KCB

Ketika Cinta Bertasbih
Oleh : Habiburrahman El Shirazy
mjbookmaker by:
http://jowo.jw.lt

Bab 1 - 20
DAFTAR ISI
01. Senja Bertasbih di Alexanderia
02. Tekad Berrajut Doa
03. Bidadari dari Daarul Quran
04. Cerita Furqon
05. Meminang
06. Lagu-lagu Cinta
07. SMS untuk Anna
08. Siang di Kampus Maydan Husein
09. Perjalanan ke Sayyeda Zaenab
10. Pengejaran dengan Taksi
11. Rezeki Silaturrahmi
12. Rumus Keberhasilan
13. Tamu Tak Diundang
14. Hari yang Menegangkan
15. Pesona Gadis Aceh
16. Insyaf
17. Pertemuan yang Menggetarkan
18. Airmata Cinta
19. Surat dari Indonesia
20. Bintang yang Bersinar Terang
21. Ratapan Hati
22. Rasa Optimis
23. Periksa Darah
24. Pasrah
25. Langit Seolah Runtuh
26. Kabar Gembira
27. Resep Cinta Ibnu Athaillah
28. Sepucuk Surat di Hari Penghabisan
29. Tangis Sang Pengantin
30. Bunga-bunga Harapan

SENJA BERTASBIH
DI ALEXANDRIA
Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu
memesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan
seolah menyepuh atap-atap rumah, gedung-gedung,
menara-menara, dan kendaraan-kendaraan yang lalu
lalang di jalan. Semburat cahaya kuning yang terpantul
dari riak gelombang di pantai menciptakan aura
ketenangan dan kedamaian.
Di atas pasir pantai yang putih, anak-anak masih asyik
bermain kejar-kejaran. Ada juga yang bermain rumahrumahan
dari pasir. Di tangan anak-anak itu pasir pasir
putih tampak seumpama butir-butir emas yang lembut
berkilauan diterpa sinar matahari senja.
5

Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, sepasang mudamudi
tampak bercengkerama mesra. Di antara mereka
masih ada yang membawa buku-buku tebal di tangan.
Menandakan mereka baru saja dari kampus dan belum
sempat pulang ke rumah. Suasana senja di pantai
rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana
senja di rumah. Bercengkerama dengan pujaan hati
rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkerama
dengan keluarga; ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.
Di mana-mana muda-mudi yang sedang jatuh cinta sama.
Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu
untuk bertemu, saling memandang, duduk berdampingan
dan bercerita yang indah-indah. Saat itu yang ada dalam
hati dan pikiran mereka adalah pesona sang kekasih yang
dicinta. Tak terlintas sedikit pun bahwa senja yang indah
yang mereka lalui itu akan menjadi saksi sejarah bagi
mereka kelak. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta.
Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggung
jawabkan kepada-Nya: Di hadapan pengadilan Dzat
Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman
dan ketidakadilan di sana.
Di matanya, Kota Alexandria sore itu tampak begitu
indah. Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih
putih. Bergelombang naik turun. Berkejar kejaran
menampakkan keriangan yang sangat menawan. Semilir
angin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya benarbenar
terasa seumpama desau suara zikir alam yang
menciptakan suasana tenteram.
6

Dari jendela kamarnya yang terletak di lantai lima Hotel
Al Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya,
Alexandria sore itu telah membuatnya seolah tak lagi
berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya
dipenuhi keindahan dan kedamaian saja.
Sesungguhnya bukan semata-mata cuaca dan suasana
menjelang musim semi yang membuat Alexandria senja
itu begitu memesona. Bukan semata-mata sihir matahari
senja yang membuat Alexandria begitu menakjubkan.
Bukan semata-mata pasir putihnya yang bersih yang
membuat Alexandria begitu menawan. Akan tetapi, lebih
dari itu, yang membuat segala yang dipandangnya
tampak menakjubkan adalah karena musim semi sedang
bertandang di hatinya. Matahari kebahagiaan sedang
bersinar terang di sana. Bunga bunga kesturi sedang
menebar wanginya. Tembang tembang cinta mengalun
di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya.
Dan penyebab itu semua, tak lain dan tak bukan adalah
seorang gadis pualam, yang di matanya memiliki
kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah.
Gadis yang di matanya seumpama permata safir yang
paling indah.
Gadis itu adalah kilau matahari di musim semi. Sosok
yang sedang menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa
dan masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang
pesonanya dikagumi banyak orang. Dikagumi tidak
hanya karena kecantikan fisiknya, tapi juga karena
kecerdasan dan prestasi-prestasi yang telah diraihnya.
7

Lebih dari itu, gadis itu adalah putri orang nomor satu
bagi masyarakat Indonesia di Mesir.
Dialah Eliana Pramesthi Alam. Putri satu-satunya Bapak
Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap
satu tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk
menemani kedua orangtuanya, keberadaannya di Negeri
Pyramid itu untuk melanjutkan S.2-nya di American
University in Cairo (AUC).
Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang
memiliki suara jernih itu langsung menunjukkan
prestasinya. Kontan, ia langsung jadi pusat perhatian.
Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan opininya dalam
bahasa Inggris sudah dimuat di koran Ahram Gazzette.
Opininya menyoroti peran Liga Arab yang mandul
dalam memperjuangkan martabat anggota-anggotanya.
Liga Arab yang tak punya nyali berhadapan dengan
Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya bisa
bersuara, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tulisannya rapi
runtut, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang
dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya
merupakan perpaduan pandangan seorang jurnalis,
sastrawan dan diplomat ulung.
Karena opininya itulah ia langsung diminta jadi bintang
tamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan
Sekjen Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia
di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru
kali ini ada anak Indonesia berbicara di sebuah forum
yang tidak sembarang orang diundang. Sejak itulah
Eliana menjadi bintang yang bersinar di langit cakrawala
Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia.
8

Terhitung, gadis yang menyelesaikan S.l-nya di EHESS
Prancis itu sudah tiga kali tampil di layar televesi Mesir.
Sekali di NileTV. Dua kali di Channel 2. Wajahnya yang
tak kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon,
Nawal Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca.
Selain karena ia memang putri seorang duta besar yang
cerdas dan fasih berbahasa Inggris dan Prancis.
Eliana, Putri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada
di Alexandria dan tidur di hotel berbintang lima selama
satu pekan ini. Meskipun ia sudah berulangkali ke
Alexandria, namun keberadaannya di Alexandria kali ini
ia rasakan begitu istimewa. Ia tidak bisa mengingkari
dirinya adalah manusia biasa, bukan malaikat. Ia tak bisa
menafikan dirinya adalah pemuda biasa yang bisa
berbunga-bunga karena merasa dekat dan dianggap
penting oleh seorang gadis cantik dan terhormat seperti
Eliana. Gadis yang membuat matahari kebahagiaan
sedang bersinar terang di hatinya.
Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia
(KBRI) yang mengadakan acara "Pekan Promosi Wisata
dan Budaya Indonesia di Alexandria". Beberapa acara
pagelaran budaya digelar di Auditorium Alexandria
University selama satu pekan. Selama itu juga ada
promosi masakan dan makanan khas Indonesia. Ada
empat makanan yang dipromosikan yaitu Nasi Timlo
Solo, Sate Madura, Coto Makassar, dan Empek-empek
Palembang. Dan Elianalah yang menjadi penanggung
jawab promosi makanan khas Indonesia itu. Sementara
ia, dikenal sebagai mahasiswa paling mahir memasak.
Dan ia dikontrak KBRI untuk membuka stand Nasi
Timlo Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia
harus meninggalkan bisnisnya membuat tempe selama
semingu. Ia khawatir langganannya kecewa. Namun
9

Putri Dubes itu terus mendesak dan memohon
kesediaannya. Akhirnya ia luluh dan bersedia.
Sejak itulah hatinya berbunga-bunga. Sebab sebelum
berangkat ke Alexandria ia sering ditelpon Eliana. Dan
saat di Alexandria hampir tiap hari Eliana datang ke
standnya untuk mengontrol, melihat -lihat, atau hanya
sekadar untuk mengajaknya bicara apa saja.
"Aku salut Iho ada mahasiswa yang mandiri seperti Mas
Insinyur." Puji Eliana. Hatinya tersanjung luar biasa.
Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah begitu
menghormatinya. Ia dipanggil dengan panggilan "Mas
Insinyur", bukan langsung memanggil namanya, atau
dengan kata ganti "kamu" atau "Anda". Orang-orang
memang biasa memanggilnya "Mas Khairul", karena
namanya Khairul Azzam, atau "Mas Insinyur" karena ia
memang dikenal sebagai "Insinyur"-nya dunia masak
memasak di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo.
Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia
merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain.
Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke
arah pantai. Dua orang muda-mudi Mesir berjalan mesra
menyusuri Pantai Cleopatra yang berada tepat di depan
hotel.
Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba-tiba berkelebat
pikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan
Eliana. Alangkah indahnya.
Astaghfirullal! la beristighfar.
10

Ia merasa apa yang berkelebat dalam pikirannya itu
sudah tidak dianggap benar.
Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut
Mediterania. Nun jauh di sana ia melihat tiga kapal yang
tampak kecil dan hitam. Kapal-kapal itu ada yang sedang
menuju Alexandria, ada juga yang sedang meninggalkan
Alexandria. Sejak dulu Alexandria memang terkenal
sebagai kota pelabuhan yang penting di kawasan
Mediterania. Pelabuhan utama Alexandria saat ini ada di
kanan dan kiri kawasan Ras El Tin dan kawasan El
Anfusi. Dua kawasan itu terletak di semenanjung
Alexandria lama. Di ujung semenanjung itu berdiri dua
benteng bersejarah Yaitu Benteng Qaitbai dan Benteng
El Atta.
Dari jendela kamarnya ia bisa melihat Benteng Qaitbai
itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga
kapal yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia edarkan
pandangannya ke kiri dan ke kanan. Laut itu terlihat
begitu luas dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam
kapal itu mungkin ada ratusan manusia. Ia jadi berpikir,
alangkah kecilnya manusia. Dan alangkah Maha Penyayangnya
Tuhan yang menjinakkan lautan sedemikian
luas supaya tenang dilalui kapal kapal berisi manusia.
Padahal, mungkin sekali di antara manusia yang berada
di dalam kapal itu terdapat manusia-manusia yang sangat
durhaka kepada Tuhan. Toh begitu, Tuhan masih saja
menunjukkan kasih sayangNya. Ia jinakkan lautan, yang
jika Ia berkehendak, Ia bisa menitahkan ombak untuk
menenggelamkan kapal itu dan bahkan meluluhlantakkan
seluruh isi Kota Alexandria. Ia teringat
firman-Nya yang indah,
11

"Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhya kapal
itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-
Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda
kebesaran-Nya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi
banyak bersyukur." 1
Ia terus memandang ke laut Mediterania. Laut itu telah
menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa
besar yang menggetarkan dunia. Perang besar yang
berkobar karena memperebutkan cinta Ratu Cleopatra
terjadi di laut itu. Pertemuan bersejarah yang diabadikan
dalam Al-Quran antara Nabi Musa dan Nabi Khidir,
konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediterania
itu.
"Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada
dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan
sejarahku di pantai laut ini?" Ia berkata begitu karena
nanti malam ada jadwal makan malam bersama seluruh
staf KBRI di Pantai El Mumtazah. la yakin akan
bertemu lagi dengara Eliana disana.
Matahari terus berjalan mendekati peraduannya.
Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam
kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah menyapa
dan menciumi pasir-pasir pantai yang putih nan bersih.
Terasa damai dan indah. Menyaksikan fenomena alam
yang dahsyat itu Azzam bertasbih, "Subhanallah. Maha
Suci Allah yang telah mencip takan alam seindah ini."
1 OS. Luqman (Luqman) [311]: 31
12

Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih
dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya.
Segala keindahan, keteraturan dan pesona alam
bertasbih, menjelaskan keagungan Sang Penciptanya.
Bertasbih, menyucikan Tuhan dari sifat kurang. Keindahan
senja sore itu menjelaskan kepada siapa saja yang
menyaksikannya bahwa Tuhan yang menciptakan senja
yang luar biasa indah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa,
Yang Maha Sempurna ilmu-Nya.
Siang malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara.
laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada
di alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah
Semua telah tahu bagaimana cara melakukan shalat dan
tasbihnya. Dengan sinarnya, matahari bertasbih di
peredarannya. Dengan hembusannya udara bertasbih di
alirannya. Dengan gelombangnya ombak bertasbih di
jalannya. Semua telah tahu bagaimana cara menunjukan
tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa.
Keteraturan alam semesta, langit yang membentang
tanpa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas
membentang, gunung gunung yang menjulang, awan
yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan
tanam-tanaman, proses penciptaan manusia sembilan
bulan di rahim, binatang-binatang yang menjaga
ekosistem dan keteraturar-keteraturan lainnya, itu semua
menuniukkan bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan
Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaan-Nya tidak ada
batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat
itu adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas
Tuhan itu hanya boleh satu adanya. Tak mungkin dua,
tiga dan seterusnya. Tak mungkin.
13

Sebab, jika Tuhan itu lebih dari satu pastilah terjadi
kerusakan di alam semesta ini. Sebab masing-masing
akan merasa paling berkuasa. Masing-masing akan
memaksakan keinginan-Nya. Mereka akan berkelahi.
Misalnya satu menghendaki matahari terbit dari timur,
sementara yang satu menghendaki matahari terbit dari
barat. Terjadilah perseteruan. Dan rusaklah alam.
Ternyata matahari terbit dari timur dan tenggelam di
barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tak pernah
terlambat terbit. Matahari juga tak pernah bermain main,
belari-lari ke sana kemari di langit seperti anak kecil
bermain bola atau petak umpet. Ia beredar di jalan yang
ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di
ufuk barat tepat pada waktunya. Keteraturan ini
menunjukkan, Tuhan Yang Menciptakan alam semesta
ini adalah satu. Yaitu ‘Allah Wa Jalla, Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, yang tak
terbatas kekuasaan-Nya itu memang tak mungkin
berjumlah lebih dari satu. Sebab seandainya Tuhan lebih
dari satu, lalu mereka sepakat menciptakan matahari,
misalnya. Maka ada dua kemungkinan di sana. Pertama,
Tuhan yang satu menciptakan, sementara Tuhan yang
lain berpangku tangan. Tidak berbuat apa-apa. Dengan
begitu, bisa berarti bahwa Tuhan yang tidak berbuat apa
apa itu tidaklah Tuhan yang berkuasa. Sia-sia saja ia jadi
Tuhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan ia tidak
berperan menciptakannya. Ia menganggur. Sama seperti
makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan
tidak bisa disebutTuhan.
Atau kemungkinan kedua, Tuhan-tuhan itu bekerja sama
menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan
14

keroyokan. Jika demikian, jelas jelas mereka bukanlah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab mereka lemah.
Bagaimana tidak. Untuk menciptakan matahari saja
mereka harus bekerja sama. Tidak bisa menciptakan
sendiri. Kekuasaan-Nya tidak mutlak. Yang terbatas
kekuasaanya berarti lemah dan tidak layak disebut
sebagai Tuhan.
Jika Tuhan itu lebih dari satu, bisa saja terjadi pembagian
tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari, ada yang
bertugas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta
langit dan seterusnya. Jika demikian, mereka bukan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab pembagian tugas itu
menunjukkan kelemahan, menunjukkan ketidak-mahakuasa-
an. Tuhan yang sesungguhnya adalah Tuhan
Yang menciptakan dan menguasai seru sekalian alam.
Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan
kekuasaan-Nya yang sempurna. Tuhan yang ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat maha
sempurna seperti itu hanya ada satu, yaitu Allah Swt.
Dialah Tuhan yang sesungguhnya. Sebab tidak ada yang
memproklamirkan diri sebagai pencipta alam semesta ini
kecuali hanya Allah Swt.
"Seandainya pada keduanya (di langit dan di bumi) ada
tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha
suci Allah yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka
sifatkan”2
Pemuda bemama Khairul Azzam itu masih menatap ke
arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut.
Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna
kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar
2 QS. Al Anbiyaa’ (Nabi-nabi) [21]: 22
15

dati bola matahari menampilkan pemandangan luar biasa
indah. Ia jadi ingat sabda Nabi, ''Sessungguhnya Allah itu
indah dan mencintai keindahan."
"Subhanallah!" Kembali ia bertasbih dalam hati.
Ia terus menikmati detik-detik pergantian siang dan
malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke
dalam laut yang perlahan menjadi gelap. Siang seolah
olah masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang
tenggelam. Lalu perlahan bulan datang. Subhanallah.
Siapakah yang mengatur ini semua? Siapakah yang mampu
memasukkan siang ke dalam perut malam? Seketika
azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan
suara lantang: Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! Allah
Maha Besar. Allah Maha Besar. Ya, hanya Allah Yang
Maha Besar kekuasaan-Nyalah yang mampu memasukkan
siang ke dalam perut malam. Dan memasukkan
malam ke dalam perut siang.
"Tidakkah engkau memperhatikan, bahwa Allah memasukkan
malam ke dalam siang dan memasukan siang ke dalam malam
dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing-masing
beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sungguh
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." 3
Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampulampu
jalan berpendaran. Alexandria memperlihatkan
sihirnya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah
indahnya. Kelap-kelip lampu kota yang mendapat julukan
"Sang Pengantin Laut Mediterania" itu bagai tebaran
intan berlian. Khairul Azzam menutup gorden jendela
3 QS. Luqman ~Luqman) [31]: 29.
16

kamarnya. Ia bergegas untuk shalat di masjid yang
jaraknya tak jauh dari hotel.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar,
telpon di kamarnya berdering. Ia terdiam sesaat. Ia
menatap telpon yang sedang berdering itu sesaat dan
terus membuka pintu lalu melangkah keluar. “Kalau dia
benar-benar perlu, nanti pasti nelpon lagi setelah shalat.
Apa tidak tahu ini saatnya shalat," lirihnya menuju lift.
Ia membenarkan tindakannya itu dengan berpikir bahwa
datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dulu dari
datangnya dering telpon itu. Dan ia harus mendahulukan
yang datang lebih dulu. Ia harus mengutamakan
undangan yang datang lebih dulu. Apalagi undangan
yang datang lebih dulu itu adalah undangan untuk
meraih kebahagiaan akhirat. Padahal kehidupan akhirat itu
lebih baik dan le bih kekal. 4
***
Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana didepan
pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana
tampak riang.
"Hei ke mana saja? Aku sudah mencari Mas Khairul ke
mana-mana? Sudah dua puluh tujuh kali aku ngebel ke
kamar Mas Khairul! Ada hal penting! Ayo kita bicara di
lobby saja!" Eliana nerocos tanpa memberi kesempatan
menjawab. Gadis berpostur tubuh indah itu berbalut kaos
lengan panjang ketat berwarna merah muda dan celana
jeans putih ketat. Balutan khas gadis-gadis aristokrat
Eropa itu membuatnya tampak langsing, padat, dan
4 QS. Al A’la (Yang Paling tinggi) [871]: 17.
17

berisi. Parfumnya menebarkan aroma bunga-bungaan
segar dan sedikit aroma apel. Wajahnya yang putih
dengan mata yang bulat jernih memancarkan pesona
yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda
yang menatapnya.
Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa begitu
ia mencium parfum yang dipakai Putri Pak Dubes itu ia
merasakan nafasnya sedikit sesak, jantungnya berdegup
lebih kencang, dan ada sesuatu yang tiba-tiba datang
begitu saja mengaliri tubuhnya.
"Lho kok diam saja, ayo Mas, kita bicarakan di lobby! Ini
penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke
lobby hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mau
tidak mau Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di
Alexandria karena kontrak kerja dengannya.
"Mbak Eliana sudah shalat?" tanya Azzam pelan. Ia
mencoba menguasai dirinya, yang sesaat sempat oleng.
Ia memanggilnya 'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih
muda tiga tahun dari dirinya. Tak lain, hal itu karena
rasa hormatnya pada gadis itu sebagai Putri Pak Duta
Besar.
"Ah shalat itu gampang! Yang penting itu. Ada tugas
penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir.
Aku janji!" sahut Eliana nyerocos tanpa rasa dosa karena
menggampangkan shalat.
“Tu... tugas?"
“Ya."
"Untuk saya!?"
"Ya, untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul?"
18

"Tugas dari siapa?"
"Ya dariku."
"Dari Mbak?"
"Iya."
Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah
normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan
mimik serius ia berkata,
"Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai tadi
sore Mbak? Dengan berakhirnya acara Pekan Promosi
Wisata tadi sore berarti tugas saya kan sudah selesai.
Dalam kesepakatan yang kita buat, saya bertugas
membuat dan menjaga Nasi Timlo Solo se lama enam
hari. Dari jam sepuluh pagi sampai jam empat sore.
Menunggu stand enam jam setiap hari. Berarti tugas
saya sudah selesai dong. Jika ada tugas lagi ini jelas di
luar kesepakatan. Jelas saya tidak bisa menerimanya
Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya
sehingga dengan seenaknya Mbak memberi tugas kepada
saya!? Apa saya bawahan Mbak!? Maaf saya tidak bisa
Mbak!"
Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenal sebagai
penjual tempe, ia tidak mau diperlakukan seenaknya.
Ia sangat sensitif terhadap hal-hal yang terasa
melecehkan harga diriya. Memberi perintah seenaknya
kepadanya adalah bentuk dari penjajahan atas harga
dirinya. Azzam adalah orang yang sangat menghargai
kemerdekaannya sebagai manusia yang hanya menghamba
kepada Allah Swt.
19

Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Prancis
agaknya langsung menyadari kekhilafannya. Ia buru
buru meralat ucapannya dan meminta maaf.
"Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sesuai dengan
kesepakatan kontrak kita, tugas Mas sudah selesai.
Tetapi ini ada masalah penting yang sedang aku hadapi.
Dan aku rasa yang bisa membantu adalah Mas. Baiklah,
ini di luar kontrak. Ini antara aku dan Mas sebagai
sahabat. Ya sebagai sahabat yang harus saling tolong
menolong. Saling bantu membantu.
"Begini, acara makan malam nanti jam delapan di Pantai
El Muntazah. Aku sudah pesan menunya ke Omar
Khayyam Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan
malam nanti secara mengejutkan kita kedatangan Bapak
Duta Besar Indonesia untuk Turki yang datang tadi
siang. Beliau teman kuliah ayahku di FISIPOL UGM
dulu. Ayah ingin menyuguhkan menu istimewa untuknya.
Menu yang mengingatkan akan kenangan masa lalu.
Menu itu adalah nasi panas dengan lauk ikan bakar dan
sambal pedas khas Jogja. Ayah dulu sering makan menu
itu bareng beliau di Pantai Parangtritis. Sebelum
Maghrib tadi ayah memintaku untuk menyiapkan menu
ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah
memerintahkan Pak Ali, sopir KBRI itu untuk mencari
ikan yang segar. Ikan apa saja yang penting layak
dibakar. Pak Ali membeli enam kilo dan sekarang sudah
ada di dalam kulkas di kamamya. Dan aku datang
menjumpai Mas untuk minta tolong kepada Mas
menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur, tolong ya?
Please, ya?" Kata Eliana dengan nada memelas.
Azzam diam saja. Sesaat lamanya dia diam tidak
menjawab apa-apa.
20

"Sungguh Mas, tolong aku ya. Please tolonglah. Aku janji
nanti Mas akan aku kasih hadiah spesial. Please tolong
aku. Ini masalah kredibilitasku dihadapan ayahku. Kalau
ngurusi ikan bakar saja aku tidak bisa, beliau akan susah
percaya pada kredibilitasku mengorganisir sesuatu yang
lebih penting. Tolong aku, Mas, please. Aku tahu ini
waktunya sangat mepet. Tapi aku yakin Mas bisa.
Ayolah please ya?"
Eliana meminta dengan nada memelas sambil menangkupkan
kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu
benar-benar memelas di hadapan Azzam. Melihat wajah
memelas di hadapannya Azzam luluh. Sosok yang sangat
tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah
juga sosok yang paling mudah tersentuh hatinya.
"Baiklah akan saya bantu sebisa saya. Tapi sebelum
membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa
yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini
dibayar.” Jawab Azzam tenang.
"Sekarang?"
"Ya, sekarang."
"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?"
“Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak
saya.”
“Baiklah.” Eliana mengeluarkan dompet dari celana
jeannya. Lalu mengeluarkan lembaran dolar pada Azzam.
"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu
harinya lima puluh dollar."
21

"Terima kasih." Azzam menerima uang itu sambil
tersenyum.
"Nanti kuitansinya menyusul ya. Nah, sekarang bisa
membantu saya?"
"Baiklah, sekarang masalah bantu membantu. Bukan
bisnis. Saya ingin murni membantu, jadi saya tidak akan
mengharapkan apapun dari Mbak."
"Tapi aku tadi sudah bilang akan memberi hadiah
spesial."
"Itu tak penting. Karena waktunya sudah mepet yang
paling penting saat ini adalah mencari bumbu untuk ikan
bakar itu dan untuk sambalnya. Bumbu yang masih
tersisa dari Nasi Timlo tidak mencukupi. Di tempat saya
juga sudah tidak ada lombok satu bijipun." Jawab Azzam.
"Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa
yang Mas butuhkan. Sebentar aku panggil Pak Ali dulu,
ia lebih paham seluk beluk Alexandria." Sahut Eliana
bersemangat. Gadis itu langsung menghubungi Pak Ali
dengan telpon genggamnya.
"Kita diminta ke depan. Kebetulan Pak Ali sudah ada di
mobil. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah
shalat Maghrib. Ayo kita berangkat!" Kata Eliana usai
menelpon.
"Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak shalat Maghrib
dulu kalau belum shalat?"
“Aduh, shalat lagi, shalat lagi. Shalat itu gampang!"
22

"Lho jangan meremehkan shalat dong Mbak. Kalau bak
belum shalat mending Mbak shalat saja. Biar saya dan
Pak Ali saja yang belanja."
"Tidak, saya harus ikut. Tidak tenang rasanya kalau saya
tidak ikut. Tentang shalat yang Mas Khairul ributkan itu
tenang saja Mas. Aku memang sedang tidak shalat.
Kalau shalat malah dosa. Tahu sendiri kan perempuan
ada saat-saat dia tidak boleh shalat. Ayo kita berangkat.
Kita harus cepat, waktunya sempit!"
"Kalau begitu ayo."
Azzam bangkit.
Mereka berdua berjalan tergesa ke luar hotel. Tepat di
depan pintu hotel Pak Ali telah menunggu dengan mobil
BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu mobil.
Azzam duduk di depan, di samping Pak Ali dan Eliana
duduk di bangku belakang. Eliana memberi instruksi
kepada Pak Ali agar membawa ke kedai penjual bumbu
secepat mungkm. Pak Ali langsung tancap gas melintas
di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelanjaan
di kawasan El Manshiya. Azzam menikmati perjalanan
itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun
sebenarnya ia sangat lelah, namun rasa bahagia itu
mampu mengatasi rasa lelahnya. Entah kenapa ia merasa
malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang
jalan utama Kota Alexandria dengan mobil mewah
bersama seorang Putri Duta Besar yang pualam. Ia
merasa kebahagiaan itu akan sempurna jika mobil BMW
itu adalah miliknya, ia sendiri yang mengendarainya dan
Eliana duduk di sampingnya sebagai isterinya dengan
busana Muslimah yang anggun memesona.
23

"Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" Suara Eliana
mengagetkan lamunannya.
"E ti. . tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam
kota ini. Dan saya bertanya kapan bisa memiliki mobil
semewah ini, dan mengendarainya bersama isteri di kota
ini?" Jawab Azzam sedikit gugup.
"Wah impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin
jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak
muda Indonesia yang punya impian mengendarai mobil
BMW saya rasa tidak banyak. Apalagi yang bermimpi
mengendarainya bersama isterinya di kota ini. Jangankan
bermimpi seperti itu, BWM saja mungkin ada yang
belum tahu apa itu dan ada yang belum pernah lihat
bentuknya. Lha bagaimana bisa bermimpi? Bahkan,
mungkin di antara anak muda Indonesia, terutama di
daerah terbelakang masih ada yang beranggapan bahwa
BMW itu merk sepeda, sejenis dengan BMX."
Azzam tersenyum mendengar komentar Eliana.
Komentar yang baginya terasa memandang rendah anak
muda Indonesia. Tapi dulu saat ia masih di Madrasah
Aliyah dan mengadakan camping dakwah di ujung
tenggara Wonogiri, ia bertemu dengan jenis anak anak
remaja dan anak muda yang masih sangat terbelakang
cara berpikirnya. Mereka merasa cukup dengan hanya
lulus SD saja. Bahkan banyak yang tidak lulus SD.
Mereka lebih suka mencari kayu bakar di hutan. Atau
menggembalakan kambing di hutan. Mimpi mereka
adalah bagaimana dapat kayu bakar yang banyak. Atau
kambing mereka cepat beranak pinak. Itulah mimpi anakanak
muda yang ada dipedalaman daratan pulau Jawa. Ia
bayangkan bagaimana dengan yang berada di tengah
hutan Kalimantan dan Papua? Mereka yang berpikiran
24

memakai baju yang layak saja belum. Yang untuk
menjamah mereka saja harus menempuh perjalanan yang
sangat sulit. Ia langsung membandingkan mereka
dengan anak muda seperti Eliana yang sudah selesai
kuliah di Prancis di usia yang masih belia. Sudah pernah
merasakan tidur di hotel paling mewah di Eropa. Sudah
pernah debat dengan Sekjen Liga Arab dengan bahasa
Inggris yang fasih. Alangkah jauh bedanya.
"Ya, yang kau katakan mungkin ada benarnya. Memang
tidak banyak dari mereka yang memiliki impian tinggi."
Komentarnya ringan. Dalam hati Azzam menambah,
"Apalagi yang bermimpi bisa menyunting Putri Dubes
yang sekuler seperti dirimu dan bisa menjadikannya
Muslimah yang baik pastilah sangat sangat sedikit
jumlahnya."
"Karena pemudanya tidak banyak yang punya impian
tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju-maju.
Kalau yang kau impikan selama ini apa Mas? Bukan yang
tadi lho. Yang selama ini kau impikan." Tanya Eliana.
"Kira-kira apa, coba, kau bisa tebak tidak?" Sahut Azzam.
"Mm... mungkin mendirikan pesantren."
“Salah.”
“Terus apa?" Jadi orang paling kaya di pulau Jawa he he
he..."
"Wow...gila! It's great dream, man! Tak kuduga Mas
Khairul punya impian segede itu. Impian yang aku
sendiri pun tidak menjangkaunya. Gila! Boleh... Boleh!
Kali ini aku boleh salut pada Mas Khairul."
25

BMW itu terus melaju dengan tenang dan elegan.
Beberapa menit kemudian mobil itu berhenti di depan
kedai penjual bumbu-bumbu di El Hurriya Street.
Dengan cepat dan cermat Azzam membeli bumbu.
Azzam tidak lupa mengajak ke kedai penjual sayurmayur.
"Untung saya ingat, ikan bakar itu harus ada
lalapannya." Kata Azzam pada Eliana. Ia bergegas masuk
ke kedai penjual sayur mayur dan membeli ketimun,
kubis, dan tomat untuk dibuat lalapan. Setelah itu mereka
meluncur kembali ke hotel dengan perasaan lega. Dan
yang paling lega tentu saja Eliana. Jika bahan baku telah
didapat, bumbu telah didapat, dan koki yang akan
menggarap bisa diandalkan, apakah tidak layak baginya
untuk merasa lega.
Dalam perialanan ke hotel, Pak Ali memilih menelusuri
El Hurriya Street. Terus ke arah timur laut. Mereka melewati
Konsulat Amerika Serikat. Terus melaju tenang.
Sampai di kawasan Ibrahimiya sebelum Sporting Club
belok kiri. Lalu belok kanan melaju di El Amir Ibrahim
Street. Dari dalam mobil, Azzam melihat trem listrik
yang penuh penumpang. Kereta itu melaju ke arah El
Manshiya. Gadis-gadis Mesir tampak berdiri di dalam
trem. Tangan kanan mereka menggenggam erat
pegangan seperti gelang, sedangkan tangan kiri mereka
memegang buku.
“Sepertinya gadis-gadis itu baru pulang dari kampus ya."
Eliana kembali membuka suara. Eliana seperti tahu apa
yang diperhatikan Azzam.
"Iya." Pelan Azzam.
26

“Gadis Mesir itu cantik-cantik ya. Langsing langsing."
"Iya."
"Tapi saya lihat kalau sudah jadi ibu-ibu kok gemuk
gemuk sekali ya?"
“Iya. Setahu saya memang adat di Mesir itu seorang
suami malu kalau isterinya tidak gemuk. Malu dianggap
tidak bisa memberi makan dan tidak bisa mensejahterakan
isterinya."
"Aneh. Apa sejahtera itu berarti harus gemuk?"
"Tidak juga. Ada juga kan orang merana, orang stres
malah gemuk. Tapi masyarakat Mesir modern agaknya
sudah mulai meninggalkan adat itu. Kita juga mudah
menemui ibu-ibu Mesir yang tetap langsing."
“Ngomong-ngomong apa Mas Insinyur punya impian
menikah dengan gadis Mesir?"
"Menikah dengan gadis Mesir?" Spontan Azzam mengulang
pertanyaan Eliana.
"Iya. Pernah terbersit dalam hati?”
"Pernah."
"Punya kenalan gadis Mesir?"
“Punya."
“Cantik?”
27

“Pasti.”
"Wow. Tak kusangka. Mas Insinyur ternyata benarbenar
pemuda berselera tinggi. Eh Mas, jujur ya, kalau
gadis seperti diriku ini menurut Mas cantik tidak?"
Muka Azzam memerah mendengar pertanyaan itu.
Seandainya ada cahaya yang terang pasti perubahan
wajahnya akan tampak. Namun keadaan malam itu
menutupi perubahan wajahnya. Ia sama sekali tidak
menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tiba
tiba rasa tinggi hatinya muncul. Ia tidak mau mengakui
begitu saja kecantikan Putri Duta Besar itu. Ia tidak mau
menyanjungnya sebagaimana orang-orang banyak menyanjungnya.
"Kok diam Mas? Bagaimana Mas, orang seperti aku ini
menurut Mas cantik tidak?" Eliana kembali mengulang
pertanyaannya.
"Bilang aja cantik! Gitu aja kok mikir!" Sahut Pak, Ali
sambil terus berkonsentrasi menjalankan mobil ke arah
El Ghaish Street. Sebentar lagi mereka sampai. |
“Jangan dipengaruhi Pak. Biar dia jujur menilainya.
Cantik tidak?" Tanya Eliana ketiga kalinya.
“Tidak! " Jawab Azzam sambil tersenyum. Azzam lalu
memandang bulan purnama yang bersinar terang di atas
laut. Purnama itu seolah tersenyum dan bertasbih
bersama bintang-bintang dan angin malam. Azzam tak
mau tahu apa perasaan Eliana saat itu, yang penting ia
merasa menang.
28

"Ah. Kau tidak jujur itu Mas! Ayo jujur sajalah!" Protes
Pak Ali dengan suara agak keras.
Azzam hanya tersenyum. Dan diam. Cukup dengan diam
ia sudah menang. Dan Eliana pun diam. Ia belum
menemukan kata-kata yang tepat untuk bicara. Maka ia
memilih diam. Sesaat lamanya Azzam dan Eliana saling
diam. Mobil terus bergerak ke depan. Tak terasa mereka
sudah sampai di halaman Hotel El Haram.
29

2
TEKAD BERAJUT DOA
Acara makan malam itu berlangsung di sebuah taman
yang terletak di garis Pantai El Muntazah. Sebuah pantai
yang terkenal keindahannya di Alexandria. Azzam sama
sekali tidak bisa menikmati acara itu, sebab ia sibuk
mempersiapkan ikan bakar permintaan khusus Bapak
Duta Besar, ayah Eliana. Azzam yang ingin istirahat di
malam terakhir merasa tidak bisa istirahat. Ia yang
sedikit ingin merasakan nuansa romantis di El Muntazah
yang sangat terkenal itu sama sekali tidak bisa
merasakannya.
Azzam membakar semua ikan yang dibeli Pak Ali. Ia
meracik bumbu sedetil mungkin. Ia minta Pak Ali
membantunya mengipasi arang agar terjaga baranya,
sementara ia membuat sambalnya. Akhirya ia bisa
menghidangkan ikan bakar keinginan itu ke hadapan dua
30

orang Duta Besar, yaitu ayah Eliana, Duta Besar
Indonesia untuk Mesir dan kawannya Duta Besar
Indonesia untuk Turki. Dua Duta Besar itu duduk di
tempat terpisah dari staf KBRI yang lain. Mereka
memang ingin bernostalgia berdua saja. Di hadapan
mereka ada satu nampan berisi nasi panas yang masih
mengepulkan asap. Nampan berisi ikan bakar. Dua piring
kecil berisi sambal. Dua piring agak besar berisi lalapan.
Lalu dua mangkok berisi air untuk cuci tangan. Dan dua
piring besar yang masih kosong. Azzam mempersilakan
keduanya untuk menikmati hidangan itu.
"Terima kasih Mas ya." Kata Pak Alam, ayah Eliana pada
Azzam. Azzam tersenyum dan mengangguk dengan
ramah sambil sekali lagi mempersilakan untuk
menyantap. Ia lalu minta diri.
"Hidangan ikan bakar ini untuk mengingatkan masamasa
kita belajar di Jogja dulu. Meskipun kita ada di
Alexandria, tapi ini saya siapkan ikan bakar seperti yang
kita rasakan di Parangtritis dulu." Kata Pak Alam.
"Wah sungguh tidak rugi aku berkunjung ke Mesir
menjenguk teman lama. Sungguh, aku merasa sangat
terhormat menerima surprise ini." Sahut Pak Juneidi
dengan senyum mengembang.
"Ayo langsung saja Pak Jun. Mencium baunya sudah
tidak sabar rasanya perut ini. Ayo kita pulu'an pakai
tangan saja rasanya lebih nikmat." Kata Pak Alam sambil
mengambil satu piring yang kosong dan mengisinya
dengan nasi. Lalu ia mencuci tangan kanannya ke dalam
mangkok berisi air dan jeruk nipis.
31

“Ya benar Pak Alam. Pulu'an dengan tangan memang
lebih nikmat." Tukas Pak Juneidi seraya melakukan hal
yang sama.
Dua Duta Besar itu langsung asyik bernostalgia sambil
menikmati ikan bakar buatan Azzam. Dari jauh Azzam
melihat dengan mata puas. Ia lalu duduk melihat
sekeliling. Di sisi yang lain tak jauh dari dua Duta Besar
itu staf KBRI sedang berpesta bersama beberapa orang
mahasiswa dan rombongan Penari Saman yang
didatangkan dari Aceh. Ia melihat Eliana ada di tengah
tengah mereka. Eliana duduk berbincang-bincang
dengan seseorang yang sangat ia kenal. Orang yang
berbincang dengan Eliana adalah Furqan. Teman satu
pesawat saat datang ke Mesir dulu. Ada sedikit bara
memercik dalam dadanya, namun ia redam segera. Ia
merasa tidak pada tempatnya ia merasa cemburu. Eliana
itu siapa? Bukan siapa-siapanya.
Melihat Furqan yang selalu dalam posisi begitu
terhormat, Azzam tidak bisa membohongi dirinya
sendiri. Bahwa ada rasa iri. Iri ingin seperti dia. Rasa itu
begitu halus masuk ke dalam hatinya. Dulu ia dan
Furqan satu pesawat. Lalu selama satu tahun satu rumah.
Tahun pertama di Mesir ia naik tingkat dengan nilai
lebih baik dari anak konglomerat Jakarta itu. Bahkan
Furqan sering bertanya padanya tentang kosa kata
bahasa Arab yang musykil saat membaca diktat. Tapi
kini, teman lamanya sudah hampir selesai S.2-nya di
Cairo University. Dan ia sendiri S.1 saja masih juga belum
lulus-lulus, apalagi S.2. Furqan lebih dikenal sebagai
intelektual muda yang sering diminta menjadi nara
sumber di pelbagai kelompok kajian, sedangkan dirinya
lebih dikenal sebagai penjual tempe, pembuat bakso dan
tukang masak serba bisa, namun tidak juga lulus ujian.
32

Azzam menghela nafas panjang. Ia lalu berdiri mencaricari
Pak Ali. Ia menengok ke kanan dan ke kiri
mengedarkan pandangannya ke segala arah. Namun tak
juga ia temukan Pak Ali. Ia sendirian. Hendak bergabung
dengan staf KBRI itu rasanya canggung. Mereka sudah
memulai acara dua puluh menit yang lalu. Ia memutuskan
untuk menikmati kesendiriannya itu. Untung ia tadi
sempat mengambil sepiring nasi dan satu ikan untuk
dicicipi. Dan sambil duduk Azzam mulai menyantap ikan
bakar itu. Perutnya sudah sangat lapar. Ia makan dengan
lahap sendirian, sambil menatap bulan dan bintang
bintang. Tiba-tiba ia teringat ibu dan ketiga adiknya di
Indonesia.
"Mereka pasti sedang tidur nyenyak di sana. Ibu
mungkin sedang berdoa dalam shalat malamnya."
Lirihnya pada diri sendiri sambil membayangkan wajah
ibunya dalam balutan mukena putih dengan mata
berkaca-kaca. Ada keharuan yang tiba-tiba menyusup
begitu saja ke dalarn dadanya.
Kalaulah ia harus jujur, maka impiannya yang paling
tulus adalah segera pulang ke Tanah Air bertemu dengan
ibu dan adik-adiknya. Tak ada impian yang lebih kuat
dalam jiwanya melebihi itu. Namun akal sehatnya selalu
menahan agar impiannya itu tidak sampai meledak dan
melemahkannya.
Adalah wajar bagi seseorang yang sudah bertahun -tahun
tidak bertemu keluarganya dan mengharap bertemu
keluarganya. Namun jika dengan sedikit kesabaran
pertemuan itu akan menjadi lebih bermakna kenapa tidak
sedikit bersabar. Ia bisa saja mengusahakan pulang. Tapi
kuliahnya belum tuntas dan adik-adiknya masih
33

memerlukan dirinya untuk bekerja keras. Ia tidak ingin
menyerah pada kerinduan yang menjadi penghalang
kesuksesan. Ia ingin adik-adiknya sukses, dirinya sukses.
Semua sukses. Gambaran masa depan jelas. Baru ia akan
pulang.
"Mas Khairul, pulang yuk!"
Suara itu mengagetkannya. Ia menengok ke asal suara.
Pak Ali telah berdiri di samping kanannya.
"Dari mana saja Pak Ali? Saya cari-cari dari tadi."
Sapanya.
"Aduh Mas, perutku sakit. Aku habis dari toilet. Yuk kita
pulang ke hotel yuk. Kayaknya aku harus segera istirahat
nih."
"Lha Pak Ali tidak menunggu Pak Dubes. Nanti kalau
Pak Dubes mencari bagaimana? Terus kalau saya pulang
yang membereskan barang-barang siapa?"
“Tenang. Aku sudah tidak ada tugas malam ini. Pak
Dubes nanti biar disopiri Pak Amrun. Terus barang
barang biar diurus sama Mbak Eliana. Aku sudah bicara
dengan Mbak Eliana. Katanya kita pulang tak apa-apa.
Apalagi sebagian mereka mau begadang sampai pagi.
Termasuk Pak Dubes dan kawannya dari Turki.”
“Baik kalau begitu. Saya juga sudah letih. Terus kita
pulang pakai apa Pak Ali?"
"Gampang. Yang penting sama Pak Ali beres deh. Kita
pulang pakai taksi biar aku yang bayar."
34

