Contoh Perbandingan Cerpen (Silakan Copas dan Jangan Lupa Bayar PAKAI Do'a-in Aq Yah) -- JILID 2

Para-Pendahulu
Perempuan, disamping aspek seksualnya, juga sudah sejak lama menjadi obyek sensualitas yang menukik secara lebih mendalam dan filosofis kepada norma estetika kecantikan. Visuali kecantikan ini sudah lama pula menjadi sumber telaga inspirasi tidak kunjung habisnya bagi karya-karya budaya dalam dunia seni dan kesusastraan. Dalam sejarah sastra Indonesia yang sudah sejauh ini tergali, cukup lama pula terekam periode dimana perempuan menjadi obyek tersebut, baik kecenderungan positif atau negatif ataupun dalam berbagai tingkat takaran pengobyekan (menjadi sentral atau hanya latar sekilas). Bahkan terekam pula secara cukup terukur dalam sistem kontinuitas. Polanya pun terlihat cukup jelas; walaupun tidak bernilai mutlak dan bisa dinominalkan ke dalam satuan angka persis sebagaimana keniscayaan kajian lingkup sosial-budaya yang bersifat kualitatif.
            Sebelum periode penerbit Balai Pustaka—yang dikenal sebagai zaman bacaan liar dengan dominasi cerita dunia persilatan (denotatif) seiring lahirnya industri cetak kertas oleh peranakan Tionghoa—sudah terkenal sekali cerita tentang Nyai Dasima yang terasa sangat memotret zaman ketika wanita menjadi obyek hegemoni lelaki semata. Kemudian novel-novel seperti Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, hingga Belenggu melanjutkan situasi dimana perempuan menjadi obyek persepsi pengarang pria. Ini belum dihitung karya-karya bukan utama berupa cerita mesum yang sudah barang tentu sangat menistakan wanita sebagai hanya bernilai seksualitas fisik semata dan bernilai komersil untuk dilempar ke tengah pasar selera pembaca pria. Barulah belakangan muncul Hamidah dengan karyanya Kehilangan Mestika, Selasih dengan karyanya Kalau tak Untung, dan Suwarsih Djojopuspito dengan cerpen-cerpennya yang sebagian besar berbahasa Belanda.
Kemudian dekade 1950-an, NH Dini menyemarakkan sastra Indonesia dengan karya-karyanya yang sangat bermutu dan bernilai bagus (Hayati, 2012). Sementara Bestari (2016) berpendapat NH Dini tersebut baru muncul pada tahun 1974 dengan novel fenomenalnya Pada Sebuah Kapal yang disebut sebagai sastra serius oleh Katoppo dan Prihatmi. Bestari juga menyatakan tahun 1920 sebagai batas baru munculnya pengarang perempuan dalam kancah sastra Indonesia. Sekarang pascareformasi justru dunia kepenulisan didominasi penulis perempuan Indonesia.
            Berbicara mengenai pengarang perempuan maupun perempuan di dalam karangan akhirnya tidak lepas dari topik gender dan feminisme yang juga merupakan isu di luar sastra. Gender sendiri menurut arti kamus dalam bahasa Inggris masih merujuk pada pengertian fisis dan genital. Namun umumnya pada kajian sastra, budaya, ataupun politik, para ahli memisahkan pengertian gender yang berkonotasi seks ini dengan pemaknaan gender dalam konstruksi sosial. Atmazaki (2014)—yang lebih memilih menggunakan penulisan jender—mengutip para sosiolog untuk membuat perbedaan antara seks dan gender ini. “Seks” mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki (male) dan perempuan (female), sedangkan “jender” mengacu pada kepribadian yang ditentukan secara sosial dan ciri-ciri psikologis yang diasosiasikan sebagai laki-laki (masculinity) atau perempuan (feminity). Seks dan jender jelas terkait meskipun hakikatnya yang pasti selalu menjadi perdebatan di kalangan sosiolog, feminis, dan ahli-ahli lain. Perbedaan seks secara biologi ini telah digunakan untuk menjelaskan dan melegitimasi pembagian kerja secara seksual baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
            Sebagaimana biasanya, sangat cair upaya kategorisasi dalam kajian-kajian sains-sosial. Kita bisa melihat dalam salah satu karya puncak sastra Indonesia seperti Olenka karya Budi Darma misalnya—yang didapuk memenangkan lomba prestisius sayembara penulisan novel oleh Dewan Kesenian Jakarta pada eranya meski menurut hemat subyektifitas penulis sendiri karena kepanjangan kualitasnya jadi kurang sepadat cerpen-cerpennya. Pada novel monumental kesusastraan modern Indonesia ini kita bisa melihat dengan jelas justru kaburnya batas antara gender dan seks itu. Jelas sekali bahwa Fanton Drummond atau Drummond Fanton ini tertarik secara seksual sekaligus non-seksual kepada Olenka, lalu memburunya ke segala sudut dengan kedua “visi” itu. Begitu juga keunikan yang terjadi ketika ia bertemu Mary Carson sebagai pengganti kegagalan menemukan Olenka dengan surat cinta masturbasinya. Terlepas dari kegenitan aspek estetika surealistiknya yang mau tak mau adalah elemen melekat dalam kajian ilmiah sastra, kemelekatan eleman gender dan seks pun bahkan kemudian kita saksikan makin terang benderang justru di era jayanya sastra dominasi perempuan di Indonesia lewat karya-karya “sastra selangkangannya”.

