Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2008

Ketika Cinta Itu Membunuhmu

Gambar
oleh Romi Satria Wahono Mas Romi, saya seorang mahasiswa di Malang, saya mendapatkan penolakan cinta dari pujaan hati saya di kampus. Rasa ini membuat saya agak terseok-seok, dan akhirnya nilai mata kuliah saya jadi hancur lebur. Bantu saya keluar dari masalah ini mas. (Anwar, Malang) Masalah klasik para pemuda sang pengejar cinta, dan para pemudi sang penunggu cinta :( “Cinta ini membunuhku”, itu bahasa D’Masiv :) “Wahai kematian, datanglah cepat kemari, hisap dan dekap tubuhku yang penuh cinta ini”, kalau yang ini kata William Shakespeare dalam Romeo and Juliet. Kahlil Gibran mengungkapkan dalam syairnya, “Bila cinta memanggilmu, ikutlah dengannya meski jalan yang kalian tempuh terjal dan mendaki”. Kisah cinta datang dan pergi dari masa ke masa, menyuarakan hal yang sama dengan redaksi berbeda. Silih berganti dari Layla Majnun, Tristan und Isolde, Roro Mendut dan Pronocitro, sampai Romeo and Juliet. Cerita cinta selalu meggebu dan indah, meskipun ketika kita pandang jauh dari sisi la

Reuni

oleh Samuel Mulia Di atas ketinggian sekian puluh ribu kaki dalam perjalanan dari Medan ke Jakarta, saya merebahkan diri sambil membekap dua lubang telinga saya dengan iPod Touch yang baru saya beli. Rencananya mau membeli yang Nano. Ternyata saking nanonya, saya tak bisa melihat. Saya mengenakan kacamata plus dua, plus silindris pula, masih tak kelihatan. Kemudian iPod Nano itu saya jauhkan, masih juga tak kelihatan. Teman yang menemani saya melihat kelakuan mengenaskan itu, berkata begini, ”Wis to, Mas, penjenengan iku sampun sepuh. Ndak usah neko-neko. Nanti kubelikan iPod Touch saja sing guedi, kayak punyaku. Nanti kan ketok kabeh. Hurufnya guede-guede.” Maka barang canggih itu sampai di tangan saya. Memang benar, size does matter. Dan kok yaaa… sing guede emang pualing uenak. Ketok kabeh. (Mohon maaf, sejuta maaf yang tak mengerti bahasa Jawa, bisa minta tolong tanya teman atau apa saudara). Di tengah perjalanan yang bercuaca terang sebagian dan berawan sebagian, saya mulai menikm

MUNA

oleh Samuel Mulia Muna bukan nama wanita, bukan juga waria atau pria sejati. Itu juga bukan nama rumah makan atau butik yang menyediakan pakaian murah-meriah atau mahal. Muna adalah sebutan untuk saya oleh teman-teman. Dari kata munafik. Alasannya sederhana. Menurut mereka, saya memiliki kemampuan untuk memiliki dua wajah. Mungkin singkatnya, bisa bermuka ganda, atau mungkin seperti mata-mata. Kadang FBI, kadang KGB, kadang BIN. Kadang seperti malaikat, tetapi secepat kilat bisa berubah menjadi pesaingnya malaikat. Sebutan muna itu tiba-tiba muncul setelah lama, lama sekali hilang dari kepala, dan muncul saat saya terpaksa harus menikmati kemacetan lalu lintas Jakarta dari kawasan industri Pulo Gadung ke rumah teman di bilangan Jakarta Selatan, yang telah menghabiskan dana yang bisa dipergunakan untuk makan siang satu kali dan ngupi-ngupi satu kali. Pak Priyatna vs saya Ingatan itu disegarkan setelah saya membaca laporan majalah Tempo mengenai sosok Priyatna Abdurrasyid dalam rubrik ”M

Family value

oleh Samuel Mulia Setelah lama absen di gedung bioskop, akhir pekan minggu lalu saya menyaksikan beberapa film. Dari empat film, hanya dua saja yang berkesan: We Own the Night dan Georgia Rule. Setelah empat jam di gedung bioskop, saya teringat pada peristiwa berpuluh tahun lamanya saat untuk pertama kali menyaksikan film biru ditemani ayah. Ayah menjelaskan ini dan itu karena ia berpikir, daripada anaknya tersesat di luar rumah, lebih baik ia memberi tindakan preventif dari dalam rumah. Saya menceritakan kepada teman-teman kejadian itu, mereka mengatakan ayah saya gila. ”We Own the Night” Family value. Nilai yang ada dan berbeda-beda di setiap rumah tangga. Itulah yang saya dapat dari dua film di atas. Nilai yang dibuat dan yang pada akhirnya memengaruhi setiap anggota keluarga tentang bagaimana memandang hidup. We Own the Night mengisahkan hubungan kakak beradik dan ayahnya yang keras, mirip ayah saya. Yang satu jadi anak ”malaikat”, yang lain jadi anak ”setan”. Mengapa ada dua sosok