Prisoners (2013), Film Membosankan Yang Lama-Lama Menyenangkan

Betapapun/berapapun para medioker bekerja keras, “cerdas”, ataupun culas dengan “menghalalkan” segala sumber daya upaya politiking untuk terus dan terus terus memoncerkan karir karbitannya itu, pada akhirnya hanya orang-orang berbakatlah yang akan bisa menghasilkan karya yang betul-betul hebat-murni cantik-natural. A Gift, taken for granted. Faktor pengali biner, kosongkah ataukah bernilai, atau in other snobbis way to spil mywords: takdir tuhanlah yang akan pada akhirnya menentukan hasil-finalnya; seberapapun/sebetapapun besar jumlah usaha akal-akalan manusiawi serba kemasan-luar being correct-politically tersebut meng-kamuflase-i kesadaran massa yg mass-madness ini (wahm). Semilyar-trilyun pun saldo angka kredit kau punya, kau kumpulkan, kau anggap bisa jadi beking; jika pengalinya nol, ya nilai akhirnya akan sama dengan nol; kosong, nihil, emptyness. Ada orang yang beramal dengan amalan-amalan surgawi hingga jaraknya dengan surga tinggal sedengkul lagi, namun takdir Allah menghendakinya untuk masuk neraka maka tercampaklah ia ke neraka; dan sebaliknya, begitu kira-kira salah satu bunyi doktrin keagamaan mu’tabar yang mungkin banyak pihak enggan untuk membicarakannya karena ingin merasa serba pasti-leterlek-simplistis-reduktif di tengah kehidupan yang penuh topeng sandiwara kemunafikan ini. Begitu pula dengan dialog di muka yang kalau saya taksalah ingat pernah baca merujuk pada percakapan/orasi Pak Karno entah dengan/kepada siapa. Begitulah pulalah kesimpulan yang “mengilhami” pikiran saya ketika setelah menyelesaikan menonton film yang satu ini melihat nama Dennis Villeneuve tertera di kursi sutradara.

Di tengah-tengah film berdurasi cukup panjang ini, ketika saya mulai tertarik dan merasa ceritanya unik tidak pasaran sepertinya mudah-mudahan ya Baim aminn ya Alloh, saya sudah bertekad akan menulis review tentang film yang satu ini dengan judul kira-kira: Bahaya Merasa Tahu Bulat, Eh Pasti! Baru nyampei di babak pertengahan film, terkait topik ini, saya sudah langsung diingatkan kepada film low-budget legendaris 11 Angry Men yang juga bernada miss-prasangka. Dan ternyata pada akhirnya ceritanya tidak sesimpel itu, Sob. Bahkan tidak terduga, suprais, twistingable. Sebuah film drama penculikan anak oleh orang psikopat dan sejenisnya akan terdengar sangat tema-generik dan modus,median,rerata pasaran belaka asumsi kita. Wajar saja, jika sudah berbulan-bulanan mungkin movie yang satu ini ku-download di masa dulu banget dan nganggur tersimpan untuk sekian lama begitu aja di hardisk kompi, baru sekarang akhirnya kutengoki. Itupun dengan pra-sikap pesimistik, tidak bertujuan hiburan, tapi sedikit ada nuansa memperbiasakan dan memperpemaksaan diri saja untuk meluangkan waktu yang luang selalu ini guna mendengerin speaking in english by act of the native’s tongue. Mungkin saja ku-unduh juga ianya dari situs film bajakan hanyalah karena aktor utamanya Si Donnie Darko atau Si Hugh Jackman, sang wolverine itulah yang bikin ku-penasaran bagaimana di film non serial X-men ia akan mainkan! Sebuah “film simpanan”, yang tadinya bagai gundik tidak kufavoritkan, eh ternyata baru setelah nonton aq dibuat kejang-kejang ia puaskan haha. Sebuah film yang bergenre pop, drama lo lai, ancak nonton randai se wak lai, eh ternyata punya akhir cerita suprise yang sangat-sangat ajibb memuaskan, hasekk.

Dan setelah melihat nama sang sutradara-nya-lah keterkejutan-ku ini terasa molaik make sense. Kalo ndak salah ia juga yang bikin La La La Land yang sudah sejak score-opening dengan paduan musikal dan dansa-dansinya itu hadir “menghantam”; maklum saya juga bukan spesialis-spesialis amat tentang dunia per-film-an ataupun perbokepan xixi. Apalagi merasa sudah master dan dokter; masih kerap hanya handalkan hafalan Syaikh Google yang ternyata koq bisa-bisanya lebih punya wawasan luas ketimbang ulama’-ulama’ katak berkacamata kuda di dalam daster yang kedodoran hehe. Namun dari sejauh aku mengikuti dunia perfilman itu, nama kk yang satu ini memang dianggap fenomenal. Kalo ndak salah lagi, orang ini jugalah yang di situs Youtube pernah kulihat wawancaranya yang ternyata tidak begitu fasih berbahasa Inggris karena ia berasal dari Kanada dan termasuk penutur bahasa Prancis. Jadi masuk akal bagiku kini bagaimana cerita yang semestinya biasa-biasa saja ini, berlangsung dalam durasi yang cukup lama pula (lebih dari 2 jam bokkkk!), layak menjadi sebuah film hebat di tangan seorang sutradara berbakat-alam alias bukan seorang bebek epigon atau pekerja normatif biasa-biasa saja (yang kemampuannya di-overclocking xixi). Ia tidak hebat karena teknik sinematografi, atau cgi, atau aktor mahal, atau anggaran promosi yang besar, melainkan memang awesome sejak dari skrip ceritanya sendiri yang unpredictable-stuff! Jadi sangat betul kebijakan sebuah perusahaan produsen hengpong yang membakar/memusnahkan hape-hape sisa yang sudah ketinggalan jaman karena hanya yang terbaiklah yang seharusnya diberi kesempatan survive terdepan dan yang tidak berprestasi sudah selayaknya disingkirkan; agar-supaya suatu negara/bangsa tidak terus-terusan menjadi yang berposisi terbuncit, karena didominasi oleh kerumunan orang-orang tidak kompeten yang saling pengertian aja melindungi “sesamanya” tersebut xixixixi. Back to the movie, saya sendiri menonton film Prisoners ini sudah sejak dari tadi sebelum Maghrib diselang-seling hingga sekarang sesudah Isya ini; dan langsung bersemangat menuliskan review-nya. Padahal biasanya sekarang ini sudah jam-jam yang sangat mengantuk; walau umur “baru” 30-an, namun fisik serasa sudah aki-aki tahun eighties cuuuuu (!) wkwkwkwk.

Jalan ceritanya seperti apa, rasanya buang-buang waktu lah yaaa kalau aq ikutan kerja mekanis meresensi seperti begitu. Terlebih saya yakin di-googling juga bakal banyak blog lain yang me-review film yang satu ini; what a wasting time. Yang saya terdesak “berambisi” ikut meramaikan mention film satu ini hanyalah pesan filosofis, bahkan spritualnya, pada diri saya; betapa yang hebat-hebat beneran itu bisa membuat hati bahagia-natural berbunga-bunga mekar kembang sempurna. Sangat jarang terjadi gw bisa dikecoh oleh film atau cerita-cerita biasa-biasa saja dan pasaran khas sinetron/sastra picisan yang gampang ditebak begitu. Film Prisoners (2013) ini memberi gw kenikmatan dengan menghadirkan sensasi enak-rumit yang akan langka untuk bisa kembali berjumpa-sua. Terlebih secara subjektif ia—makna-pemaknaan yang bisa kita kumpulkan dari sini—matching pula dengan paradigma dan visi kehidupan personal kita. Baiklah kusinggung sedikit deh kisahnya untuk penutup ocehan sok nge-review-ku ini; sekaligus (tapi namun) sebagai foreplay juga bagi Anda (manas-manisin nih critanya); mudah-mudahan cukup substantif sebelum retina mata gw takkuat lagi menatap pantulan material pixel-pixel layar liquid elektronis di depan mataku ini, serta tulang belulang leher tunduh sudah untuk meyangga beratnya kadar cairan yang dihisap otak ke kepala. “Dua orang anak kecil dari dua pasang keluarga menghilang di sekitar ‘komplek’ perumahan mereka. Tersangka pertama seorang retarded yang memarkir van ngegembelnya di sebuah titik. Namun polisi tak-berhasil mendapat pengakuan ataupun bukti dari tertuduh penculik ini hingga ia dilepas kembali. Ortu kedua anak yang diculik kemudian balik menculik si tertuduh bermental terbelakang itu tadi hingga kemudian menyiksanya supaya mengaku aja lah. Di lain pihak, polisi mendapat terduga-tersangka baru. Tetapi....” Waduhhh, kalo aq teruskan resensi kilatnya, bisa jadi spoiler yang bikin gak asik lagi buat Anda mengimpoiinya. Yawda, duduk manis aja ya sayang, and just enjoy the show.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!