Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2005

ATHEIS, KRITIS, KRISIS..

Sebuah analisis psikologik terhadap tokoh Hasan dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihahardja “Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk memperbaiki kesalahan? Untuk menebus segala dosa? Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan untuk menebuas dosa itu telah hilang?…..( kutipan tiga kalimat pertama dalam roman “Atheis” )” I. Pendahuluan Roman “Atheis” ini diterbitkan pertama kali tahun 1949. Tahun yang merupakan tahun-tahun bersejarah dalam menjelang ( atau boleh juga dibaca : mempertahankan ) kemerdekaan Republik Indonesia. Dan tak pelak, selain pergolakan politis, revolusi sosial pun bisa dimaklumi tengah menghebat di setiap anak-anak bangsa, yang sebentar lagi akan ‘betul-betul’ menjumpai kemerdekaannya. Menjadi sebuah negara merdeka berarti menjadi sebuah negara yang mengatur diri sendiri. Mengatur sendiri masyarakat untuk tentram hidup bersama sebagai satu bangsa ( yang besar lagi ). Dalam menemukan konklusi dan formulasi yang mengatur hidup bersama ini

ANTARA BARAT DAN TIMUR DI TEMBOK KAMPUS

Salah satu hal yang sedang berkembang dalam khasanah dunia kritik sastra di Indonesia saat ini, terkait dengan persoalan hangat mengenai usaha mencari teori tersendiri dalam menganalisis karya sastra Indonesia ( sebab teori dari ahli-ahli barat dipandang kurang memadai dan lain dunia untuk membedah sastra negeri ini ), adalah dengan kenyataan kurangnya kuantitas kritik sastra di Indonesia, seperti yang mengemuka dan menjadi keluhan dalam berbagai pembicaraan tentang dunia sastra di republik ini. Jika karya sastra dipandang tidak banyak peminatnya di republik ini, seiring dengan kenyataan minat baca orang Indonesia yang masih rendah, maka jumlah karya-karya sastra yang diproduksi masih sangat melimpah dan juga cukup dianggap berkualitas ( di sisi lain memang dibandingkan dengan peminat sastra yang tidak seberapa ) dibandingkan jumlah terbitan sastra berupa kritik atas karya. Malahan di dunia kritik sastra itu sendiri, kritik sastra dari kalangan non-akademis sendiri pun ( bahkan kritik

PIKIR DULU, BATU BICARA…!!

Sebuah analisis terhadap puisi “Di Atas Batu” dan puisi ”Batu” dalam kumpulan puisi “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono I. Pendahuluan Suasana, romansa, barangkali hingga nelangsa, itulah kesan yang terasa, ketika kita, membaca, sajak-sajak buah tangan Sapardi Djoko Damono ( sebagai seorang pujangga ). Namun apalah arti kata-kata, bila tanpa makna. Biarin Sutardji pernah berusaha memerdekakan kata-kata semerdeka-merdekanya dari makna, yang dianggap penjajah – kayak Belanda aja! Toh, kembali kita-kita, sebagai sosok penafsir karya, membutuhkan makna-makna dari kata-kata, agar tak sekedar jadi sekedar penikmat doang aja. Seorang penafsir selalu berusaha mencari ( kalau perlu ‘mencari-cari’ ) makna dari objek telaahnya. ( Nah, apalagi kalo namanya telaah ). Yang penting, dalam sebuah pertanggung jawaban ilmiah, logika penafsiran bisa dibuktikan. Jadi, puisi Sapardi yang berkesan penuh suasana seperti yang diungkap di awal tadi, ternyata juga bermakna. Tentu saja! Tapi lebih pen

analisis psikoanalisa thd tokoh saaman dalam keluarga gerilya

ASPEK “BAWAH SADAR” PADA TOKOH SAAMAN Dialektika model pendekatan dan landasan teori dalam penelitian teks sastra salah satunya ikut diramaikan oleh kajian Psikoanalisa yang ditelurkan oleh Sigmun Freud. Psikoanalisa sendiri memang bagian dari kajian psikologi manusia dan Freud menggunakannya dalam fungsi sebagai terapi medik. Salah satu penemuan besar Psikoanalisa, yang bisa dilihat gunanya dalam analisis teks sastra, adalah adanya kehidupan tak sadar pada manusia (samakan saja dengan istilah aspek bawah sadar di atas). Freud bahkan menyatakan bahwa segi-segi terpenting perilaku manusia ditentukan oleh alam tak sadarnya. Untuk itu Freud mengemukakan teori tentang struktur kepribadian manusia. Struktur kepribadian manusia tersebut terdiri dari tiga bagian yang tumbuh secara kronologis, yaitu id, ego, dan superego. Id merupakan struktur kepribadian paling primitif dan berhubungan dengan prinsip mencari kesenangan. Ini dapat kita lihat pada fase kanak-kanak seseorang. Id banyak berhubung