Anal-ISIS
Dalam dua karya cerita pendek yang akan penulis jadikan contoh kajian perbandingan sastra pada laporan kali ini kita bisa sejenak rehat dari situasi perjuangan gender dan berontak feminisme lewat membuka tabu dan tabir obrolan vulgar tentang selangkangan atau anatomi kelamin itu. Terlebih dua cerpen ini akan justru sangat melekat dengan topik atau latar agama, walau sastra selangkangan juga menjadikan agama dan dogma patriarkhinya sebagai sasaran pula. Karya pertama adalah Cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi” karya penulis perempuan Helvy Tiana Rosa dan karya yang kedua adalah Cerpen “Amplop Ustadz Manfaat” karya penulis lelaki Harris Effendi Thahar. Sebuah kebetulan dan pola menarik juga bahwasanya disamping berpraktisi sebagai sastrawan sekaligus kedua orang ini juga adalah akademisi di bidang sama-sama bahasa dan sastra Indonesia. Helvy di Universitas Negeri Jakarta dan Harris di Universitas Negeri Padang; sama-sama lagi di sub-bidang pendidikan pula. What a coincidence... mungkin begitu slogannya bisa disebut dalam bahasa aslinya karena akan aneh jika dipaksaterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun sebagai peneliti penulis tidak boleh percaya saja bahwa itu kebetulan takdir semena-mena Tuhan semata. Sebagaimana filosofi dari teori kepakan sayap kupu-kupu (butterfly effect theory), seorang pengkaji sastra mesti bisa menemukan pola terstruktur dari keacakan realita. Belum dibahas saja sudah sangat terlihat bukan pola besarnya?
Cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi” relatif bisa lebih populer karena dianggap “induk” dari apa yang disebut genre sastra islami. Terbit pertama kali tahun 1993 lewat majalah Annida dan terakhir digabungkan dengan kisah lanjutannya “Lelaki Tak Bernama” dengan tokoh Mas Baju Kotak-Kotak pada tahun 2011 menjadi sebuah novellet. Bahkan ada kumpulan cerpen dari generasi penerus Helvy Tiana Rosa ini bertitelkan “jejak-jejak ketika mas gagah pergi” yang menunjukkan pengaruh luas karyanya. Keberadaan organisasi penulis bernama Forum Lingkar Pena pun, lengkap dengan jaringan bisnis dan konsumen spesifiknya, tak lepas dari kepeloporan cerpen serta penulis yang satu ini. Bahkan secara sosiopolitik massa terkait cerpen ini berafiliasikan kepada salah satu aliran keagamaan dan kepartaian di Indonesia dengan segala dinamikanya.
Meski dikarang oleh penulis perempuan bahkan ditokohkan, hasil analisis penulis menunjukkan justru adanya dominasi kelelakian. Tokoh utama memang seorang perempuan bernama Gita—yang konon sebagian isinya adalah faktual kepada diri penulisnya sendiri—namun keberadaan tokoh kedua bernama Mas Gagah yang merupakan kakaknya menjadi sentra bahkan topik dalam cerpen ini. Perubahan positif—menurut cerpen ini—pada diri Gita adalah pengaruh besar dari “ideologi” kakaknya itu. Justru karena jati diri Gita yang sebelumnya tomboy dicitrakan negatif, ia akan berkontraksi tentunya dengan pandangan feminisme yang berjuang melawan stereotip dalam dunia konservatif patriarkhi. Ada tokoh kedua perempuan yang juga diceritakan memberi pengaruh perubahan “positif” pada diri Gita bernama Mbak Nadia, kakaknya dari temannya yang religius plus lulusan Amerika pula. Namun porsi pengaruh dari Mbak Nadia ini bagaikan bulan dan bintang jika dibandingkan kepada dominasi pengaruh Mas Gagah tadi. Lebih dahsyatnya lagi ujung-ujungnya diceritakan bahwa Mbak Nadia ini akan cocok untuk (sekedar) jadi pendampingnya Mas Gagah; perempuan jadi subordinasi lagi....

