Netconomy dan Nikitamirzaniisme

Meski bukan ahli ekonomilogi apalagi seksologi atau entertainomi, saat ini saya sedang tergelitik untuk membahas dua isu yang dijadikan judul di atas tersebut. Seperti juga--meski bertahun-tahun disiplin ilmu mencekoki dengan doktrin kerapihan berbahasa yang terstruktur dan taat asas--saya gemar banget memulai berkata-kata dengan hal-hal yang tak lumrah seperti menulis artikel dengan diawali kata sambung [meki] bahkan tanpa penggunaan [pun] meskipun ia menjadi awalan sebuah klausa dari sebuah kalimat atas sebuah artikel. Berpanjang-panjang pula seperti begini-begini mungkin berkesan bertele-tele dan mencemaskan pembaca praktis, namun saya tipe pembosan pada tulisan yang kering gaya bahasa, terlalu formalitas, bahkan seperti membaca susunan angka-angka. Kadang saya ndak habis pikir; jika anda memang kurang suka/mampu membuat tulisan populer, kenapa tidak tulisan ilmiah tersebut dipublikasikan pada sebuah jurnal saja. Alangkah eloknya jika petunjuk teknis yang memaparkan ide praktis dan kongkret anda tersebut dikemas apik sedikit menjadi semacam narasi tekstual yang bermanfaat dan indah juga. Bahkan kalau perlu cuma indah saja, seperti orgasme intelektual kita saat membaca gado-gado referensi yang diracik kedalam susunan kata-kata indah oleh Goenawan Mohammad dalam capingnya yang kadang kita tidak mengerti inti dan maksud tulisan itu sebenarnya apa?

Beberapa waktu lalu kita seolah-olah dikejutkan lagi dengan berita sensasional ditangkapnya artis seksi Nikita Mirzani oleh pihak kepolisian dalam kasus prostitusi kelas atas. Sampai-sampai aktivis feminis berteriak protes atas persepsi penyudutan media massa atas kelakuan pihak perempuan yang melacurkan dirinya. Bagi feminis harusnya yang salah selalu laki-laki sebagai pihak pengguna "jasa". Mungkin juga laki-laki bosnya media massa yang mengeruk keuntungan berita komersil dari penistaan perempuan yang "bekerja keras" menjual dirinya. Dalam kasus pelacuran--bahkan kelas ataspun--pihak wanita adalah korban dan seolah makhluk lemah tidak berdosa. Kalaupun berdosa tetap itu tidak lebih besar dari pihak laki-laki penggunanya yang sudah keluar modal besar bahkan untuk membayarnya. Terlebih ini menjadi narasi olok-olok atas kelakuan primitif perempuan yang harus menjual diri untuk berbagai kebutuhannya. Kadang saya tertarik untuk ingin tahu kenapa kalau yang kena kasus selebritas, para aktivis gender ini mereka heboh teriaknya. Berbeda dengan saat yang kena pelacur kelas bawah seperti adik Tata Chubby beberapa waktu silam. Apa mungkin mereka dibayar juga? Wallahualam, kalau sudah soal kebutuhan ekonomi ini memang sulit untuk menyalahkan siapa-siapa. Halal-haram sekarang hanya istilah politis tergantung pihak/kelompok yang punya kepentingan untuk memberi nilai atasnya. Istilahnya tidak ada uang halal-haram, yang ada hanyalah uang. Kalau sudah punya uang kalau perlu Tuhan sekalian disogok nanti lewat derma "money laundry" kemana-mana.

