Resolusi/Konflik Rebutan Periuk Nasi Antar Out-Group

Sekitar se-dasawarsa lalu nan silam--sewaktu Mas Rangga "si monyet" AADC (Ada Anumu Dibalik Cintaku) mungkin sudah selesai kuliah arsitekturnya di New York dan supaya tidak terlalu terlihat menganggur bikin cafe kecil-kecilan (walau nombok) yang baru kemaren2 akhirnya dikunjungi adik kandungnya untuk akhirnya mempertemuinnya kembali kepada Mbak Cintanya di Yogyakarta dalam sekuel AADC 2 besutan Miles Production yang naasnya kurang heboh itu--di rubrik seni-budaya "khazanah" koran Pikiran Rakyat Bandung-Jabar, selama berminggu-minggu terjadi sebuah konflik langka (jalang2 mengemuka).

Kegaduhan ini berawal dari sebuah diskusi seni yang diadakah jajaran seniman-akademisi seni rupa ITB Bandung (mohon tidak disalah2kan sebagaimana penulisan Bank BCA, BNI, BRI, BII, BTN, BTDEH, dstnya itu). Seorang narasumber yang berkebetulan asal Batak hengkang secara mendadak di tengah-tengah acara gara-gara pembicara lainnya, seorang profesor seni dari etnis Sunda, terus nyerocos full dalam bahasa daerahnya pada forum harusnya beranah nasional tersebut. Kebetulan pula Si Ucok tersebutkan tadi kurang pandai berbahasa Sunda meski sudah bertahun-tahun menjadi jajaran kritikus seni papan atas di tanah pasundan sana. Untuk beberapa minggu ke depannya setelah kejadian itu seingat saya "khazanah"-nya koran nomor satu di Jawa Barat ini memuat artikel yang saling sahut menyahut dari para pakar dalam meninjau "kasus" yang satu itu. Bahkan saya ingat betul betapa salah satu penulis produktif di koran tersebut, Pak Usep Romli namanya (mudah2an tidak salah eja), sampai-sampai kesannya membuatkan ini menjadi masalah etnis dan agama. Berkebetulan beliau memang pakar dalam bidang budaya dan agama di Jawa Barat; dan kita umum ketahui etnis lain tersebut dominan beda agama dengan mayoritasnya etnis yang "tidak lain"-nya ini hehe. Tentu ada usaha dari eksponen lain untuk menutup-nutupi ini agar konflik tidak makin menganga; terlebih mereka hidup di dunia kesenimanan yang sudah selayaknya lebih punya vitalitas keuniversalan.

Sebetulnya masalah ini walau berusaha dipendam demi perdamaian dan lancarnya ekonomi, tetapi ia tidaklah terselesaikan dan tetap melaten. Terlepas dari soal2 personal antara Ucok dengan profesor seni tersebut di dalam dinding kantor mereka (Yusuf kalau tidak salah nama bapak itu, guru besar di Fakultas Seni Rupa ITB), masalah politik kantor ini kita semua sudah maklum sama maklum adanya. Cuma ia akan jadi bahaya besar ketika sebuah kompetisi, atau katakanlah persaingan "hewani" antar individu atau grup-grup kecil ini, dibawa meluas ke komunitas in-group masing2 yang lebih besar, seperti etnis kesukuan hingga agama (SARA). Dalam konteks migrasi aktor2 ekonomi antar daerah, kita bisa memahami bahwa kesuksesan hidup secara materiil yang diraih para perantau sangat berpotensi memantik kebencian dari pribumi asli yang mungkin merasa banyak yang hidup susah di kalangan mereka.

Dan ini bisa terjadi dimana-mana, bukan hanya Jawa Barat saja. Di Ketapang kalau ndak salah, di Kalimantan dulu suku Dayak dan Madura saling bunuh karenanya. Perang agama seperti di Ambon dan Poso juga pasti menyinggung faktor ekonomi dan etnis juga karena sudah habitatnya manusia untuk iri hati melihat orang yang lebih sukses (duniawi/harta benda) dibanding dirinya. Kesadaran-kesadaran ini mungkin terpendam secara person per person untuk sekian lama lalu ketika bertemu trigger-nya akan jadi kemarahan kolektif yang luar biasa amuknya. Kalau dalam bahasanya penyair Bandung Beni Setia kalau ndak salah begini saya ingat bunyi sajaknya: "kaji cara laut menimbun kesal" (konteksnya mungkin tsunami). Dan potensi konflik seperti ini terjadi di seluruh dunia, bahkan dimanfaatkan Amerika untuk menghidupkan mesin ekonomi dalam negerinya hehe.

Apa yang terjadi pada saudara ngehok, sebetulnya juga kurang lebih ranahnya ini. Subtansi masalahnya bukan lagi soal agama. Apalagi manusia-manusia buih atau aktor ikut-ikutan yang meramaikan konstalasi politik itu pun kebanyakannya dia sendiri juga minimalis pengetahuan agamanya alias sekedar nebeng supaya juga kebagian iming-iming syurga (oportunis mode on). Dominasi ekonomi warga keturunan--yang konon dibesarkan/dipelihara oleh kebutuhan kebijakan penguasa pada zaman Orde Baru hingga Orde Paling Baru--bisa menjadi motif terkuat bagi pribumi untuk meruntuhkannya, melepaskan tekanan hidup mereka di rumahnya sendiri (walau teori tentang suku pribumi ini bisa debatable juga karena, kecuali homo erectus dan sapiens, konon semuanya toh pendatang juga, baik gelombang awal yang disebut proto melayu tua, muda, dan seterusnya). Berkebetulan antara pribumi dan warga negara keturunan ini secara garis besarnya terkotak-kotak persis pula ke dalam label agama.

Padahal Ahok atau Basuki Cahaya Purnama ini termasuk penderita "kelainan": (sok) mau tahu tentang ajaran-ajaran Islam di tengah-tengah komunitasnya yang fokus dan hanya mau tahu pada masalah perduitan saja. Wajar makanya jika (mohon maaf kalau bentuk kata sambung antar kalimat begini belum dibakukan oleh EYD) Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo yang mendapat baret kehormatan Kopassus dengan tes reguler ini ketika berpidato di acara natal bersama 2017 saat mengutip ayat-ayat dari injil memohon agar dirinya jangan "diahokkan" kalau ada salah-salah kata hehe. Memang soal otoritas keagamaan di negara kita ini sedang mengalami turbulensi besar, merujuk pula kepada kenyataan bahwa komunitas umat Islam internasional sedang digoncang pertikaian tafsir hingga perang bunuh-bebunuhan di semenanjung arabian sana. Tidak tanggung-tanggung, ulama sangat kolot jaman baheula seperti Syaikh (aduh lupa namanya, yang bermukim di Damaskus) yang sudah sangat tua dan se-angkatan dengan almarhum Al-Bani itupun harus lewat bom juga matinya. Tapi itulah, mau tak mau tafsir-tafsir ini tetap dibutuhkan karena menolak memberi tafsirpun adalah sebuah tafsiran sebagaimana tidak berpendapat merupakan sebuah pendapat tersendiri juga. Lho koq gw jadi bicara agama-agamaan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!