Tidak Salah Uang Namun Ujang

Karena bukan penulis terkenal karena tidak banyak kenal(an) maka baiknya sedari awal menggunakan tekhnik bunglon mendomplengin nama Besar seorang manusia (biasa/tidak kaya) bernama Si Muhammad. Lelaki santun namun tanpa topeng ini sangat jarang berkata kasar apalagi sumpah serapah--bahkan saking polos dan lugunya beliau sebagai manusia biasa (tidak kaya) tadi sangat mudah diperdaya oleh kaum munafikun--dan sangat terkenal dengan riwayatnya: jangan marah dan jangan mudah marah. Namun dalam sebuah hadits kutemukan beliau "mencaci maki": celakalah hamba harta, roda, dan sutra, hehe.

Sebagai manusia biasa (yang pengen kaya/tahta/status) wajar kiranya kita seneng sama duit atau harta atau wang. Tapi tentu sebagian besar dari kita tak mau dicap hamba harta. Memang kita menghamba pada harta namun capnya itu berkesan (citra) agak gak enak dan justru berefek negatif bagi status (sosial). Apalah artinya harta banyak jika tanpa disertai tahta (sosial) dan seks/libido. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk berkilah. Semisal jika kembali ke contoh hadits lagi gembar gemborkan tentang keutamaan "sedekah/gratifikasi" yang memang dibolehkan untuk terlihat/syiar/dakwah dan "berfaedahnya" kaya raya. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat (dari segi duit) bagi pen'z'ilat di sekitarnya.

Memang berat untuk mencerna dimana letak salahnya realitas ini dan yang bukan hanya kini. Tapi seperti "diramal" Si Muhammad itu tadi lagi mungkin kini kita sedang menyaksikan betapa kian menuju dahsyatnya Agama alWahn; cinta dunia dan takut mati. Karena dan karena lagi katanya bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kalian tapi makin terbuka lebarnya perhiasan dunia ini. Ah, indahnya. Di Madinah pada masa generasi terbaik saja berkeliaran orang-orang munafik apalagi masa ini, kini. Dahsyatnya ujian.

Kian ke hari kita makin menyaksikan betapa kerennya status finansial sampai-sampai seorang pengacara yang sempat baru-baru saja nyaris dianggap "pengkhianat" negara berani menghina secara cukup terang pemimpin tertinggi negara ini sebagai sudah tak berdaya menghadapi superiornya networking kartel uang. Bahkan tambah parahnya menganjurkan kepada teroris untuk menggunakan alat yang satu itu sebagai senjata efektif menaklukkan institusi negara, bangsa, bahkan benua Indonesia.

Terlalu jauh bicara negara segalalah padahal di kenyataannya setiap kantong saku ini butuh untuk diisi sebanyak-banyaknya biar bisa beli itu ini dan terus menyemarakkan kapitalisme global dimana oh dimana segelintir elite sistem kapital modern melalui tangan (bukan otak) intelektual antek-anteknya (dengan beragam dialektika versi aliran) menguasai generasi budak seterus menerusnya. Sudah tetap miskin, makin menghamba uang juga. Romantik dan tragik. Lalu bisa apa tanpa uang? Pertanyaan yang tidak relevan sebetulnya tapi kenyataannya baru sampai disinilah otak terindoktrinasi qita mampu memikirinnya. Ya Tuhannya Si Muhammad tadi, apa salahnya menghamba ?!?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!