Nyinyir Pada 'Liberal', Toleran Sama 'Khawarij'



Sering dibicarakan pada masa sekarang (abad 21 ini) persoalan terbesar umat Islam adalah ketiadaan persatuan. Sejak runtuhnya Khilafah Kerajaan Turki Ustmani pada tahun 1924 Masehi praktis negeri-negeri umat Islam terpecah-pecah ke dalam berbagai 'nation state'. Memang tak lama setelah Jenderal Kemal Attaturk menyekulerkan Turki, dinasti Saud mulai kokoh berdiri di wilayah Hijaz (Makkah-Madinah) dan sekitarnya sebagai tempat lahirnya 'dien' ini. Namun kerajaan Arab Saudi secara teoritis dianggap bukanlah lagi kekhilafahan meski realitasnya empirium Turki juga tidak 'de facto' bahkan 'de jure' menguasai semua negeri-negeri berpenduduk muslim. Muslim Indonesia tentu tahu pada tahun-tahun tersebut adalah zaman lahirnya novel "Siti Nurbaya" dan masa-masa konsolidasi menuju era "Sumpah Pemoeda" sebagai negara bangsa yang dijajah Belanda si kafir eropa. Bahkan di semenanjung arab pun pada masa itu perwakilan Turki hanya menguasai Hijaz dan tidak mampu mengontrol seluruh wilayah arab. Organisasi jemaat Islam di Indonesia seperti NU pada masa itu secara batiniyyah memang merasa terikat pada kesultanan Turki dan ormas Islam terbesar kedua Muhammadiyah lahir juga sejalan dengan perkembangan politik otokritik sekte keagamaan semenanjung arab dengan manhaj salafiy wahabinya yang 'memerangi' manhaj sufiisme kekhalifahan Turki itu. Ada cerita juga bahwa perwakilan NU meminta toleransi kepada Raja Arab Saudi untuk jamaah haji non-wahabi mereka. Belakangan ada juga cerita tentang Gus Dur dkk yang bertabayyun dengan mufti Saudi modern Syaikh Abd Azis bin Abdullah bin Baz tentang kebid'ahan kaum 'aswaja'. Wah, mulai bicara sekte dan aliran nih hehe.

Seiring dengan 'merasuknya' paham persatuan Islam aliran hizbiyyun Ikhwanul Muslimin yang bermetamorfosa menjadi gerakan tarbiyah (pendidikan/dakwah) di Indonesia maka generasi islamis Indonesia modern pun mulai memperjuangkan nostalgia akan kekhilafahan Islam ini. Terlebih ada salah satu hadits nabi termahsyur yang isinya menyatakan seorang muslim yang mati dalam keadaan tanpa baiat pd khalifah/amirul mukminin maka matinya dalam keadaan jahiliyah (kafir). Tentu yang berjuang dan bernostalgia dengan khilafah islamiyyah ini tak hanya yang 'bermanhaj' ikhwan. Bahkan secara terminologik yang jelas-jelas mensyiarkan justru adalah ormas HT(I) sebagai 'pecahannya' harokah ikhwanul muslimin. Sementara para pendakwah salafiyyin--yg bermacam-macam sekte pula dengan pengecualian pada salafiy jihadi/takfiri dgn model khilafah lain lagi--justru cenderung mencemooh atau bahkan menentang kampanye ini sebagai mana kalangan NU aswaja yang mereka perangi pula dalam tema lain semisal ziarah kubur. Kalangan ikhwan pejuang khilafah ini menariknya rata-rata generasi berpendidikan modern, mungkin agak hedonis-pragmatis, yang belakangan berminat pada Islam. Kontras dengan kalangan islamis pesantren/tradisional yang memang menghabiskan umurnya mempelajari kitab-kitab klasik.


Belakangan ini sering kita mendengar gerakan #ITJ yaitu Indonesia Tanpa JIL oleh para pejuang 'khilafah' ini. Umumnya mereka para muqolid PKS yang massanya jauh lebih besar ketimbang hizbiy tahrir dan lain-lain. Bagi para ikhwany, perjuangan khilafah mereka siasatnya adalah dengan menguasai negeri sekuler/thogut secara demokratis; efek sampingnya politik uang tuh hihi. Walhasil metode ikhwan ala Imam Hasan al-Banna yang syahid di mobilnya itu cukup berhasil meraih pendukung di tiga negara muslim besar: Mesir, Turki, dan Indonesiy. Sepertinya bagi kalangan ikhwan yang berpendidikan modern ini ancaman terbesar bagi ikhtiar mereka adalah sekte liberal. Terduga liberal ini gawatnya punya tertuduh elit/dedengkot yang rata-rata punya ilmu islam berkali-kali lipat di atas massa ikhwan yang umumnya cuma berbekal pesantren kilat. Di sisi lain, medan tempur yang dibuka kalangan ikhwan terhadap manhaj liberal ini selain diramaikan oleh perbedaan dengan kader-kader hizbut tahrir yang banyak pula massanya juga diperkusut oleh model perjuangan islam ala salafiy jihadi/takfiri. Di Indonesia kalangan ini mulai paling ringan bisa kita lihat pada FPI yang "dipelihara" Kepolisian Negara Thogut RI, hingga MMI, JAT, Tentara Mujahidin Indonesia Timur-Barat dan yang paling keras tentu para teroris yang sudah syahid dan terbukti amaliahnya. Di kalangan bermanhaj ikhwaniy ala Indonesia sendiri sebetulnya juga muncul para pembangkang PKS yang disebut dengan "barisan sakit hati"  atau Forum Kader Peduli yang lebih keras lagi "keislaman/keikhwanannya". Selain pada liberal, kalangan ini sekarang juga lagi trend permusuhannya kepada syiah dan tentu saja "sufi".


Jika kita merujuk kepada ajaran Rasulullah yang belum dimodifikasi sana-sini sesuai kepentingan kelompok masing-masing--sepanjang zaman sesudah wafatnya beliau--yang biasa dikenal dengan nash Qur'an-Sunnah, maka tidak terdapat dalil leterlek permusuhan islam pada liberal ataupun syiah moderat, syiah liberal, dan syiah radikal hingga tassawuf pun karena aliran yang ini labelnya muncul belakangan. Sementara manhaj khawarij jelas sudah ada sejak nabi masih hidup dan sangat leterlek disesatkan; disebut dengan istilah anjing-anjing neraka; lebih mengerikan bahkan ketimbang kafir dan munafiq. Kenapa para pejuang khilafah yang mengaku "nyunnah" ini sepertinya kurang atau bahkan hampir tidak bersuara tentang khawarij ketimbang liberal dan lain-lain itu? Padahal dikatakan dalam hadits bahwa jikapun orang yang beriman tinggal tiga orang di muka bumi ini pastilah satunya ada yang berpemahaman seperti ini. Dalam tafsir paling luas bisa dikatakan sepanjang zaman dari masa nabi, sepertiga dari yang mengaku muslim sebenarnya terjerumus dalam manhaj khawarij. Tentu ini statistik yang terlalu saklek dalam penafsiran yang sangat lebar. Tapi ini menunjukkan juga fakta bahwa eksistensi paham ini tidak bisa dianggap remeh kalaupun kalangan pejuang khilafah tidak mau menganggapnya sebagai yang paling bahaya. Kepada kaum munafiq yang terang-terangan saja bahkan nabi dan sahabatnya bersabar; bahkan kepada Abu Sufyan sang donatur quraisy terbesar yang pas 'injury time' baru katanya dapat hidayah dan berislam; tidak sekeras sikap beliau dan sahabatnya pada khawarij yang diperintahkan untuk dibunuh setiap ditemui. Kenapa para pejuang khilafah/islamis harus mencari-cari musuh baru yang tidak didefenisikan nabi seperti para pelajar islamis tradisonal yang dituduh liberal dan pluralis itu? Apa karena iri melihat ilmunya lebih dari antum?
Saya sendiri bisa mengerti kerumitan ulama dan ketidakmampuan untuk membicarakan tema paham ekstrim ini sebagaimana kita lihat repotnya dunia islam saat manhaj ikhwany di Mesir dicap khawarij oleh Saudi. Apalagi ketika melihat tentara-tentara Daulah Islam Khurasan N' Levant memenggal kepalanya mujahidin dari kelompok Ahrar As-Syam, membom masyaikhnya, bahkan berperang dengan mujahidin Jabah Nusrah yang sebetulnya sama-sama di bawah komando Al-Qaeda dengannya. Lebih seru lagi suporter masing-masing di Indonesia para kaum duduk-duduk saling serang kecaman lewat media sosial. Jika mengurai terminologi khawarij yang sangat terang sejak zaman nabi dan sahabatnya ini masih hidup saja belepotan kenapa berani-berani menyesat-nyesatkan hal-hal (sekte-sekte) baru yang lebih sulit dianalogikan dalil-dalilnya. Pengalihan saja karena mumet sebab syarat untuk jadi khawarij itu haruslah orang yang kelihatannya shalih yang secara logika mereka harusnya dimuliakan atau jangan-jangan memang paham khawarij takfiri secara sadar atau tidak sudah menyusupi para aktivis #ITJ ini? Akhirnya alih-alih memperjuangkan persatuan Islam, virus paham ekstrem hanya akan menimbulkan perpecahan demi perpecahan. Wallahualam....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!