suratcintrong

SURAT `SE-RIOUS` BUAT REKAN-REKANKU `SE-PROPESI` (DALAM-PADA AKHIR PERJALANAN KITA INI) Buat Teh Santy, The, ehtt..teh…(ribeut!). Melihat karya yang nak engkau analisis, (cukup menggugah), akupun jadi ternganga sembari mendesis. Barangkali sama seperti anak-anak yang lain, dengan pengetahuan kami yang minim tentang engkau, akupun berpikir gila! teh Santy mau mengacak-acak kewarasannya bermain-main dengan teror demi teror peristiwa dalam novel Putu. Apalagi yang hendak teteh analisis itu mengenai kejanggalan unsur kejiwaan pada seorang tokoh cerita yang dilabeli titel: “Hasrat Membunuh!”, gila! batin gua sungguh tak menyangka. Dengan beranggapan masih berpikiran waras, saya berpikir bahwa sebaiknya Teh Santy mencari karya lain dan mencari unsur lain lah yang sebaiknya dijadikan bahan penelitiannya. Memang, asumsi sebuah penelitian objektif taklah memperdulikan subjektifitas peneliti dalam memilih-milih objek penelitiannya. Namun kuatnya unsur kapabilitas pribadi dalam meneliti sebuah ob

bocah

21/9/04 BOCAH Segerombolan bocah bandel yang terlihat lugu itu belepotan air liur di mulut mereka. Berbinar, atau barangkali penuh nafsu, atau barangkali penuh dendam menatap bersama ke arah sebiji-bijinya buah mangga ranum pada sebatang pohon tak berdosa di depan mereka, buah yang segera masak dan bakal gugur sendiri di kala waktu datang menitah. Namun bocah mana yang bakal sabar, hasrat telah bersemeyam kekal, berlomba sambitkan batu tak peduli nyasar, bebal. “Mangga ranum itu bakal jatuh juga, Nak. Ia telah menyerahkan ketentuan pada sang waktu. Bersabarlah menunggu.” Dan untuk nafsu, ia menolak. “setidaknya, akulah yang akan menjelma cacing panas dalam usus-usus sampah kalian, hei bocah-bocah tengik! Bau kencur! Calon-calon perusak dunia!!!” 030205/01:40 O NANI O nani.. tak kukira sejauh itu kau kejar, sambil berlari sementara dunia biar sibuk sendiri kita di sini, bernyanyi ..padamu negeri… lihat! dunia terus berubah dan kita, terus bernyan

poem1

PENYESALAN Ada keraguan dihati ini saat kau beri bunga, waktu itu. Ada kebimbangan dijiwa ini saat pertama kau cium, hari itu. Ada penyesalan kemudian kusadari setelah diperkosa, malam itu. Tapi apa dilacur Kita *telah sampai di ujung yang tak bisa ‘tuk kembali* Tapi ini bukan akhir Hidup baru telah menanti oktober02 BERSUCI Sebuah pembunuhan telah terjadi pagi ini Aku membunuh segumpal kekotoran kemaren hari dalam pertempuran malamku Kemerdekaan kudapati pagi ini Betapa leganya menjadi orang yang bisa menahan diri Maafkan aku cantik Aku tak mau membajingimu oktober02 BENDERA Tak lagi merah putih Tapi sudah abu-abu ; warna bendera pusakaku dikotori tangan-tangan pengkhianat! negri ini MASIH ADA Yang dulu pergi, kini ‘kan kembali Aku termangu Masih ada bunga untukku Aku malu Begitu berdebu Seikat kesucian terkenang Kuingin lagi dirangkul damai Seperti pertama Tanpa noda Aku terharu Masih ada cinta untukku Yang dulu menghilang, akan kembali datang oktober02 DUNIA HITAM yang namanya