Kutika Papa -Onal Minta Nominal


konsepsional negara vs negara konsepsional
Betul dan kebenaranlah apa yang dinyatakan pepatah (atau semacam itulah mereun nya’) bahwa there’s no such things like a tiny devil’s in the details. Kalaupun vocab dan grammar dari apa yang saya tulis ini mungkin saja salah ataupun kalimatnya tdk persis begitu—dan saya kira juga takperlu ditutup-tutupi, beginilah adanya kemampuanku untuk mengingat—poin dari maksud konsepsi yang ingin kusampaikan sebagai landasan berpikir untuk menu pembuka tulisan kali ini adalah: si setan itu baru kelihatan nantinya kalau kita memeriksa hingga ke detil. Dan kali ini, proses membacaanku dibuat terganggu oleh obstacle yang satu itu; yang mungkin bagi pembaca budiman sekalian yang mobilnya ber-ban tebel dan pegas bagi kaki-kaki rodanya senyaman sedan, dan sedang bergegas-gegas pula, tak akan berasa telah melindas jalan pada sesuatu yang tak semulus kelihatannya (spirit ignoransi).

Saya jadi pengin iseng menulis tentang hal ini kali ini ber-sebabkan salah satu penulis artikel yang saya baca kali ini pernah kukenal dalam waktu cukup lama orangnya (for years men). Person to person-nya sepertinya dekat sih tidak;. Jauh, dalam artian, apalagi, pernah sampai saling bermusuhan rasa-rasanya juga gak pernah. Cuman karena sudah lama tidak bertemu anak ini, wajar dong saya jadi tertarik dengan artikel yang ia tulis. Kebetulan kami satu kampus/almamater; pernah makan waktu tahunan saling berinteraksi, walau hanya dalam konteks karena satu program studi, sehingga sedikit banyaknya saya tahu kompetensinya dia—setidaknya dulu, sewaktu masih sama-sama mahasiswa dan seingat-ingat saya aja ya hehe. Kebetulan jurus kami ini walau ada embel-embel sastranya—dan kukira melanggar penjelasan dari aturan DIKTI pernah kubaca tentang penamaan jurusan—lebih dominan spesifikasi out put-nya di korektor tatabahasa paradigma normatif yang jadul itu (editing struktur-luar untuk ragam bahasa formal/standar/resmi). Kebetulan dedengkot atau guru besar “mahzab” itu—kudengar sudah almarhum kini—ada di universitas itu. Mungkin orientasinya tetap saja lebih ke tata bahasa normatif hingga era pasca-ISIS ini—secara periodeik/kronologik program siaran “Mari Berbahasa Ind. dengan baik dan betul” itu berada antara mahzab tradisional ke paradigma struktural-deskriptif orang-orang UI—adalah karena persoalan target “produk” atau “pabrik” lapangan kerja juga. Atau mungkin sekedar upaya menjaga politik hubungan baik dengan pandangan-pandangan kuno sang guru; atau karena tidak adanya generasi dosen penerus yang punya pemikiran lebih segar kekinian, bervitalitas, dan tidak sekedar membebek orang-orang lama (orang-orang tunduk kata Prof Budi Darma ketika ditanya tentang karakter dosen-dosen muda di Indonesia). Atau yaa entahlah, mungkin that’s the way it is: how the holy shit world works hehe.

Oke kita kembali ke pa apa yang harus dibahas supaya tidak melenceng membicarakan orang (manqul-nya) lagi. Ah, tapi begini. Sedikit saya perlu membicarakan peristiwa dan orangnya lagi karena ber-ke-ter-kait-an dengan materi “si-onal menjadi nomina” yang akan saya bahasa; dan kali ini ada diri saya sendiri sebagai objek ghibah-nya juga, asyikk. Sekitar hampir setahun lalu, saya mengikutin sebuah kelas sosiolinguistik yang dibina oleh Dr. T MPd dari UNP Sumbar. Dalam mengerjakan tugas presentasi dengan partner terpilih yang “dijodohkan” si ibuk, kami berdua bertemu dengan proble-romantika untuk membedakan pemahaman sebuah konsepsi berkaitan dengan peggunaan kata ‘nasional’ dan ‘nasionalitas’. Ini dua hal yang pengertiannya sepertinya tidak dibuat pemisahan yang jelas di, atau, pada buku acuannya (kalok ndak salah) Dr. Sumarsono itu yang dari IKIP Singaraja, Bali Island. Dan yang bisa saya ingat saat ini: kesimpulan kami—tepatnya saya sendiri yang “otoriter” terhadap partner-muda saya yang tengah bingung itu hihihi—adalah bahwa keduanya sama-sama kelas kata nomina/benda. Cuma yang membedakan, atau, mungkin komposisi kalimat ini lebih baik: yang membedakannya cuma tingkat keabstrakannya saja meski keduanya sama-sama berupa “benda” konseptual. Mungkin ada di antara pembaca budiman yang berpendapat bahwa: akhiran ‘–itas’ itu bisa juga membentuk ajektiva, jangan me-nyimpelistis-i dengan mengartikannya sebagai proses nominalisasi lewat afiks ‘ke-an’ saja. Tapi, mengingat kali ini saya mau fokus membahas tentang ‘konsepsional’ yang ditulis seorang mantan teman di atas, maka aku kira untuk sementara abaikan dulu saja keakuratan ingatan saya tentang perkara ‘nasion’ dan ‘nasionalitas’ nie deh.... Kan, makan waktu juga kalau kita harus cari-cari bukunya lagi untuk memastikan apa yang tertulis; walau buku tersebut sampai detik ini belum dibalikkan juga kepada orang yang saya pinjami (katanya ndak usah) xixixi. Kalok sumber dakta tentang bukti-fakta tentang “kasus” si ‘konsepsional’ itu, saya mah tinggal klik nih tertayang di depan kompi sewaktu lagi nulis.

