itu seperti air, selalu ada dan dicari.

Saya memiliki nilai terhadap hubungan itu, setia sampai mati. Jadi, untuk hal ini tak ada tawar-menawar meski perselingkuhan sekarang tampaknya seperti hal biasa saja. Nilai-nilai sebuah hubungan sudah begitu bergeser. Dan, itu tak hanya terjadi pada generasi yang lebih muda karena dua teman saya yang ayah dan ibunya sudah berusia lebih dari 55 tahun doyannya yaaa... gitu deh.

4. Sebagai seorang teman, value sebuah pertemanan adalah bukan mencari keuntungan meski dengan berteman banyak saya mendapat banyak keuntungan. Bingung? Saya sendiri juga bingung. Kadang saya juga tak tahu apa yang sedang saya tulis.

5. Ini pesan saya. Mau dituruti tak masalah, tak mau juga tak apa-apa. Kalau Anda tahu tindakan Anda tak punya nilai apa pun, jangan pernah mencoba-coba mencari celah untuk memberi value sehingga tindakan itu kelihatan penuh arti demi hanya untuk menyenangkan ego Anda.

http://community.kompas.com/urbanlife


-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!