Jurusan Sastra Indonesia Sebaiknya Dibubarkan Saja?


Beberapa tahun silam (aq males nge-check tanggal pastinya krn toh tiada pasti yg di dunia akting gini), presiden Indonesia terpilih ke-6/7 (yang dianggap thogut oleh sebagian pihak yg sangat konsisten dlm beragama tertentu aliran tertentu pula) Ir. Jokowi membuat pernyataan agar ada semacam revolusi dalam dunia pendidikan generasi muda Indonesia. Lebih spesifiknya lagi yang dimaksudkan beliau adalah lebih digencarkannya pendidikan vokasi/terapan seperti poli-poli teknik ataupun smk-smk. Program2 studi di universitas2 pun diminta utk lebih kekinian; tidak terlalu kaku mengikuti doktrin2 usang dan visi2 down to date tentang “kotak-kotak” keilmuan. Fakultas2 diharapkan berani membuat jurusan yang baru sama sekali spt mengenai video blog, video game, terkait ekonomi kreatif, dan apa lagilah sayah lupa nama persisnya (dan saat ngetik gini biasanya ambo offline utk nyari-nyari referensi maya). Cara pikirnya memang praktis saja yaitu untuk men-sinkron-i “pabrik pendidikan” tsb agar selaras kepada dunia industri kelak. Kita sama2 maklum zaman haree gini banyak sarjana2 yg bekerja tdk sesuai spesifikasi latar belakang keilmuaanya. Seakan-akan tujuh tahun ratusan purnama di kampus tsb sia-sia belaka membuang umur di kelas-kelas formalitas absensi. Toh kemudian kelak di lapangan kerja yang kepake hanyalah ilmu hasil training dan diklat selama beberapa bulan atau just learning by doing aja.

Biasanya akan ada alasan ngeles bahwa kuliahnya itu ndak sia2 krn berkontribusi membentuk pola pikir; tentunya per orangnya akan berbeda2 signifikansinya dan berbahaya generalisir ini—yang bahkan setahu saya tidak ada pula riset faktual tentangya (walau bagiku pun hasil riset kaku reduktif itu belum tentu juga bisa dipercaya) hanya berbasis common-sense atau olah logika belaka—ketika setiap orang yang sudah melewati jenjang sarjana dipandang selevel semua pola pikirnya. Mak Itam saya sendiri—pensiunan guru SMK yang secara politik dan finansial gagal menaikkan karir edukasinya, walau ia saya tahu punya kapasitas utk itu—pernah menjelaskan padaku tentang pandangan/harapan masyarakat kepada para doktorandus ini sebagai orang yg dianggap/dituntut serba bisa dlm segala hal; sehingga kami para sarjana ini katanya, supaya bisa diterima secara sosial, harus jadi orang yang “banyak2 akal”. Bisa dimaklumin, krn dulu masyarakat kebanyakan kita baru saja keluar dari sikon peradaban buta huruf alih-alih melek ilmu pengetahuan. People who living on the tree (like a monkey), kata temen Letjen (Pur) Prabowo Subianto di England sana mengenai asumsinya tentang kita-kita orang2 Hindia Belanda yg pendek-pendek keluih ini.

Sekarang, jutaan sarjana di Indonesia telah diproduksi dan lebih terkini dalam angka jutaan juga di antara kami menganggur atau semi-menganggur. Tentu saja ini kemudian bisa masuk ke pembahasan miss-manajemen pemerintahan/kekuasaan atau tentang kebijakan ekonomi negara ataupun revolusi sosial politik yang memberantakin rencana semula atau bahkan rekayasa infiltrasi bangsa asing yang sukses melemahkan negara kita, namun saya mau masuk ke skop yang lebih kecil dulu saja untuk melihatnya sejauh yang terjangkau wawasan pengetahuan saya. Lagi pula soal “pengangguran” itu sebetulnya juga bukan masalah sosial jika ada “solusi” lainnya seperti eksistensi para ahlu suffah yang “menggembel” utk fokus ibadah atau tholabul ilmi di lingkungan seputar masjid nabawi pd masa pemerintahan Muhammad SAW abad ke-5 Masehi di Madinah yang sangat berhasil mengendalikan keganasan peradaban orang-orang semenanjung gurun Arab sana. Jika kita ikuti defenisis Bank Dunia/peradaban modern tentang pengangguran sebagai tdk punya pendapatan tetap dari pekerjaan (entah pekerja dalam artian buruh ataukah seluas apa) maka tentu saja contoh di zaman dulu itu jadi tidak relevan krn pd masa hadirnya agama Islam itu ekonomi alat tukar baru masuk sedikit pengaruh dari Kekaisaran Romawi. Ibarat seperti hidup di zaman Majapahit, orang mau makan sayur tinggal petik di pekarangan, tdk begitu banyak transaksi berbasis alat tukar sistem tersentralisasi. Orang bekerja bukan utk mendapat penghasilan tapi directly apa yang dibuat/diburu itu utk dimakan. Sekarang tentunya hampir semua peradaban (kecuali suku terasing) terkait dengan sistem ekonomi global.

Dan pengangguran dlm sistem cara hidup zaman sekarang (khususnya tdk bekerja plus tidak punya apa-apa sama sekali, atau kalo boleh mengutip retorika bankir fiksi-mimikrit yg flamboyan Gordon Gekko itu seingat2 gw nih ketika ia memberi kuliah “demotivasi” di depan para mahasiswa: masa depan Anda itu tidak ada asset, tdk punya pekerjaan, dan tak ada harapan xixixixi add-notice ini quote aslinya setelah kucek hehe piss: “You are the ninja generation. No income, no job, no assets.”) kalau mereka tdk mengemis atau bergantung pada orang lain yaa harus merampok/mencuri utk bisa survive. Ingat, manusia kebanyakan/sebaran normal itu secara naluri-manusiawi akan runtuh moralnya jk sedang di titik nadir kehidupan (ataupun sedang dirasuki keserakahan utk dapat lebih lagi dan lagi lebih dan seterusnya); dan akan melakukan segala cara, membuat2 pembenaran, bagi apapun yg ia anggap bisa membantunya meneruskan kelangsungan hidupnya, insting mencari nikmat, entah itu dgn main cantik secara politiking ataukah harus bar-bar terang2an memakan orang lain.... Ujung2nya keniscayaan elemen tertentu (barisan org2 kalah) dlm proses dinamik sebuah sistem ekonomi menjadi potensi masalah sosial. Seperti zakat dan sedekah dalam agama Islam, sebetulnya pada sistem penganggaran negara ekonomi “sekuler” juga ada susbsidi gratisan kepada orang-orang yang terpinggirkan dalam persaingan dunia rantai makanan ini. Ada yg bentuknya cash, spt BLT di zaman Presiden SBY, dan lebih banyak lagi dalam berbagai bentuk subsidi atau kedok pemberdayaan masyarakat. Intinya orang2 di kotak piramida terbawah ini perlu dibuatkan kesetimbangan agar ia tetap bisa hidup; karena kehidupan pihak minoritas dominan di puncak piramida juga butuh sokongan mereka. Tinggal sekarang bagaimana mengatur “permainannya” agar berlangsung elegan dan tidak bar-bar ketika kelas bawah berusaha ke atas dan sebaliknya yang di kelas atas bertahan agar jangan sampai jatuh ke bawah. Teori ekonomi marxis ataupun komunis yang berutopia tentang kehidupan yang sama rata sama rasa itu telah terbukti hanya bualan krn naturalnya habitat manusia harus hidup dalam ekosistem saling bersaing memperebutkan puncak kenikmatan itu hehe.

Karena ke-menganggur-an ini akan jadi masalah sosial—walaupun tdk menganggur juga bukanlah sama sekali posisi yang membuat orang tdk melakukan kejahatan, bahkan boleh jadi lebih banyak org jahat yang tdk menganggur daripd yg jahat krn menganggur hehe, harap hati-hati membuat asumsi selanjutnya dari proposisi ini—maka tentunya pihak penguasa yang mengatur perikehidupan di sebuah negara harus mencarikan solusi utk tertibnya kehidupan masyarakat. Daripada harus mensubsidi kehidupan para penganggur ini spt yg dilakukan negara2 maju, atau mungkin meng-“eleminasi” sj mereka menjadi mayat atau pekerja paksa spt di negara2 otoriter, pemerintahan Jokowi sptnya melihat masalah sekaligus solusinya di interkoneksi antara dunia industri/pekerjaan dengan dunia pendidikan menengah tinggi. Makanya timbul-lah ide pragmatis ttg korelasi industri-pendidikan tsb yg seharusnya sudah dimulai sejak mereka awal sekolah. Jokowi menyatakan bahwa orang-orang pintar pemegang otoritas kebijakan di universitas2 itu harusnya tidak ngotot mempertahankan program-program studi lama yang sudah tak relevan lagi dengan zaman.

