Dari Badaceh, Hingga ke Jimek
ode to myfamily |
Walau sehari-hari berbahasa Minangkabaw
saja di rumah, tetap saja bagiku agak geli mendengar istilah liyan yang satu ini. Mungkin vocab satu ini itu tidak begitu aneh
bagi orang kampungan tulen sptmu yeee
hehe. Tapi buatku, andai tak diucapkan mamaku mungkin aq tak akan pernah ingat
lagi untuk menggunakannya. Karena banyak kosakata dalam bahasa Indonesia dan
keinggris-inggrisan hingga kearab-araban untuk menggantikannya, yang
berartikan dalam wilayah medan makna makanan yang rasanya enak, ajib; namun
sebetulnya untuk lebih presisi, ini kosakata punya pengertian khas juga yang
tak bisa tergantikan kosakata bahasa daerah lainnya. Paling ada satu kosakata sleng yang bisa dibilang paling pas
mewakili makna badaceh ini yaitu maknyus! Tapi kurasa bisa kurang persis
juga, karena arti ‘maknyus’ ini mendeskripsikan rasa nikmat makanan sebagai
keseluruhan-final. Sedangkan pada arti kata badaceh—setidaknya
dalam konteks kalimat percakapanku dgn ibuku itu—menunjukkan pengertian rasa
makanan yang jadi enak dikarenakan adanya bumbu tambahan tersebut yang “mem-badaceh-kan-nya”
xixixixixi. Jadi men-translasi itu bisa saja menjadi pekerjaan yang sangat
rumit ya sodara-sodara. Lihat saja google-translate tuh bagaimana klo terjemahan
jika hanya mengandalkan apa adanya arti kamus. Patutlah terima kasih harus
diucapkan para googling researcher sekalen kpd mommy-ku, karena
kini makna dan “rasa” dari arti kata badaceh
terarsip digital dlm eternality ala
dunia maya by bayan-nya native speaker sptku.
Satu lagi yang pengen saya tambahkan adalah
kata jimek (bukan ‘jimat’ yaa guys).
Bahasa Minang juga; atau minang Padang kota atau Padang pinggir kota atau citizen and villager seputaran sungai Lubuk
Minturun inilah setidak-tidaknya, jika orang minang daerah lainnya mungkin
tidak mengenal regiolek ini (sorry yaw,
pihak yang merasa paling tahu teori dlm ilmu bhs gak usah marah klo gw buat
istilah sendiri dan tidak patuh-patuh gitu aja pada kategori-kategori yang
dibuat-buat dan dirumuskan oleh kartel-koneksi
orang-orang merasa pintar dan punya otoritas spt Anda hihi). Artinya adalah
tandas abiss. Saya belum menemukan kosakata apalagi dlm bahasa Indonesia untuk
pengertian ini. Punya makna ‘tuntas’ tapi biasanya dalam konteks menghabiskan
makanan sehabis-habisnya. Jadi ia bisa juga punya makna lahap walau dalam
bahasa Minang ini lebih seringnya disebut cangok (klo kata org medan congok,
tapi nyampe di lampung congok ini jadi berarti ‘bajingan’
atau ‘idiot!’, konon seh kata lawan
debat linguistik saya di medsos hehehe). Konteks pengertian dan
peng-arti-an kosakata ini—yang juga sudah lama tak terdengar di telinga sok
ngota saya—adalah ketika ibuku (lagi-lagi temennya cuma mamanya neh Ã
“a boy's best friend is his mother” said Norman Bates {Anthony Perkins} dlm
Psycho, 1960) ketika berkomentar bedanya cara makan ayam dan kucing. Kucing
biasanya klo cuman dikasih nasi suka masih bersisa karena bangang (ahayyy, kosakata baru lagi neh), sedangkan ayam jika volumenya
tidak terlalu banyak bakal dibikin habisnya (style bhs Minang: habise) nasi/remah ini (apalagi beras)
yang kita “hidangkan”. Contoh cara bermakanan yang dihabiskan dengan metode jimek/lahap ini adalah ketika saya dulu
waktu kecil makan es kampiun; kalok
sedang enak-enaknya berasa, pas sudah habis mangkuknya pun akan saya
jilat-jilat sampai tidak ada lagi setetes air kuah pun yang bersisa (aihhh,
kayak kucing gw, miawwww). Kalo kata jimek
ini mungkin saya gak akan pernah lupa karena ini juga adalah nama
panggilan-plesetan seorang kawan masa kecilku bernama Jimmy yang kini telah
meninggal dunia. Terlebih seingatku terakhir pernah melihat dia sewaktu sedang
ngojek di Simpang Tabing sana melengos
begitu saja. Memang begitulah dunia pertemanan-sementara ini kawan-kawan
sekepentingan sekalen hehehe.
