Repiuw Pelem "Jackass Bad Grandpa" (2013) dan "Anie Hall" (1977)

anie hall review jackass bad grandpa
Ass'alamu'alaikum wr, wb,. Pertamax (walaw tergeletak dikalimati ke/dua) mar’ilah kitak panjat—emberrrr, emang pohon khuldi—dan senandungkan kidung puji serta sukurr ke hadirat Tuhan di "atas" sana yang kita sok kenal aja; yang padahal you don't know shit cuman ikut-ikutin "arahan cq tuntunan" arus mainstream ajahh. Maklum, dishibukkan oleh beban hidup nyari duwit yang tidak melanggar hukum formiil serta etika konsensus topeng bermasyarakat. Walau itu profesi mubazir, bahkan men-dekandensi peradaban, seperti menjadi dosen/guru/ustadz nan bloon. Iya toh; daripada di dunia fana(tik) ini orang-orang dibuat sibuk saling perang dan saling rampok terang-terangan. Mari kitak mainkan "perang-perangan" versi “softek”-nya. Ya, supaya dianggap lebih beradab gituu; lebih ngancil kira-kiranya. Banyak akal, esensinya sebetulnya gitu jugakk. Kemudian tak lupa pula sholawat dan shalom kita kirim-kirim kepada Baginda Rosul yang kerap kita catut namanya meng-atasnama-kan kebenaran absolut. Padahal ujung-ujungnya taktik cari profit jugakk, yang padahal beliau berkuasa bukan untuk itu motif semasa umur hidupnya. Hyang "hukum-hukumnya" sering kita jadikan dalil/dalih untuk mem-vonis pihak lain dengan mengabaikan asbabun-konteks untuk zamannya dengan keyakinan yang diyakin-yakinkan bahwa sabdanya selalu sinkronik-universal di segala zaman dan tempat situasi punapa. Tapi kalok dihitung-hitung lebih menguntungkan ditafsirkan lain bagi kelompok kita, maka kitapun pintar-pintar cari dalihnya; yang penting kadung sudah tebar pengaruh ke orang-orang dongok korban iming-iming sejuta keni’matan-fantasional-ilutif. Tapi yahh, manusiawilah yaw. Mudah2an penamaan <baginda> kepada beliau tidak dianggap lebay sok puitis <adinda things> karena because tidak ada petunjuk nash yang berpasti-pasti tentang "etika" penamaannya; sebagaimana jugak kami patuh dengan himbauan tidak menyebut Muhammad SAW dengan nama-terang directly seperti kebiasaan kaum kuffar dan para orientalis—lebih dari gak sopan kalok gitu kejadiannya, apalagi kalok disengaja bukan karena jahil atau awam. Kemudian tak lupa semoga tidak disalah-salahkan pulak penggunaan fonalek /o/ pada terminologi <rosul> ini yang tidak dikenal oleh tradisi huruf vokalis bahasa Arabik; bukan karena strategi dakwah untuk lebih akrab dengan logat costumer local yang diincar, melainkan semata karena kami memang bodoh aja, taktahu konvensi tatabahasa pihak sana.

Baiklah, daripada kejauhan bicarakk tentang agama'-agama'an yang kami sebetulnya ndak kompeten ini (baik secara sertifikasi formal ataupun politis) kita kembali saja kepada judul artikel ini termaksud yakni membahas: pelem. Tepatnya film bajakan yang kami download secara "gratis" ke hardisk "penadah" di kompi kami niyy, hihi. Sebetulnya, tentang movie atau cinema ini pun kami jugakk belum terlalu kompeten untuk sok jadi reviewer, namun akan tetapi, setidaknya lah kalo sok-sok-an merasa tahu di bidang "liberal" dan "tidak bermanfaat" ini kami berani untuk menggonggong karena yakinlah tak akan ada histeria massa pekok dari geng Islam sontoloyo yang hobi rame-rame melakukan persekusi. Kecuali kalok film "Passion of the Christ", misalnya, kami olok-olok sebagai tafsir subjektif dari aneka alegori tentang kehidupan Sang Isabnu Maryam atau Jezz from Nazareth tersebut; mungkin akan ada juga intelektual-puritan neo-ortodoks yang punya pengaruh politik/ekonomi akan tak senang pada kejujuran ilmiyyah kami. Apa boleh buat. Resiko harus diambil jika tak ingin hanya diam tidur-tiduran menanti pengadilan akhirat tempat membongkar semua tipu-tipu di dunia nie nantik. Ya iyalah, lebih baik hare-hare indehoi dibelai-belai angin yang sepoi-sepoi menikmatin waktu yang sebetulnya sebentar aja dari azan ke iqomat ini daripada terlalu serius ikutan rebutan receh-receh dengan kaum kuli kafirtalisme globalism di kaki-kaki tertindas piramida hukum proporsi 80:20 kue sebaran kesejahteraan. Dan lalu selanjutnya, sadar tidak sadar, jadi bagian dari tunggangan berbagai faksi kekuatan politiking yang saling saing sikut untuk menuju puncak kenikmatan di puncak kekuasaan sana. Ciyus bangett abang nie, h-five dulu ach, toss!

Masukin kita ke film: kedua film yang ingin kubahas ini sama-sama udah tersimpan lama di kompi. Udah tahunan juga mungkin, idle for years. Maklum, satu pelem itu durasinya bisa sekitar dua jam, kadang-kadang rasanya rugi juga meng-alokasikan sisa umur untuk amalan-amalan yang katanya sia-sia ini. Kalo nonton sinema "nut/bocop" setidaknya ada manfaatnya untuk pelepas ketegangan dan menetralisir keseimbangan kejiwaan, hehe. Sengaja sekaligus kali ini review film-nya akan kumadu pembahasannya dua bidji sekaligus alias nge-bioskop secara threesome-an; selain karena waktu menontonnya berdekatan dan beriringan, juga karena aq menemukan sebuah pola pemaknaan/reseptik antar keduanya.

Hyang pertama abang pantengin ya dinda yaa habibah adalah Anie Hall. Ini film oldschool banget, meski nggak se-klasik Cassablanca (1942 kalok ndak salah, masih hitam-putih tapi udah ada sound-nya) yang bisa dibilang syahadat-sinema bagi setiap orang yang mau terjun serius ke dunia kritik/analisis film. Film Anie Hall ini juga film popular. Bahkan mendapat Oscar di tahun 1977 tersebut; yang kalo ndak salah untuk akting aktor ceweknya, Diane Keaton, dan kategori skenario terbaik (entah siapa yang nulis, lupa). Sutradara sekaligus aktor utamanya adalah cowok “cunihin” berkacamata lebar bernama Woody Allen; bukan nama asing lagi yaa. Ini adalah sebuah film humour (mungkin bisa dibilang satire atau dark-comedy juga) yang sangat berat dan bisa dianggap film serius bagi saudara-saudara kita yang ber-IQ jebot kurang asupan informasi tentang konteks kultural pikiran kaum "barat". Pantes ia menang di kontes Academy Award tersebut karena disini tidak ada lelucon kacangan; bahkan sepanjang film penuh dengan dialog-dialog hiper-intertekstual kepada pelbagai hal-hal mind-fuck lainnya seperti pemikiran-pemikiran filsafat dan sejenisnya. Saya ndak bisa men-contek-kan kutipannya walau sangat banyak karena kalok lagi nulis biasanya aq offline; dan kalok mau online dulu nyari referensi bakal makan waktu pulak. Mending gw beresin apa-apa yang mo ditulis seingat-ingatnya aja dulu; sebelum mood memudar dan demi blog gw agar tetap up to dead yoi. Oya, judul film ini sendiri adalah nama dari pacar/bininya si aktor utama (Alvy Singer, kalok cuma nama begini tidak terlalu sulit untuk diingat), meski menurutku dia kalah dominan justru dalam film ini dibanding si Woody Allen tea yang memerankan aktor utama itu, yang kerjanya nyerocos-intelek sepanjak durasi film diputar. Oya lagi perlu dicatat, di film ini ada teknik yang mungkin pertama kali terjadi dalam sejarah pembuatan film seperti ketika Alvy berbicara kepada kamera/penonton dan proses recall memories yang berlangsung di satu set scene (gimana yaa cara jelasin ini, hehe).

Setelah dibuat ngakak secara ejakulasi-cerdas oleh film ini, (mungkin besoknya, aq gak ingat persis) kemudian saya menonton film "Grandpa" tersebut. Ini film rating jelek di berbagai forum maya. Entah kenapa ku-download juga, mungkin didesak time-limit jatah kuota paket internet. Yang jelas walok sudah sejak lama existing ia sama sekalik tak menarik minatku at all untuk prioritas menontonnya. Dan entah bodoh seperti apa yang sedang menghinggapiku—padahal masih banyak koleksi film lebih bermutu lain yang sudah “kucolong” juga yang ngantri untuk "dipelajari"—aq malah menonton film humor “tak dianggap orang” ini tepat sesudah aq dibuat puas oleh film humor kelas-atas selera tinggi seperti Anie Hall tadi. Betapa hambar akan menyaksikan film humor yang buruk setelah menikmati yang sangat bagus. Ibarat sehabis senggama dengan Cleopatra, aq malah tertarik mengimpoi pembantu Inem versi tidak seksi, duhh. Kalo dalam dunia kajian seks ini mungkin akan didiagnosa sebagai kelainan hormon. Bosen melihat yang cantik-cantik terus, malah baru teransang lagi begitu melihat betina biasa-biasa saja, hihihi.

