LE GRAND VOYAGE, BAKTI THD BONYOK

Sewaktu menyimak thriller cinema Metro TV (waw sekarang stasiun berita ini mulai apresiatif terhadap dunia per-film-an) yang salah satu screen shout-nya adalah film jebolan canes festival "LG Voyage (ndak tau niy bener apa ejaan french kiss-nya)", saya jadi tertarik memosting blox dgn tema ini. Apalagi belum lama ini aku cukup terharu mantengin VCD Savages atau The Savages. [oot: daya ingat gw makin parah aje nih, jika aku ingin melakukan sesuatu dan sesuatu itu tak kukerjakan segera, dalam waktu 5 menit saya bisa lupa! Apa ini gejala pikoen? Pikun di umur 26 hahaha meski makin terasa tapi juga belum terlalu sering lah dan hanya kepadamu duhai Gusti aku pasrahkan sikon ini hihi] Sebelumnya apresiasi dari saya dulu buat Ny. Surya Paloh. Mungkin gara-gara secara formal pemerintah (yang wapresnya Golkar niy) sudah mulai memberi tempat bagi, dan bahkan mencanangkan, gerakan ekonomi kreatif maka mulai bisa kita lihat hadirnya acara2 di Metro TV yang berbau edutainment. Oh guwa paling suka menikmati, ups punten pisan nama persisnya lupa lagi--yg jelas cewe ini lawan main Niko Saputra dalam Three Dies Forever--mengenakan pakaian sexy sembari membawakan tayangan Showbiz Cinema (gantinya acara Cinema2nya Mayong dan Ira Wibowo di RCTI 10 tahun yang lalu!). Lutcu kesannya karena cewe ini "tampang" aslinya tomboy. Tapi, demi kepentingan komersial kalee, dipaksiin dandan feminim (dan aslinya dia eman cantik cuma jadinya aneh saja rasanya geto). Apalagi didampingi sama Mas Fachri Nuril, keliatan banget sengaja ngejualnya. Tapi ya itulah dunia bisnis: apapun dech yang penting orang kebanyakan doyan... "sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi orang kebanyakan,"

(guwa hiro salah satu korbannya, wallahualam)

Back to the topic, tema kedua film ini sama: hubungan anak terhadap orang tua, dan sub-tema: hubungan kurang harmonis anak thd ortu, dan sub-sub-tema: hubungan agak dingin boys with his papa. Film LGV berkisah tentang seorang anak laki-laki yang (awalnya merasa) terpaksa mengantar perjalanan haji papanya dengan sebuah mobil tua (jalur angkotan darat) dari Prancis via Italy via Jugoslavia via Turch via Suriah hingga tanah suci hijaz Makkah al-Mukoramah (hingga lalu bapaknya "tewas" di sana). The Savages berkisah tentang pasangan bro&sis Jon and Wendy yang mesti merawat Bapak "kejam" mereka setelah sekian lama tak jumpa dan, cuma sebentar di pangkuan mereka, Aki-Aki kita ini juga sudah tentu akhirnya "tewas", karena memang sudah sangat pikun (seperti saya) dan tuwir alias sudah selesai umurnya. Apa yang menarik dari kedua film ini? Ato kalo mo lebih populer, pake bahasa yang menarik hati/iman orang kebanyakan: hikmah apa yang bisa dipetik (kayak daun aja ah)?


Tarok saja name anak pria dalam LGV ini adalah Ali (saya lagi-lagi tentu saja udah lupa namanya, kalo tokohnya tsb cewe sexy gw pasti ingat dech). Keluarga Ali (ah mirip nama pemeran Children of Heaven produksinya syiah rafidah yah) adalah imigran muslim asal Afrika Utara. Tepatnya kalo ndak salah Aljazair (kampungnya Mas Zidane tuh). Tapi di film ini sama sekali ndak ada adegan pertandingan bola (apalagi "gulat"), paling juga ada satu scene Ali menendang kaleng bonyok sewaktu bertengkar di tengah perjalanan dengan bapaknya. Bapaknya Ali, sebut saja Mahmud, sudah merasa tua dan sebagai muslim ingin menunaikan rukun haji ke Saudi. Semula kakak tertuanya Ali yg semestinya bertugas mendampingi sang bapak untuk nyetir melintasi benua Europe into beautiful Asia. Namun sang kaka tua ini ternyata kemudian berurusan dengan policia, gara-gara nge-drunk waktu nge-drive, sehingga lisensi nyopirnya ditahan. Akhirnya tokoh kita Ali lah yang mesti menggantikan. Tentu aja anak yg lahirnya sudah di France dan engga sholat ini ngedumel karena buat dia kepergihajian papanya yang tidak naik pesawat ini saja sudah aneh (ingat bro, berapa bensin yg mesti habis dalam perjalanan lintas benua ini). Tapi mau tak hendak ya musti nurut (setidaknya itulah yang tergambar pada suasana adab keluarganya). Di film tsb keliatan sekali hubungan yg kurang cair/hangat dalam keluarga Ali ini (terutama jika dikaitkan bahwa sett film ini adalah negeri romantis Prancis), tetapi terlihat juga tradisi imigran muslimnya bahwa toh ia nurut juga sama sang papa dan hanya bisa memendam dongkol jauh di dalam sanubari. Tidak ada tradisi untuk mendiskusi apalagi mendebat sang Daddy.

Perjalanan berhari-hari ini pun berlangsung dengan minimum percakapan dan juga keliatan sekali kentara beda generasi antar keduanya. Tak ada topik yg bisa jadi bahan obrolan utk mencairkan suasana yg nyaris hening sepanjang perjalanan ribuan kilo tersebut (ah macam lagu Mas Iwan F saja, "ibuku sayang.."). Meski begitu, banyak kejadian menarik utk kita simak sepanjang film "spiritual" ini (lha wong bisa jadi nominator Canes Festival, padahal ini film bersett kehidupan muslim, bahkan ada adegan sholat, Allahuakbar, Lailahaillah, dan Kota Mekah segala!). Mulai dari dihilangkannya oleh Sang Babeh "diam-diam" ponsel (nokia!) yang merupakan satu-satunya alat komunikasi Sang Anak dengan "kehidupannya" di Prancis; perang dingin karena Sang Papa tidak mempedulikan peta dan meminta Ali untuk mengikuti jalan dan arah berdasarkan intuisinya; pertemuan dengan seorang ibu tua tersesat yang justru kemudian jadi petunjuk arah (tanpa perlu ada kata-kata, tanpa perlu sama sekali saling bertegur sapa dengannya!); perjumpaan dan pertolongan dari seorang pria yang sangat bersahabat, sama-sama muslim, sama-sama pernah tinggal di Prancis (sehingga semula disangka sangat baik dan aman), ternyata malah mencuri semua bekal finansial mereka;

dan pertengkaran hebat antara Ali dengan papanya di tengah gurun pasir Syria karena sang calon haji ini ternyata masih saja bisa bersedekah kepada orang tak dikenal di saat mereka berdua sudah tak punya apa-apa lagi!

Jangan Anda bayangkan ini sebuah teladan sempurna dan kisah mistis di awang-awang. Semua berlangsung natural. Sang Bapak bukan tokoh yang tak ada cacatnya. Setiap kebaikan begitu saja terjadi bukan karena ideal secara teori. Saya sendiri di tengah "acara" sempat kesal kenapa Si Bapak bangkotan ini begitu dingin menghadapi segala sesuatu, termasuk kebaikan orang lain di tengah segala amal soleh formalnya. Beliau juga bahkan nyaris tidak memberikan nasehat apa-apa untuk anaknya. Haha, saya ndak 'kan cerita semua dlm tulisan singkat ini. Yang jelas, di jaman dan pola pemikiran modern ini banyak orang yang saking "logis"-nya tidak sanggup lagi memberi(kan) pengertian pada keikhlasan berbuat (baca: beribadah) dalam hidup yang singkat ini. Jika ingin tahu (meski belum tentu Anda sanggup ke level memahami) kenapa Si Papa lebih memilih berangkat haji lewat jalan darat tinimbang jalur pesawat udara, silakan Anda2 sekalian kunjungi rental-rental VCD terdekat (mudah-mudah2an jadi rezki buat pemiliknya dan jadi hiburan sekaligus ilmu buat Anda, amin!) dan lalu tonton dan mudah2an bisa (mencapai level) dimaknai!

Jika ada sanggup sedikit "ndalem" menyimak film yang satu ini, yakinlah luar biasa pencerahan spiritual yang dihadirkan. Orang Eropa kafir saja suka sama film "acara pergi naik haji" ini! Ingat, selami intisarinya, jangan hanya kulitnya!

Dalam The Savages (ah jadi gagok, kepanjangan nge-resume kisah Ali dan papa hajinya)

karena udah kepanjangan sinopsis (eleuh2) LGV maka untuk savages gw cuman bakal nge-review salah satu kejadian romantic-nya saja. Untuk mengobati rasa bersalahnya, barangkali, "menelantarkan" sang ayah di panti werda, Wendy Savages mencoba mengisi kamar panti sang ayah dengan berbagai asesori sehingga terlihat menjadi lebih nyaman. Salah satunya adalah dengan sebuah lampu hias yang unik. Pada awal ia menyalakan lampu tersebut, seperti biasa, sang ayah sempat memaki (maklum, mantan preman yang sudah pikun): "apa gunanya barang itu!" Wendy yang berjiwa seni ini mengatakan bahwa lampu hias unik tersebut adalah sebuah keindahan...

Eeee, malem harinya sewaktu hendak tidur dan perawat panti meng-off-kan semua lampu agar orang-orang tua bangkotan ini bisa bobo, sang bapak menyuruh untuk membiarkan lampu hias unik Wendy yang bernilai seni namun tak berguna ini tetap menyala. Kakek ini menjelang terlelap ternyata menikmati keindahan barang unfungsional namun berseni dari putri kandung tercintanya tersebut. Andai saat itu Wendy menyaksikan penghargaan dan cinta kasih ayahandanya tercinta terhadap cinta kasih dan barang pemberiannya tadi siang. Tragisnya lagi beberapa waktu kemudian sebelum sang bapak meninggal mereka malah sempat bertengkar karena ia menolak sebuah bantal "kasih sayang" pemberian putrinya (sekali lagi maklum udah tua + aslinya memang berperangai buruk pula). Dan masih banyak peristiwa menyentuh lainnya, termasuk dalam hal "interaksi" sang bapak dengan putranya Si Jon. Lebih menusuk hati lagi ketika di akhir film, saat sang ayahanda telah berpulang ke rahmatullah dan Wendy kembali ke tempatnya, kita disuguhkan scene bahwa lampu hias penuh kenangan tersebut dipajang Wendy di kamar "kesunyian"-nya (haha, maklum cewe rata2 sentimentil dengan barang2 yg penuh kenangan).

lalu dimane letak judul bhakti terhadap ortunya? yang atu pelem tentang anak nakal, yang atu lagi tentang bapak nakal... ah saya udeh ngasih dikit "clue" tadi tentang keikhlasan-ortu-anak-benefit-keuntungan? makenye nonton ndiri pelemnya!

Komentar

Posting Komentar

silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!