Fiksyen
Preface:
Ini sebuah kisah tentang bisnis persaingan usaha. Ini cerpen keduaku (anggap sj demikian per defenisi, at least as identity or just a marking) dalam hampir mungkin 10 tahun; setelah cerpen bergambar citcit ttg kisah merah jambu di sebuah warnet tahun 2008 silam (asekkk baru ngaku anak sastra cinta2an)--yg sepertinya juga ada dimuat blog ini (media yg ownernya gw sendiri, jadi ndak perlu berpolitik2 menjilat2 pantat redaktur koran yg juga maen politik itu. Memang masih kurang reflektif dan cukup mimikrit pada kisah personal, tapi gw punya pandangan akademis bahwa salah satu yg merusak mutu (devaluasi) sastra sekarang2 ini adalah ketika sastrawan menulis karya "bagai" riset ilmiah (padahal ujung2nya fiktif khayalan juga) dan kering estetika sentuhan identitas personal. Biasanya berlindung di balik anjuran sastra kontekstual (ttg kultur daerah/spesifik) krn merasa minder bersaing dgn barat pd ranah tema universal spt psikologi manusia. Tapi harap maklum kualitasnya jauuuuh di bawah para sastrawan2 hebat itu yang saking hebatnya sudah pada level memonetisasi ide sementara gw masih ngocok dgn hakikat arti karena takut2 ditipu sama manusia2 palsu penuh siasat kepentingan ini! #eaaaaaaa
Ganti Dengan Yang Lebih Cantik!
Sudah beberapa hari ini Handsomoeudin pikirannya sedang
kasat-kusut. Dipicu ketemu akun medsos “kawan” lamanya yang mengumumkan
mengakhiri masa lajang tidak secara sejenis. Ya, kawan Hobil (atau dalam akta
lahir tercatat bernama Hobilayd) ini dulu kerap dibuli Handsomueodin dkk
lainnya sebagai fegot alias homo.
Sudah melewati umur kepala tiga, tidak kunjung juga si orang itu punya
kemampuan untuk menyediakan kecukupan modal rasional guna membayar untuk bisa
menikahi seekor betina yang sudah susah payah dengan modal yang tidak sedikit
dibesarkan ibubapak mereka.
Sekarang Hobil kabarnya mendapat durian runtuh akan bisa
mengawin seorang gadis manis dari Italia hanya bermodal kenal di medsos
gratisan dan saling cinta doang (?), ma’enya?
Ilerina, begitu nama cewek cantik yang kejelitaannya memang bikin ngiler itu.
Bisa dibilang levelnya sudah berada di kw nol alias copy-setara dengan gadis majalah supermodel internasional; atau
secakep betina-mahal buruan Mas Ryan Gosling yang digombali pada suatu malam di
depan sebuah toko baju pengantin pada montase Blue Valentine. Sebagian kawan-kawan lama Hobil gembira mendengar
kabar ini—walau mereka dalam hati masih dibuat bertanya-tanya karena keabsurdan
logika mustahil bagi motif peristiwanya.
Mereka selama ini memang “gemar” membulii Hobil (secara
berjamaah/efek konformitas) adalah betul-betul murni gurauan semata-mata atau hereuy saja with no offense; apalagi motif kebencian, apalagi kedengkian (lah orang
terlihat susah, masak masih ada yang bisa bikin kamu iri?). Palingan juga sedikit ada unsur hiburan-pelarian bagi kesesakan
hidupnya sendiri, dan rasa-rasanya ini “kejahatan” yang masih dalam taraf
toleransi lah ya supaya kaidah norma-hidup ini ada nilai kelentingannya
(fleksibel sedikit) alias tidak baku-baku amat.
Tapi lain dampak psikisnya bagi Handsomouedin. Hen (okelah
kita eja begitu sajalah biar ndak ribet dengan spelling) sebenarnya sudah sejak lama memang serius tidak suka sangat
personal banget kepada Hob (oke kita begituin jugalah biar menjadi formasi
deiksis yang setara secara topografi klausa dan efisien dalam penggunaan abjad).
Itu gara-gara Hen berperspektif memandang Hob sebagai rivalitasnya pada suatu
masa dulu. Dahulu sekali, mereka berdua pernah sama-sama kuliah di satu kampus
alias sealmamater, bahkan program studi yang sama dan sekelas. Jadi ini sudah
dimulai jauh sekali sebelum era-politikkantor yang mau tak mau mesti dimainkan
para homo homini lupus ini untuk
resolusi konflik demi terciptanya konsensus damai-sandiwara persaingan
cari-senang dan cari makannya game The
Fittest Survival.
Hen dan Hob setamat sekolah menengah sama-sama melanjutkan
kuliah ke jurusan sastra Indonesia sebuah universitas sangat ternama di pulau
Jawa; walau sayangnya para remaja lugu ini tidak tahu kalau jurusan itu berakreditasi
C secara formalitas objeksivitas asesmen kognitif-reduktif (dan malah
kenyataannya bahkan lebih buruk dari ini). Alasan Hen masuk jurusan paling
tidak favorit sedunia ilmu ini sederhana saja: karena ia tidak suka matematika.
Lebih tepatnya: otaknya tidak mampu (semoga tidak terdengar terlalu kasar...).
Namun Hen yakin aspek kecerdasan itu punya banyak dimensi, tidak hanya
matematis. Bisa saja seni, sosial, politiking, atau agama dan bahkan dunia
skill tipu-tipu.
Karena sudah berminat pada puisi sejak playgroup (lebih tepatnya: mampunya hanya segitu) dan pengalaman
selalu didaulat menjadi pembaca sajak-sajak membosankan, dangkal, dan klise
dari buku-buku teks sastra-ngetop untuk anak-anak sekolah menengah, Hen
memutuskan masuk fakultas sastra dengan tekad untuk menjadi sastrawan terkenal
dan dipuja-puji serta dikagum-kagumi dan dijunjung banyak orang hingga sejuta milyar
tahun ke depan aminnnn. Yapp, inilah optimis sejati: punya target amalan bahkan
melampaui umur alam semesta alias posduniawi oriented. Hmmm, betapa sedapnya menjadi manusia-patron yang dikira
orang lain di sekitar kita sempurna bermoral tingkat dewa. Inilah yang
dinamakan soft-power, berkuasa tanpa
perlu mengintimidasi dengan metode fisik dan secara vulgar. Jadi bukan hanya
jargon NATO-platonik jika ada sticker
truk bertuliskan: pikiran adalah senjata,
walau akan lebih tidak mengada-ada dan masih logis ceritanya jika para sopir
bus om-telolet-om itu kemampuan berpikirnya baru di level: kutunggu keempat-empat jandamu!
Tapi apa boleh buat, ternyata di dunia kampus-kampusan atau
lokalisasi menara gading akademik ini Hen tidak bisa hanya mengerjakan karya
ilmiah syarat kelulusannya dengan menulis sebuah sajak pendobrak norma seperti:
haii pseudo-sains, yeah you, full-stop!
Demi kepentingan menggapai slot/pos pekerjaan atau punya tempat dalam sistem
norma sosial yang adanya kini, ia lebih banyak mendalami linguistik-normatif
lalu kelak bekerja sebagai editor usaha penerbitan buku. Terperosok ke dalam
“hal-hal sepele” seperti dikatakan Syaikh Salman yang bukan raja, menjadi
penafsir pertama untuk mengoreksi maksud ungkapan pengarang lain, bermain-main
dengan the devil in the detail.
Hen sebetulnya jenuh dengan pekerjaan ini, karena ia
sebetulnya ingin jadi pengagum karyanya sendiri sebetulnya. Tapi apalah daya,
jika tidak berkomitmen pada apa adanya lowongan dalam sistem sosial-ekonomi
bagi seorang sarjana (entah bahasa, apa sastra) seperti dirinya ini lalu apa ia
harus mencari nafkah dengan jualan takjil saja? Atau ia beralih ke bisnis
IT—sepertinya banyak orang-orang di bidang dia yang banting setir keilmuan
karena tuntutan ekonomi—sementara banyak di beritakan usaha start-up digital sudah tidak cukup kuat
modal lagi lalu tumbang karena tidak bertahun-tahun tidak kunjung
menguntungkan. Entahlah, yang pasti Hen harus punya uang supaya tetap dihormati
orang, supaya bisa kawin, supaya dapat yang ena-ena
itu. Dan sikon kekinian bisnis penerbitan buku konvensional juga mulai sesak
napas; karena kehadiran cara-cara baru interaksi manusia via internet dan
turbulensinya kepada jejaring hubungan ekonomi yang sudah memapan. Seolah
tombol reset sedikit diberi sentuhan sehingga semua aktor kompetisi cari makan
ini harus memulai lagi dari awal dengan menyamakan modal.
Dan ditengah karut marut kehidupan dan penghidupannya ini
Hen dibuat tambah muram mendengar kabar (sepertinya) menyenangkan dari mantan
“temannya” si Hob itu. Saat Hen seakan hidup di titik paling nadir pada grafik timeline komplit kehidupan waktu ke
waktunya, Hob—si orang yang ramai-ramai dulu kita buliin itu buat senang-senang
terhibur melihat ada orang lain yang lebih menderita—sekarang seakan sedang
nikmat berada pada zenith-nya.
...ber-sam-bung.... (SHOLAT DULU!) <---------- modus ini, dulu pernah juga nulis artikel
yang tidak selesai sekali tulis dengan alesan ibadah (info)
Padang, 21 Juli 2017
"mereka telah memperlajari tentang manusia dan sekarang mereka akan mengetesnya, at the end of the day people are out for themselves" #The Belko Experiment
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh