MUNA

oleh Samuel Mulia


Muna bukan nama wanita, bukan juga waria atau pria sejati. Itu juga bukan nama rumah makan atau butik yang menyediakan pakaian murah-meriah atau mahal.

Muna adalah sebutan untuk saya oleh teman-teman. Dari kata munafik. Alasannya sederhana. Menurut mereka, saya memiliki kemampuan untuk memiliki dua wajah. Mungkin singkatnya, bisa bermuka ganda, atau mungkin seperti mata-mata. Kadang FBI, kadang KGB, kadang BIN. Kadang seperti malaikat, tetapi secepat kilat bisa berubah menjadi pesaingnya malaikat.

Sebutan muna itu tiba-tiba muncul setelah lama, lama sekali hilang dari kepala, dan muncul saat saya terpaksa harus menikmati kemacetan lalu lintas Jakarta dari kawasan industri Pulo Gadung ke rumah teman di bilangan Jakarta Selatan, yang telah menghabiskan dana yang bisa dipergunakan untuk makan siang satu kali dan ngupi-ngupi satu kali.

Pak Priyatna vs saya

Ingatan itu disegarkan setelah saya membaca laporan majalah Tempo mengenai sosok Priyatna Abdurrasyid dalam rubrik ”Memoar”. Cerita jaksa ini pada masa Orde Baru sangat menggugah hati. Saya sempat bingung dan bertanya bagaimana Tuhan bisa menciptakan sosok seperti ini. Saya juga ingin bertanya kepada orangtuanya, pendidikan apa yang diberikan kepada anaknya sehingga bisa menjadi manusia seperti itu. Tak hanya pandai, tetapi begitu kuat dalam pendirian.

Itu berbeda sekali dengan saya. Mudah sekali tergoda. Bahkan mudah sekali melacurkan diri bilamana perlu. Padahal seingat saya, orangtua saya tak pernah mengajarkan saya menjadi pelacur. Mungkin kalau ini, saya saja yang memang senang melacurkan diri. Mungkin karena menemukan ada sisi enaknya menjadi pelacur.

Dalam tulisan cukup panjang itu digambarkan juga Pak Priyatna sebagai sosok yang mampu tidak bermain sandiwara dalam kehidupan ini.

Letnan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara, mantan komandannya saat dia menjadi anggota TNI di Sumatera Selatan, pernah berujar kepadanya, ”Jij moet toneel speelen (kamu harus main sandiwara) dalam memeriksa Pertamina.” Perhatikan kata-kata itu, saudara-saudara. Moet. Harus! Ada suara perintah, bukan diskusi terbuka.

Kemudian Pak Priyatna menjelaskan kalau ia disuruh berpura-pura melakukan pemeriksaan, semuanya tak akan diteruskan. ”Saya jelas tidak bisa melakukan itu,” kata dia.

Singkat cerita, ia dipanggil ke Bina Graha untuk berhadapan dengan Pak Harto. Ia tampaknya juga tak menyerah menghadapi orang nomor satu masa itu. Dalam percakapan itu secara tersamar Pak Harto mengatakan kalau ia melepas kasus Pertamina, kariernya akan naik sampai menjadi Jaksa Agung. Kalau tidak, ada konseksuensi yang harus ditanggung. Ia memilih mundur. Sementara saya? Saya akan menjadi hebat sekali kalau sudah berbicara soal sandiwara. Apalagi memberikan tip dan triknya.

Artikel itu makin meresap ke dalam sel-sel otak saya, seperti racikan bumbu ke dalam rendang. Saya sudah tak peduli, tepatnya tak merasakan taksi yang saya naiki dari tadi masih jalan di tempat.

Pertanyaan muncul lagi di kepala. Kali ini soal ancaman. Saya tak bisa membayangkan, betapa kuatnya Pak Jaksa yang berkuasa pada awal 1950-an ini menghadapi ancaman, baik fisik maupun non-fisik. Kalau ancaman itu terjadi pada saya, so pasti saya langsung memilih menganggut-anggut mengiyakan saja daripada kehilangan posisi, nyawa melayang seperti layangan, juga kehilangan uang banyak.

Kebelet

Cerita dalam artikel itu benar-benar membuat saya menitikkan air mata, meski tak ada satu hal pun sentimental yang perlu ditangisi. Saya menitikkan air mata ketika membaca gajinya tak dibayarkan, rumah dirampas dengan hanya bermodalkan surat keputusan yang ditandatangani temannya sendiri yang pernah dia bantu mendapatkan jenjang karier lebih tinggi. Air mata itu tepatnya bukan buat Pak Priyatna, tetapi buat saya.

Kalimat demi kalimat di dalam artikel tersebut hanya menyetrum saya untuk berani jujur, apakah saya juga seorang teman yang pengkhianat? Apakah saya lupa kepada teman-teman yang pernah membuat saya berjaya? Brutus-kah saya? Apakah saya juga seorang teman yang membenci sesamanya sampai tak punya lagi rasa belas kasihan? Apakah karena saya akan dibuat sengsara dengan kejujuran teman-teman saya, saya menyengsarakan mereka terlebih dahulu? Sampai begitu teganya mematikan hidup orang perlahan demi perlahan.

Kalau sudah begitu, apa arti keberadaan saya di rumah ibadah dan berhadapan dengan Tuhan melalui doa-doa yang dipanjatkan? Sama Tuhan saja saya berani bermain mata-mata. Sekarang membunuh orang, dua jam lagi menangis minta ampun seperti anak kecil.

Kebiasaan. Habit. Itu saja dasar dari berbuat senonoh atau dua nonoh. Kebiasaan merekayasa, mengancam, membunuh. Disebut kebiasaan karena memang biasa dilakukan, Karena kalau sudah biasa, lama-lama bisa mudah melakukannya. Saya biasa berselingkuh, awalnya tidak pandai. Lama-lama kepandaian tersebut di atas rata-rata karena sering dilatih, seperti selalu diajarkan guru saya untuk rajin belajar dan melatih kebiasaan menjadi rajin. Nasihat guru saya itu sekarang saya rasakan manfaatnya. Rajin mencuri milik orang lain, sampai imun. Bahkan mencuri pun lama-lama bukan hal negatif.

Seperti film berjudul Taken yang saya tonton beberapa minggu lalu. Film ini menceritakan bisnis pelacuran gadis-gadis muda yang dikoordinasi mereka yang memiliki istri dan anak. Saya hanya ingin bertanya, bagaimana kalau anaknya sendiri yang dijual? Diceritakan pula seorang kepala polisi terlibat dalam bisnis kotor itu, sementara tugas kesehariannya sebagai penegak kebenaran. Mungkin ia sama seperti saya, muna. Bisa menegakkan keadilan dan juga mengencinginya lain waktu.

Di taksi itu, di tengah kemacetan lalu lintas Jakarta, saya berjanji tidak lagi memiliki kebiasaan buruk. Menjadi muna. Karena saya yakini kebiasaan yang buruk itu merusak tabiat yang baik. Sejak saya dilahirkan, keberadaan saya hanya untuk kebaikan. Kalau saya jadi rusak, itu bukan karena saya manusia yang sekadar lemah, penuh kekurangan. Itu karena saya juga memilih untuk tidak mengasah kebiasaan berbuat baik.

Semoga keputusan saya ini bukan karena saya kebelet. Kebelet adalah sebuah ancaman. Di bawah ancaman saya terbiasa mengumbar seribu janji. Karena setelah melewati masa kebelet, saya lega, bisa berpikir waras, maka saya mulai lagi berpikir, waduh kalau saya baik, nanti saya diancam lagi nih!

Kilas Parodi: Pak Priyatna atau Saya?

Lingkari jawaban yang sesuai dengan hati nurani Anda. Pertanyaan di bawah ini sebuah tes kecil-kecilan dan saya ambil dari artikel di majalah Tempo itu.


1. Kalau ada yang menasihati Anda seperti ini, ”Mas, jangan terlalu keras dan tanpa perhitungan. Lebih baik ikuti policy Bapak saja. Apa yang Anda lakukan?

a. Saya enggak ngerti. Policy itu apa ya? Apa bedanya sama polisi?

b. Menjawab, ”Baik, terima kasih. Akan coba saya pikirkan apakah saya ini keras dan tanpa perhitungan.”

c. Menjawab tegas, ”Enggak usah ikut campur. Itu urusan saya dengan Bapak. Ini bukan nasi campur. Mau keras kek, mau lembek kek, mau tanpa perhitungan kek, sudah dihitung kek, jij enggak usah ikut-ikut.”

d. Maksudnya Bapak? Bapak saya, apa bapaknya siapa? Maaf IQ saya lagi jeblok.

2. Seandainya Letnan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara memberi nasihat, seperti yang ditujukan kepada Pak Priyatna, kepada Anda. ”Jij moet toneel speelen (kamu harus main sandiwara) dalam memeriksa Pertamina.” Jawaban apa yang akan Anda beri.

a. ”Oke deh, Pak! Siap akan saya laksanakan! Kalau cuma main toneel itu mah… a piece of cake! Bersandiwara itu sudah menjadi bagian hidup saya sehari-hari. Lha wong saya menjawab ini saja sambil main sandiwara. Saya sampai enggak tahu apa jawaban saya ini jujur apa tidak.

b. ”Waduh, enggak bisa, Pak. Saya ini sejak dulu tak pernah diajari bermain sandiwara. Bapak saya bukan seniman, di keluarga tak ada yang pernah menjadi pemain sandiwara. Mbok saya diajari. Saya pasti bisa. IQ saya di atas rata-rata. Cepat, kok. Bapak enggak akan menyesal mengajari saya.”

c. ”Tidak, Pak, saya lebih baik mengundurkan diri saja.”

d. ”Imbalannya apa, Pak? Imbalan itu buat saya penting. Kira-kira bisa menjadi Deputi Gubernur BI enggak, Pak?”

3. Kalau teman Anda yang Anda promosikan mengucilkan Anda, apa yang Anda lakukan?

a. ”Gampang. Saya datangi dan saya kecilkan, bukan dikucilkan. Kalau bisa, saya bonsai. Beres.”

b. Saya berdoa supaya Tuhan mengampuni dia karena mungkin dia tidak tahu apa yang sedang ia perbuat. Bukankah saya orang beragama, harus mengampuni. Negeri saya saja punya sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaaa… masak saya mau sakit hati. Saya serahkan saja kepada Sang Kuasa. Apa hak saya sebagai manusia menghakimi sesama.

c. Yaaa… sakit hatilah yao. Hare genee gak sakit hati. Gue enggak bakal jadi temannya lagi. Gue akan cerita ke seantero jagat jangan pernah memercayai dia.

d. Yaa… peristiwa itu mengajarkan saya untuk tahu teman yang benar teman, atau teman yang pura-pura teman. Kita harus mampu berbesar hati dan belajar dari hidup ini. Malah saya bersyukur, orang lain yang bertabiat seperti itu dan itu bukan saya. Jadi, kalaupun saya nanti tak lagi di bumi ini, saya juga akan pergi tanpa beban. Mau ditanya Sang Khalik, yaaa… saya sudah punya jawabannya.

http://community.kompas.com/urbanlife


-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!