Pola yang oposisional kemudian bisa kita lihat pada cerpen kedua yang penulis analisis yakni “Amplop Ustadz Manfaat”-nya Harris Effendi Thahar. Meski justru dikarang oleh penulis bergender lelaki namun secara senyap dan halus ada pembelaan terhadap suara perempuan disini dari dominasi dan hegemoni para lelaki. Sementara di kubu seberang dalam “Ketika Mas Gagah Pergi” upaya dominasi pihak lelaki tersebut justru sangat vulgar tanpa penghalusan ditampakkan. Apalagi jika kita membaca terusan pada novelletnya dengan cerita “Lelaki Tak Bernama” yang penuh sesak dengan khotbah keagamaan itu. Mirip-mirip dengan fenomena tendenz literature pada zaman Sutan Takdir Alisjahbana dengan Layar Terkembang-nya. Sastra pun hanya jadi media tunggangan bagi misionaris politik atau ideologi di luarnya. Bahkan tanpa upaya penghalusan, pengkonotasian, pemajasan. Estetika pun sepertinya tak lagi penting dibuatnya. Seni untuk seni menjadi haram hukumnya. Dalam “Amplop Ustadz Manfaat” yang dikarang lelaki itu justru sebaliknya; ada upaya “berseni” untuk membela perspektif kaum wanita.
Dalam cerpen tersebut diceritakan tentang seorang ustadz yang hanya mengandalkan hidup dari amplop ceramah. Suatu ketika amplop tersebut tidak ada uangnya dan hanya berisi kertas undangan. Di akhir cerita diciptakan kesan bahwa uang tersebut diambil oleh anak pengurus mesjid untuk membeli sabu dan diakali dengan ganti surat undangan untuk menipu bapaknya. Menghadapi situasi ini dalam cerpen diceritakan justru istri Ustadz tersebut yang lebih aktif mengkritisi apa yang terjadi. Karena kebutuhan rumah sangat mendesak bahkan mendasar ia meminta suaminya untuk berterus terang kepada pengurus mesjid tentang kebutuhan mereka akan honor yang ditilep itu. Pak Ustadz diceritakan justru tidak punya nyali. Disini kita bisa menyaksikan bagaimana kali ini wanita dibuat lebih punya hegemoni. Dalam cerpen yang dikarang seorang pengarang lelaki justru pihak wanita lah yang lebih menjadi lakon. Suaminya malah terlihat lemah karena dibalut berbagai argumentasi etiket dan keagamaan. Sang istri terlihat lebih aktif untuk melindungi kebutuhan makan anaknya, kelangsungan hidup anaknya dari sang suami yang takut pada kata orang. Fakta menarik lainnya yang beroposisi dengan pola pada cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi” yang dikarang seorang perempuan itu, dalam “Amplop Ustadz Manfaat” laki-laki dicitrakan negatif semua. Mulai dari suami yang loyo karena tidak mampu memperjuangkan kemakmuran keluarganya, anak laki-laki pengurus mesjid yang kaya raya pemakai sabu, serta bapak pengurus mesjid yang teledor dengan kebutuhan honor dari ustadznya. Sementara dua perempuan dalam cerita ini, istri ustadz dan anak perempuannya, bercitrakan baik.

Pentutup
Santoso (2011) berdasarkan kajian Tannen atas variasi stilistik terkait gender menyebutkan bahwa pada umumnya kajian bahasa dan gender memerikan “laki-laki mendominasi perempuan dalam interaksi.” Laki-laki mendominasi perempuan dalam kelas sosial dan interaksi namun tidak dalam “pertanyaan”. Kemudian dibuat pula pernyataan berdasarkan kajian Holmes bahwa fakta menunjukkan jika perempuan lebih banyak menggunakan strategi kesantunan daripada laki-laki. Dalam karya sastra yang dianalisis ini kita bisa melihat bagaimana realitas dibolak-balik pada refleksi filosofis dan medium estetika komunikasi kesusastraan. Teori mimetik bahwa karya sastra hanya tiruan realitas untuk sementara sepertinya sebagian harus dianggap tidak akurat disini. Kita menemukan fakta-fakta sebaliknya. Perempuan bisa mendominasi, perempuan bisa berinisatif mempertanyakan keadaan. Adapun realita dominasi laki-laki terhadap perempuan (terutama di negara terbelakang) sepertinya masih diaminkan lewat cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi”.