Korsleting nilai antara moral/agama masyarakat timur seperti kita yang memandang haram pelacuran di satu sisi dengan pengaguman aktivitas ekonomi di sisi lain menarik juga untuk dikorek-korek pembahasan lengkapnya. Beberapa waktu silam juga, menteri kelautan Susi Pujiastuti yang seorang pengusahawati ini berani meneriakkan fatwanya kepada kaum perempuan supaya jangan mau dibeli. Ini kemudian dikaitkan dengan budaya mahar dalam pernikahan anak manusia dimana seolah-olah untuk dapat menikmati seks setiap pengantin lelaki harus menyediakan sejumlah uang tertentu. Ini kemudian menimbulkan kesan bahwa pernikahan agamis/adatis secara substansi ndak ada bedanya dengan perzinahan komersil. Transaksional juga. Cuma beda legalitas bahwa secara politik yang satu diperbolehkan oleh negara dan memperoleh sertifikat tertulis.Juga beda fleksibilitas tarif dan durasi karena pernikahan untuk jangka waktu lebih lama. Salah satu cara ngeles untuk membantah logika kesamaan ini adalah bahwa syarat uang dalam pernikahan tersebut bukanlah tarif melainkan tanggung jawab laki-laki pada perempuan yang dinikmatinya. Loh, tarif pelacur kan juga semacam tanggung jawab pula.

Tapi dalam tulisan ini saya tidak sedang dalam kapasitas membuat nilai salah-benar yang absurd dan politis itu. Saya hanya mencoba mendeskripsikan realita saja. Toh dalam sebuah peristiwa ekonomi setiap manusia pasti akan menggunakan apa saja potensi pada dirinya yang bisa dijual. Orang tentunya mau membayar karena ada kenikmatan yang ingin dibelinya. Mulai dari hal mendasar seperti makanan-minuman hingga yang sifatnya kebutuhan luxorious seperti mobil bermerk, tas branded, hingga jabatan/kursi terhormat. Kebetulan juga seks adalah kebutuhan dasar biologis manusia pula. Kenapa tidak perempuan memanfaatkannya untuk meraih penghasilan nilai tambah ekonomi. Tentunya berlaku logika makin cantik dan seksi makin mahal pula harganya. Tidakkah ini juga berlaku pada logika pernikahan?

Sekali lagi saya menghindar dari masuk ke judgement salah-benar meski terlalu banyak bertanya secara retorika. Saya hanya ingin meluruskan kembali logika-logika dasar dalam memahami persoalan yang sudah terlalu banyak dikaburkan oleh norma-norma ekstensi hasil kesepakatan/kejadian politis dalam sejarah peradaban manusia. Karena zaman terus berguling ke masa depan dan satu-satunya yang tidak akan berubah adalah terjadinya perubahan itu. Norma-norma yang menghipnotis kita di masa kini akan selalu mengontraksikan dirinya sesuai kenyataan baru zaman-zaman berikutnya dalam pergeseran nilai-nilai eksponensial pengukurnya. Salah satu isunya adalah masuknya kita ke zaman internet. Isu yang saya maksud disini bukan fitnah ya meski fitnah juga tidak satu pula arti tetapnya. Arti kata nggak stabil juga digerus konteks dan medan makna. Kali ini saya ingin mengaitkan Nikitamirzaniisme ini--yang mencoba membongkar kenyataan bahwa motif syahwatlah dasar bagi aktifitas ekonomi manusia--dengan perkembangan internet dewasa ini. Pada kasus adik Tata Chubby yang sempat saya senggol sedikit pada pembicaraan di atas, orang semakin ngeh tentang bagaimana para pelacur online jadi fenomena tersendiri saat ini. Mereka bisa menjual diri tanpa harus lagi membayar fee mucikari dan sekuriti; "dirrect selling" pada pelangannya.

Pada kasus diciduknya adik Nikita Mirzani--di bawah 30 tahun juga sepertinya--memang transaksinya masih konvensional. Pelanggan harus menemukan kontak dulu dengan germonya pada klub-klub papan atas baru kemudian me-reload "down payment" untuk kencan di lokasi hotel kelas atas banget juga. Dari informasi media massa dan simpang siur berita serta permainan pihak-pihak besar yang terlibat di dalamnya--bahkan badan intelijen negara pun disebut-sebut berperan juga sebagai pencipta isu--kita bisa menonton bantahan adik Nikita yang beralibi sewaktu ditangkap polisi bersama target lainnya yang seorang juara putri indonesia tersebut ia sedang dalam urusan bisnis dengan mas Ahmad Dhani, seorang musisi tersohor juga. Meski ini transaksi perzinahan konvensional--dengan kemungkinan ia berbohong tentang maksud "bisnis" disini--tak pelak lagi kita juga bisa menemukan logika-logika berkaitan ekonomi zaman internet dari peristiwa ini. Sebelum kisah ini akhirnya dibuat cerita indah yang dirangkai untuk kepentingan pihak terkuat, alangkah bermanfaatnya kita menganalisis logika dari serpihan-serpihan peristiwanya yang apa adanya terbuka. Sekali lagi, sebelum maksud cerita dikunci tafsirnya oleh pihak berkepentingan yang menitahkan hal-hal lain menjadi tidak relevan. Melambungnya "harga" seorang Nikita tentu tak lepas dari publikasi massif tentang "keindahannya" atau "nilai lebih manfaatnya" dari "display" oleh media elektronik dan internet. Terlihat masuk akal bukan bagaimana teknologi baru zaman ini tersebut punya peran strategis dalam menciptakan nilai keekonomian sebuah "komoditas"?

Saya betul-betul menyadari bahwa berbicara blak-blakan seperti ini mungkin akan menyakiti pemahaman mapan komunikasi palsu tapi sopan antar umat manusia. Jangankan anu, seorang dalai lama saja baru-baru ini dikritik karena makna pernyataannya yang vulgar mengakui nilai seorang wanita tak lebih dari kecantikannya (untuk dinikmati lelaki). Ini seorang Budha lho yang relatif dianggap belum terlalu diracuni virus komersil-kapitalis seperti agama-agama politis lainnya. Kalau yang ngomong semacam begini bosnya majalah playboy dengan istri muda betul-betul muda pewaris kekayaannya mungkin orang akan maklum-maklum saja. Di Indonesia sendiri saya pernah mendengar bahwa mas Ahmad Dhani yang disinggung di atas sedikit tadi juga menyebut bahwa perempuan itu yang dibutuhkan cantiknya bukan cerdasnya. Memperlakukan wanita sebagai komoditas begini tentu saja saya tidak setuju tapi ya begitulah realitanya. Saya dan dalai lama mungkin juga ndak tahan terus-terusan berbohong demi kebutuhan bahasa diplomatif meski di satu sisi bahasa basa-basi itu mutlak diperlukan juga agar tidak terjadi perang dunia.

Kembali lagi ke ekonomi zaman internet, selain website pornografi dan prostitusi sebagai embrionya, transaksi ekonomi mulai bisa jadi tren juga kepada entitas komoditi lain perlahan-lahan. Beraneka barang kebutuhan (syahwat) manusia selain seks kini banyak bisa ditemukan pedagangnya di dunia maya. Kalau beberapa tahun yang lalu masih didominasi para penipu, sekarang mulai eksis perusahaan-perusahaan yang jelas bisnisnya di dunia nyata dan bahkan salah satunya punya direksi yang mantan petinggi bumn di Indonesia. Realita terbaru ini menuntut aturan bisnis di dunia nyata harusnya juga mulai menancap di dunia maya. Katakanlah sekarang pasar ultra modern sudah semakin ramai, maka untuk mengendalikan kegaduhan massa yang makin sesak ini tentu perlu hadirnya ranah hukum juga. Sebab dimana ada kerumunan orang disanalah potensi kejahatan hadir. Bukan bermaksud suudzon namun seperti kata Profesor Mahfud MD: hukum itu hadir karena manusia dicurigai akan berbuat jahat. Sudah waktunya polisi cyber dikerahkan untuk melakukan patroli digital yang tentunya sebagai kelembagaan resmi negara mesti didasarkan kepada aturan hukum atau perundang-undangan sebagaimana perangkat ini dilembagakan untuk menghadapi kejahatan di dunia nyata. Sekarang ini kita baru menyaksikan tindakan bersifat sporadis oleh institusi kepolisian di dunia maya. Bahkan seperti pada kasus pidana "hate speech", jadi terkesan tindakannya pilih-pilih untuk menangkap pihak yang terkait kepentingan elit politik saja sementara kenyataannya dunia maya adalah panggung besar untuk drama hina menghina karena setiap personnya secara fisik tidak perlu bertatap muka. Sudah saatnya unit cyber kepolisian diperkuat. Bahkan syarat orang kekar cukuplah untuk polisi yang akan melakukan tindakan fisik di dunia nyata. Seorang cowok melow sekalipun tidak ada salahnya direkrut sepanjang ia bisa menjalankan tugas patroli dunia maya ini. Bahkan kalau perlu saya berimajinasi bahwa penjara tidak perlu dibangun. Ketika seseorang melakukan kejahatan ekonomi di dunia maya dan ketahuan, cukuplah ia ditandai untuk diblokir keluar dari rumahnya. Ditangkap secara fisik jika ia melanggar hukuman ini. Sebab bisa jadi di masa depan orang lebih banyak beraktifitas di depan komputer/gadgetnya saja. Kalau perlu pada pintu rumah semua orang dipasangai terali siap kunci yang otomatis menancap-menutup saat si pemilik rumah/apartement divonis melanggar hukum di dunia maya.

Kembali lagi ke dunia nyata setelah barusan saya terlalu jauh mengkhayal sedikit ke masa depan, realitanya juga aktifitas ekonomi saat inipun memang sudah banyak berpindah ke dunia maya atau internet ini. Hanya pengiriman barangnya saja yang belum bisa digital; masih harus manual diantarkan secara fisik/off line oleh sesosok kurir. Tapi ada juga barang-barang yang sepenuhnya proses transaksi berlangsung online seperti aneka voucher atau nomor lotere atau buku digital, video porno, dan sejenisnya. Sistem pembayaran non-tunai pun kini makin digalakkan oleh bank-bank dunia nyata yang meminimkan penukaran fisik uang cetak dari isi saldo pada akun seorang nasabah. Bahkan sistem keuangan bitcoin pun seolah akan meruntuhkan sistem uang kertas/surat utang dan sistem cadangan emas jaringan perbankkan dunia ini dalam beberapa dekade ke depan. Meski ada juga film yang kelewatan berkhayalnya dengan meramal internet pun bisa untuk upload pikiran dan jiwa seorang manusia. Kenyataannya memang sekarang kalau mau makan di restoran padang bukan saja anda tidak lagi harus ke kota padang seperti dinyanyikan adik Chikita Meidy, anda bahkan juga tidak harus ke luar rumah asal bumbu-bumbunya tersedia tinggal googling resep di internet mau masak rendang, ayam balado, atau apa. Makin ramainya pasar bagi transaksi ataupun sekedar aktifitas elektronik networking digital ini menuntut tata norma dan lembaga dalam hubungan fisik manusia di dunia nyata harus diadaptasi pula pada sosiologi dunia maya. Seperti sudah dibahas panjang lebar sebelumnya, dimana ada aktifitas ekonomi disitu hadir motif syahwat yang berpotensi mewujud pada aneka format kejahatan. Untuk itulah perangkat hukum diperlukan untuk memberi nilai salah-benar untuk berbagai aktifitas manusiawi yang akan makin meraja-lela dilakukan di dunia maya ini dan mereka perlu penguatan untuk pelaksanaanya dari sekedar gelar pasukan fisik gaptek di dunia nyata. Karena kejahatan itu terjadi dari aktifitas antar manusia dan manusia pulalah yang harus berfikir bagaimana mengatasinya ketika fenomena menunjukkan wadah interaksi manusia ini bertambah medan tempurnya ke dunia internet. Sekali lagi kejahatan itu melekat pada kemanusiawiaan, utamanya aktifitas bisnis dimana mereka saling berkompetisi mencari nilai tambah untuk mengeruk keuntungan dari sesamanya dan dengan pintar-pintaran mengakali aturan main yang ada. Bukan ketika seekor harimuau mencabik-cabik mangsanya, ini natural namanya dan sudah pasti polanya. Kejahatan dalam aktifitas ekonomi harus terus berinovasi, berpacu dengan kemajuan perangkat hukum untuk menangkalnya. Okay, salam syahwat manusiawi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!