ATHEIS, KRITIS, KRISIS..

Sebuah analisis psikologik terhadap tokoh Hasan
dalam roman “Atheis” karya Achdiat K. Mihahardja




“Apa artinya sesal, kalau harapan telah tak ada lagi untuk memperbaiki kesalahan? Untuk menebus segala dosa? Akan tetapi hilangkah pula sesal, karena harapan untuk menebuas dosa itu telah hilang?…..( kutipan tiga kalimat pertama dalam roman “Atheis” )”

I. Pendahuluan
Roman “Atheis” ini diterbitkan pertama kali tahun 1949. Tahun yang merupakan tahun-tahun bersejarah dalam menjelang ( atau boleh juga dibaca : mempertahankan ) kemerdekaan Republik Indonesia. Dan tak pelak, selain pergolakan politis, revolusi sosial pun bisa dimaklumi tengah menghebat di setiap anak-anak bangsa, yang sebentar lagi akan ‘betul-betul’ menjumpai kemerdekaannya. Menjadi sebuah negara merdeka berarti menjadi sebuah negara yang mengatur diri sendiri. Mengatur sendiri masyarakat untuk tentram hidup bersama sebagai satu bangsa ( yang besar lagi ). Dalam menemukan konklusi dan formulasi yang mengatur hidup bersama ini tentu banyak bersiliweran berbagai paham, kehendak hingga kepentingan. Untunglah, seperti yang diketahui bersama lewat buku-buku pelajaran di sekolahan, the founding father kita telah membawa falsafah tentang nasionalisme untuk mempersatukan semua warga negara. Nasionalisme memang merupakan suatu ideologi yang nge-tren dikalangan bangsa-bangsa terjajah. Sehingga keberterimaannya untuk saat itu dapatlah difahami dengan mudah. Lalu sehebat apakah pemikiran tentang nasionalisme itu sehingga dengan sakti mandraguna bisa mengatasi berbagai perbedaan yang muncul pada masyarakat ( yang apalagi sangat majemuk ) saat itu ( dan apalagi saat ini )? Dan seperti kondisi kebernegaraan seperti yang kita-kita lihat saat ini, di negeri ini, apakah berbicara tentang nasionalsisme sesederhana itu saja cukup sudah?

Sebagai sebuah negeri terjajah yang juga akan menjemput alam modern, para intelektual negeri kala itu tentu mulai berkecimpung dengan berbagai paham dan pemikiran yang berkembang di pentas perpolitikan mancanegara. Jika ditilik lagi sejarah bangsa ( yang besar ini ) salah satu titik tolaknya adalah ketika sang penjajah menerima pemikiran tentang politik etis yang memberi kesempatan ‘pencerahan’ kepada negeri jajahannya ini. Minimal secara jalur resmi. Jadi sejak awal abad ke-19 para pemikir kita telah mulai berkecimpung dengan berbagai, sekali lagi, pemikiran dan ideologi yang berkembang di panggung multinasional. Yang paling heboh pada masa-masa itu adalah perang ideologis antara kaum proletar ( ataupun sosialis ) dengan kaum feodal ( ataupun kapitalis ). Dan isu ini terbawa ke perkecamukan lokal dikalangan para intelektual anak bangsa sendiri yang pada masa-masa itu bersiap-siap ‘menyambut’ kemerdekaannya. Maka, perdebatan multilateral antar paham tadinya itupun beradaptasi dengan kondisi peta perideologian tersendiri di dalam negri. Salah satunya yang terberat adalah hubungan dengan pemahaman keagamaan di masyarakat yang katanya berpenduduk muslim terbesar di dunia ini. Meskipun persoalan ini telah diberi ‘bungkus’ aman dengan sesuatu yang bernama nasionalisme seperti yang disebutkan di atas, namun percak-percik persoalannya bukan tak ada dalam realitas terjadi. Seperti yang kita temukan pada cerita dalam roman “Atheis” ini.
Sebagai sebuah analisis terhadap roman tentu saja tulisan ini tak berbicara tentang riwayat dan sejarah perjalanan republik kita. Tapi ada benarnya pikiran bahwa karya sastra juga merupakan rekaman sejarah dari masanya. Terkait dengan kondisi sebenarnya masa-masa itu, dan terkait isi cerita ini sendiri, kita akan bisa melihat dalam roman ini kisah tentang seorang pemuda yang sangat agamis yang menghadapi pergolakan jiwa (atau barangkali lebih tepat penulis sebut tekanan batin ) ketika ia bertemu dengan pikiran-pikiran dan pemahaman kiri-sosialis-marxis yang sedang cukup mendapat kesempatan bersimaharajalela saat itu. Sisi penggalian dalam analisis ini adalah dari sudut psikologis, maka kita akan memfokuskan kajian pada gejolak batin sang tokoh pemuda agamis itu. Bagaimana ia berhadapan denagan dua sisi pemikiran yang dalam hal-hal kunci sangat prinsipil berseberangan bahkan berlawanan.
II. Isi
Hasan, si pemuda itu yang menjadi tokoh sentral dalam roman ini, merupakan sosok yang dididik ketat dalam beragama Islam sejak kecil. Lebih jauh bahkan ia sampai ikut menganut ajaran mistik berupa tarekat seperti ayah ibunya. Sebagai anak kalangan berdarah ‘biru’ dan juga sebagai anak tunggal, Hasan tergolong jenis manusia yang cukup ‘terpelihara dan tak macam-macam’ dalam menjalani masa-masa pendidikannya. Hingga ia dewasa, bekerja, dan hidup sendiri di kota bandung terpisah dari orang tua, kelurusan beragamanya bahkan segala ritual tarekatnya masih tetap dijaga. Hingga, ia bertemu dengan pikiran ‘aneh-aneh’ dari golongan marxis di suatu ketika yang tak disengaja. Ia bertemu dengan Rusli kawan lamanya. Sebenarnya pertemuan dengan Rusli inipun tak akan berbuntut panjang andai tak ada Kartini, temannya Rusli, yang membuat Hasan jatuh cinta. Ya, oleh kerana gejolak asmara inilah, Hasan jadi rajin mengunjungi Rusli agar juga bisa bersua Kartini. Hasan pun ujung-ujungnya masuk kedalam lingkungan Rusli, Kartini, dkk, yang notabene berideologi marxis. Disinilah Hasan ‘dipengaruh’ untuk ‘masuk’ ke alam pemikiran marxis.
Ketika alam berpikir orang-orang marxis ini merasuk, mulailah keguncangan psikologik menghantam pribadi Hasan yang semula sangat teguh agamanya. Hingga ideologi keislamannya kalah. Sewaktu berkunjung ke orang tuanya dalam keadaan marxis itu, Hasan pun mendapat masalah dengan kedua orang tuanya. Inipun menambah tekanan pada kejiwaan Hasan yang baru saja mengalah pada marxisme yang dengan mudah manaklukkannya. Ceritapun bergulir ke Hasan yang akhirnya kawin dengan Kartini hingga ke ia yang mulai sering bertengkar dengan Kartini dan hingga ia yang bercerai dengan Kartini. Terakhir ia mati dalam proses kemarahannya terhadap dugaan akan perselingkuhan yang dilakukan Kartini. Oleh sebab kebetulan lagi ( barangkali untuk ini dinamakan saja setengah kebetulan sebab terkait ‘proses kemarahan tadi’ ), Hasan ditangkap oleh tentara jepang hingga disiksa mati sebab diduga mata-mata ( jelas kejadiannya pada halaman-halaman terakhir roman ini ).