Film "Jackass Bad Grandpa" ini dibuat secara semi-dokumenter dengan takada satu pun aktor terkenal. Mungkin yang produksi juga bukan produsen film yang sudah establish di bisnis ini. Oh, sebentar kayaknya aktor utamanya cukup punya nama tapi kalo tak salah ingat ia di-make-up jadi tua untuk memerankan sang grandpa atau kakek si tokoh utama. Teknik semi-dokumenter ini pun sebetulnya untuk jaman now udah biasa saja; bahkan norak terkesan unproffesional dan low-budget seperti syuting-syuting amatir para youtuber yang makin menyemut di jagat self-publikasi dunia maya yang tambah ramai aja itu. Cerita basic film ini adalah tentang seorang kakek, yang baru saja "bebas" karena kematian istrinya, mendapat "ikatan" lagi saat harus mengurus cucunya untuk diantar ke kota lain tempat terdapat menantu/bapak dari cucunya itu. Aktor yang akting dalam film ini hanya beberapa orang; yakni si kakek, cucu, anak, dan menantunya. Selebihnya, setiap orang yang akan mereka temui adalah "TIDAK TAHU" bahwa mereka sedang melakukan pembuatan film serius. Banyak di antara gambar dalam film ini diambil dari sudut yang tersembunyi. Sound-nya sendiri memakai semacam mic penyadap di baju si kakek/cucu, bukan tiang bermikrofon seperti yang umum kita lihat dalam adegan pembuatan film. Alhasil, suara yang jelas terdengar hanya suara dialog si kakek dan sang cucu; suara-suara orang lain terdengar agak samar.

Singkat cerita, film yang dirating norak/jelek oleh publik dunmay ini ternyata bisa juga membuat saya tertawa dan cukup terhibur ternyata! Memang harus diakui, berbeda dengan humor-sinis di Anie Hall yang high-level kelasnya, pada film ini kita disuguhi lawakan murahan yang bisa saja dirasa basi. Akting terlalu terlihat dibuat-buat—sebetulnya ini juga ada di Anie Hall, tapi itu memang teknik sinematografi yang disengaja—serta dipenuh-penuhkan saja dengan klise. Salah satu penanda humor murahan tersebut adalah eksploitasi seksual, penggunaan kata-kata umpatan, atau olok-olok atas cacat/kekurangan fisik seseorang. Hal semacam ini sudah terdapat pada adegan awal ketika sang kakek tua bangka ini melakukan masturbasi di lubang koin mesin minuman depan sebuah minimarket. Ceritanya, sehabis istrinya (sang nenek) meninggal ia merasa bebas untuk cari cewek/PSK buat bersenang-senang. Tapi tiap toko/pub telanjang yang ia temui selalu sedang tutup saat itu, hingga ia ketemu mesin minuman yang ada lobangnya di depan sebuah minimarket. Menjijikkannya, kemudian kontol si kakek kejepit di lobang itu. Seperti dibilang, orang-orang lain/publik di scene minimarket dalam film ini tak tahu kalo ini syuting film sehingga terbengong-bengong melihat si kakek meringis kesakitan anunya kejepit. Dan si kakek tentu saja sedang akting dengan menggunakan penis palsu yang sampai lentur memanjang sewaktu ia tarik-tarik dan membuat "penonton" lain di film ini jadi ketakutan bakal putus. Dan entah kenapa humor bajingan seperti ini bisa juga membuat gw ketawa terbahak-bahak.... Hahahahaha! Okelah itu aja dulu, sayah ndak tahu lagi harus berkata apa. Kebetulan tulisanku kali ini udah cukup panjang untuk pantas disebut sebagai artikel dan bisa dimuat di blog untuk hadir sekedarnya; ya, sudahlah kuakhiri saja lahh yaw. Dan selamat ikut menyaksikan bagi yang berminat dan penasaran aja yaaa. Wassakamu’alaikum wr, wb,. NB: salah satu adegan favoritku yang bikin ketawa dus terharu adalah saat akting si cucu yang memajang dirinya sendiri di taman kota untuk mencari/merayu calon "papa baru". Seruuu, mens!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!