Ketika Rido Roma “Berlatih” di Apsas Sana

Salah satu yang menyenangkan dalam hidup ini dan patut untuk dikenang sebagai sebuah kualitas yang akan langka terjadi adalah ketika kita beroleh berkesempatan berpertemuan dengan orang-orang yang ber-inteletualitasnya di atas rata-rata; dan ini yang (sebetulnya) pentingnya: sempat menjajal ketangguhannya—dan ini yang lebih betul dari sebetulnya: free of fee/charge kecuali biaya listrik dan kuota internetnya! Meski penjajalan ini hasilnya akan bisa berdarah-darah, penjagalan, dan bisa membuat dua lobang di sisi berseberangan pada bagian tubuh bawah perut kita ini, anus dan anu, akan buang “ingus” berbarengan: mencrettt, gusekali ejakulasi di waktu yang bersamaan. Ya, yang saya bicarakan adalah sikap konfrontasi/tif kepada orang yang lebih kuat ilmunya tersebut (belum disebut) dari kita. Bukan mental pembebek manut ngikut-ngikut ngerucut ngecucut mencurut percaya-percaya aja kepada khotbah dari si orang “besar” tersebut (yang sudah disebut, walau belum betul-betul ter-sebut) yang seolah menihilkan peluang bahwa ia bisa saja khilaf, memang mutlak salah, atau hipnotik asumsi kita selama ini yang terlanjut over-rated sajalah kepadanya.

Ya, yang saya maksud adalah sebuah insiden transfer pengetahuan yang “insidentil” nirlaba ngencani buta, bukan dari sebuah proses normatif  bisnis pembelajaran yang tak perlu lari-lari kambing pulak—gayah bertuturnya penyair si Saut Situmorang nih, rival kekiniannya Mbah Gm-Gm and geng neo-liberal komunitas solehara (atau setidaknya terlihat begitu), yang dijunjung pula oleh para pemujanya (mungkin dari kalangan neo-lekra) di grup medsos Apsas sana—untuk menghindar atas stigma sebagai pelacuran intelektual dari para pemilik jidat-jidal lebar yang ada tertempel price tag-nya itu bagi setiap sen ilmu yang hendak mereka “sedekah”-kan. Tentu saja, sebagai sebuah entitas ekonomi itu sah-sah saja, halalun-thoyiban, sebagaimana pula Stalin menafsirkan lain manifesto komunisme “sama rata, sama rasa” dari keotentikannya sebagai bahwa setiap orang mendapat sama akan apa yang ia butuhkan namun setiap orang tidak memberi sama akan apa yang mereka punya kemampuan; eh kebalik yaa hehehe.

Sekitar satu-dua minggu yang lewat—yaikk kira-kira ajalah bung, tidak usah menuntut ke-presisi-an di dunia tebak-tebak buah manggis begini—sebuah akun fesbuk abal-abal yang menamakan dirinya Bung Rido Roma (selanjutnya untuk menghemat tenaga jemari men-tik disingkat sajalah ke RR, bukan Rizal Ramli Si Rajawali Ngepret yaa) mendaftarkan dirinya bergabung ke sebuah grup pecinta sastra bernama Apresiasi Sastra alias diakronimkan ke Apsas saja. Rupanya ini bukan grup medsos abal-abal tempat berkumpulnya para anak alay-alayan pecinta puisi cabe-cabean, novel tere-liyean, dan drama bawang merah-putih, melainkan sebuah grup “seniman” indie yang sudah karatan berlumut di dunia aktivis maya kesusastraan Indonesia. Sepertinya sebagian atau mungkin sebagian besar alumnus portal Cybersastra nan legendaris itu ikut hadir menghuni grup fesbuk yang anggotanya ribuan orang ini; dan kemungkinan sastrawan semua ini, bukan cebong. Sontak saja ketika ia mengkhutbahi seorang alkoholik Saut Situmorang dengan khotbahnya Romo Mangun bahwa pada awal mulanya sastra itu adalah religius (pakai tahun terbit dan halaman buku lagi) segera menimbulkan reaktif.

Walaupun dengan Saut yang tulisan-tulisan jlebnya di situs bumiputra itu kerap mem-bully filsuf Indonesia kontemporer Goenawan Mohammad dkk (entahlah ciyus atau akting doank) ternyata RR tidak sempat terlalu jauh “bersitegang”. Tidak sempatlah sastrawan senior Saut membongkar kejunioran RR dalam dunia wawasan sastra Indonesia bahkan kesusastraan dunia. Belakangan RR malah jadi panjang berdebat dengan dua orang lagi para senior mumpuni di grup sastrawan Apsas ini: Ahmad Y Erwin (Y-nya ini apa agak lupa) dan Nurdin Asyahadi. Perdebatan RR dengan AYE  dipicu pernyataan AYE mengenai uji linguistik terhadap karya sastra, sedangkan dengan NA entah gimanalah awal mulanya dan rasanya juga malas untuk memikirkannya. Referensi AYE dan NA yang bejibun begitu di dunia ilmu pengetahuan lintas disiplin ilmu sepertinya tidak menciutkan nyali RR untuk terus membantah para seniornya itu. Untung saja kepala sukunya penyair SS (yang sudah terlanjur ter-sebut) tidak turut menghajar pengetahuan minimalis RR karena RR terlanjur men-skak-nya yang ceroboh mengungkap “ketakmampuannya” dalam membaca makna sebuah baris-baris puisi yang sebetulnya sederhana saja. Terakhir RR panjang berdebat dengan NA untuk menjajal sejauh mana pengetahuan se-upil-nya itu sanggup bertahan dari meriam wawasan sastrawan filsuf senior yang hyper-duper-galak ini—walau padahal belum tentu juga beliau benerrr yeahh. Kebetulan karakter NA ini suka misuh-misuh dengan ungkapan-ungkapan yang sesarkas mungkin, entah eksyen atau beneran kepribadian. Sepertinya akan makan waktu dan mencari banyak buku bagi RR untuk bisa meladeni setiap kalimat senior NA yang ditujukan padanya. Padahal bisa jadi RR hanyalah seorang driver gojek yang sesekali ikut nimbrung dalam diskusi filsafat mengisi waktu senggang sebelum muncul notifikasi untuk menjemput pelanggannya datang. Dan pada akhirnya RR terlihat capek dalam berlatih menghadapi pukulan senior-seniornya itu, lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka. Siapakah Bung RR akun abal-abal ini sebenarnya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!