Menarik juga bagiku untuk merekam kosakata
Minang yang bagiku sendiri yang berbahasa Minang ini sudah jarang terdengar.
Dimana-mana kulihat kini orang mulai makin berbahasa Indonesia-raya, padahal
logat Minangnya juga keliatan banget tapi songongnya mintak ampyuun merasa
keren jadi orang Jakarta kamprettt lahh hehe. Ini lagi-lagi mengingatkanku
kepada seorang pelayan rumah makan Padang di Jatinangor sana yang enggan
berbahasa daerah dgnku yang bisa dimaklumi juga mungkin krn tuntutan pragmatis
berusaha utk tidak terlalu menonjol dan jadi sorotan sebagai org yang berbeda
karena harus hidup beradaptasi untuk mencari nafkah di tengah-tengah negeri org
lain (kompleks banget nih kalimatnya, 4 hektar klausa saling-berjumpalilalitan, biarkan ajalah,
editor yang repot, biar ada job utk
dia). Selain saya juga mengerti ini soal prestise
atau “gengsi” yang nomor satu urusannya buat org Minang; dan rasa2nya jg
begitulah karakter biasa semua manusiawi (humanitat-universal) juga. Seorang
temen SD saya saya lihat juga berkomunikasi dlm bhs Indonesia dengan anak
balitanya. Sebagai mantan koki di hotel mewah, mungkin dia merasa kemampuan
berbicara dlm bhs Indonesia yang lebih fluent
penting utk karir cari nafkah anaknya. Bahkan adik sepupuku yang anaknya
sudah sekitar lima tahun ini juga kusindir-sindir krn ngajari anak gadisnya sok
berbahasa Indonesia, kenapa tidak sekalian berbahasa Inggris saja? Yahh,
bapaknya sendiri bahasa Inggris juga gak bisa hehe. Kalau dalam kajian sosiolinguistik
ini mungkin masuk ke telaah psikologis inferioritas bagi pengguna bahasa
ekonomiolek sub-stratum atau bahasa kasta bawah(!) xixixixi. Kenapa? Apa karena
yang/kalo bahasa Minang-nya tulen gitu logat lidah ibunya secara survey
membuktikan punya (prospek) pendapatan lebih rendah? Yahhh, ujung-ujungnya
pasti anu.... Kalok gw sih diijinkan Allah (ber-andai-andai ini yaa) punya bibit-keturunan juga, akan kutularkan
“kelainan” genetikku ini utk tak perlu ikut arus gaya2an berbahasa Indonesia
buat prestise (dan bisa dimaklumi utk politik konformitas-kepentingan ekonomi
juga) spt kelakuan manusia2 sebaran normal yg saling berebutan utk
berusaha-“berjihad” guna bisa naik ‘kelas sosial’-nya itu (ciehhh, mulai
nyinggung teori pertentang kelas nih
hehe). Sayangnya saya takut bapaknya sendiri si saya ini juga tdk fluent bahasa Minangnyahh!
It was pretty funny.
That's why I don't like it. We'll be doing this for real. I don't want anybody
remembering a stupid joke and getting going again. Ever try not to laugh
in church when something funny gets stuck in your head?
Tom Hanks, The Green
Mile (1999)
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh