Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

ode to myfamily
Apa-apaan wuini? Moengkin begitit-lah expresi swara hati jk andai ada di antara pembaca generasi-z posmilenial sekalen yg datang mengintip ke blogku ini. Wiitu adalah dua perkosakata dlm bhs Minang sodara-sodara/i. Agak nyentrik seh, krn sebagai org minang tulen aq sendiri pun sudah lama/jarang tak mendengarnya (maksod Lo?). Bahkan kata badaceh ini sendiri mungkin aq jg salah nih penulisannya; karena samar kuingat juga terdengar sebagai *badanceh atau badoceh atau apalah eh (konfirmasi saja ke pemirsa minanger’s lainnya, Sob). Kosakata saisuak ko diucapkan ibuku ketika memberikan tips bumbu2an extended guna meracik sop ayam yang lebih berasa dan super-yammy. Kebetulan, sejak kena asam lambung parah kemaren aq jadi pandai masak sup sendiri kini. Tapi masakanku formasi bumbunya tadinya masih sedikit, supaya mudah diingat. Yakni: lengkuas, (satu lagi saat ini aq lupa namanya apa, tapi ‘barang’-nya ada tumbuh di pot depan dapurku), duet ‘asoi’ saledri-bawang perai sarebuan seikatan, bawang merah-bawang putih, garam secukupnya, dan tentu saja air halal (maksudku, nge-supnya jangan pakek beer). Sempat pula dulunya aq tambahin kunyit karena warnanya sama dengan bumbu yg kulupa namanya itu, padahal kunyit utk gulai. Sekarang aq dikasih beri tahu bumbu-bumbuan yang lebih lengkap sehingga rasa sup ayam ini akan lebih badaceh!

Walau sehari-hari berbahasa Minangkabaw saja di rumah, tetap saja bagiku agak geli mendengar istilah liyan yang satu ini. Mungkin vocab satu ini itu tidak begitu aneh bagi orang kampungan tulen sptmu yeee hehe. Tapi buatku, andai tak diucapkan mamaku mungkin aq tak akan pernah ingat lagi untuk menggunakannya. Karena banyak kosakata dalam bahasa Indonesia dan keinggris-inggrisan hingga kearab-araban untuk menggantikannya, yang berartikan dalam wilayah medan makna makanan yang rasanya enak, ajib; namun sebetulnya untuk lebih presisi, ini kosakata punya pengertian khas juga yang tak bisa tergantikan kosakata bahasa daerah lainnya. Paling ada satu kosakata sleng yang bisa dibilang paling pas mewakili makna badaceh ini yaitu maknyus! Tapi kurasa bisa kurang persis juga, karena arti ‘maknyus’ ini mendeskripsikan rasa nikmat makanan sebagai keseluruhan-final. Sedangkan pada arti kata badaceh—setidaknya dalam konteks kalimat percakapanku dgn ibuku itu—menunjukkan pengertian rasa makanan yang jadi enak dikarenakan adanya bumbu tambahan tersebut yang “mem-badaceh-kan-nya” xixixixixi. Jadi men-translasi itu bisa saja menjadi pekerjaan yang sangat rumit ya sodara-sodara. Lihat saja google-translate tuh bagaimana klo terjemahan jika hanya mengandalkan apa adanya arti kamus. Patutlah terima kasih harus diucapkan para googling researcher sekalen kpd mommy-ku, karena kini makna dan “rasa” dari arti kata badaceh terarsip digital dlm eternality ala dunia maya by bayan-nya native speaker sptku.

Satu lagi yang pengen saya tambahkan adalah kata jimek (bukan ‘jimat’ yaa guys). Bahasa Minang juga; atau minang Padang kota atau Padang pinggir kota atau citizen and villager seputaran sungai Lubuk Minturun inilah setidak-tidaknya, jika orang minang daerah lainnya mungkin tidak mengenal regiolek ini (sorry yaw, pihak yang merasa paling tahu teori dlm ilmu bhs gak usah marah klo gw buat istilah sendiri dan tidak patuh-patuh gitu aja pada kategori-kategori yang dibuat-buat dan dirumuskan oleh kartel-koneksi orang-orang merasa pintar dan punya otoritas spt Anda hihi). Artinya adalah tandas abiss. Saya belum menemukan kosakata apalagi dlm bahasa Indonesia untuk pengertian ini. Punya makna ‘tuntas’ tapi biasanya dalam konteks menghabiskan makanan sehabis-habisnya. Jadi ia bisa juga punya makna lahap walau dalam bahasa Minang ini lebih seringnya disebut cangok (klo kata org medan congok, tapi nyampe di lampung congok ini jadi berarti ‘bajingan’ atau ‘idiot!’, konon seh kata lawan debat linguistik saya di medsos hehehe). Konteks pengertian dan peng-arti-an kosakata ini—yang juga sudah lama tak terdengar di telinga sok ngota saya—adalah ketika ibuku (lagi-lagi temennya cuma mamanya neh à “a boy's best friend is his mother” said Norman Bates {Anthony Perkins} dlm Psycho, 1960) ketika berkomentar bedanya cara makan ayam dan kucing. Kucing biasanya klo cuman dikasih nasi suka masih bersisa karena bangang (ahayyy, kosakata baru lagi neh), sedangkan ayam jika volumenya tidak terlalu banyak bakal dibikin habisnya (style bhs Minang: habise) nasi/remah ini (apalagi beras) yang kita “hidangkan”. Contoh cara bermakanan yang dihabiskan dengan metode jimek/lahap ini adalah ketika saya dulu waktu kecil makan es kampiun; kalok sedang enak-enaknya berasa, pas sudah habis mangkuknya pun akan saya jilat-jilat sampai tidak ada lagi setetes air kuah pun yang bersisa (aihhh, kayak kucing gw, miawwww). Kalo kata jimek ini mungkin saya gak akan pernah lupa karena ini juga adalah nama panggilan-plesetan seorang kawan masa kecilku bernama Jimmy yang kini telah meninggal dunia. Terlebih seingatku terakhir pernah melihat dia sewaktu sedang ngojek di Simpang Tabing sana melengos begitu saja. Memang begitulah dunia pertemanan-sementara ini kawan-kawan sekepentingan sekalen hehehe.

Menarik juga bagiku untuk merekam kosakata Minang yang bagiku sendiri yang berbahasa Minang ini sudah jarang terdengar. Dimana-mana kulihat kini orang mulai makin berbahasa Indonesia-raya, padahal logat Minangnya juga keliatan banget tapi songongnya mintak ampyuun merasa keren jadi orang Jakarta kamprettt lahh hehe. Ini lagi-lagi mengingatkanku kepada seorang pelayan rumah makan Padang di Jatinangor sana yang enggan berbahasa daerah dgnku yang bisa dimaklumi juga mungkin krn tuntutan pragmatis berusaha utk tidak terlalu menonjol dan jadi sorotan sebagai org yang berbeda karena harus hidup beradaptasi untuk mencari nafkah di tengah-tengah negeri org lain (kompleks banget nih kalimatnya, 4 hektar klausa saling-berjumpalilalitan, biarkan ajalah, editor yang repot, biar ada job utk dia). Selain saya juga mengerti ini soal prestise atau “gengsi” yang nomor satu urusannya buat org Minang; dan rasa2nya jg begitulah karakter biasa semua manusiawi (humanitat-universal) juga. Seorang temen SD saya saya lihat juga berkomunikasi dlm bhs Indonesia dengan anak balitanya. Sebagai mantan koki di hotel mewah, mungkin dia merasa kemampuan berbicara dlm bhs Indonesia yang lebih fluent penting utk karir cari nafkah anaknya. Bahkan adik sepupuku yang anaknya sudah sekitar lima tahun ini juga kusindir-sindir krn ngajari anak gadisnya sok berbahasa Indonesia, kenapa tidak sekalian berbahasa Inggris saja? Yahh, bapaknya sendiri bahasa Inggris juga gak bisa hehe. Kalau dalam kajian sosiolinguistik ini mungkin masuk ke telaah psikologis inferioritas bagi pengguna bahasa ekonomiolek sub-stratum atau bahasa kasta bawah(!) xixixixi. Kenapa? Apa karena yang/kalo bahasa Minang-nya tulen gitu logat lidah ibunya secara survey membuktikan punya (prospek) pendapatan lebih rendah? Yahhh, ujung-ujungnya pasti anu.... Kalok gw sih diijinkan Allah (ber-andai-andai ini yaa) punya bibit-keturunan juga, akan kutularkan “kelainan” genetikku ini utk tak perlu ikut arus gaya2an berbahasa Indonesia buat prestise (dan bisa dimaklumi utk politik konformitas-kepentingan ekonomi juga) spt kelakuan manusia2 sebaran normal yg saling berebutan utk berusaha-“berjihad” guna bisa naik ‘kelas sosial’-nya itu (ciehhh, mulai nyinggung teori pertentang kelas nih hehe). Sayangnya saya takut bapaknya sendiri si saya ini juga tdk fluent bahasa Minangnyahh!

It was pretty funny. That's why I don't like it. We'll be doing this for real. I don't want anybody remembering a stupid joke and getting going again. Ever try not to laugh in church when something funny gets stuck in your head?

Tom Hanks, The Green Mile (1999)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!