Dalam teks sorotan terkutip—mudah2an Anda tidak sedang menghemat kuota internet sehingga browsernya tidak men-display “gambar-sertaan” yang saya blend ke postingan ini—terlihat mengganjalnya penggunaan kata ‘konsepsional’ dalam kalimat eksplanasi untuk wacana/diskursus pembicaraan artikel “di atasnya”. Bahkan sebagai sebuah kalimat atau klausanya saja berdiri sendiri, lepas dari wacana di atasnya itu, ia juga ganjil dan janggal. Bahkan menurutku bukan saja tidak tepat, tapi, atau tetapi,  memang salah sama sekali (absolut niyee); walau “tidak pas” juga main mutlak-mutlak mengilmu-pastikan identifikasi dan analisis disini karena basisnya adalah “konsensus” pemakaian bahasa belaka lalu ujung-ujungnya tetap saja ilmu kira-kira (kualitatif). Seharusnya kawan kita itu cukup menggunakan kata konsepsi atau konsep saja. Ini sudah saya cek ke KBBI biar kelihatan rajin dikit. Dan betul saja, menurut opini si pembuat kamus atau timnya, kedua kata itu barulah hanya nomina dengan mereka memberi “pengartian” sedikit berbeda.  Struktut kalimat yang dibuat si kawan ini—dan kawannya itu, mereka penulis dua orang—menuntut kelas kata nomina bukan kata sifat yang ada di posisi itu. ‘Mempertanyakan keabsahan konsepsi negara kita’, akan terdengar lebih “lumrah” seperti pemaknaan pada kalimat ‘mensyukuri kenikmatan (ß nominalisasi) masakan ibu’ jika saya boleh buat perbandingan yang agak janggal juga kalimatnya hehehe. Kalo kata ‘konsepsional’ lebih cocoknya seperti begini Bung: “Mempertanyakan konstitusi negara kita apakah konstitusional?” Jadi kita convert ke kalimat Bung: “Kita hidup di negara gak jelas karena eksistensinya baru di level konsepsional (bersifat konseptual, bukan per-konsep-an).” Ini baru tepat penggunaanya sebagai ajektiva kawan hehehe.

Saya jadi tertarik membahas karya kawan ini adalah karena—tidak perlulah disebutkan namanya yach—ia seingatku termasuk kelas pemikir mediokre yang tidak menonjol intelektualnya. Ia memang populer di kampus sebagai penyair, tapi sebagai “ilmuwan” rasa-rasanya ia dulu cuma bisa bengong kalau sudah ada forum debat yang memeras otak. Mungkin karena rajin belajar dan pintar menabung (dan pandai berpolitik), ia akhirnya sekarang jadi cerdas juga sehingga kulihat sudah berpendidikan level master dan jadi dosen di Institut Teknologi Bodoh hehe. Maaf nih saya jadi ganjen melesetin krn seingat saya kwalitas adik angkatan ini pas-pasan; kok bisa juga ya sekarang jadi “guru” di universitas nomor satu di Indonesia. Mungkin krn paradigma orang manajemen pendidikan yang menganggap guru bahasa Indonesia itu gpp lah agak bodoh dikit yang penting nurut (rasa2nya ini fenomena yang sudah sering dibahas tentang guru sastra yang tidak suka sastra di makalah-makalah seminar bahasa). Jadi menurutku ini karena peremehan terhadap pelajaran bahasa Indonesia, apalagi ini institut teknik. Tentu saja secara teknis ia mungkin telah memenuhi syarat seperti kemampuan bahasa Inggris, EYD, dll tapi seperti pernah saya baca seorang medioker betapa rajin dan bekerja keras pun ia tetaplah akan medioker. Ia hanya akan tertib dan patuh saja secara prosedural dan normatif dan tidak akan ada kreatifitas pemikiran baru karena memang ia tak akan mampu. Makanya kita dianjurkan menemukan “bakat” atau passion dulu di bidang apa supaya tidak menghabiskan energi di hal yang kita akan mentok di level medioker saja. Kalo mo jadi penyair ya penyair saja. Goenawan Mohammad pun yang “einstein” dlm penulisan esei “ciamik” bagiku hanyalah seorang medioker ketika menulis sajak (dan kita tidak pernah melihat ia main di prosa, kecuali mungkin jika benar isu Saman dan Larung itu).

Saya agak ingat kemampuan kawan dosen ITB ini karena saya ada perbandingan dengan kawan seangkatannya lain yang menonjol. Sekarang si Itu, kalau ndak salah ngikuti, jadi dosen di tempatku kuliah dulu (mungkin masih honor, atau bisa jadi sudah master juga). Kawannya yang lain ini kurasa memang lebih pintar dari Pak Dosen ITBod kita. Karena kuingat ia orangnya memang suka merenung dan bertanya hal-hal yang abstrak (bisa diajak diskusi mengawang2 non-masalah keseharian). Pintar-pintar amat mungkin juga tidak tapi kompetensinya utk mau tahu hal-hal yang rumit ada. Beda dengan si penulis ‘konsepsional’ yang yahhh yang kuingat sebetulnya kemampuannya ya cuma tukang baca puisi saja. Kalo ada debat forum yang butuh memeras logika dan referensi ia pastinya cuma bengong. Tapi yah itu kan dulu. Mungkin sekarang adik-adik ini sudah jauh lebih pintar. Mudah-mudahan nanti sempat lagi membaca karya tulis mereka sehingga gw tidak jadi orang pesimis gini wkwkwkwk. Cuma, ketika saya tadinya antusias melihat orang yang kukenal mampu menulis—mewakilin ITB lagee, sudah lama tak kulihat orang-orang dari almamaterku punya gigi di kancah nasional, walau aq maklum juga sikon kompetensi disana hehe—ternyata nyungsep dalam penggunaan kata ‘konsepsional’ ini, yahhh saya jadi ingat tentang kompetensinya dia dulu lalu mengatakan: yahh maklum aja hihihi.

Terakhir, mungkin saja opini teori kebahasaanku ini salah (aq juga malesbanget.com untuk mencari EYD, Buku Panduan Bahasa Beku, dll itu terlebih dahulu sebelum menuliskan ini) dan ada yang bisa membuktikan kesalahan “prasangkaku” ini—walau debat ilmu sosial bukanlah se-objektif natural-sains dan eksakta, atau setidaknya salemakpeak tata bahasaku ini ada bahan untuk diserang kan, hehe. Saya jadi tergoda ingin membicarakan ini karena ganjalan yang saya temukan dalam membaca artikel jurnal ternama tersebut, bagiku, membuktikan bahwa penulisnya kurang intelek dan tidak terlalu terbiasa menulis (kebetulan aja aq juga tahu orangnya)—karena ini sifatnya automatic kebiasaan kita, akan jebol ketika menulisnya dipaksakan krn tuntutan pekerjaan—dan lemah kemampuan memahami dalam membaca sehingga habit ketepatan penggunaan kata berakhiran ‘–onal’ ini tdk otomatis ingat sebelum diedit. Saya ingat di kampus almamater dulu itu, ada juga kalangan junior ini yang bacaannya se-abreg tapi tetap saja rasa-rasanya bodoh orangnya; karena dasarnya sekedar rajin saja, bukan pintar dari sono-nya. Oke, gitu aja. Silakan dikorek-korek kesalahan berbahasa saya tersebut yang ngaku-nya anti bertutur klise ini; akan ketemu se-abreg-abrik juga mungkin salahnya, hehe. Ndag usah emosi; anggap aja ini tulisan sirik dari orang yang kepancing kejahilannya karena kangen sudah lama tak ketemu tiba-tiba melihat namamu ada di buku-buku. Toh, kalok aq yang nulis cuman di blog gratisan non-mainsteram gini, rasa-rasanya juga tak kan ada faktor-dampaknya; dan itu pun aq sudah berusaha menghindarin nyebut nama ya fren; jadi mudah2an tidak ngefek pd bad track-record yang diumbar ke publik segala deh. Sayah mah cumah gemes saja melihat miss-diksi of word class sepelemu itu yang “ber-onal onal-ria” di artikel yg di-publish (katanya) universitas hebat tea (padahal katanya konon engkau/kalian ahli bahasa). Aq sebetulnya dahulu kurang tertarik di bidang linguistik-bencong ini; mungkin karena dulu kita didogma dengan pendekatan tradisional-normatif yang membosankan, hafalan, dan serba-robotik (kurang mengolahragakan logika). Cuma akhir-akhir ini, karena ikut-ikutan mau menjadi magister pandir, aq jadi terbiasa lagi mendetaili kosakata diksi berbahasa org laen, “buruk muka, cermin dibelah, usil yu ya cuahh”. Cilukbaaa!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!