Dalam bab penutup bukunya Santoso menyimpulkan hasil kajiannya tentang bahasa perempuan. Dari teks-teks yang dihasilkan perempuan, siapapun yang menjadi “sang lain” haruslah menempatkan dirinya pada posisi untuk mendengar dan—persis ini penulis kutipkan redaksi bahasa Santoso sebagai seorang doktor ilmu pendidikan bahasa Indonesia—mem-follow-up-i apa yang terumuskan dalam pelbagi ideologi perempuan. Ini mungkin kena banget kalau kita hanya membaca karangan penulis perempuan sastrawangi yang galak-galak itu. Namun bagaimana dengan feminisme Islami ala Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawan? Memang tokoh Gita disini sangat bersuara karena memang dialah sudut pandangnya. Namun suara gita adalah suara keras pada pembaca di dunia realita yang diceramahinya. Di dunia fiksinya, wanita bernama Gita ini tak lebih dari seorang penurut patuh dari suara laki-laki pendominasi bernama Mas Gagah sang kakak idola sempurnanya yang seakan tidak punya cacat secuilpun itu. Apalagi dalam “Lelaki Tak Bernama” tidak lagi kakak kandung tapi ia manut pada orang sama sekali orang lain yang “mendakwahinya” tentang “kebenaran” yang sangat megah. Padahal jika kita punya pengetahuan tentang realita karut marut antar aliran-aliran keagamaan di dunia realita akan lain ceritanya. Cerpenpun berfantasi platonis bagaikan sinetron saja.
Satu kutipan dari Waering dalam buku Santoso ini sebetulnya cukup bagus untuk memahami fenomena “sastra khotbah” ini. Dikatakan: amatlah sulit untuk bersikap obyektif dalam analisis gender jika persepsi kita dalam area itu begitu mudah terdistorsi oleh harapan-harapan kita. Ini tidak hanya berlaku pada pengkaji karya sastra. Pencipta karya pun ketika hendak merumuskan ideologi perjuangannya seperti mengenai gender tentu akan dipengaruhi oleh apa yang menjadi latar versi keyakinannya. Kembali ke masalah satra bertujuan atau sastra bermuatan lagi. Terlebih jika ini mengganggu segi estetik karya, atau logika cerita dalam bahasanya Yosi Parenanom, seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh over-cerdasnya Sutan Takdir Alisjahbana yang sejatinya mewakili keinginan pribadinya yang belum tentu cocok dengan logika penokohan pada karakter yang ia buat. Wanita cerdas seperti Kartini yang membuat tergila-gila Hasan dalam novel Atheis akan terasa lebih naturalistik dan klop penalaran ceritanya sehingga tetap terjaga irama estetiknya. Terakhir apa yang dikatakan Santoso bahwa bahasa perempuan adalah representasi gaya tutur kooperatif sedangkan laki-laki kompetitif sepertinya tidak sepenuhnya benar di dunia karya sastra. Mungkin ini hanya valid di data lapangan dunia nyata. Apalagi rumusan item-item model ideologi perjuangan gender perempuannya, baik yang berbasis pilihan kosakata maupun gramatika itu. Kepastian di dunia nyata seperti terbolak-balik di dunia sastra.

Daftar Formalitas Pencitraan Ngintelektual
Atmazaki. 2014. “Sastra Warna Lokal dan Multikulturalisme di Indonesia”. Dalam http://www.atmazaki.net/ yang diakses pada 07 Oktober 2016.
Bestari, Habiibati. 2016. “Penulis Perempuan Feminis dan Karyanya di Indonesia”. Dalam http://www.academia.edu/10844358/Penulis_Perempuan_Feminis_dan_Karyanya_di_Indonesia yang dijepret Google pada tanggal 21 Ags 2016 02:47:07 GMT.
Hayati, Yenni. 2012. “Dunia Perempuan dalam Karya Sastra Perempuan Indonesia”. Jurnal Humanus. Vol. XI. No. 1. Hal. 85-93.
Hayati, Yenni. 2016. “Dunia dan Citra Perempuan dalam Novel Raumanen Karya Marianne Katoppo: Kritik Sastra Feminis”. Dalam http://www.pustakakendee.net/2016/06/dunia-dan-citra-perempuan-dalam-novel.html yang dijepret Google pada tanggal 4 Ags 2016 20:14:18 GMT.
Rosa, Helvy Tiana. 2011. “Ketika Mas Gagah Pergi”. Cerpen tahun 1993 yang dimuat ulang secara di situs resmi https://sastrahelvy.com/2014/09/05/ketika-mas-gagah-pergi/ sebagai novellet dengan tambahan cerita selanjutnya, dijepret Google pada tanggal 12 Sep 2016 21:46:47 GMT.
Santoso, Anang. 2011. Bahasa Perempuan. Jakarta: Bumi Aksara
Thahar, Harris Effendi. 2016. “Amplop Ustad Manfaat”.  Cerpen yang dimuat dalam surat kabar Media Indonesia, Minggu 3 Januari 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!