Sebagai sarjana bidang kesusastraan Indonesia yang sudah satu dekade/dasawarsa meng-anggur—hehe saya baru sadar nih sudah lewat 10 tahun ijazah yang keluar modal biaya dan waktu yang sangat banyak itu utk mendapatkannya tak pernah laku dipakai sama sekali hanya tersimpan di dus sampai lengket2 dgn plastik pembungkusnya, walaupun aq juga tdk ada penyesalan sama sekali jg ttg itu krn aq toh mendapatkan banyak pengalaman hidup yg berharga berangkat dr sana—saya jadi kepikiran tentang relevansi program studiku ini dgn lapangan kerja; walaupun aq sama sekali tdk sreg dgn cara2 berpikir pragmatis spt ini, tp its okay lah saya jg harus melihat dr perspektif pendapat umum atau kaum sebaran normal itu. Saya pribadi walau “menganggur” krn tdk menemukan pekerjaan yg relevan dgn kompetensiku (siapa yg mau membayar sebuah artikel kritik asusastra? xixi) ataupun sial aja secara relasi sosial-politik (yg padahal inilah faktor terpentingnya hehe), namun krn berasal dari sebuah keluarga yg punya asset utk menunjang kehidupan tanpa penghasilan baru, saya jadi tidak harus banting stir mencari nafkah di bidang lain sama sekali kalo hanya utk sekedar menyambung hidup—walau sering jg kelayapan nyari prospek lain baik di dunia online ataupun offline, bahkan sampai menggembel berkali-kali mengelilingin pulau Jawa, bahkan pernah “dipenjara” Satpol PP DKI di Kedoya dan sebuah panti sosial di Serpong sana wkwkwkwk. Orang mungkin akan menamakan aq bergantung pd orang tua yg sebetulnya aq dulu sangat “terdesak” utk meninggalkan mereka, saya hanya mau bilang: “ada orang yang gengsi kehidupannya dibantu oleh keluarga sendiri tetapi tak merasa malu kalau harus menadahkan tangannya ke orang2 lain sama sekali, menjilat pantat kesana kemari, walau pakai teknik yg paling senyap dan elegan keliatannya!” hihihihi. Kpd org2 pragmatis itu saya hanya mo mengutip kata2 bijak (klo moral Anda masih ada sedikit): tangan yg menadah itu tdk bisa digunakan utk memukul kembali! Ingat, yen galak ora cluthak yen clutak ora galak xixixixixi.

Wokay, kita kembali ke situasi pengangguran secara umum, tdk lagi membicarakannya sbg masalah saya pribadi. Kalok masalahku ini biarlah itu ujian hidup yg kuhadapi sendiri dgn enjoynya. Gak perlulah Anda bantu-bantu berpamrih, nantik Anda pulak lagi yg dapat pahala kalau ketahuan oleh tuhan ternyata modusnya ikhlas hehe. Saya sekarang jd berpikir bagaimana nasib temen2 se-“bidang ilmu” saya di seputar Bandung sana. Yang harus mencari uang apapun caranya, sebab kalaw tak ‘da wang mati ajalah kau hehe. Saya sendiri klo ndak memprioritaskan hidup bersama ortu yg makin sepuh dan pilah-pilih kepasti-halalan sumber pendapatan, mungkin skrg sedang jadi bos kedai jamu miras xixi di se-antero Jabodetabekbog sana krn saya punya link utk terjun di bisnis ini. Mungkin skrg saya tak lagi menjomblo berpacaran dgn PC, memoligami para gadget, atau sesekali menghibur diri dgn mengintip adegan virno di dunia tidak riil sana sambil juga kadang sambil belajar ilmu agama atau politik-keagamaan terkini kepada para syaikh google supaya dpt informasi yg fresh from the open sebelum diedit2 oleh berbagai materi propaganda lembaga2 sensor aliran keimanan sesuai orientasi politik “bisnis” masing2 mereka, karena, jika hidup di lingkungan begituan, saya tahu persis betapa banyaknya jablay yg bisa saya kentot-kentotin selagi tentunya abang ini harus beruang tentu saja wkwkwk. Soal kertas ijazah sarjana asusastra dan ilmunya yang “tak berguna” itu buang ajalah ke kantong sampah andai saya memilih hidup pragmatis alias fokus pd apa aja yg kongkrit riil ada di depan mata dalam meniti langkah selangkangan ini menuju puncak gunung kenikmatan yg diperebutkan semua manusia di strata sosial teratas piramida rantai saling makan sana. Kebetulan saya msh bisa hidup pas2an sambil tetap mengisi kepala jk tinggal di rumah. Bagaimana dgn kawan-kawan atau mantan teman2ku itu yg harus terdesak turun ke jalan bertarung dgn ganasnya kehidupan yg penuh patgulipat ke tidak sinkronan ini (maklum lah ya, namanya juga kehidupan ini hanyalah test bg moralitas keyakinan kita)? Setidaknya sewaktu masih disana saya dulu sering nangkring mengiringi temen saya yg mahasiswa studi sastra Indopnesia ini yg harus mencari penghidupan (krn sudah kawin dan beranak pinak) dari menjual makanan just same as mata pencarian org2 yg gak sekolah sama sekali. Ia akhirnya D.O dan entahlah skrg cari makan dimana krn yang pasti di bidang susastra saya tdk pernah mendengarnya, entah sebagai penulis atau guru, padahal menurutku ia bukanlah sosok yg bodoh2 amat di tengah2 mahasiswa jurusan sastra Indonesia yang kebanyakan (kalo berlebihan pula kubilang pandir dlm ukuranku) hanyalah para intelektual medioker saja alias kalo pun agak pintar adalah “pintar” krn dipaksakan (demi cari makan) bukan krn sudah “jenius” dr sononya alias punya couriusity atau keingintahuan tinggi terhadap dunia ilmu. (bersam-bung, yaa Bung, kpn mood aja dach!)


Sid: "For a second there, I actually thought you were gonna eat me."
Diego: "I don't eat junk food."


-Ice Age (2002)-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!