Yang perlu diperhatikan adalah proses ketika Hasan mau untuk menerima ideologi marxis. Faktor adanya seorang Kartini ( yang sekali lagi : membuat Hasan jatuh hati ) secara eksplisit tergambarkan di roman ini. Dalam setiap kegiatan diskusi yang dilangsungkan oleh kaum marxis tersebut, Hasan terlihat hanya berlaku pasif. Ia tak seperti seseorang yang tiba-tiba merasakan menemukan sebuah ideologi yang betul-betul pas dengan hati nuraninya. Meski memang terpengaruh tapi buat Hasan tak penuh. Sebagai orang yang pasif ia tak sanggup mempertahankan pemahaman keagamaannya di depan orang lain. Dan sebagai pihak yang menerima wejangan ia juga tak sepenuhnya memahami untuk mengiyakan pemahaman baru yang didengarnya. Masa kecilnya telah membentu pribadi Hasan selaku jenis makhluk konservatif dan kaku untuk menyikapi berbagai gejolak di sekitarnya. Memang ada beberapa poin-poin dari pemikiran kaum marxis yang mulai terpahami olehnya, tapi sekali lagi sebagai jenis makhluk yang bertipe konservatif, ia tak mau untuk lebih jauh mempersoalkan atau penuh-penuh memahami baru mengiyakan. Sementara sering kali pergulatan pemikiran yang dihadapinya selalu ditindih oleh rasa cinta pada Kartini dalam imajinasinya. Dan oleh karena Kartini adanya dalam lingkungan yang ‘berbeda’ dengannya itu, Hasan pun terus mencoba dan jadi merasa nyaman-nyaman saja disana.
Hasan pun akhirnya memang mencelup ke dalam pergaulan marxis tersebut. Tanpa militansi, dengan keterbatasan dan pembatasan pemahaman yang ia miliki. Sepanjang roman ini kita disuguhi berbagai pemikiran dan utaraan pandangan dalam ideologi marxis, tapi seberapa yang diperankan kepada Hasan? Malah Hasan sebagai tokoh utama dalam kisah beraroma ideologi ini lebih terlihat dominan dihantui oleh pikiran-pikiran perasaan hati terhadap Kartini. Ternyata memang ideologi marxis hanya setengah hati mampu menghinggapi kalbu Hasan. Menjelang akhir cerita kita disuguhi tahapan krisis kejiwaan yang dialami Hasan, menghadapi persoalan hidup yang kini ia jalani ( yang barangkali tak ‘kan terjadi andai ia tak bertemu Rusli dan Karitini ). Bermula dari perasaan berdosa yang ia hadapi setelah bertengkar hingga kemeninggalan ayahnya, sampai krisis rumah tangga yang ia hadapi dengan Kartini. Terlihat, Hasan yang belum sempat betul-betul kiri, ternyata mencoba untuk kembali ‘normal’. Dan barangkali sayang memang, cerita berakhir ketika Hasan masih dalam proses kebimbangan. Ia harus mati sebelum sempat betul-betul menentukan pilihan. Hidup memang tak terduga, dan penuh kebetulan.
Satu hal lagi yang perlu dicatat adalah kondisi fisik Hasan. Disebabkan kebiasaan Hasan mandi malam untuk melaksanakan ritual tarekatnya ( barangkali salah satunya, tapi dengan sudut pandang isu yang ingin disampaikan cerita bisa kita anggap inilah utamanya ), ia mengalami penderitaan fisik yang barangkali berpengaruh pada kondisi emosionilnya, bahkan mungkin juga pikirannya, juga barangkali keharmonisan menjalani bahtera perkawinan dengan Kartini, dan terakhir yang mempermudah beliau untuk cepat mati. Disini terdapat kritikan berupa sindiran terhadap ‘kebodohan’ dalam menjalankan ajaran agama. Dan Hasan, sebagai tokoh utama, lagi-lagi harus jadi korban dalam percaturan cerita. Kasihan.
III. Penutup
Tiga baris kalimat pertama dalam roman ini, yang sengaja penulis cantumkan pada awal tulisan, rasanya tak sekedar perasaan yamg menimpa Kartini yang ditinggal pergi Saudara Hasan. Pada kalimat-kalimat itulah terdapat suasana yang dihadirkan dalam penyikapan pembaca terhadap tokoh Hasan, yang ‘polos’ itu, yang harus menjadi tokoh sentral dalam roman penuh pemikiran ideologis ini. Meski disini kita tidak memperbincangkan tentang landasan pemikiran setiap ideologi dalam cerita ini, namun gaya yang sangat kritis ( terhadap peri-kehidupan ) yang diusung kawan-kawan kita beraliran marxis terlihat hanya menghasilkan krisis kejiwaan dan tekanan batin pada Bung Hasan sebagai tokoh utama. Pembaca seperti mendapat pelajaran dari resiko bergelut dalam sebuah dunia pemikiran yang tak sanggup suatu individu selam. Lalu yang mana yang atheis? Kemana perginya cinta? Bersemberawutannya berbagai persoalan memang bisa membuat kita terlupa dari sebuah jalan, yang barangkali semula berusaha kita yakinkan. Dan banyak peristiwa dalam hidup ini hadir berupa kejutan. Banyak fakta dan pikiran kembali bersiliweran. Dan manusia harus memilih. Dan menyerahkan. “….hidup hanya menunda kekalahan / tambah terasing dari cinta sekolah rendah / dan tahu ada yang belum terucapkan / sebelum pada akhirnya menyerah ( Derai Derai Cemara, Chairil Anwar )”. Ya, menyerah.





-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!