"Ya sudah kalau begitu. Ayo."
Dua orang itu bergegas ke luar ke jalan lalu meluncur ke
hotel dengan taksi. Dalam perjalanan ke hotel Azzam
lebih banyak diam. Ia hanya bicara jika Pak Ali bertanya.
Azzam masih terbayang-bayang oleh wajah ibu dan adikadiknya.
"Kalau boleh tahu berapa umurmu Mas Khairul?"
"Dua puluh delapan Pak."
"Kalau aku perhatikan, gurat wajahmu lebih tua sedikit
dari umurmu. Kayaknya kau memikul sebuah beban yang
lumayan berat. Aku perhatikan kau lebih banyak bekerja
daripada belajar di Mesir ini. Boleh aku tahu tentang hal
ini?"
"Ah Pak Ali terlalu perhatian pada saya. Saya memang
harus bekerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya
tidak merasakannya sebagai beban. Meskipun orang lain
mungkin melihatnya sebagai beban. Saya memang harus
bekerja untuk menghidupi adik adik saya di Indonesia.
Ayah saya wafat saat saya baru satu tahun kuliah di
Mesir. Saya punya tiga adik. Semuanya perempuan. Saya
tidak ingin pulang dan putus kuliah di tengah jalan.
Maka satu-satunya jalan adalah saya harus bekerja keras
di sini. Jadi itulah kenapa saya sampai jualan tempe,
jualan bakso, dan membuka jasa katering."
Pak Ali mengangguk-angguk sambil membetulkan letak
kaca matanya mendengar penuturan Azzam. Ada rasa
kagum yang hadir begitu saja dalam hatinya. Anak muda
yang kelihatannya tidak begitu berprestasi itu
35

sesungguhnya memiliki prestasi yang jarang dimiliki
anak muda seusianya.
"Aku sama sekali tak menyangka bahwa kau menghidupi
adik-adikmu di Indonesia. Aku sangat salut dan hormat
padamu Mas. Sungguh. Ketika banyak mahasiswa yang
sangat manja dan menggantungkan kiriman orangtua,
kau justru sebaliknya. Teruslah bekerja keras Mas. Aku
yakin engkau kelak akan meraih kejayaan dan
kegemilangan. Teruslah bekerja keras Mas, setahu saya
yang membedakan orang yang berhasil dengan yang
tidak berhasil adalah kerja keras. Dan nanti kalau kau
sudah sukses jagalah kesuksesan itu. Setahu saya, dari
membaca biografi orang-orang sukses, ternyata hal
paling berat tentang sukses adalah menjaga diri yang
telah sukses agar tetap sukses."
"Terima kasih Pak Ali. Tapi saya minta Pak Ali tidak
menceritakan apa yang barusan saya ceritakan pada Pak
Ali kepada orang lain. Saya tidak mau itu jadi konsumsi
banyak orang. Biarlah masyarakat Indonesia di Cairo
tahunya saya adalah mahasiswa Al Azhar yang tidak
lulus-lulus karena lebih senang bisnis tempe, bakso dan
katering. Itu bagi saya sudah cukup membuat nyaman.
Janji Pak ya?"
"Ya, saya janji."
Tak terasa taksi sudah sampai di depan hotel. Azzam
turun. Pak Ali membayar ongkos taksi lalu menyusul
turun.
“Perutnya masih sakit Pak?"
"Ya. Masih terasa. Aku rasa aku harus segera ke toilet.
O ya Mas Khairul, kau langsung ingin istirahat?"
36

"Iya Pak, saya merasa letih banget."
“Baiklah. O ya, bagaimana kalau besok habis shalat subuh
kita ngobrol-ngobrol sambil jalan-jalan di sepanjang
pantai. Semoga saja sakit perutku sudah sembuh."
"Wah dengan senang hati Pak."
"Kalau begitu nanti kalau kau mau shalat subuh aku dibel
ya. Kita subuhan di masjid bersama. Dari masjid kita
langsung jalan jalan. Aku akan memberimu cerita yang
indah. Kau pasti senang mendengarnya."
"Baik Pak. Man Pak, assalamu 'alaikum." Kata Azzam.
"Wa'alaikumussalam. Sampai ketemu besok." Jawab
Azzam bergegas menuju lift, sementara Pak Ali menuju
toilet. Hotel itu masih ramai. Beberapa orang masih asyik
ngobrol di lobby hotel. Dua orang lelaki kulit putih
tampak sedang serius berbicara dengan orang Arab
berjubah putih. Dari caranya memakai kafayeh tampaknya
ia orang teluk. Lourantos Restaurant yang terletak tak
jauh dari lobby juga ramai dengan pengunjung.
Sampai di kamar Azzam langsung merebahkan badannya.
Ia tinggal menunggu mata terpejam. Telpon di
kamarnya berdering. Ia sangat tidak menginginkan
telpon itu. Ia paksakan untuk bangkit dan mengangkatnya.
Dari Eliana.
“Hei Mas Insinyur, kok sudah pulang sih?" Suara dari
gagang telpon.
37

"Iya, diajak Pak Ali yang sakit perut. Saya juga sudah
letih.”
“Seharusnya kalau mau pulang bilang-bilang dong.
Terima kasih ya, ikan bakarnya mantap. Pak Juneidi puas
banget. O ya sebetulnya aku mau kasih hadiah spesialnya
lho. Tapi Mas Insinyur keburu pulang sih?"
"Hadiahnya apa?"
"Mau tahu?"
“Iya."
"Ciuman spesial dariku."
“Apa? Ciuman spesial?"
"Yes."
"Ciuman spesialnya Mbak Eliana itu ciuman yang
bagaimana?"
"French kiss, ciuman khas Prancis."
"Mbak mau menghadiahi aku ciuman khas Prancis? Ah
yang benar saja?"
"Benar, sungguh! Tapi Mas Khairul keburu pulang sih.
Jadi sorry dech ya."
"Ah Mbak jangan menggoda orang miskin dong."
"Saya tidak menggoda, serius. Saya sungguh sungguh
mau memberi Mas Khairul ciuman itu tadi, sayang Mas
keburu pulang.”
“Alhamdulillah. Untung saya keburu pulang."
"Lho kok malah merasa untung."
38

“Iya soalnya jika dapat ciuman khas Prancis dari Mbak,
bagi saya bukanlah jadi hadiah, tapi jadi musibah!’
"Jadi musibah?”
“Iya.”
"Dapat French kiss dariku bagimu jadi musibah!?"
"Iya."
"Serius!? Nggak bercanda kan!?"
"Serius! Sangat serius!"
"Bisa dijelaskan kenapa jadi musibah?"
"Penjelasannya panjang, besok saja! Yang jelas perlu
Mbak ingat baik-baik saya bukan orang bule! Sudah ya,
saya harus istirahat. Maaf!"
Azzam memutus pembicaraan dan meletakkan gagang
telponnya sambil mendesis kesal,
"Dasar perempuan didikan Prancis tidak tahu adab
kesopanan. Sudah tahu aku ini mahasiswa Al Azhar mau
disamakan sama bule saja! Sinting kali!"
Telpon di kamarnya berdering lagi. Ia biarkan saja.
Tidak ia sentuh sama sekali. Ia yakin itu telpon dari
Eliana yang mungkin sedang emosi atau penasaran.
Telpon itu berdering-dering sampai mati. Azzam
mengambil air wudhu . Membaca doa. Mengecilkan AC .
D an siap untuk tidur. TeIpon di kamarnya kembali
berdering. Ia sedang membaca Ayat Kursi. Sama sekali ia
tidak bergeming dari tempat tidumya. Telpon itu terus
berdering sampai akhirnya mati sendiri. Ia tak perlu
mengangkatnya, toh jika umur masih panjang besok bisa
bertemu dan berbicara panjang lebar kenapa hadiah
ciuman itu baginya adalah musibah.
39

Sementara di El Muntazah, Eliana tampak gusar dan
geram. Berani-beraninya pemuda itu memutus
pembicaraan begitu saja. Dan berani-beraninya ia
memandang sebelah mata terhadap dirinya. Pikirnya.
Baru kali ini ia tidak dianggap bahkan diremehkan oleh
seorang pemuda. Yang membuatnya geram kali ini yang
meremehkannya justru orang yang sama sekali tidak
diperhitungkannya.
"Dasar pemuda kampungan kolot! Pemuda konservatif!
Pemuda bahlul bin tolol! Awas nanti ya!" Geramnya.
Orang-orang yang memperhatikan tingkah Eliana itu
jadi bertanya-tanya. Ada apa dengan Putri Pak Duta
Besar itu? Siapa pemuda yang dikatakannya kolot itu?
Siapa pemuda yang diumpatnya itu?
***
Selesai membaca Ayat Kursi Azzam tidak bisa langsung
tidur. Ia merasa ada yang salah hari ini. Yang salah itu
adalah rasa tertariknya pada anak Pak Dubes dan
harapannya yang tidak-tidak padanya. Setelah sembilan
tahun, baru kali ini hatinya tertarik pada seorang gadis.
Dulu waktu di pesantren, waktu di Madrasah Aliyah ia
pernah merasa suka pada seorang santriwati yang di
matanya sangat memesona. Namanya Salwa. Selain
Wajahnya yang menurutnya bagai bidadari suaranya
sangat merdu. Santriwati dari Pati itu menjuarai MTQ
tingkat Jawa Tengah. Namun ia hanya bisa memendam
rasa sukanya itu dalam hati. Sebab ia tahu, Salwa sudah
dipinang oleh putra sulung Pengasuh Pesantren, Gus
Mifdhal. Setelah itu ia tidak mau membuka hatinya lagi.
40

Yang ia heran, entah kenapa ketika mendengar prestasiprestasi
Putri Pak Dubes itu hatinya merasakan sesuatu
yang lain. Ia mengagumi gadis itu. Dan ketika melihat
wajahnya ia semakin kagum. Lalu ketika ia baru sedikit
dekat saja sudah merasakan apa yang dulu ia rasakan
terhadap Salwa. Ia harus mengakui ia jatuh cinta pada
Eliana dan berharap yang tidak-tidak. Ia sendiri heran,
kenapa?
Padahal ini bukan kali pertama ia bertemu dengan gadis
cantik. Ia sering membantu bapak-bapak pejabat KBRI
dan sering bertemu dengan anak gadis mereka yang
sebenarnya tidak kalah jelitanya. Tapi ia merasa biasa
biasa saja. Ia bahkan pernah umrah dan membimbing
jamaah dari Jakarta. Di antara jamaah itu ada seorang
foto model yang masih kuliah di Jakarta. Namanya Vera.
Foto model cantik itu kelihatannya tertarik padanya.
Sebab setelah Vera kembali ke Jakarta sering menelpon
dirinya dan mengirimnya paket. Namun ia sama sekali
tidak tertarik padanya. Kini Vera sudah jadi bintang
sinetron. Dan ia juga tidak minta sedikit pun untuk
sekadar menyapanya. Ia sama sekali tidak tertarik
dengan foto model itu karena gaya hidupnya yang ia
anggap tidak sejalan dengan jiwanya. Dan cara
berpakaiannya yang menurutnya kurang santun
meskipun sudah berulang kali umrah dan naik haji.
Dalam hati ia berkata dengan tegas,
"Cantik iya. Tapi kalau tidak bisa menjaga aurat, tidak
memiliki rasa malu, tidak memakai jilbab, tidak mencintai
cara hidup yang agamis, berarti bukan gadis yang aku
idamkan!"
41

Standar dia untuk calon isteri minimal adalah Salwa. Dan
standar itu tidak pernah ia turunkan. Tapi entah kenapa
saat bertemu Eliana yang cara berpakaian dan cara
hidupnya, menurutnya, tidak berbeda dengan Vera
hatinya bisa luluh. Kenapa ia menurunkan standar yang
telah bertahun-tahun ia jaga. Bahwa calon isterinya,
minimal adalah perempuan yang berjilbab rapat, bisa
membaca Al-Quran dan pernah mengecap kehidupan
pesantren.
Dan betapa menyesalnya dirinya begitu menurunkan
standar ternyata yang ia dapatkan adalah kehinaan. Akal
sehatnya menggiringnya untuk kecewa pada Eliana.
Kecewa karena ia merasa sudah bisa meraba cara hidup
Eliana. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana
kehidupan Putri Pak Dubes itu saat kuliah di Prancis.
Sudah berapa lelaki bule dan tidak bule yang berciuman
bibir dengannya. Dan ia ditawari untuk jadi lelaki ke
sekian yang berciuman dengannya. Ini jelas bertentangan
dengan apa yang ia jaga selama ini. Yaitu
kesucian. Kesucian jasad, kesucian jiwa, kesucian hati,
kesucian niat, kesucian pikiran, kesucian hidup dan
kesucian mati.
Entah kenapa tiba-tiba ia merasa berdosa. Ia merasa
berdosa dan jijik pada dirinya sendiri yang begitu rapuh,
mudah terperdaya oleh tampilan luar yang menipu. Ia
jijik pada dirinya sendiri yang ia rasa terlalu cair pada
lawan jenis yang belum halal baginya. Ia heran sendiri
kenapa jati dirinya seolah pudar saat berhadapan atau
berdekatan dengan Eliana. Apakah telah sedemikian
lemah imannya sehingga kecantikan jasadi telah
sedemikian mudah menyihir dirinya. Ia beristighfar
dalam hatinya. Berkali-kali ia meminta ampun pada Dzat
yang menguasai hatinya.
42

Azzam meratapi kekhilafannya dan memarahi dirinya
sendiri. Dalam hati ia bersumpah akan lebih menjaga
diri, dan hal yang menistakan seperti itu tidak boleh
terjadi lagi. Ia juga bersumpah untuk segera menemukan
orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi
berjilbab rapat, salehah, bisa berbahasa Arab dan
berbahasa Inggeris dengan fasih. Kalau terpaksa gadis
itu harus orang Mesir tak apa. Yang jelas rasa terhinanya
harus ia sirnakan.
Ia harus menemukan kembali kehormatannya sebagai
seorang Azzam yang memiliki harga diri. Meskipun
masyarakat Indonesia di Mesir mengenalnya hanya
sebagai tukang masak atau penjual tempe, tapi harga diri
dan kesucian diri tidak boleh diremehkan oleh siapapun
juga. Ia yakin akan mendapatkan isteri yang lebih jelita
dari Eliana, dan lebih baik darinya. Ia yakin. Itu
tekadnya. Ia ulang-ulang tekad itu dalam hatinya. Ia
rajut dengan doa. Ia bawa tekad itu ke dalam tidurnya.
Ke dalam mimpinya. Dan ke dalam alam bawah sadarnya.
43

3
BIDADARI DARI DAARU
QURAN
Azzam bangun dua puluh menit sebelum azan Subuh
berkumandang. Ia masih punya kesempat an buang hajat
dan sikat gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu. Ia
teringat belum shalat Witir. Ia sempatkan untuk Witir
tiga rakaat. Selesai shalat ia sempatkan untuk nyebutnyebut
ibu dan adik-adiknya dalam munajat. Azan Subuh
berkumandang. Ia bangkit membuka gorden kamarnya.
Jalan utama Kota Alexandria masih lengang. Hanya satu
dua mobil yang berjalan. Kabut tipis tampak rata
menyelimuti gedung gedung. Kaca jendela sedikit
mengembun. Udara di luar berarti dingin. Alexandria
memang sedang memasuki peralihan musim.
44

Peralihan dari musim dingin ke musim semi. Sisa-sisa
musim dingin masih terasa. Saat Subuh tiba udara masih
menyengatkan hawa dinginnya. Dalam kondisi seperti
itu melingkarkan tubuh di tempat tidur dengan
kehangatan selimut tebal terasa sangat nyaman. Lebih
nyaman daripada bangkit menuju masjid.
Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alal falaah.
Hayya 'alal falaah.
Ash shalaatu khairun minan nauum.
Ash shataatu khairun minan nauum.
Suara azan menggema, memantul dari gedung ke
gedung. Menyusup masuk ke rumah-rumah menggugah
jiwa jiwa yang lelap. Suara itu nyaring bagaai burung
camar, terbang ke tengah laut. Dan mencumbui laut
dengan mesra. Shalat itu lebih baik dan tidur. Shalat itu
lebih baik dari tidur.
Allahu akbar
Allahu akbar.
Laa ilaaha illallah.
Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat.
Menyapa alam. Menyapa pasir-pasir di pantai. Menyapa
kerikil-kerikil. Menyapa aspal. Menyapa pohon-pohon
45

kurma. Menyapa embun-embun. Menyapa ombak yang
berdesir. Menyapa gelombang yang naik turun. Menyapa
kabut yang lembut. Menyapa udara. Menyapa, alam
semesta. Menyapa apa saja. Semuanya menjawab.
Semuanya shalat. Semuanya menyucikan dan mengagungkan
asma Allah. Semuanya bertakbir kecuali yang
tetap tidur.
Seolah mengiringi takbir alam di pagi itu, bibir Azzam
bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan
tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan
hotel yang masih lengang. Sampai di masjid ia mendapati
Pak Ali yang sedang sujud di shaf depan. Azzam shalat
Tahiyatul Masjid. Lalu shalat Qabliyah Subuh. Sambil
menunggu imam berdiri di mihrabnya ia mengulangulang
doa Nabi Yunus. Doa yang telah menyelamatkan
Nabi Yunus dari kegelapan di perut ikan. Doa yang
mampu menurunkan kasih sayang Tuhan. Doa yang
mampu mendatangkan keajaiban-keajaiban. Doa yang
nikmat dilantunkan dan terasa sejuk di hati dan pikiran.
Laa ilaaha illa anta.
Subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin.
Orang-orang Mesir berdatangan. Ada dua puluhan
orang. Seorang lelaki separo baya dengan jenggot yang
telah memutih sebagian, maju ke depan. Shalat Subuh
didirikan. Sang imam membaca surat An Najm. Azzam
larut dalam penghayatan. Orang Mesir yang shalat di
samping kanannya menangis sesenggukan. Bacaan sang
imam memang menyentuh perasaan. Apalagi orang
Mesir biasanya paham makna ayat-ayat suci Al-Quran
yang dibacakan.
46

Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat
yang dibaca sang imam. Hati dan pikirannya terbetot
dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah-olah
Tuhan yang menurunkan Al-Quran mengabarkan
kepadanya bagaimana Rasulullah menerima wahyu yang
diturunkan.
Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).
Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu
menampakkan diri dengan rupa yang asli.5
Ia seolah-olah terbetot masuk ke jaman kenabian. Seolaholah
ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Saw. menerima
ayat-ayat suci Al-Quran. Seolah-olah ia mendengar suara
Jibril mendiktekan Al-Quran, sampai Rasulullah Saw.
hafal tanpa keraguan. Seolah-olah ia mendengar
bagaimana Rasulullah Saw. Mengajarkan Al-Quran
kepada sahabat sahabatnya yang selalu haus hikmah dan
ilmu pengetahuan.
5 QS. An Najm (Bintang) [53]:1-6.
47

Ayat demi ayat dibaca sang irnam. Orang Mesir di
samping kanannya terus sesenggukan. Pikiran dan
hatinya masih larut dalam tadabbur dan penghayatan.
Surat An Najm membuatnya merinding ketika
menguraikan untuk apa Islam diturunkan. Demi
kebahagiaan manusia dan alam semesta Islam
diturunkan. Tuhan menurunkannya dengan segenap
cinta dan kasih sayang-Nya. Tak ada sedikit pun Tuhan
memiliki keinginan mengambil keuntungan dari
makhluk-Nya. Allah yang menggenggam langit dan
bumi serta isinya sama sekali tidak membutuhkan
makhluk-makhluk-Nya. Justru makhluk-makhluk-Nyalah
yang membutuhkan Allah, Tuhan Yang Maha Kaya
dan Maha Penyayang. Allah memberi kebebasan seluasluasnya
kepada makhluk makhluk-Nya untuk memilih
berbuat baik atau kejahatan. Semua ada balasannya
masing-masing. Adil. Tak ada kezaliman. Setiap orang
mengetam apa yang ia tanam.
Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan
apa yang ada di bumi supaya. Dia memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah
mereka kerjakan. Dan memberi balasan keepada orang orang
yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik. 6
***
Sambil menyenandungkan zikir pagi Azzam berjalan di
atas pasir yang lembut. Ia berjalan di samping Pak Ali.
Hari masih sangat pagi. Pantai Cleopatra masih sepi.
Udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berhembus
6 QS. An Najm (Bintang) [53]: 31
48

terasa membelai dengan lembut relung-relung jiwa.
Kedamaian yang nyaris sempurna. Tiga orang gadis
Mesir dengan lari-lari kecil melintasi mereka berdua.
Sambil berlari mereka bercanda bahagia. Tubuh mereka
tertutup rapat celana training panjang dan kaos lengan
panjang. Yang dua menutup kepala dengan jilbab Turki.
Sedangkan yang satu membiarkan rambutnya tergerai
diterpa angin ke sana kemari. Seorang di antara mereka
menengok ke belakang. Sekilas Azzam menatap
wajahnya. Putih bersih khas Mesir. Gadis itu langsung
menarik wajahnya dan tertawa sambil terus berlari
bersama dua temannya. Meskipun cuma melihat sekilas
gadis Mesir itu tak kalah memesonanya dibanding
Eliana.
"Cantik ya Mas?" Suara Pak Ali menyadarkan Azzam
bahwa ia tidak sedang berjalan sendirian.
"Siapa Pak yang cantik?" Sahut Azzam.
"Ya gadis Mesir itu, yang menengok dan menatap
kamu."
"Kalau gadis Mesir ya jangan ditanya lah Pak. Katanya
kalau ada gadis Mesir tiga, maka yang cantik enam."
Jawab Azzam santai.
"Kok bisa. Tiga orang kok yang cantik enam."
"Bayangannya juga cantik."
"Wah kau ada-ada saja."
"Saya kan cuma bilang katanya tho Pak. Katanya kan
bisa benar bisa tidak."
49

"Ngomong-ngomong cantik mana gadis tadi sama
anaknya Pak Dubes, Eliana."
Azzam terhenyak, tak mengira akan mendapat
pertanyaan seperti itu dari Pak Ali. Entah mengapa ia
sebenarnya sedang tidak ingin berbicara tentang Eliana.
Sudah terlalu sering Eliana dijadikan topik pembicaraan
di kalangan mahasiswa, putra maupun putri, juga
kalangan masyarakat Indonesia. Baik di dalam KBRI
maupun di luar KBRI. Azzam sudah bosan, apalagi jika
teringat kejadian tadi malam. Ia sama sekali sudah tidak
tertarik dengan Eliana.
"Apa tidak ada topik lain Pak, selain Eliana? Pagi-pagi
begini sudah membahas Eliana. Eliana lagi, Eliana lagi."
Pak Ali tersenyum mendengar jawaban Azzam.
"Aku ingin menceritakan hal penting padamu. Untuk
kebaikanmu."
"Tentang Eliana?"
"Bisa dikatakan tentang Eliana bisa juga dikatakan
"Mendengar nama Eliana saja saya sudah bosan Pak”
"Ah yang benar?"
"Benar Pak, sungguh."
"Mas, Bapak ini sudah makan asam garam lebih darimu.
Bapak tidak bisa kau bohongi. Jujur saja Bapak sungguh
memperhatikanmu empat hari ini. Dan Bapak melihat
50

kamu itu sesungguhnya sangat mengagumi Putri Pak
Dubes itu. Bahkan bapak berani menyimpulkan kamu itu
sebenarnya suka sama dia."
"Berarti Bapak salah menganalisis dan salah menyimpulkan!"
"Itu tak penting. Yang penting Bapak ingin memberi
saran sama kamu. Ini serius, sebaiknya orang seperti
kamu jangan jatuh cinta sama sekali pada Eliana, dan
orang seperti kamu jangan sekali-kali memimpikan isteri
model Eliana. Itu saja! "
Seketika Azzam menghentikan langkahnya. Karena ada
larangan dalam saran Pak Ali ia menjadi terhenyak
penasaran. Seperti Nabi Adam ketika dilarang makan
buah Khuldi malah jadi penasaran. Dan begitulah
manusia jika mendapat larangan seringkali reaksi yang
pertama kali timbul adalah justru penasaran ingin tahu.
Ada apa dilarang? Kenapa dilarang?
"Memangnya kenapa Pak?"
Pak Ali tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar
dari mulutAzzam.
"Sudah kuduga, pasti pertanyaan itu yang akan langsung
keluar. Kau pasti penasaran. Kenapa aku sarankan
sebaiknya jangan memimpikan isteri model Eliana,
alasan utamanya adalah agar kau tidak sengsara. Tidak
hidup sia-sia. Agar kau bahagia! Aku melihat kau sama
sekali tidak cocok jika punya isteri gadis model Eliana.
Ya, dia cantik dan cerdas. Juga kaya. Anak pejabat. Tapi
kebahagiaan rumah tangga tidak cukup hanya dengan
memiliki isteri yang cantik, cerdas, kaya dan terhormat.
51

Tidak. Akhir-akhir ini Eliana memang jadi buah bibir.
Termasuk di kalangan mahasiswa Al Azhar. Baik putra
maupun putri. Tidak sedikit yang aku lihat sangat
tertarik pada Eliana. Meskipun mereka tahu bagaimana
cara berpakaiannya yang terkadang tak kalah beraninya
dengan artis Hollywood. Yang aku heran, bagaimana
mungkin ada mahasiswa Al Azhar tertarik dengan gadis
model itu. Mana Quran dan Hadis yang telah kalian
pelajari? Dan aku lihat kamu sendiri sebenarnya juga
terpikat kecantikan Eliana. Aku bisa melihat dan bahasa
tubuhmu sorot matamu, dan getar suaramu. Kau boleh
saja mengatakan bosan mendengar namanya. Tapi aku
lebih tua darimu."
"Tapi Eliana itu kalau pakai jilbab seperti ketika menjadi
M.C. peringatan tahun baru hijriah tampak anggun dan
cantik lho Pak?"
"Lho, bisa bilang begitu kok mengingkari kalau tertarik
pada Eliana. Ya, Nicole Kidman kalau pakai jilbab juga
cantik. Eliana juga. Tapi kalau di diskotik tak kalah
dengan penari perut. Kau mau punya isteri seperti itu!?"
"Pak jangan membuka aib orang, jangan memfitnah
orang dong!"
Pak Ali malah tersenyum.
"Kalau aku mengatakan si Tiara, mahasiswi Al Azhar
yang biasa mengajar Al-Quran di Masjid SIC itu kalau di
diskotik tak kalah dengan penari perut barulah aku
memfitnah dia. Lha ini, orang Eliana sendiri bangga
cerita ke mana-mana. Bahkan ia sudah cerita di website
pribadinya. Ayahnya yang jadi Dubes itu juga bangga.
Bahkan pernah meminta putrinya menunjukkan
52

kebolehannya dihadapan diplomat-diplomat asing.
Sampai ada seorang sutradara Mesir yang akan
memintanya ikut main film. Kalau kemungkaran itu
ditutup-tutupi saya akan berusaha ikut menutupi. Ini
kemungkarannya malah dipropagandakan, dibanggabanggakan.
Coba kau renungkan apakah ketika aku
mewanti-wanti anak perempuanku agar tidak mencontoh
Nicole Kidman yang sangat bangga tampil tanpa busana
di sebuah pertunjukan teater di Inggris, aku katakan:
'jangan mengagumi orang yang suka bermaksiat terangterangan
itu! ', apakah itu berarti aku memfitnah bintang
Holywood itu? Padahal berita perbuatan gilanya itu
dimuat di koran koran dan internet di seluruh dunia. "
"Kok saya tidak pernah tahu hal-hal seperti itu ya Pak?"
"Sebaiknya memang kamu tidak tahu yang begitu-begitu.
Kalau tahu nanti malah gawat, kau tidak jadi bikin
tempe. Tidak juga jadi kuliah. Adik-adikmu di Indonesia
bisa kelaparan. Karena pikiranmu ke mana mana. Aku
hanya ingin mengingatkan padamu jangan mudah
tertarik pada perempuan cantik. Di akhir jaman itu tidak
sedikit perempuan yang cantik memesona, namun
sebenarnya adalah seorang pelacur. Na'udzubillaah!"
"Tapi perempuan cantik yang salehah, benar-benar
salehah dan menjaga kesuciannya banyak lh o Pak."
Pak Ali kembali tersenyum.
"Iya bapak percaya itu. Karena itulah kamu harus benarbenar
matang dalam memilih isteri. Jangan asal cantik.
Lha kebetulan Bapak punya cerita tentang gadis yang
cantik, salehah, memesona dan cerdas. Kau mau mendengarkan?
"
53

"Wah, boleh Pak."
"Kalau begitu ayo kita duduk di sana. Bapak akan cerita
panjang lebar." Kata Pak Ali sambil menunjuk pembatas
jalan di pinggir trotoar yang bisa diduduki. Mereka
berdua berjalan ke sana. Alexandria semakin terang.
Kabut mulai hilang perlahan-lahan. Pantai mulai ramai.
Jalan jalan sudah mulai dipenuhi kendaraan yang lalu
lalang. Di kejauhan tampak Benteng Qaitbey berdiri di
ujung tanjung. Gagah dan menawan. Mereka duduk
menghadap laut yang bergelombang tenang. Azzam
memandang ke arah kiri, ke arah benteng. Sementara
Pak Ali memandang ke arah kanan.
"Lha kalau mereka itu aku yakin wanita-wanita salehah. "
Gumam Pak Ali memandang Azzam, mengalihkan
pandangan.
"Itu mana Pak?'
"Itu." Tunjuk Pak Ali ke arah rombongan gadis-gadis
berjilbab. Dari cara mereka memakai jilbab dan cara
mereka berjalan menunjukkan kalau mereka dari Asia.
"Mereka anak-anak Malaysia. Hampir semua yang kuliah
di Al Azhar Banat di sini adalah mahasiswi dari Malaysia.
Indonesia boleh dikatakan tidak ada. Semua mahasiswinya
ngumpul di Cairo." Pak Ali menjelaskan panjang
lebar seolah Azzam bukan mahasiswa Al Azhar. Azzam
diam saja, tanpa dijelaskan pun ia sudah tahu. Ia sudah
sembilan tahun tinggal di Mesir.
"Sudahlah Pak, tidak usah membahas mahasiswi Malaysia
itu. Langsung saja pada cerita yang ingin Pak Ali
54

sampaikan tadi. Matahari sudah bersinar terang. Kita
belum sarapan."
"Baiklah Mas. Dengarkan baik-baik ya. Ceritanya ada
sangkut-pautnya sedikit dengan hidupku."
Pak Ali memandang jauh ke tengah lautan. Ia mengambil
nafas lalu melanjutkan,
"Dulu saya anak orang paling kaya di Pedan, Klaten.
Saya kuliah di Bandung. Saat kuliah saya kenal dengan
gadis asli Bandung, sebut saja namanya Neneng. Saya
tergila-gila pada Neneng. Neneng memang primadona di
kampus. Kecantikannya tak kalah dengan Sri Devi,
bintang legendaris India itu. Sampai ia dapat julukan Sri
Devi from Bandung. Ia anak seorang diplomat. Ibunya asli
India. Pokoknya cantiknya luar biasa.
"Segala cara aku gunakan untuk mendapatkan dia. Aku
yakin bisa mendapatkannya. Aku berkeyakinan kalau aku
berusaha aku pasti bisa. Benar, akhirnya aku bisa
menyuntingnya. Saat ayahnya tugas di London, ia minta
aku membawanya ke London. Karena kami sudah
keluarga sendiri, ayahnya tidak mau membiayai hidup
kami di London. Aku yang harus bertanggung jawab.
Aku yang harus membiayainya. Sebab akulah suaminya.
"Demi cintaku padanya segala yang kumiliki aku
korbankan. Harta orangtuaku aku habiskan untuk
membiayai hidup di London. Kau tahu sendirikan, betapa
mahal hidup di London. Sekaya-kayanya orang Pedan
yang mengandalkan hasil pertanian mampu kuat berapa
lama hidup di London? Akhirnya harta orangtuaku ludes.
Aku sendiri menanggung utang tidak sedikit. Aku benar
benar tidak memiliki apa-apa. Aku hanya bisa kerja part
55

time di sebuat toko swalayan di London. Gaji kerjaku
hanya bisa untuk makan. Yang menyakitkan, isteriku
yang cantik itu kerja di Club Malam. Ia bisa menari ala
India. Dan tiap malam ia pulang diantar pasangan
barunya. Ia hidup tanpa menganggapku sebagai suaminya.
Saat itu aku nyaris gila.
"Aku sangat mencintainya. Semua telah aku korbankan
untuknya. Tapi ia tanpa risih sedikit pun mengatakan
kepadaku, 'Ali di rumah aku isterimu, tapi di luar rumah aku
milik banyak orang. Kau jangan cemburu ya. Kau justru harus
bangga memiliki isteri yang disukai banyak orang!'
"Aku tidak kuat dengan perlakuannya. Akhirnya aku
ceraikan dia. Saat itu dia sedang hamil dua bulan. Tetapi
aku tidak bisa yakin kalau yang sedang di kandungnya
itu adalah anakku. Aku akhirnya pulang kembali ke
Indonesia sebagai gembel. Keluarga besarku yang dulu
kaya-raya telah hancur berantakan. Orangtua dan adikadikku
memusuhiku. Aku lalu hidup menggelandang di
Solo. Di stasiun Balapan. Aku lakukan apa saja untuk
dapat uang. Segala jenis kejahatan sudah pernah aku
lakukan. Sampai suatu hari aku nyaris mati karena
tertangkap oleh warga kampung saat aku mencuri.
"Untungnya ada seorang kiai yang menyelamatkan
nyawaku. Kiai itu memiliki pesantren tak jauh dari
tempat aku mencuri. Di tangan kiai itu aku insyaf. Kiai
itu begitu baik. Ia bagai malaikat.
"Aku belajar agama di pesantrennya selama satu tahun.
Selama satu tahun aku makan dan tidur gratis di
pesantren. Setelah hidup satu tahun di pesantren barulah
aku memahami untuk apa aku hidup. Aku lalu pamit
hendak merantau. Pak Kiai menyarankan agar aku kerja
56

saja di Saudi, kebetulan ada teman Pak Kiai yang
memiliki usaha kontainer di Jeddah. Namanya Pak
Ahmad. Pak Ahmad membutuhkan sopir pribadi yang
bisa berbahasa Inggris. Dan minta pada Pak Kiai kalau
ada di antara santrinya yang bisa. Pak Kiai menawarkan
padaku. Aku menerimanya dengan harapan bisa ke
Tanah Suci untuk menangis kepada Allah di depan
Ka'bah.
"Aku pun berangkat ke Saudi. Teman Pak Kiai itu yang
membiayai tiketnya. Aku bekerja di Jeddah. Sangat
nyaman. Aku merasakan hidup tenang. Hubunganku
dengan Pak Ahmad sangat baik. Aku sudah dianggap
saudara sendiri oleh keluarga Pak Ahmad. Aku berdoa di
depan Ka'bah agar diberi pendamping hidup yang setia
dan baik. Doa itu dikabulkan oleh Allah. Suatu pagi, ya
pagi seperti ini, aku dipanggil Pak Ahmad. Pak Ahmad
berkata, 'Li, kamu mau nikah?'
Aku kaget sekali. Memang itulah doaku setiap kali aku
ada kesempatan berdoa di Multazam. 'Mau, Pak.'
Jawabku. '
'Tapi dia janda beranak dua. Tidak perawan. Bagaimana?
Mau?'
'Asal salehah mau Pak.'
'Dia salehah insya Allah. Begini Li. Kalau kau mau kau
harus ke Mesir. Perempuan itu sekarang ada di Mesir.
Suaminya telah meninggal setengah tahun yang lalu.
Dua anaknya masih kecil-kecil. Dan ia tetap ingin di
Mesir sampai punya bekal yang layak untuk hidup di
Indonesia.'
57

"Aku langsung bertanya, 'Jadi saya nanti harus
meninggalkan Jeddah dan tinggal di Mesir Pak?'
'Tidak apa-apa. Kalau kau mau kau berarti menolong
janda dan dua anaknya. Kalau ikhlas besar pahalanya.
Dan kau di Mesir sana akan langsung dapat pekerjaan.
Jangan kuatir.'
'Apa Pak pekerjaannya, Pak?'
'Menggantikan pekerjaan almarhum suami janda itu.
yaitu cleaning service merangkap sopir KBRI. Bagaimana
Li kamu mau?'
"Aku lalu menjawab, 'Baiklah, bismillah saya mau.'
"Akhirnya aku menikah dengan orang yang sekarang
menjadi isteriku. Allah tidak hanya memberiku isteri
yang salehah. Tapi Allah juga memberiku isteri yang
cantik, penyabar, dan sangat pengertian. Lebih dari itu
Allah menganugerahiku dua orang anak yang sangat
menyejukkan hati. Dua anak itu tidak pernah
menganggap aku bukan ayahnya. Mereka tahunya, ayah
mereka ya aku ini. Inilah jalan hidup yang diatur oleh
Allah. Sebab sekian tahun aku berumah tangga tidak juga
punya keturunan. Ternyata setelah diperiksa medis aku
divonis tidak bisa punya keturunan. Aku semakin sayang
pada isteri dan anak anakku. Mereka pun semakin sayang
padaku. Anakku yang pertama sekarang kuliah di
Malaysia. Anak yang kedua kuliah di Fakultas
Kedokteran UNS Solo. Seperti yang kau ketahui, di sini
aku hidup berdua bersama isteri. Sesekali kami yang
menjenguk mereka atau mereka yang menjenguk kami.
Kini aku sangat bahagia. Tahun depan aku dan isteri
58

berencana meninggalkan Mesir. Alhamdulillah kami
sudah punya rumah di Solo Baru."
Pak Ali menghela nafas. Ada gurat kepuasan yang
tergurat di wajahnya. Pak Ali membetulkan letak kaca
matanya. Azzam merasa belum puas. Ia merasa belum
mendapatkan apa yang dijanjikan Pak Ali.
"Lha cerita gadis cantik salehahnya mana Pak?"
Pak Ali tersenyum "Sabar tho Mas. Gadis cantik saja
yang kaupikir."
"Lho Pak Ali tadi kan bilangnya mau cerita tentang
gadis cantik yang salehah. Lha ini sudah ke mana-mana
kok belum muncul-muncul juga."
"Kau ini kok inginnya meloncat. Langsung ke intinya.
Film kalau langsung ke intinya tidak menarik. Novel
kalau langsung kau baca intinya juga tidak menarik. Kau
harus sabar membacanya. Baca yang urut bab demi bab.
Paragraf demi paragraf. Kata demi kata. Huruf demi
huruf. Baru akan kau temukan keindahan rangkaian
novel itu. Keutuhan cerita novel itu. Jangan lompatlompat.
Jangan main potong langsung ke inti. Cerita
tentang gadis salehah yang indah ini juga begitu. Ada
rangkaian ceritanya yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau
ditinggalkan ceritanya tidak utuh. "
"Sudahlah Pak, ayo dilanjutkan saja ceritanya. Jangan
malah ceramah tentang novel segala. Apa hubungannya?
Kayak sastrawan saja!"
"Lho erat sekali hubungannya cerita dengan novel lho
Mas. Begini..."
59

Azzam langsung memotong,
"Dilanjut saja ceritanya Pak. Tentan g sastra, hubungan
cerita dengan novel biar nanti saya baca sendiri saja di
perpustakaan SIC. Keburu siang Pak."
"Baiklah. Anakku yang kuliah di Malaysia itu laki laki
namanya Amir. Dulu selesai SMP di SIC langsung
kulempar ke Al Munawwir Krapyak Jogja. Selesai
Madrasah Aliyah langsung dapat beasiswa ke Madinah.
Sekarang S.2 di Malaysia. Dia belum menikah. Dia
sendiri tidak tahu kisah kelam masa laluku sebelum
tobat. Dia hanya tahu aku adalah seorang ayah yang dulu
pernah nyantri di pesantren. Dan aku pikir dia tidak
perlu tahu. Biar dia tahu yang baik-baik saja. Nanti kalau
dia mau cari isteri baru akan bapak kasih tahu. "
"Berarti kira-kira dia seusia dengan saya ya Pak."
"Lebih tua kamu dua tahun. Aku lanjutkan ya.
Sedangkan adiknya yang kini kuliah di Fakultas
Kedokteran UNS, sejak SMP sudah kuletakkan di
pesantren."
"Di pesantren mana Pak?"
"Di pesantren tempat aku nyantri dulu. Aku titipkan
pada Pak Kiai yang menggemblengku selama satu tahun
itu. Pak Kiai itu namanya K.H. Lutfi Hakim. Nama
pesantrennya, Daarul Quran. Terletak di Desa Wangen,
Polanharjo."
60

"Oh ya saya tahu Pak. Saya dulu pernah ke sana sekali.
Itu kan arahnya dari Popongan terus ke barat. Dekat
dengan daerah Janti Klaten. "
"Ya benar."
"Terus hubungannya apa pesantren itu dengan cerita
gadis cantik yang salehah itu? Apa yang Pak Ali maksud
adalah anak gadis Pak Ali itu?" Azzam sudah tidak sabar.
Ia merasa Pak Ali ceritanya melingkar-lingkar tidak
segera sampai yang dimaksud.
"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sudah tahu standar
kecantikan yang kau pakai. Standar kamu adalah Eliana
dan gadis-gadis Mesir. Maka anak gadisku meskipun
menurutku cantik, tapi jika standarnya Eliana bisa
dikatakan tidak cantik. Bersabarlah sedikit, sudah hampir
sampai pada tujuan. Aku kembali ke alur cerita. Anak
gadisku itu aku titipkan kepada Pak Kiai Lutfi. Beliau
jaga dan beliau didik dengan baik. Pada saat yang sama
Pak Kiai Luffi punya anak gadis yang sangat cerdas. Dan
sangat cantik. Sungguh sangat cantik. Kecantikannya
ibarat permata maknun yang mengalahkan semua
permata yang ada di dunia. Aku berani bertaruh
kecantikannya bisa mengatasi Eliana. Ini menurutku lho
Mas. Sebab kecantikan seorang perempuan di mata lelaki
itu relatif. Dan untuk kecerdasannya aku berani bertaruh,
tak banyak gadis seperti dia. Aku tahu persis, sebab aku
pernah belajar pada ayahnya selama satu tahun. Jika
Eliana bisa bahasa Prancis dan Inggris. Maka Putri Pak
Kiai Lutfi ini bisa bahasa Arab, Inggris dan Mandarin.
Saat di Madrasah Aliyah dia pernah ikut program
pertukaran pelajar ke Wales,U.K. Dan apa kau tahu di
mana dia sekarang?"
61

Azzam menggelengkan kepala.
"Dia sekarang ada di Carro. Sedang menempuh S.2 di
Kuliyyatul Banat, Al Azhar. Dia sedang mengajukan
judul tesisnya."
"Sedang S.2? Siapa namanya? Kok saya tidak pernah
dengar ceritanya."
"Namanya Anna Althafunnisa."
"Anna Althafunisa?"
"Ya."
"Baru kali ini saya dengar nama itu. Aneh sekali. Padahal
orang-orang di rumah saya semuanya aktivis. Tapi
mereka kok tidak pernah nyebut -nyebut nama itu ya?"
"Tidak banyak orang yang tahu. Sebab Anna Althafunnisa
menyelesaikan S.1-nya tidak di Cairo. Tapi di
Alexandria sini. Ia lebih banyak berinteraksi dengan
mahasiswi Malaysia daripada mahasiswi Indonesia. Dan
Anna lebih memilih menutup diri dari kegiatan-kegiatan
yang bersifat glamour. Kalau kau sempat membaca
majalah Al Wa'yu Al Islami, cobalah cari edisi bulan lalu.
Ada artikel dia dimuat di sana. Dia memakai nama pena
Anna Lutfi Hakim."
"Sekarang dia tinggal di Cairo?"
"Iya. Dialah gadis cantik dan salehah yang aku maksud.
Dan saat ini ayahnya menginginkan dia segera menikah.
Aku pikir kamu lebih baik menikah dengan orang yang
sekualitas Anna daripada dengan yang model Eliana.
62

Kalau kamu mendapatkan Anna, kamu telah mendapatkan
surga sebelum surga. Percayalah padaku. Aku tahu
betul kualitas Anna, ayahnya, dan keluarganya. Mereka
dari golongan orang-orang yang ikhlas. Saran saya
khitbahlahAnna Althafunnisa itu sebelum bidadari dari
Pesantren Daarul Quran itu dikhitbah orang lain."
Hati Azzam berbunga-bunga. Ada rasa sejuk yang tibatiba
menyelinap ke dalam dadanya. Namun ia tiba tiba
diserang rasa ragu.
"Apa saya pantas melamarnya Pak? Apa saya pantas
untuknya? Saya ini S.1 saja sudah sembilan tahun belum
juga selesai. Dan apa prestasi saya? Apa yang bisa saya
andalkan? Membuat tempe? Apa ada kiai yang mau
anaknya menikah dengan penjual tempe?"
"Kenapa kamu jadi inferior begitu. Percayalah padaku,
Pak Kiai Lutfi itu tidak pemah memandang dunia. Dunia
itu remeh bagi beliau. Datanglah, lamarlah. Belilah tiket,
pulanglah ke Indonesia dan lamarlah bidadari itu!"
"Waduh kalau harus pulang berat Pak. Apa tidak ada
cara lain selain pulang?"
Pak Ali diam mengerutkan keningnya, sebentar kemudian,
wajahnya cerah. Setengah berteriak ia menjawab,
"Ada! Kau bisa melamar lewat Ustadz Mujab. Ustadz
Mujab itu masih keluarga dekat Kiai Lutfi. Kau datangi
saja Ustadz Mujab dan sampaikan maksudmu untuk
disampaikan kepada Kiai Lutfi dan Anna. Insya Allah
semua akan mudah. Ustadz Mujab kau kenal kan?"
"Wah lebih dari kenal. Saya sangat akrab dengannya.
Tapi yang membuat saya heran, kenapa beliau sama
63

sekali tidak pernah menyinggung nama Anna Althafunnisa
sama sekali ya?"
"Itulah mahalnya Anna Althafunnisa. Tidak sembarangan
dibicarakan. Tidak sembarangan diobral. Bukankah
permata yang sangat mahal itu jarang dipamerkan
orang?"
"Pak Ali punya fotonya?"
"Aduh, sayang sekali tidak punya. Tapi itu tidak penting.
Langsung saja kau lamar. Kalau setelah menyuntingnya
kamu menyesal, akan aku serahkan leherku ini untuk kau
pancung. Sungguh!"
Azzam tersenyum. Kata-kata terakhir Pak Ali semakin
membuatnya mantap sekaligus penasaran. Seperti apa
Anna itu? Namun, ia merasa telah mendapat jawaban
atas tekad yang ia ikrarkan sebelum tidur tadi malam.
Tekad yang ia rajut dengan doa.
Ia yakin Anna adalah jawaban atas doanya yang ia bawa
sampai tidur. Ia yakin bukanlah sebuah kebetulan jika
pagi itu Pak Ali akan bercerita tentang Anna Althafunnisa.
Itu bukanlah kebetulan belaka. Sebab ia
meyakini bahwa segala yang terjadi di alam semesta ini
tidak ada yang kebetulan. Semua sudah ditulis takdirnya
dan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tekadnya telah bulat.
Begitu sampai di Cairo ia akan datang ke rumah Ustadz
Mujab. Datang untuk menanyakan gadis yang disebut
sebut Pak Ali sebagai "Bidadari dari Pesantren Daarul
Quran".
Ia akan menanyakan apakah gadis itu masih kosong,
belum dikhitbah orang? Apakah gadis itu bisa
64

dipinangnya? Kalau ya, maka ia akan langsung meminangnya.
Saat itu juga kalau bisa. Tak ada lagi keraguan
dalam hatinya.
65

4
CERITA FURQAN
Berulang kali Eliana menelpon kamar Azzam. Tak ada
yang menjawab. Ia ingin membuat perhitungan dengan
Azzam. Kata-kata Azzam tadi malam ia anggap sangat
merendahkannya. Ia sangat tersinggung. Apalagi tadi
malam pemuda kurus itu memutus pembicaraan
dengannya secara sepihak. Siapa dia berani-beraninya
berlaku tidak sopan padanya? Baginya tindakan Azzam
itu tidak hanya tidak sopan, tapi sangat menghinanya. Ia
memang orang yang mudah emosi jika ada sedikit saja
hal yang tidak sesuai dengan suasana hatinya.
Eliana mondar-mandir di lobby hotel. Ia memperhatikan
dengan seksama orang-orang yang duduk dan lalu lalang
di situ. Ia menanti Azzam untuk dilabraknya. Ia hendak
memarahinya seperti ia memarahi pembantu-pemban66

tunya yang melakukan sesuatu yang mem-buatnya
murka.
Pagi itu suasa hotel sudah terasa sangat panas bagi
Eliana. Ia menanyakan keberadaan Azzam kepada semua
orang Indonesia. Para mahasiswa, rombongan Penari
Saman, para staf KBRI, bahkan ayahnya sendiri. Semua
menjawab tidak tahu pasti. Ada yang menjawab
mungkin sedang jalan-jalan di Pasar El Manshiya. Ada
yang menjawab mungkin sedang mencari sesuatu di Abu
Qir. Ada yang menjawab mungkin sedang ziarah ke
Masjid Nabi Daniyal. Ada yang menjawab mungkin
sedang renang di pantai. Semua jawaban tidak ada yang
memuaskannya. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda
tidak tahu diuntung itu. Ia ingin segera menumpahkan
segala murkanya. Ia ingin segera melumatnya jika bisa.
Sementara Azzam dan Pak Ali berjalan santai menelusuri
pantai. Azzam melepas sandalnya dan membiarkan
kakinya telanjang menginjak pasir pantai yang lembut.
"Pak Ali." Sapa Azzam pelan.
"Ya, Mas."
"Pak Ali sudah lapar?"
"Iya."
"Mau sarapan di hotel?"
"Entah kenapa ya Mas. Aku kok sudah bosen banget
sarapan di hotel."
67

"Saya juga Pak Ali. Kalau begitu kita cari tha'miyah bil
baidh 7 di luar hotel yuk?"
"Ayuk."
Mereka langsung berjalan mencari kedai tha'miyah, kedai
yang menjual makanan khas Mesir terdekat. Saat mereka
melintasi jalan raya menuju ke kedai itu seseorang
memanggil-manggil nama mereka. Mereka menengok ke
arah suara. Ternyata si Romi. Mahasiswa asal Madura
yang dipercaya membuat dan menjaga stand Sate
Madura. Anak asli Pamekasan itu berjalan dengan
setengah berlari ke arah mereka. Tubuh kurusnya dibalut
kaos hitam dan celana panjang hitam. Tangan kanannya
menenteng kantong plastik hitam.
"Ada apa Mi?" Sapa Azzam begitu jaraknya dengan
Romi tidak terlalu jauh.
"Anu, anu Mas Khairul. Kamu dicari-cari oleh Mbak
Eliana. Kelihatannya kok dia sedang marah. Segeralah
kamu ke lobby hotel. Jika tidak segera ke sana aku kuatir
dia semakin marah. Dan jika dia marah celakalah kita
semua. Cepat-cepatlah kamu minta maaf?"
"Minta maaf atas apa Mi?"
"Ya tidak tahu. Yang penting minta maaf. Mungkin dia
tersinggung karena sesuatu yang tidak kamu sadari. Apa
7 tha'miyab bil baidh: Makanan khas Mesir, berbentuk sandwich isinya antara lain sayur, kentang
goreng, dan telor rebus yang dihancurkan bersama isi lainnya.
68

sih beratnya minta maaf? Jangan sampai kemarahannya
berimbas pada bisnis kita."
"Wualah tho Mi, kamu kok berpikir terlalu jauh. Kenapa
kamu takut sekali rezeki kamu terancam oleh kemarahan
seorang Eliana. Apalagi dia. marahnya sama aku. Kok
kamu yang takut?"
"Tidak gitu Mas Khairul. Saya hanya tidak mau ambil
risiko. Saya tidak mau susah. Marahnya orang kaya
sering membuat susah orang miskin. Marahnya pejabat
sering membuat susah rakyat. Eliana kalau membawa
bawa ayahnya kan bisa membuat kita repot. Bukan
begitu PakAli?" Jelas Romi sambil memandang PakAli.
PakAli hanya menyahut ringan, "Itu urusan kalian."
Azzam memandang Pak Ali. Wajah Pak Ali tetap seperti
semula, tak ada perubahan. Lalu sambil menepuk pundak
Romi, Azzam menenangkan,
"Jangan berpikir ke mana-mana. Tenanglah, tak akan
terjadi apa-apa. Akan segera kutemui Eliana."
Romi hanya diam saja.
"Kau mau ke mana Mi? Kau kemari hanya untuk menemui
kami atau ada keperluan lain?" Tanya Azzam
mengalihkan pembicaraan.
"Aku mau renang di pantai. Terakhir sebelum pulang. "
"Bawa salin?"
"Bawa. Ini." Jawab Romi sambil mengangkat kantong
plastiknya.
69

"Kok sendirian? Tidak ngajak teman?"
"Iya yang lain tak ada yang mau. Katanya sudah bosan.
Ya sudah, aku berangkat sendiri saja. Atau kau mau
menemani?"
"Aduh aku masih banyak hal yang harus aku bereskan.
Ya sudah ya. Hati-hati."
"Ya."
Azzam danPakAli melanjutkan perjalananke kedai
tha'miya. Romi semakin mendekati pantai. Udara belum
hangat betul. Orang yang berenang di pantai bisa
dihitung dengan jari. Saat itu belum banyak pengunjung
yang datang. Sebab masih ada sisa-sisa musim dingin.
Pantai itu akan menjadi sangat ramai ketika libur musim
panas datang.
"Mas Khairul. Saya sarankan kau damai saja sama
putrinya Pak Dubes itu. Tidak usah cari penyakit. Aku
tidak tahu masalahmu dengannya. Tapi damai adalah hal
yang disukai oleh fitrah umat manusia di mana saja."
Saran PakAli.
Azzam lalu menjelaskan kejadian tadi malam setelah
pulang dari El Muntazah. Tentang telpon Eliana.
Tentang hadiah spesial berupa ciuman khas Prancis.
Tentang jawabannya. Tentang pemutusan pembicaraan
secara sepihak darinya. Pak Ali mendengarkan sambil
berjalan.
70

"Ada saran tambahan Pak Ali?" Tanya Azzam sambil
mensejajarkan langkahnya dengan langkah Pak Ali yang
agak lambat.
"Saranku. Sebaiknya kau minta maaf. Lalu jelaskan
dengan detil dan baik-baik kenapa menolak ciuman itu.
Tidak usah dihadapi dengan emosi. Api bertemu api akan
semakin panas. Emosi lebih banyak merugikannya
daripada menguntungkannya
"Aku sangat yakin dia sangat marah Pak. Trus
bagaimana cara meredamnya?"
"Gampang. Hati wanita mudah diluluhkan. Belikan
diahadiah kejutan. Dia akanmerasa senang. Rasa senang
bisa meredam amarah. Sebab amarah itu datang biasanya
karena rasa tidak senang."
"Enaknya hadiahnya apa ya Pak?"
"Apa saja yang bisa didapat pagi ini. Tidak harus mahal."
"Pak Ali punya usul, barang apa begitu?"
Pak Ali mengerutkan dahi sesaat. Tiba-tiba wajahnya
seperti bersinar.
"Yah ini saja. Belikan saja rnakanan khas Mesir
kesukaannya. Ini mudah didapat pagi ini dan murah."
"Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? Apa tidak jadi
mubazir?"
"Percayalah, dia belum makan pagi. Orang kalau sedang
marah malas makan. Dia akan makan kalau marahnya
71

mulai reda. Percayalah dia belurn makan pagi. Dan
percayalah dia juga sudah bosan dengan menu hotel."
"Apa makanan kesukaannya Pak?"
"Habasy takanat." 8
"Yang benar Pak? Masak gadis selangsing dia suka
habasy takanat?
"Iya. Habasy takanat itu tidak otomatis bikin gemuk Iho.
Bikin kenyang iya. Tapi bikin gemuk belum tentu."
"Ayo Pak kalau begitu kita segera beli."
Mereka berdua berdua mempercepat langkah. Sampai di
kedai yang dituju, mereka memesan empat tha'miyah bil
baidh untuk dimakan di situ dan dua habasy takanat ,
untuk dibungkus. Pemilik kedai itu adalah orang Mesir
gemuk dengan jenggot hampir menutupi setengah
wajahnya. Keangkeran wajahnya sirna oIeh senyum dan
keramahannya. Azzam senang dengan keramahan itu.
Sebab tidak sedikit pemilik kedai tha'miyah yang tidak
ramah. Ia masih ingat dengan pemilik kedai tha'miyah di
kawasan Hay E1 Ashir Cairo yang sangat tidak ramah.
Tak pernah senyum. Ia pernah diabaikan. Benar-benar
diabaikan. Pemilik itu melayani semua orang Mesir tapi
seolah-olah tidak melihat keberadaannya. Ia sama sekali
tidak dianggap. Ia sendiri tidak tahu, apa sebabnya.
8 Makanan mirip tha'miyah bn baldh. hanya isinya lebih berrnacam- macam sehingga porsinya
lebih besar.
72

Azzam melahap tha'miyah bil baidh dengan lahap. Pak Ali
juga. Setelah kenyang mereka menuju hotel. Di tengah
jalan Pak Ali menghentikan langkahnya dan berkata,
"Mas. Habasy takanat-nya biar saya saja yang
memberikan. Kalau sudah dia makan, saya akan
mengatakan itu hadia darimu. Kau Jalan jalan saja dulu.
Kira-kira satu jam. Setelah itu kau boleh datang. Dan
insya Alaah semua akan damai dan aman."
"Wah ide yang bagus itu Pak." Sahut Azzam berbinar. Ia
lalu menyerahkan bungkusan berisi habasy takanat itu
kepada Pak Ali. Pak Ali tersenyum. Lalu berjalan ke
hotel. Sementara Azzam langsung naik Eltramco ke
Pasar El Manshiya. Ia ingin membeli oleholeh untuk
teman-teman satu rumahnya
***
Begitu masuk hotel, Pak Ali langsung ditanya oleh
Eliana seolah-olah Eliana sudah lama menantinya.
"Pak Ali ke mana saja? Lihat tukang masak kurus itu
tidak?" Nadanya tidak lembut seperti biasanya.
"Saya dari jalan jalan menghirup udara pantai. Biar
segar. Tukang masak kurus itu yang Mbak Eliana
maksud siapa? Si Romi?"
"Bukan si Romi. Itu si Khairul."
"Kalau si Romi saya tahu. Dia sedang renang di pantai.
Kalau Khairul sekarang persisnya saya tidak tahu. Tadi
sih ketemu di jalan. Dia naik Eltramco ke El Manshiya."
73

Eliana mendengus. Wajah yang biasanya putih
cemerlang itu tampak merah padam. Ia lalu duduk di
sofa. Tak jauh darinya dua remaja putri Mesir sedang
berbincang-bincang dengan serunya. Sesekali terdengar
suara cekikikan dari mereka. Pak Ali duduk di depan
Eliana.
"Eh ngomong-ngomong Mbak Eliana sudah makan
pagi?" Tanya Pak Ali.
"Belum Pak. Lagi tidak nafsu. Apalagi menu hotel. Sudah
bosan sekali rasanya."
Pak Ali tersenyum, lalu berkata,
"Kalau habasy takanat mau?"
Mendengar tawaran Pak Ali, wajah Eliana sedikit cerah.
"Wah itu boleh Pak. Sebenarnya saya lapar. Yuk kita
keluar cari habasy takanat Pak Ali yuk?"
"Tak usah keluar. Ini saya sudah bawa. Tadi saya baru
saja makan tha'miyah bil baidh. Ini saya bawa untuk Mbak
Eliana." Jawab Pak Ali sambil menyerahkan bungkusan
dalam plastik hitam berisi habasy takanat.
"Wah terima kasih banget Pak ya. Wah enaknya
langsung dimakan saja ini. Pak temani saya ke restaurant
yuk. Biar ini saya makan di sana sambil minum the
panas."
"Ayo."
Mereka berdua lalu masuk Lourantos Restaurant.
74

Desain interior restauran itu perpaduan Arab dan Eropa.
Menu yang dihidangkan pagi itu adalah menu Arab dan
Italia. Tapi habasy takanat tidak ditemukan di situ. Eliana
menyantap habasy takanat dengan lahap dan penuh
semangat. Selesai menyantap makanan khas Mesir itu
Eliana lalu menyeruput teh panasnya yang kental. Gadis
itu kelihatan begitu menikmati makan paginya. Dan Pak
Ali melihatnya dengan hati lega.
"Ada apa sih Mbak, kok mencari Mas Insinyur Khairul?
Kelihatannya ada urusan penting ya?"
"Ya. Aku sedang marah padanya?"
"Kenapa?"
"Ia berani menghinaku tadi malam."
"Ah yang benar saja Mbak. Saya sama sekaIi tidak
percaya anak itu berani menghina Mbak."
"Pak Ali percaya atau tidak percaya itu tidak penting "
"Bukanbegitu Mbak EIiana. Saya kuatir Mbak Eliana
salah paham. Sebab saat ketemu saya tadi Mas Khairul
justru memperlihatkan hal yang sebaliknya pada saya.
Mas Khairul begitu perhatian sama Mbak. Tadi saya dan
Mas Khairul juga bertemu Romi. Romi bilang Mbak
Eliana marah besar pada Khairul. Khairul malah
tersenyum saja. Terus Khairul nitip pada saya untuk
memberikan habasy takanat ini pada Mbak."
"Apa!? Jadi bukan Pak Ali yang membelikan untuk
saya?"
75

"Bukan. Yang membelikan itu Mas Khairul. Lha yang
membawa kemari saya."
"Pak Ali, PakAli kenapa tidak bilang dari tadi. Aduh,
aduh, aduh! Saya kira itu dari PakAli."
"Saya tadi kan bilang, ini saya bawa habasy takanat. Yang
membelikan adalah Khairul. Dititipkan pada saya."
"Kenapa tidak dia sendiri yang memberikan pada saya!?"
Tanya Eliana ketus.
"Saya tidak tahu Mbak Eliana. Kelihatannya dia tergesa
gesa. Dia bilang mau belibarang-barang di pasar. Tidak
ada waktu lagi katanya. Yang penting ini menunjukkan
bahwa Mas Khairul sendiri tidak merasa memiliki
masalah pada Mbak Eliana. Kalau dia merasa memiliki
masalah mana mungkin mau membelikan habasy takanat,
makanan kesukaan Mbak. Justru kelihatannya dia sangat
menghormati Mbak. Dan ingin membuat Mbak merasa
senang."
Eliana diam. Kata-kata Pak Ali masuk ke dalam hatinya.
Menyejukkan panas amarahnya. Tapi ia belum bisa lega
sepenuhnya. Amarahnyabelum mau juga sirna
seluruhnya.
"Tapi tadi malam dia berkata kasar ditelpon pada saya
Pak. Dia juga memutus pembicaraan seenaknya saja! Apa
itu tidak penghinaan PakAli!?"
Pak Ali tersenyum.
76

"Mungkin saat itu Mas Khairul sedang capek. Letih.
Orang kalau letih itu pikirannya bisa tidak jernih.
Cobalah ingat, kemarin itu ia kerja sejak pagi sampai
malam."
Penjelasan Pak Ali semakin meluluhkan hatinya.
"Semestinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada
Mas Khairul. Enam hari ini tenaga dan waktunya ia
curahkan untuk membantu Mbak Eliana. Bahkan dalam
kondisi sangat letih, dia masih mau membakarkan ikan
untuk membantu Mbak Eliana. Dan pagi ini, dia
mengirim sesuatu yang sangat Mbak suka. Semestinya
Mbak berterima kasih sama dia. Saya dengar orang Barat
yang terdidik itu mudah mengucapkan terima kasih pada
orang yang membantunya." Sambung Pak Ali.
Amarah Eliana perlahan mereda. Ruang di hatinya yang
semula berisi amarah yang meluap-luap pada Azzam
perlahan berubah diisi rasa kasihan. Ia menyesal sudah
sedemikian emosi dan marah, sementara orang yang
akan dimarahinya sedemikian tulus padanya. Diam-diam
menyusup ke dalam dadanya rasa malu pada dirinya
sendiri. Ia menyadari apa yang disampaikan Pak Ali ada
benarnya. Penjual tempe yang pandai masak itu memang
sudah banyak membantunya.
"Pak Ali. Nanti kalau ketemu Mas Khairul sampaikan
terima kasih saya ya atas habasy takanat -nya. Saya mau
mandi dan berkemas-kemas." Kata Eliana dengan wajah
lebih cerah.
"Insya Allah, tapi kalau menyampaikan sendiri tentu lebih
baik. "' Jawab Pak Ali dengan senyum mengembang.
77

"Ya. Nanti kalau ketemu dia." Tukas Eliana sambil
bangkit dari duduknya
* * *
Di sebuah toko buku di E1 Manshiya, Azzam bertemu
dengan Furqan. SeteIah berpelukan, Furqan mengajak
Azzam menemaninya makan roti kibdah 9 di samping
sebuah masjid tua sambil berbincang-bincang. Azzam
menuruti ajakan teman lamanya itu dengan senang.
"Saya ini sedang bingung menentukan pilihan." Kata
Furqan sambil mengunyah roti kibdah-nya.
"Pilihan apa?" Sahut Azzam kalem. Matanya
memandang ke arah seorang kakek berjubah abu-abu
yangberjualan tasbih dan kopiah putih. Kakek itu duduk
termenung Matanya memandang ke arah jalan. Azzam
berusaha mereka-reka apa yang ada dalam pikiran kakek
itu saat itu.
"Bingung memilih dua gadis yang sama-sama memiliki
kelebihan untuk aku nikahi." Jawaban Furqan
membuatAzzam langsung mengalihkan pandangannya
dari kakek berjubah abu-abu ke wajah Furqan yang
masih asyik dengan roti kibdah-nya.
"Ceritanya bagaimana?" Tanya Azzam dengan nada
serius.
9 Roti kibdah: terrnasuk makanan khas Mesir berbentuk roti berbentuk panjang diisi hati sapi.
78

Furqan menghentikan makannya. Ia meneguk air putih
untuk membersihkan tenggorokannya. Lalu memandang
Azzam lekat-lekat.
"Aku akan cerita. Tapi janji tidak kaubocorkan siapa
siapa. Masyi ?" 10
"Masyi."
"Begini. Aku saat ini sedang dikejar-kejar sama Eliana.
Putri Pak Dubes itu?"
"Dikejar-kejar Eliana? Ah yang benar Fur!?" Azzam
kaget mendengar penuturan sahabatnya itu.
"Benar. Aku tidak bohong. Kau tahu sendirilah Rul.
Eliana itu bukan mahasiswi Al Azhar yang sangat
menjaga akhlak. Ia lulusan Prancis. Ia langsung saja
bicara terus terang padaku. Tadi malam dia menanyakan
lagi jawabanku. Aku belum jawab. Eliana aku lihat sudah
berusaha fair dan jujur. Ia telah menceritakan semua
hubungannya dengan pacar-pacarnya yang gagal. Ia
sudah pernah ganti pacar lima kali. Sekali waktu di SMA.
Empatkali waktu di Prancis. Duapacarnya yang terakhir
adalah orang bule. Eliana menyadari tidak cocok dengan
mereka. Ia ingin hidup yang lurus-lurus saja. Dia bilang
ingin memiliki suami yang bisa membimbingnya. Jujur
saja Rul. Aku tertarik padanya. Aku tertarik tidak semata
mata karena kecantikan wajahnya. Tapi aku tertarik
karena potensi yang ada dalam dirinya yang jika
diarahkan di jalur yang benar bisa sangat bermanfaat
bagi umat."
10 Masyi: setuju.
79

"Potensi itu misalnya apa Fur?"
"Kau tahu sendiri kepiawaiannya menulis dalam bahasa
Inggris dan Prancis. Pesona keartisan dirinya. Dia
bercerita akan main dalam sebuah film garapan sutradara
Mesir. Dan ia juga sudah ditawari main film di Indonesia.
Tak lama lagi dia akan menjadi artis Rul. Dan kau
bayangkan jika artis itu bisa memberikan teladan yang
baik. Maka masyarakat yang mengaguminya akan
meniru kebaikannya. Jika keartisannya nanti digunakan
untuk berdakwah, apa tidak dahsyat Rul."
"Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana? Misalnya ia
jadi artis terus gaya hidupnya yang hedonis sebagaimana
artis pada umumnya bagaimana? Apa kau sudah benarbenar
tahu siapa Eliana?"
Furqan terdiam sesaat. Ia lalu berkata,
"Aku melihat kesungguhan Eliana untuk baik. Itu yang
meyakinkan aku. Dia akan baik jika dibimbing oleh yang
mampu membimbingnya."
"Terus yang kau bingungkan apa? Kelihatanrnya kau
sudah mantap begitu"
"Masalahnya aku sudah terlanjur melamar seseorang.
Dia mahasiswi A1 Azhar. Tapi sampai sekarang dia
belum memberi jawaban. Aku bingung. Kalau aku
batalkan lamaranku dan aku memilih Eliana yang sudah
jelas mengejarku aku takut dianggap lelaki plin-plan.
Aku takut dianggap memainkan anak orang. Tapi kalau
aku menunggu terlalu lama, aku takut akhirnya
lamaranku itu ditolak, dan aku khawatir Eliana sudah
berubah pikiran. Aku bingung Rul."
80

"Begitu kok bingung. Percayalah padaku, tak ada
mahasiswi Cairo yang akan menolak lamaranmu, kecuali
mahasiswi itu sudah punya calon atau ia sudah dilamar
orang. Siapa yang menolak lamaran pemuda tampan,
cerdas kaya dan kandidat master dari Cairo University?
siapa? Hanya gadis tolol yang akan menolak. Yang
cerdas itu ya Eliana. Ia mengejar kamu karena dia cerdas.
Aku yakin Eliana sudah tahu reputasi kamu dengan baik.
Maka percayalah mahasiswi yang kau lamar itu pasti
mau. Kalau begitu sebenarnya kau sudah bisa
memutuskan apa yang harus kauputuskan."
"Kau tidak tahu sih siapa mahasiswi itu."
"Memangnya dia siapa?"
Furqan ragu untuk menjawab. Akhirnya dia tidak mau
berterus terang.
"Ah sudahlah kalau itu rahasia. Aku tidak enak
menyebutnya." Lirihnya.
"Ya sudah. Kalau begitu ya istikhara saja."
"Ya, insya Allah. Kau ada nasihat untukku?"
Azzam tersenyum.
"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu, dan ambillah
yang tidak meragukan bagimu."
"Terima kasih. Yuk kita ke hotel. Pakai taksi saja. Biar
aku yang bayar."
"Ayo"
81

Sebelum pergi terlebih dahulu Furqan membayar roti
kibdah yang dibawanya. Cerita Furqan semakin
mengukuhkan hati Azzam bahwa ia tidak boleh
mengharapkan Eliana. Bisa jadi Eliana akan menjadi
isteri sahabatnya itu. Ia tidak mau mengarah apa yang
kelihatannya diarah juga oleh sahabatnya. Namun ia
masih ragu apakah bisa orang seperti Eliana diajak untuk
berdakwah dan berkomitmen menjalankan agama
dengan baik. Apakah orang seperti Eliana tidak akan
melihat aturan-aturan agama sebagai dogma yang
membatasi kebebasannya sebagai manusia? Apa reaksi
Furqan jika Eliana hendak memberihadiah ciuman khas
Prancis padanya? Ia hanya bisa berharap bahwa
sahabatnya itu akan ditunjukkan yang terbaik oleh Allah
Swt. Sebab tak ada yang baik di dunia ini kecuali
datangnya dari Allah Subhanahu wa ta'ala.
82

5
MEMINANG
Siang itu sebelum jam dua belas, semua orang dalam
rombongan "Pekan Promosi Wisata dan Budaya
Indonesia di Alexandria" sudah keluar dari hotel. Tepat
jam setengah satu mereka sudah bergerak meninggalkan
Alexandria menuju Cairo. Rombongan yang terdiri atas
empat puluh lima orang itu meluncur ke Cairo dengan
dua mobil mewah KBRI, satu bus dan satu mobil barang.
Azzam duduk di samping Romi. Pak Ali mengendarai
BMW bersama Pak Dubes dan teman Pak Dubes. Mobil
mewah satunya dikendarai oleh Atase Pendidikan dan
Atase Perdagangan. Yang lainnya ikut dalam bus yang
tak kalah nyaman. Baru keluar dari Alexandria Romi
sudah harus ke toilet. Ia tidak sempat membersihkan
perutnya sebelum berangkat sebab tergesa gesa. Ia tadi
83

terlalu asyik berenang di pantai dan nyaris lupa waktu.
Kalau saja Pak Atase Perdagangan tidak mengabsen
semua orang di lobby, bisa jadi Romi akan ketinggalan.
Saat Romi pergi ke toilet itulah Eliana yang duduk agak
di belakang maju dan duduk di tempat duduk Romi yang
kosong. Azzam dan Eliana belum sempat berbincang
sejak peristiwa pemutusan pembicaraan tadi malam.
Eliana mendahului percakapan,
"Eh Mas Khairul, terima kasih atas kiriman habasy
takanat-nya ya? "
"Oh sama-sama. Oh iya, sama minta maaf atas sikap saya
yang mungkin tidak berkenan tadi malam. Mungkin itu
membuat Mbak Eliana marah. Saya dengat dari Romi
tadi pagi Mbak marah."
"Ah tidak. Hanya sedikit emosi saja. Kita lupakansaja itu
semua. Ini kalau boleh sayatanya, kenapa kau menjawab
mendapat ciuman Prancisitu musibah. Saya yakin Mas
Khairul tadi malam mengatakan dengan serius."
Azzam tersenyum. Ia geli sendiri mendengar perkataan
Eliana. Katanya lupakan saja semuanya, tapi masih
bertanya tentang jawabannya tadi malam. Namun ia
tidak mau mengungkit hal itu. Ia ingin langsung
menjawab pertanyaan Eliana.
84

"Setiap orang punya prinsip. Dan prinsip seseoran itu
biasanya berdasar pada apa yang diyakininya. Iya kan
Mbak?" Kata Azzam mengawali jawabannya.
"Iya." Kata Eliana sambil mengangukkan kepala. Saat itu
ia sama sekali tidak memandang Azzam sebagai tukang
masak, tapi memandang Azzam sebagai seorang
mahasiswa yang memiliki satu sikap dan pendirian.
"Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup
Saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling
yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang
saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian.
Kesucian lahir dan kesucian batin. Kenapa dalam bukubuku
fikih pelajaran pertama pasti tentang thaharah.
Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk Islam senantiasa
menjaga kesuciar lahir dan batin. Di antara kesuciankesucian
yang dijaga oleh Islam adalah kesucian
hubungan antara pria dan wanita. Islam sama sekali tidak
membolehkan ada persentuhan intim antara pria dan
wanita kecuali itu adalah suami isteri yang sah. Dan
ciuman gaya Prancis itu bagi saya sudah termasuk
kalegori sentuhan sangat intim. Yang dalam Islam tidak
boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami isteri. Ini
demi menjaga kesucian. Kesucian kaum pria dan kaum
wanita.
"Ketika saya mengatakan bahwa jika sampai saya
melakukan ciuman itu dengan wanita yang tidak halal
bagi saya, maka saya telah menodai kesucian saya sendiri
dan menodai kesucian wanita itu. Dan itu bagi saya
85

adalah suatu musibah yang luar biasa besarnya. Saya
telah kehilangan kesucian bibir saya. Tidak hanya itu,
saya juga kehilangan kesucian jiwa saya. Jiwa saya telah
terkotori oleh dosa yang entah bagaimana cara
menghapusnya. Jika bibir ini kotor oleh gincu bisa
dibersihkan dengar air atau yang lainnya. Tapi jika
terkotori oleh bibir yang tidak halal, kotor yang tidak
tampak bagaimana cara membersihkannya. Meskipun
bisa beristighfar, meminta ampun kepada Allah tetap saja
bibir ini pernah kotor, pernah ternoda, pernah melakukan
dosa yang menjijikkan. Saya tidak mau melakukan hal
itu. Saya ingin menjaga kesucian diri saya seluruhnya.
Saya ingin menghadiahkan kesucian ini kepada isteri
saya kelak. Biar dialah yang menyentuhnya pertama kali.
Biar dialah yang akan mewangikan jiwa dan raga ini
dengan sentuhan-sentuhan yang mendatangkan pahala. "
"Itulah prinsip yang caya yakini. Mungkin saya akan
dikatakan pemuda kolot. Pemuda primitif. Pemuda
kampungan. Pemuda tidak tahu perkembangan dan lain
sebagainya. Tapi saya tidakpeduli. Saya bahagia dengan
apa yang saya yakini kebenarannya. Dan saya yakin
Mbak Eliana yang pernah belajar di negeri yang
mengagungkan kebebasan berpendapat itu akan bisa
menghargai pendapat saya. "
Azzam menjelaskan panjang lebar. Eliana mendengarkan
dengan seksama. Tak terasa air matanya berkaca-kaca. Ia
belum pernah mendengarkan penjelasan tentang kesucian
seperti itu sebelumnya.
86

"Aku mengerti." Lirih Eliana.
"Terima kasih atas penjelasannya. Lanjutnya.
Saat itu Romi keluar dari toilet. Eliana lalu kembali ke
tempatnya semula. Penjelasan Azzam masih membekas
dalam hatinya. Tiba-tiba ia merasa dirinya sangat kotor.
Bibirnya entah berapa kali bercium dengan pria yang
belum menjadi suaminya. Ia tidak bisa menghitungnya.
Untuk pertama kalinya ia merasa menjadi perempuan
yang tidak berharga. Ia teringat dengan saudara
sepupunya yang tinggal di pelosok Lumajang. Namanya
Nurjanah. Sejak kecil selalu memakai jilbab. Saat diajak
salaman ayahnya saja tidak mau. Ayahnya sempat
tersinggung. Tap sepupunya yang sekarang menjadi
pengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyyah itu bersikukuh
dengan pendiriannya. Tidak mau bersentuhan kecuali
dengan lelaki yang halal baginya. Sekarang baru ia tahu
rahasianya. Itu karena ajaran kesucian itu. Nurjanah
bersikukuh mempertahankan kesucian dirinya secara
utuh. Tiba-tiba ia merasa gadis seperti Nurjanal
alangkah lebih muliamya. Ia merasa tidak ada apa apanya
dibanding Nurjanah. Ada yang merembes dari ujung
kedua matanya.
Bus terus melaju membelah padang sahara yang luas.
Sejauh mata memandang yang tampak adalah hamparan
padang pasir kecoklatan. Ada yang rata, ada yang
bergelombang seperti berbukit-bukit. Eliana memandang
ke jendela. Ia melihat debu-debu berhamburan di pinggi
87

jalan. Angin berhembus sangat kencang. Namum bus
terus melaju dengan tenang.
* * *
Sampai di Cairo. Azzam langsung meluncur pulang
kerumahnya di Hay El Asher. Tepat menjelang Maghrib
ia sampai di rumah. Teman satu rumahnya
menyambutnya dengan penuh kerinduan. Ia minta
mereka untuk membuka kardus berisi oleh-olehnya.
Isinya kurma isi kacang. Buah Zaitun. Kacang Arab
berwarna hijau. Dan Makaronah untuk dimasak. Tak ada
yang istimewa Sernua adalah makanan Mesir yang
sebenarnya ada di Cairo. Namun mereka tetap
menyambut oleh-oleh itu dengan penuh antusias dan
gembira.
Azzam langsung mandi. Setelah itu ia langsung pamitan
pergi.
"Ceritanya nanti saja ya. Aku ada urusan penting sekali
malam ini." Kata Azzam pada mereka. Mereka pun
menganggukpaham.
Azzam meluncur ke Hay El Sabe'. Ia shalat Maghrib di
Masjid Ridhwan. Tujuannya setelah itu hanya satu, yaitu
ke rumah Ustadz Saiful Mujab, untuk melamar Anna
Althafunnisa. Ia sampai ke masjid itu saat imam sudah
rakaat kedua. Ia bahagia melihat Ustadz Mujab ada. Di
shaf kedua. Ia takbir di shaf ketiga. Selesai shalat ia
88

bertemu dengan Ustadz Mujab. Dan Ustadz Mujab
tersenyum gembira berjumpa dengannya.
"Lho, aku dengar kau ikut rombongan KBRI ke
Alexandria. Kok sudah di sini, Rul?" Sapa Ustadz Mujab.
"Iya Ustadz. Baru pulang menjelang Maghrib tadi dan
langsung meluncur kesini." Jawab Azzam.
"Ada urusan apa? Kok kelihatannya penting sekali
sampai tidak istirahat segala. Malah langsung kemari?"
"Saya ada urusan pribadi yang sangat penting. Saya
ingin membicarakannya pada Ustadz. Ustadz ada
waktu?"
"O begitu. Boleh-boleh. Ayo kita ke rumah"
Mereka lalu pergi ke rurnah Ustadz Mujab yang tak jauh
dari Masjid Ridhwan itu. Ustadz Mujab yang sedang S. 2
di Institut Liga Arab itu hidup di Cairo bersama
keluarganya. Bersama anak dan isterinya. Rumahnya
sederhana. Namun rurnah itu membuat betah siapa saja
yang berkunjung ke sana. Tak lain dan tak bukan, karena
keramahan pemilik rumahnya. Yaitu Ustadz Mujab dan
isterinya.
Setelah duduk diruang tamu beberapa saat, dan teh panas
dikeluarkan bersama satu piring roti cokelat, ustadz
Mujab bertanya pada Azzam dengan mata memandang
lekat-lekat,
89

"Ada urusan apa? Apa yang bisa kubantu?"
"Saya sebenarnya malu Ustadz. Saya tidak tahu dari
mana saya harus memulai." JawabAzzam.
"Tidak usah malu. Jika kebaikan yang dicari tidak usah
malu."
"Baiklah Ustadz. Saya ingin minta bantuan Ustadz untuk
melamar seseorang untuk saya." Kata Azzam dengan
suara bergetar.
"Oh itu. Begitu saja kok malu. Kamu memang sudah
saatnya kok Rul." Ustadz Mujab biasa memanggilnya
"Rul" kependekan dari "Khairul" yang diambil dari
namanya "Khairul Azzam". Jadi di Cairo ada yang
memanggilnya "Mas Khairul", "Mas Insinyur", "Rul",
"Irul" dan ada yang memanggil dengan nama
belakangnya yaitu ''Azzam". Yang memanggil dengan
panggilan Azzam hanya orang orang satu rumahnya
saja. Itu pun atas permintaannya. Sedangkan di luar
rumah banyak yang memanggil "Khairul" dan
"Insinyur".
"Aku akan membantu sebisanya. Siapa nama gadis yang
kaupilih itu. Dan siapa nama orang tuanya. Orang mana?
Kalau di Al Azhar, tingkat berapa?" Ustadz Mujab
melanjutkan.
90

Dengan mengumpulkan semua keberaniannya ia
menjawab dengan suara bergetar. Dan dengan hati
bergetar pula,
"Namanya Anna Althafunnisa Putri Pak Kiai Luffi
Hakim. Asal Klaten. Kalau tidak salah sekarang sedang
program pascasarjana di Kuliyyatul Banat, Al Azhar."
Ustadz Mujab kaget mendengar kata-kata yang keluar
dari mulut Azzam. Ia seperti mendengar suara petir yang
nyaris merobohkan apartemen di mana dia dan
keluarganya tinggal.
"Anna Althafunnisa?" Tanya Ustadz Mujab tidak
percaya.
Azam mengangguk dengan tetap menundukkan kcpala.
Ustadz Mujab menghela nafas panjang. Ia seperti hendak
mengeluarkan sesuatu yang menyesak di dadanya.
"Siapa yang mengabarkan kamu tentang Anna
Althafunnisa?"
"Ada. Tapi dia tidak mau disebut-sebut namanya
Ustadz,"
Ustadz Mujab kembali menghela nafas panjang.
"Allahlah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh
aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya takdir tidak
91

menghendaki aku bisa membantumu kali ini. Anna
Althafunnisa itu masih terhitung sepupu denganku. Aku
tahu persis keadaan dia saat ini. Sayang kau datang tidak
tepat pada waktuya. Anna Althafunnisa sudah dilamar
orang. Ia sudah dilamar oleh temanmu sendiri.
"Sudah dilamar temanku sendiri? Siapa?"
"Furqan! Ia sudah dilamar Furqan satu bulan yang lalu."
Mendengar hal itu tulang-tulang Azzam bagai dilolosi
satu per satu. Lidah dan bibirnya terasa kelu. Furqan
lagi. Ia berusaha keras mengendalikan hati dan
perasaannya untuk bersabar.
"Maafkan aku Rul. Aku sarankan kau mencari yang lain
saja. Mahasiswi Indonesia di Al Azhar kan banyak.
Dunia tidak selebar daun kelor." Ustadz Mujab berusaha
menenteramkan.
"Iya Ustadz. Tapi saya akan mencari yang sekualitas
Anna Althafunnisa. "
Ustadz Mujab terhenyak mendengar jawaban Khairul
Azzam. Begitu mantapnya ia memasang standar. Ia
seolah lah sudah tahu persis Anna Althafunnisa.
"Apa kamu sudah pernah ketemu Anna?"
"Belum."
92

'Sudah pernah tahu wajahnya?"
"Belum."
"Aneh. Bagaimana mungkin kau begitu mantap memilih
Anna Althafunnisa? Bagaimana mungkin kau menjadikan
Anna sebagai standar."
"Firasat yang membuat saya mantap Ustadz."
"Tapi menikah tidak cukup memakai firasat Rul. Jujur
Rul aku sangat kaget dengan standarmu ini. Baiklah aku
buka sedikit. Anna adalah bintangnya Pesantren Daaru
Quran. Sejak kecil ia menghiasi dirinya dengan prestasi,
dan prestasi selain dengan akhlak mulia tentunya. Ia
menyelesaikan S.1-nya di Alexandria dengan predikat
mumtaz. Kalau ingin memiliki isteri seperti dia. Cobalah
kau menstandarkan dirimu dulu seperti dia. Kalau aku
jadi orang tuanya, dan ada dua mahasiswa Al Azhar yang
satu serius belajarnya yang satu hanya sibuk membuat
tempe. Maaf Rul, pasti aku akan memilih yang lebih
serius belajamya. Kau tentu sudah paham maksudku.
Bukan aku ingin menyinggungmu, tapi aku ingin kau
memperbaiki dirimu. Aku ingin kau lebih realistis.
Cobalah kauraba apa opini di Cairo tentang dirimu."
"Iya Ustadz. Terima kasih. Ini akan jadi nasihat yang
sangat berharga bagi saya." Jawab Azzam dengan mata
berlinang. Kalimat Ustadz Saiful Mujab sangat berat ia
terima. Ia sangat tersindir. Tapi ia tidak bisa berbuat apa
apa. Dengan bahasa lain, sebenamya Ustadz Mujab
93

seolah ingin mengatakan bahwa dia sama sekali "tidak
berhak" melamar Anna. Atau lebih tepatnya sama sekali
"tidak layak" melamar Anna. Hanya mereka yang
berprestasi yang berhak dan layak melamarnya.
Dan lagi-lagi, prestasi yang dilihat adalah prestasi
akademis. Dan di mata orang orang yang mengenalnya
di dunia akademis, ia sangat dipandang remeh karena
tidak juga lulus dari Al Azhar. Padahal sudah delapan
tahun lebih ia menjalaninya.
Azzam lalu minta diri. Dalam perjalanan ke rumahnya ia
meneteskan air mata. Ia berusaha tegar dan sabar.
Namun setegar-tegarnya ia adalah manusia biasa yang
memiliki airmata. Ia bukan robot yang tidak memiliki
perasaan apa-apa. Ia mengusap air matanya. Ia tidak bisa
menyalahkan siapa saja jika ada yang meremehkannya.
Karena memang kenyataannya ia belum juga lulus. Ia
berusaha meneguhkan hatinya bahwa hidup ini terus
bergulir dan berproses.
"Baiklah saat ini aku belum berhasil menunjukkan
prestasi. Tapi tunggulah lima tahun kedepan. Akan aku
buktihan bahwa, aku, Khairul Azzam berhak melamar
gadis salehah yang mana saja."
Sampai di rumah ia langsung ke kamarnya untuk
istirahat. Diatas meja masih tergeletak surat dari Husna,
adiknya di Indonesia yang mengabarkan bahwa si kecil
Sarah perlu operasi amandel. Dan perlu biaya seragam
pondok pesantren. Ia langsung teringat akan tanggung
94

jawabnya sebagai kakak tertua. Ia menangis. Ia
merasakan betapa sayangnya Allah kepadanya. Allah
masih ingin ia fokus pada tanggung jawabnya membiayai
adik-adiknya. Inilah hikmah yang ia dapat dari peristiwa
kekecewaannya karena Anna telah dilamar orang lain.
"Allah belum mengijinkan aku menikah. Aku masih
harus memperhatikan adik-adikku sampai ke gerbang
masa depan yang jelas dan cerah. Kalau aku menikah saat
ini, perhatianku pada adik-adikku akan berkurang." Ia
berbisik pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menutup
semua pintu hatinya. Dan akan ia buka kembali saat nanti
sudah pulang ke Indonesia. Setelah ia sudah selesa S.1
dan adik-adiknya sudah bisa ia percaya mampu meraih
masa depannya.
Tiba-tiba ia tersenyum.
"Bodohnya aku kenapa aku memasukkan Eliana dan
Anna ke dalam hati. Bodohnya aku. Tugas yang jelas di
mata menuntut tanggung jawab saja masih panjang kok
malah tergoda dengan yang tidak jelas." Gumamnya lagi
pada diri sendiri.
Ia menancapkan tekadnya untuk bekerja lebih keras lagi.
Dan ia akan belajar lebih keras. Ia ingin sukses dua
duanya. Ia lalu teringat harus segera mengirimkan uang
ke Indonesia. Ke rekening Husna, agar si Sarah bisa
belajar dengan tenang di pesantrennya. Ia ingin adik
bungsunya itu menghafal Al-Quran. Tiba-tiba ia rindu
seperti apa adik bungsunya itu. Ia tidak tahu seperti apa
95

wajah adiknya itu sebenarnya. Ia hanya tahu wajahnya
yang ada di foto. Sebab ia belum pernah bertemu
dengannya sama sekali. Saat ia meninggalkan Indonesia
dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya.
"Ah semua sudah ada yang mengatur. Yaitu Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Jika saatnya ketemu nanti akan
ketemu juga." Gumamnya dalam hati.
96

6
LAGU-LAGU CINTA
Jam setengah tiga. Purnama bulat sempurna. Bintangbintang
bertaburan menghias angkasa. Malam itu Kota
Cairo terasa sejahtera. Angin musim semi mengalir
semilir. Pelan. Berhembus dari utara ke selatan.
Menerobos sela-sela pintu dan jendela apartemen.
Menebarkan kesejukan-kesejukan.
Dua ekor kucing bercengkerama. Sesekali mengeong.
Sesekali menjerit-jerit, melengking lengking membahana.
Keduanya kejar-kejaran dengan suara yang sangat
gaduh bagi yang mendengarnya. Di taman sebuah
apartmen di kawasan Mutsallats, dua ekor kucing itu
menikmali indahnya musim semi. Diiringi tasbih daun
daun yang dibelai angin musim semi, mereka saling
merayu. Mereka mendendangkan lagu-lagu cinta. Ya.
97

Lagu cinta yang sangat indah, yang hanya bisa dipahami
oleh mereka berdua.
Tak begitu jauh dari situ, sebuah kedai kopi tampak
masih ramai. Belasan orang terjaga menikmati musim
semi dengan minum kopi, menghisap shisha, main kartu
dan berbincang tentang apa saja. Ada yang sedang
menikmati film india. Ada juga yang sedang berdiskusi
dengan serius. Temanya meloncat -loncat, ke mana-mana.
Musim semi memang indah. Paginya indah. Siangnya
indah. Sorenya indah. Malamnya pun indah. Lebih lebih
bagi mereka yang menikmatmya dengan penghayatan
ibadah.
Namun demikian, ada juga orang-orang yang sama sekali
tidak peduli dengan datangnya musim semi. Ada juga
bahkan yang tidak pernah merasakan datangnya musim
semi. Mereka bahkan nyaris tidak pernah merasakan
adanya pergantian musim. Semua itu, lantaran kerasnya
kehidupan yang harus mereka hadapi dan lalui. Lantaran
mereka harus terus memeras otak dan menghadapi hidup
dengan kucuran keringat dan bekerja tiada henti.
Di antara orang-orang yang nyaris tak pernah peduli
datangnya musim semi itu adalah "Mas Insinyur"
Khairul Azzam, dan beberapa orang mahasiswa yang
bekerja dengannya.
Malam itu, di kamarnya yang berada di sebuah
apartemen, tepat di samping taman di mana ada dua ekor
98

kucing yang sedang mendendangkan lagu-lagu cinta, ia
masih juga belum istirahat dari pekerjaannya. Sementara
teman-temannya satu rumah sudah larut bermesraan
dengan mimpi indahnya masing masing.
Azzam masih sibuk berkutat dengan kacang kedelainya
yang telah ia beri ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus
membungkusnya agar menjadi tempe. Sejak lamarannya
pada Anna Althafunnisa telah didahului oleh sahabatnya
sendiri, Azzam memutuskan untuk total bekerja. Sejak
Ustadz Mujab menyarankan agar ia mengukur dirinya, ia
memutuskan untuk total membaktikan diri pada ibu dan
adik-adiknya di Indonesia. Ia niatkan itu semua sebagai
ibadah dan rahmah yang tiada duanya. Ia juga meniatkannya
sebagai tempaan dan pelajaran hidup yang harus
ia tempuh di universitas besar kehidupan. Ia yakin,
semua itu tidak akan sia-sia. Bukankah Allah tak pernah
menciptakan segala sesuah dengan kesia-siaan.
Ia tidak lagi memiliki mimpi yang melangit tentang
calon isteri. Ia sudah bisa mengaca diri. Ia yakin jodohnya
telah ada, telah disiapkan oleh Allah Swt. Maka ia
tidak perlu kuatir. Jodoh adalah bagian dari rezeki.
Rezeki seseorang sudah ada jatahnya. Dan jatah rezeki
seseorang tidak akan diambil oleh orang lain. Begitulah
yang tergores dalam pikirannya. Maka ia merasa tenang
dan tenteram. Tetapi tempaan hidup, ilmu hidup harus
diusahakan. Allah tidak akan menambah ilmu seseorang
kecuali seseorang itu berusaha menambah ilmunya. Ia
merasa bekerja serius adalah bagian dari upaya menambah
ilmu dan bagian dari usaha mengubah nasib.
99

Sejak peristiwa itu ia merasa harus lebih serius menghadapi
hidup. Ia mulai membangun diri untuk berproses
tidak hanya sukses secara bisnis, tapi juga sukses secara
akademis. Ia mulai menata diri untuk menyelesaikan S.1
tahun ini juga. Setelah itu ia tetap akan belajar dan
belajar tiada hentinya.
Wajahnya tampak lelah. Kedua matanya telah merah.
Namun sepertinva ia tak mau menyerah. Dalam kondisi
sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tak mau kalah oleh
keadaan. Ia tak mau semangatnya luntur begitu saja oleh
rasa kantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu, ia
selalu ingat perkataan Al Barudi yang selalu melecut
jiwanya,
Orang yang memiliki semangat.
Ia akan mencintai semua yang dihadapinya.
Ia melihat jam yang tergantung di dinding kamarnya. Ia
menghela nafas dalam-dalam. Sudah masuk ujung malam,
dua jam lagi pagi datang. Ia harus menyelesaikan
pekerjaannya dengan segera. Ia harus punya waktu
untuk istirahat, meskipun cuma satu jam memejam mata.
Ia lalu berdiri dan menggerak-gerakkan tubuhnya untuk
menghilangkan rasa linu dan pegal yang begitu terasa.
Dua menit ia melakukan gerakan senam ringan. Lalu
kembali jongkok. Dan kembali membungkus kedelai
calon tempe dengan penuh ketelitian dan kesabaran.
100

Tepat pukul tiga kurang lima menit ia berdiri dan
bernafas lega. Pekerjaannya telah usai. Masih ada sedikit
waktu untuk istirahat sebelum Subuh tiba. Alat-alat
kerjanya ia rapikan. Ia letakkan pada tempatnya. Segera
ia membersihkan tangannya dan mengambil air wudhu.
Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur,
terlebih dahulu ia sempatkan dirinya untuk shalat
tahajud dua rakaat lalu shalat Witir. Ia membaca tasbih
sambil mengatur jam bekernya. Lalu perlahan tidur.
Baru saja matanya terpejam, ia mendengar namanya
dipanggil-panggil pelan. Pintu kamamya juga diketuk,
pelan.
"Kang Azzam... Kang Azzam!"
Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pusing, ia
bangkit.
"Siapa? " tanyanya.
"Hafez Kang."
Azzam turun dari tempat tidurnya dan beranjak
membuka pintu kamarnya. Di depan pintu kamarnya
berdiri seorang pemuda berkaca mata.
"Ada apa Fez?" tanya Azzam.
"Maaf Kang, saya tidak kuat lagi. Saya tidak bisa tidur
Kang. Saya tidak tahu harus bagaimana? Saya perlu
101

orang yang saya ajak bicara. Saya mau minta
pertimbangan Kang Azzam. Saya tidak kuat lagi Kang."
Jelas Hafez dengan suara serak.
"Masih tentang perasaanmu pada Cut Mala?"
"Iya Kang."
"Aku tahu kau pasti berat menanggung perasaan itu Fez.
Tapi afwan 11 , aku belum tidur. Aku harus istirahat. Bila
tidak aku bisa ambruk. Nanti saja kita bicarakan Setelah
shalat Subuh ya. Kau baca Al-Quran saja sana untuk
menenangkan jiwa sambil menunggu Subuh. Nanti kalau
sudah Subuh aku dan teman-teman dibangunkan. Gitu
ya?"
"Tidak bisa sekarang Kang?"
"Aku tidak kuat Fez. Aku baru saja selesai membungkusi
tempe. Aku sangat lelah. Aku butuh istirahat."
"Baiklah Kang. Setelah shalat Subuh."
Pemuda berkaca mata itu beranjak ke kamamya. Azzam
menutup kamarnya. Tanpa dikunci. Ia merebahkan
badannya. Ia tahu Hafez menghadapi masalah serius.
Tapi ia perlu istirahat. Dan membicarakannya setelah
Subuh ia rasa tidak terlambat. Subuh sudah sangat dekat.
Ia kembali berdoa, memejamkan mata dan tidur. Lelap.
11 Maaf
102

Sementara Hafez keluar dari kamamya dengan membawa
mushaf. Ia mengikuti saran Azzam. Di ruang tamu ia
membaca Al-Quran dengan suara pelan. Ia sama sekali
tidak bisa berkonsentrasi menghayati dan mentadabburi
apa yang dibacanya. Pikirannya tetap saja tertuju pada
Cut Mala. Ia sendiri tidak tahu kenapa satu bulan ini hati
dan pikirannya tidak bisa lepas dari Cut Mala. Mahasiswi
Al Azhar dari Aceh yang tak lain adalah adik kandung
teman yang paling akrab dengannya, yaitu Fadhil. Ia
tidak menyadari bahwa perasaan cintanya pada gadis
Aceh itu tumbuh dengan begitu lembut dan perlahan.
Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian
membuncah. Berbunga-bunga. Bahkan nyaris tak bisa
dikuasainya.
Sedemikian membuncahnya perasaan itu, hingga ia tak
bisa berbuat apa-apa. Padahal saat itu, ia harus
konsentrasi memikirkan ujian Al Azhar yang tinggal
satu bulan lagi. Yang ada dalam pikiran dan hatinya
selalu saja Cut Mala. Wajah Cut Mala. Suara Cut Mala.
Langkah kaki Cut Mala. Budi bahasa Cut Mala. Gaya
bahasa Cut Mala. Tingkah laku dan perangainya yang
halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Prestasi
prestasinya yang selalu terukir dengan gemilang. Bahkan
pendapat-pendapatnya yang tertuang dalam pelbagai
buletin kemahasiswaan di Cairo.
Itu semua telah membuat hati Hafez begitu kagum
padanya. Ah, tak hanya kagum, tapi ada sesuatu yang
aneh mendera-dera hatinya, entah apa namanya. Ia
103

merasa, di dunia ini tak ada gadis yang ia anggap
sempurna untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi
ibu dari anak-anaknya, selain gadis dari Tanah Rencong
itu.
Sehap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya selalu
bergetar. Berdesir-desir. Disebut oleh siapa saja.
Termasuk ketika ia mendengar nama itu disebut oleh
Fadhil kakak kandung Cut Mala sendiri.
Dan setiap kali ia membaca nama gadis kelahiran Ulee
Kareng Banda Aceh itu tertulis di buletin, buletin apa
saja. rasa cintanya bertambah-tambah.
Ia merasa sudah nyaris gila. Ia sadar perasaan seperti itu
tidak boleh menjajah dirinya. Tapi entah kenapa ia
merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Quran
dengan perlahan dan ia kembali tidak berdaya. Cut Mala
hinggap lagi di kelopak matanya.
Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelebatan bayangan
Cut Mala, tapi tak kuasa. Semakin ia coba mengusirnya,
justru semakin jelas bayangan Cut Mala bersemayam di
benaknya. Ia benarbenar tak berdaya.
Dalam ketidak berdayaan, kehadiran bayangan Cut Mala,
malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan
kenikrnatan, kenikmatan dan kegilaan. Bagaimana tidak.
Saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca, saat itu
justru muncul bayangan yang tidak-tidak di benaknya:
"Seandainya ia telah menikah dengam Cut Mala, lalu di
104

penghujung malam seperti itu ia membaca Al-Quran
bareng Cut Mala. Bergantian. Terkadang ia yang membaca,
Cut Mala yang mendengarkan. Atau Cut Mala
yang membaca, ia yang menyimak dengan seksama.
Alangkah indahnya. Alangkah indahnya.”
Ia memejamkan mata. Setetes airmata jatuh ke mushaf
yang ia baca.
Ia sesenggukan. Menangis dengan perasaan cinta, sedih,
rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu.
"Ya Allah, ampuni dosa hamba-Mu ini. Ya Allah, jika
yang kurasakan ini adalah sebuah dosa maka ampunilah
dosa hamba-Mu yang lemah ini."
Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahwa
Allah Swt. mengasihi orang-orang yang sedang jatuh
cinta seperti dirinya.
***
Di ufuk timur, langit menyemburatkan warna merah.
Fajar perlahan menyingsing. Sebuah menara mengumandangkan
azan. Disusul menara kedua.
Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari
beribu menara yang menjulang di Kota Cairo. Azan dari
menara Masjid Ar Rahmah membangunkan Cut Mala
yang tinggal di kawasan Masakin Utsman. Tepatnya
105

Masakin Utsman 72/605, tak jauh dari Masjid Ar
Rahmah yakni masjid yang oleh orang-orang Indonesia
disebut "Masjid Planet".
Disebut "Masjid Planet" karena bentuknya yang tidak
seperti masjid pada umumnya, tapi mirip bangunan dari
planet lain.Ada juga yang menyebut "Masjid UFO",
karena bentuknya agak mirip UFO.
Gadis Aceh itu membangunkan teman-temannya. Ketika
ia masuk kamar Tiara, ia mendapati kakak kelasnya itu
masih bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak-isak.
Ia tidak ingin mengganggunya.
Cut Mala atau lengkapnya Cut Malahayati, tinggal di
dalam flat yang cukup luas itu dengan empat orang
mahasiswi. Flat itu memiliki tiga kamar tidur berukuran
cukup luas. Satu dapur. Satu kamar mandi. Balkon. Dan
ruang tamu yang juga luas. Flat itu tergolong mewah.
Semua lantainya full karpet. Di ruang tamu ada
seperangkat sofa yang diimpor dari Italia. Dapur full
keramik. Dan kamar mandi yang tak kalah dengan hotel
bintang tiga. Flat itu juga dilengkapi telpon, pemanas air,
kulkas, kompor gas bahkan pengatur suhu udara diruang
tamu.
Cut Mala dan teman-temannya bisa dikatakan beruntung.
Sebab untuk flat yang semewah itu mereka hanya
membayar tiga ratus pound perbulan. Untuk ke kuliah
pun seringkali ia memilih jalan kaki. Sebab flatnya
dengan kuliah banat tidaklah jauh.
106

Pemilik flat itu bernama Madam Zubaida. Seorang
pengusaha yang kaya. Ia memiliki perusahaan travel dan
beberapa toko sepatu di Cairo dan Alexandria. Madam
Zubaida sangat pemurah dan baik hati. Ia memiliki tiga
orang anak. Satu putri, dua putra. Dua anaknya berada di
luar negeri. Yang putri bemama Yasmin, sedang kuliah
di Prancis, dan telah menikah dengan seorang staf
Kedutaan Mesir di Paris. Anaknya yang nomor dua,
kuliah di Istanbul. Hanya si Bungsu yang menemaninya.
Masih kuliah di Fakultas Kedokteran Cairo University.
Setahu Cut Mala, Madam Zubaida memiliki tiga rumah
di Cairo. Satu di kawasan Mohandisin yang ia tempati
bersama putra bungsunya. Yang kedua di kawasan
Ma'adi, dan yang ketiga di Masakin Utsman Nasr City
yang disewakan kepada mahasiswi dari Indonesia.
Tujuan Madam Zubaida menyewakan flatnya di Masakin
Utsman memang tidak semata mata untuk mendapatkan
uang, tapi agar flatnya ada yang menjaga, merawat dan
mengurusnya. Maka ia hanya percaya pada para mahasiswi.
Khususnya mahasiswi Indonesia. Kebetulan Madam
Zubaida pernah memiliki seorang pembantu perempuan
dari Indonesia. Madam Zubaida sangat terkesan
dengan kehalusan budi dan ketelatenan pembantunya itu
dalam mengurus rumahnya. Maka sejak itu ia sangat
percaya pada perempuan dari Indonesia. Perempuan
Indonesia memang luar biasa di mata Madam Zubaida.
Setiap bulan Madam Zubaida datang mengontrol keadaan
flatnya pada hari yang tidak ia tentukan. Dan ia
107

selalu puas, karena para mahasiswi dari Indonesia yang
meninggali flatnya benar-benar menjaga dan merawat
flatnya dengan baik. Cut Mala dan teman temannya bahkan
selalu menjaga seluruh ruangan flat itu dengan
pengharum ruangan, agar selalu segar dan wangi udaranya.
Bisa dikatakan, seluruh penghuni rumah itu adalah
mahasiswi yang bernaung dalam Keluarga Mahasiswa
Aceh. Cut Mala dari Pidie dan Tiara dari Banda Aceh.
Keduanya benar-benar asli Aceh, maksudnya kedua
orangtua mereka memang asli Aceh. Selain mereka
berdua ada Cut Rika dan Masyithah. Keduanya tidak
berdarah Aceh murni, namun tidak ada bedanya dengan
yang berdarah Aceh.Cut Rika, lahir di Peukan Bada,
Aceh Besar, tapi ia besar dan menghabiskan masa
remajanya di rumah neneknya di Bandung. Ayahnya asli
Peukan Bada, ibunya asli Bandung. Dan terakhir adalah
Masyithah, gadis paling cantik di rumah itu. Bahkan,
mungkin mahasiswi Indonesia paling cantik di Cairo.
Hanya saja tidak banyak yang tahu seperti apa
sesungguhnya kecantikannya. Sebab, dalam keseharian ia
selalu memakai cadar.
Masyithah lahir di Aceh, ayahnya asli Syiria, ibunya asli
Pakistan. Jadi sama sekali tidak ada darah Aceh yang
mengalir dalam dirinya. Tapi sejak pertama kali melihat
dunia ia telah jadi orang Aceh.
Masyithah lahir di Banda Aceh saat ayahnya mendapat
tugas dari Rabithal 'Alam Islami untuk mengajar di IAIN
108

Ar Raniry. Saat melahirkannya, ibunya meninggal dunia
Ayahnya tetap teguh untuk menyelesaikan tugasnya
berdahwah dan mengajar di Aceh.
Ia dirawat oleh seorang gadis dokter yang membantu
kelahirannya. Entah bagaimana awalnya, akhimya dokter
asli Aceh yang merawatnya itu berhasil disunting
ayahnya. Dialah ibunya, yang ia kenal sekarang.
Meskipun sesungguhnya ia ibu tiri, tapi ia tak pernah
merasa menjadi anak tiri. Sejak itu ayahnya pindah
kewarga-negaraan menjadi orang Indonesia. Sekarang
ayahnya bekerja di Kedutaan Besar Syiria di Jakarta.
Sementara ibunya bekerja di RSCM Jakarta. Masyithah
sudah bisa berbahasa Arab sejak kecil. Maka wajar jika ia
paling fasih berbahasa Arab di rumah itu. Selain bahasa
Arab, ia juga fasih berbahasa Indonesia dan Aceh.
Cut Mala dan teman-temannya menjalankan shalat
Subuh berjamaah. Mereka menggelar sajadah di ruang
tamu. Yang menjadi imam pagi itu Cut Rika. Mahasiswi
tingkat tiga jurusan tafsir itu membaca surat An Nisa'.
Bacaannya tartil dan fasih. Suaranya indah. Semuanya
larut dalam penghayatan kalam ilahi. Usai shalat
mereka zikir, mengingat Allah Swt., lalu membaca Al
Ma' tsurat. 12 Setelah itu mereka kembali ke kamarnya
masing-masing untuk tilawah.
Cut Mala mengikuti Masyithah masuk kamar. Mereka
berdua memang tinggal dalam kamar yang sama.
12 Kumpulan dzikir dan doa dari Rasulullah Saw. Yang dibaca pada pagi dan sore hari
109

Keduanya lalu larut dalam tadarus Al-Quran. Cut Mala
terus membaca. Sementara Masyithah menyudahi bacaannya.
Ia menyalakan komputernya. Tiara mendekati
Cut Mala. Cut Mala menyudahi bacaannya.
"Mau aku ajak jalan jalan Dik Mala? " Lirih Tiara.
"Mau Kak."
"Yuk kita keluar. Kita ke Hadiqah Dauliyah. Sekalian
menghirup udara pagi. Aku ingin sedikit bicara
denganmu. "
"Ayuk."
Cut Mala melepas mukenanya. Memakai jubah hijau
tuanya dan memakai jilbab hijau mudanya. Setelah yakin
dengan penampilannya ia melangkah keluar kamar mengikuti
Tiara. Masyithah yang mengetahui ke mana mereka
akan pergi berteriak,
''Jangan lupa nanti mampir beli roti."
"Insya Allah. " Jawab Cut Mala.
* * *
Usai shalat Subuh, Azzam tetap di masjid, demikian juga
Hafez. Azzam membaca dua halaman mushafnya lalu
mendekab Hafez yang duduk terpekur tak jauh darinya.
110

Beberapa orang Mesir duduk melingkar untuk membaca
Al-Quran bergantian. Biasanya Azzam menyempatkan
ikut, tapi kali ini ia sudah berjanji pada Hafez.
"Sebaiknya kita berbincang-bincang di luar sana sambil
berjalan-jalan dan menghirup udara pagi" kata Azzam
pada Hafez.
Hafez mengangguk. Keduanya keluar meninggalkan
masjid dan berjalan menelusuri trotoar ke arah Mahatta
Gami'.
"Kau bilang kau akan konsentrasi pada studimu Fez. Apa
kau lupa dengan itu?" Kata Azzam seraya menghentikan
langkahnya. Hafez juga menghentikan langkahnya.
"Aku inginnya begitu Kang. Tapi entah kenapa aku sama
sekali tidak bisa melupakan dia. Aku tidak bisa berhenti
memikirkannya. Aku bingung aku harus bagaimana. Saat
shalat, aku membayangkan jika shalat bersamanya. Saat
membaca Al-Quran aku membayangkan jika aku
membaca Al-Quran bergantian dengannya. Saat berdoa
pun aku juga mengingat dirinya. Aku harus bagaimana
Kang?"
"Ini penyakit, kau harus sadar itu Fez!"
"Aku sadar Kang, sangat sadar. Aku tak boleh
membayangkan wajahnya. Itu tidak boleh. Itu
haram.Tapi bayangan wajahnya datang begitu saja Kang.
Aku bisa gila Kang. Aku rasa satu-satunya jalan aku
111

harus berterus terang pada Fadhil, bahwa aku mencintai
adiknya dan aku langsung akan melamarnya dan
menikahinya secepatnya"
Azzam tersenyum.
"Itu pikiran yang bagus. Menikah. Tapi masalahnya apa
kamu yakin adik si Fadhil. Siapa itu namanya Cut Nala?"
"Bukan Nala Kang, Mala."
" O ya Cut Mala. Apa kamu yakin dia siap untuk
menikah. Dia baru tingkat dua. Sedang asyik-asyiknya
merasakan dinamika hidupnya sebagai seorang mahasiswi.
Bahkan seorang aktivis. Terus kalau dia siap
menikah apa kamu yakin dia mau menikah denganmu? "
"Lalu aku harus bagaimana Kang?"
"Kau harus melupakannya. Jika dia jodohmu, percayalah,
dia tidak akan ke mana-mana. Dia tidak akan diambil
siapapun juga."
"Tapi rasanya sangat susah Kang."
"Aku tahu. Selama kau masih satu rumah dengan Fadhil
kau takkan bisa melupakannya. Aku tahu setidaknya tiap
dua hari sekali Fadhil mendapatkan telpon dari adiknya,
dan sebaliknya Fadhil juga sering menelpon adiknya.
Terkadang tanpa sadar Fadhil menyebut nama adiknya
itu di depanmu, di depan kita-kita. Bagi orang lain yang
112

tak memiliki perasaan apa-apa, mendengar namanya
mungkin tak ada masalah. Tapi bagi kamu, itu sama saja
air hujan menyirami tanaman yang mengharap air.
Belum lagi kalau adiknya itu datang mengantar sesuatu,
yang terkadang mengantar makanan untuk kakaknya. Ya
untuk kakaknya, tapi kita ikut menyantap masakannya.
Bagi yang lain mungkin tidak masalah, tapi bagimu
menyantap masakannya akan mengobarkan bara asmara
yang mungkin susah payah kau padamkan. Jika kau
nekat berterus terang pada Fadhil saat ini, percayalah
kau bisa merusak segalanya. Kau bisa merusak dirimu
sendiri. Merusak hubunganmu dengan Fadhil. Bahkan
juga bisa merusak Cut Mala."
"Kok bisa sejauh itu efeknya Kang?"
"Keinginan menikah itu baik. Keinginan melamar
seseorang juga tidak salah. Namun jika waktunya tidak
tepat, yang didapat bisa hal yang tidak diinginkan. Kau
tentu tahu saat ini sudah sangat dekat dengan ujian.
Waktunya orang konsentrasi pada ujian. Kalau kau
membuka perasaan dan keinginanmu saat ini, pasti bisa
membuyarkan konsentrasi Fadhil, juga adiknya Cut
Mala. Bahkan jika Cut Mala pun siap menerimamu.
Konsentrasinya pada pelajaran akan buyar dan beralih
memikirkan lamaranmu. Apalagi jika ia sebenamya tidak
siap menikah. Fadhil juga akan sangat memikirkan hal
itu. Sebab, kau adalah temannya, dan Cut Mala adalah
adiknya. Jika Cut Mala menolak lamaranmu Fadhil pasti
akan sangat tidak enak padamu. Belum lagi hal-hal lain
di luar prediksi kita. Saya pernah mendapat cerita dari
113

seorang bapak di KBRI, ada seorang mahasiswi gagal
ujiannya gara-gara dilamar oleh seseorang lewat telpon
dan mahasiswi itu tidak siap menerima lamaran itu.
Konsentrasinya buyar dan ujiannya gagal. Apa tidak
kasihan kalau itu terjadi pada Cut Mala."
"Terus saya harus bagaimana Kang?"
"Kau harus berhasil mengatasi dirimu. Kau harus bisa
mengatasi perasaanmu. Jangan kau korbankan orang
lain. Sebaiknya untuk sementara, kau mengungsilah yang
jauh supaya bisa konsentrasi belajar. Nanti setelah ujian
selesai, aku akan membanturnu membicarakan hal ini
dengan Fadhil. Ini lebih baik bagimu dan bagi semuanya.
Percayalah, siapa jodohmu, sudah ditulis di Lauhul
Mahfudz. Kau jangan kuatir. Jika memang yang tertulis
untukmu adalah Cut Mala, Insya Allah tidak akan ke
mana-mana."
"Baiklah Kang. Aku ikut saranmu. Tapi janji ya Kang,
setelah ujian selesai nanti akan membanlu berbicara
dengan Fadhil."
"Ya, aku janji."
* * *
Cut Mala dan Tiara keluar flat dan turun menggunakan
lift. Mereka lalu berjalan ke selatan menuju Hadiqah
Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr City yang sangat
114

dibanggakan oleh orang Mesir. Taman yang terdiri
hanya atas beberapa hektar itu, mereka sebut Hadiqah
Dauliyah, artinya International Garden, Taman
Internasional.
Mahasiswa Indonesia sering menertawakan orang Mesir
begini, "Kita saja orang Indonesia yang memiliki taman
sangat luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk
mengitarinya tidak cukup dengan jalan kaki. Kita masih
menamakan taman mini. Kita menyebutnya Taman Mini
Indonesia Indah. Sedangkan ini taman yang cuma
beberapa hektar saja sudah disebut Taman Internasional.
Terkadang orang Mesir menjawab dengan santai, "Itulah
bedanya orang Indonesia dengan orang Mesir. Orang
Indonesia terlalu rendah diri, terlalu minder dengan
kemampuannya, dan tidak bisa memotivasi diri.
Sedangkan orang Mesir selalu percaya diri. Selalu bisa
memotivasi diri! Kita bisa menginternasionalkan yang
kecil." Maka biasanya orang Indonesia akan diam sambil
terus menggerutu di dalam hati, "Dasar orang Mesir
anak Fir'aun, sombong sekali!"
Cut Mala dan Tiara sudah sampai di gerbang Hadiqah.
Gerbang baru saja dibuka. Beberapa orang Mesir masuk.
Mereka berpakaian olah raga. Dua gadis Aceh itu masuk.
Tiara mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang.
Langit tampak cerah. Burung burung beterbangan dari
pohon ke pohon. Dari arah timur, di antara gedunggedung
bertingkat muncul cahaya kemerahan yang
perlahan menjadi kekuning-kuningan. Matahari muncul
seolah tersenyum pada bumi.
115

"Mau bicara tentang apa Kak?" Tanya Cut Mala.
"Aku mau sedikit minta tolong padamu Dik." Jawab
Tiara.
"Apa itu Kak?"
"Begini, aku sedang sedikit menghadapi masalah serius.
Aku minta kamu tidak membuka hal ini kepada siapapun
juga. Kemarin aku mendapat telpon dari Aceh. Dari ayah.
Beliau bilang, aku dilamar oleh seorang Ustadz.
Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang
ustadz di pesantren kakak dulu. Namun dia tidak pernah
mengajar kakak. Karena ketika dia masuk pesantren,
kakak sudah kelas dua aliyah. Dan dia mengajar di kelas
satu. Jadi kakak tidak tahu persis bagaimana sebenamya
dia. Ayah cerita, katanya Ustadz Zulkifli pernah satu
pesantren dengan Kak Fadhil, kakakmu. Aku minta
tolong sampaikanlah keadaanku ini pada Kak Fadhil. Aku
sebaiknya mengambil keputusan apa? Harus aku
terimakah lamarannya atau bagaimana? Dua hari lagi
ayah mau menelpon untuk meminta kepastianku. Ayah
menyerahkan sepenuhnya padaku."
"Sebenarnya dari hati nurani paling dalam Kak Tiara
bagaimana? Menerima atau menolak? "
"Aku tidak tahu Dik. "
116

" Reaksi hati pertama kali mendengar lamaran itu
bagaimana Kak?"
"Biasa-biasa saja. Karena sebenarnya aku belum ingin
menikah. Aku ingin menikah setelah selesai kuliah. Tapi
ayah bilang jika aku mau, Ustadz Zulkifli akan menyusul
ke Mesir. Aku belum bisa mengambil keputusan. Tolong
ya sampaikan hal ini pada Kak Fadhil. Aku ingin tahu
pendapat dia sebagai pertimbangan. Dia mungkin kenal
baik Ustadz Zulkifli, dan dia juga tahu tentang diriku. "
"Baiklah Kak, amanah kakak segera saya tunaikan, Insya
Allah. "
Hati Tiara merasa lega mendengar jawaban Cut Mala.
Sebenarnya ia ingin mengatakan pada Cut Mala, bahwa
ia mencintai Fadhil, kakaknya, tapi ia tidak sampai hati
menyampaikannya. Rasa malulah yang menghalanginya.
Selama ini ia hanya bisa meraba tanpa bisa memastikan
apakah Fadhil memiliki perasaan yang sama ataukah
tidak. Ia ingin mendengar komentar Fadhil tentang
masalahnya untuk sedikit mencari petunjuk dan isyarat
seperti apa sesungguhnya sikap Fadhil kepadanya.
Ia ingin mencari petunjuk bahwa Fadhil juga
mencintainya. Jika ya, ia akan lebih memilih hidup
bersama orang yang dicintainya. Ia sangat yakin Fadhil
orang yang baik dan saleh, demikian juga Ustadz
Zulkifli. Jika demikian, bila disuruh memilih yang sama
baiknya, tentu ia akan memilih yang telah diterima oleh
hatinya. Namun, ia merasa jodoh terkadang tidak bisa
117

dipilih. Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilih. Ya,
dipilihkan oleh Allah. Manusia hanya berusaha,
berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta
dimusim semi itu ia yakini sebagai salah satu dari
ikhtiarnya.
Ia tidak bisa menampik bahwa ia mencintai Fadhil,
dengan diam-diam. Namun ia tidak yakin cinta seperti
yang ia rasakan akan kekal. Baginya, cinta yang kekal
adalah untuk orang yang secara sah menjadi suaminya,
Dan ia tidak memungkiri, ia ingin orang itu adalah
Fadhil. Sekali lagi jika boleh memilih.
Tiara bangkit diikuti Cut Mala. Keduanya berjalan
mengitari taman. Orang-orang Mesir semakin banyak
berdatangan. Ada yang berlari-lari kecil. Ada yang hanya
berjalan jalan.
"Berarti Ustadz Zulkifli itu pernah belajar di Pesantren
Ar Risalah Medan Kak?" tanya Cut Mala. Ia bertanya
begitu karena Fadhil, kakaknya menyelesaikan pendidikan
menengahnya di pesantren itu.
"Iya. Setahu saya, dia waktu MTs dan Aliyahnya di
Pesantren Ar Risalah, lalu kuliah di LIPIA Jakarta
Prograrn I’dadul Lughah, setelah itu ia mengajar di
pesantren kakak." Jelas Tiara panjang lebar.
"Dia tampan nggak Kak?"
118

"Aku tak ingat lagi wajahnya Dik. Kenapa kau tanya
begitu.?"
"Memang tidak boleh, Kak?!"
"Ya boleh saja. Tapi kenapa kau tanya begitu?"
"Kalau dia tampan, ya diterima saja Kak."
"Kalau tidak tampan?"
"Ya terserah Kakak. Kan Kakak yang mengambil
keputusan, dan kakak pula yang akan menjalaninya
bukan Mala, hi... hi... hi...." Cut Mala cekikikan. Dua
lesung di pipinya menambah pesona wajahnya.
Tiara gemas dibuatnya.
119

7
SMS UNTUK ANNA
Gadis itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya
berbunga-bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti
biasanya. Musim semi yang sejuk, matahari yang ramah,
serta senyum dari Profesor Amani saat memberinya
ucapan selamat dan doa barakah. Semua melukiskan
suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia merasakan begitu dalam rahmat dan kasih sayang
Allah kepadanya.
Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya
basah oleh air mata haru dan bahagia. Itu bukan kali
pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa
menangis bahagia.
120

Dulu, begitu kedua kakinya untuk pertama kalinya
menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berhasil
lulus S.1 dua tahun yang lalu dengan predikat mumtaz,
atau summa cumlaude. Ialah mahasiswi dari Asia
Tenggara pertama yang berhasil meraih prestasi ini. Ia
juga menangis penuh rasa syukur ketika berhasil lulus
ujian tahun kedua pasca sarjana. Lulus setelah melewati
ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia
harus berhadapan dengan empat profesor. Lulus juga
dengan nilai mumtaz, sehingga ia berhak untuk
mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa
dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayanya
Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya senantiasa
dijabahi oleh-Nya.
Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia.
Hatinya dipenuhi keharuan -luar biasa. Batinnya terus
bertasbih dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis
Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal
a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a’1a wabihamdih... Ia
bertasbih. Proposal tesisnya langsung diterima tanpaa
menunggu waktu yang lama. Hanya satu bulan saja sejak
proposal tesisnya itu ia ajukan ke Qism Diraasat 'Ulya. 13
Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata abahnya
tercinta,
13 Program Pascasarjana
121

"Anakku, alangkah indahnya jika apa saja yang kau
temui. Apa saja yang kaurasakan. Suka, duka, nikmat,
musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. Pokoknya apa
saja, Anakku. Bisa kau hubungkan derngan akhirat,
dengan hari akhir. Dengan begitu hatimu akan sangat
peka menerima cahaya hikmah dan hidayah. Hatimu akan
lunak dan lembut Selembut namamu. Dan tingkah
lakumu juga akan tertib setertib namamu!"
Wajah abahnya seperti di depan mata. Saat itu ia
bingung dengan maksud menghubungkan yang ditemui
dan dirasakan dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan
kebingungannya, maka abah langsung menyambung,
"Begini Anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu
misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu.
Hayati perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu
murka kemungkinan besar karena kau melakukan suatu
kesalahan, yang karena kesalahamnu itu ibumu murka.
Dan saat kau dimurkai pasti kau merasakan kesedihan,
bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas
kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau rasakan,
saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan
hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang
murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatanperbuatanmu
yang membuat-Nya murka. Bagaimana
perasaanmu saat itu. Mampukah kau menanggungnya.
Jika yang murka adalah ibumu, kau bisa meminta maaf.
Karena kau masih ada di dunia. Jika di akhirat bisakah
minta maaf kepada Allah saat itu? "
122

Airmatanya kembali meleleh.
"Terima kasih Abah!" Lirihnya. Kata-kata abahnya itu
memang sangat membekas dalam dirinya. Kata-kata abah
saat berusaha menghiburnya kala ia dimurkai ibunya
liburan tahun lalu. Ia dimurkai gara-gara asyik membaca
saat diminta ibunya mengupaskan mangga keponakannya
si Kecil Ilham— putra kakak sulungnya. Saat itu
ia hanya menjawab "Inggih, sekedap'' 14 dan ia masih
konsentrasi membaca buku yang baru ia beli dari
Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau
dan mangga yang diletakkan oleh lbu di samping
kanannya. Sementara ia terus asyik membaca, si Kecil
rupanya tidak sabar. Diam-diam ia mengambil pisau dan
berusaha mengupas sendiri. Akibatnya, jari si Kecil
kepiris, darah mengalir dari jarinya dan harus dilarikan ke
puskesmas. Ia dimurkai ibunya habis-habisan, buku yang
ia baca dibakar oleh ibunya.
"Buku setan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa
belajar bertahun-tahun di Mesir masih kurang hah! Apa
ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil apa
juga tidak perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan
Al Azhar kalau tidak tanggap sasmita, kalau disuruh
ibunya tidak segera beranjak!"
Saat itu ia benar-benar sangat menyesal. Ia merasa
begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak bisa ditebus,
tidak termaafkan. Merasa menjadi orang paling berdosa
14 Ya Sebentar
123

di dunia. Ibu tidak pernah marah bila ia membaca buku.
Tapi saat itu beliau sangat murka justru dikarenakan
keasyikannya membaca buku.
Abah menghiburnya. Itu baru ibu yang murka,
bagaimana jika Allah yang murka? Dan hari berikutnya,
ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua
kesalahannya. Si Kecil Ilham seperti tidak merasakan
sakit pada jarinya saat ia ajak main bongkar-pasang
balok susun.
Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi
jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kulyyatul
Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak
seperti saat musim panas atau musim dingin. Sesekali ia
mengusap matanya yang sembab dengan sapu
tangannya.
Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah
semata-mata rasa bahagia karena proposal tesisnya
diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada
mahasiswi yang sudah dua kali mengajukan proposal
tesis dan sudah menunggu satu tahun tapi belum juga
diterima. Namun yang membuatnya menangis, karena ia
teringat, bahwa yang dirasakannya barulah kebahagiaan
duniawi, belum ukhrawi.
Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja
kerasnya memeras otak, pontang-panting ke perpustakaan
Shalah Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan
menganalisis ratusan referensi akhirnya membuahkan
124

hasil yang melegakan jiwa. Begitu hahagianya hatinya
saat diberi ucapan selamat oleh Profesor Amani.
Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia mengetam.
Baru proposal tesis yang diterima, ia begitu bahagianya.
Baru ucapan selamat dari Profesor Amani, ia begitu
bangganya. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat
dicintai para mahasiswinya itu masih bergema dalam
jiwanya :
"Selamat Anakku, semoga umurmu penuh barakah,
ilmumu bermanfaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air
matanya kembali meleleh. Ia lalu berkata pada diri
sendiri "Lantas seperti apakah rasanya ketika kelak di
hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah.
Ia menerima catatan amalnya dengan tangan kanan. Dan
mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda
Nabi, dari malaikat penjaga surga, dan dari seluruh
malaikat, para nabi dan orang-orang saleh. Saat surga
menjadi tempat tinggal selama-lamanya. Kebahagiaan
semacam apakah yang dirasa?"
Ia melangkah. Matanya basah, "Rabbana taqabbal minna
innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami,
sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Lirihnya dalam hati, sambil menghayati
dengan sepenuh jiwa bahwa tiada prestasi yang lebih
tinggi dari diterimanya amal saleh oleh Allah dan dibalas
dengan keridhaan -Nya.
125

Ia terus melangkah menapaki trotoar di depan gedung
Muraqib Al Azhar, ke arah Abdur Rasul. Ia menengok ke
kiri, memandang gedung Muraqib sekejab. Di gedung
itulah dulu berkas-berkasnya masuk Universitas Al
Azhar diproses. Di gedung itulah ia pertama kali kenal
antrean yang lumayan panjang di Mesir. Di gedung itu
juga ia berkenalan dengan Wan Najibah Wan Ismail,
mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah
satu sahabat karibnya. Saat itu ia juga antre untuk
mendaftarkan diri masuk Al Azhar.
Bagi mahasiswa dan pelajar Al Azhar, gedung Muraqib
atau nama resminya Muraqabatul Bu'uts Al Islamiyyah
pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat
bea siswar maka mengurus beasiswanya juga tidak lepas
dari Muraqib. Bahkan bagi yang tidak mendapatkan
beasiswa dari Al Azhar dan ingin mengajukan
permohonan beasiswa ke lembaga lain, juga harus
mendapatkan surat keterangan tidak menerima beasiswa
dari Muraqib. Seluruh lembaga pendidikan di dunia yang
ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al
Azhar harus melalui proses di Muraqib.
"Pentingnya Muraqib bagi Al Azhar nyaris sama seperti
tangan bagi manusia", begitu kata Zuleyka, seorang
mahasiswi dari Turki, suatu kali kepadanya saat bertemu
di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu
berlebihan. Namun memang Muraqib jadi bagian pusat
administrasi dan birokrasi yang sangat vital bagi Al
Azhar.
126

Begitu sampai di Tayaran Street ia melihat jam
tangannya. Sebelas kurang seperempat. Ia ingin segera
sampai rumah, dan mengabarkan kebahagiaannya kepada
seluruh teman rumah. Nanti setelah shalat Zuhur ia akan
ke Daarut Tauzi’, membeli beberapa buku dan kitab. Ia
belum pernah ke toko buku yang satu ini. Pulang dari
Daarut Tauzi' setelah Ashar. Dan si Zahraza, mahasiswi
asal Kedah yang satu rumah dengannya tak usah repot
repot masak. Setelah shalat Maghrib, ia mau mengajak
orang satu rumah makan di Palace, restaurant milik
mahasiswa Thailand di kawasan Rab'ah El Adawea yang
terkenal Tom Yam dan nasi gorengnya.
Dan saat pulang dari PaIace ia akan mampir ke rumah
Laila yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan
pesan tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua
minggu di Kuala Lumpur. Kalau tidak, ia akan pesan
pada Laila lewat telpon saja. Rencananya ia hendak
melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya.
Maka ia merasa, sebaiknya ia berangkat minggu ini.
Sebab Wan Aina mahasiswi asal Selangor yang tinggal
serumah dengannya mau pulang ke Malaysia minggu ini.
Putri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang
hanya dua minggu untuk menghadiri pernikahan
kakaknya. Pikirnya, ia bisa bersama Wan Aina selama di
Kuala Lumpur. Sehingga urusan penelitian untuk tesisnya
tentang "Asuransi Syariah di Asia Tenggara" akan
menjadi lebih mudah. Ia berencana hendak melakukan
penelitian di Perpustakaan ISTAC-IIUM di Petaling
Jaya, Perpustakaan IIUM di Gombak, dan Perpustakaan
127

Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak
Wan Aina yang hendak menikah adalah dosen di IIUM.
Wan Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama
melakukan penelitian di Malaysia.
Itulah rencana yang telah tersusun dalam kepalanya saat
ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah
Air sambil melakukan penelitian serius untuk tesisnya. Ia
ingin segera pulang untuk berbagi rindu, cerita, dan rasa
bahagia dengan abah dan ibundanya tercinta.
Begitu menyeberang Tayaran Street, hand phone-nya
berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah
dan melihat layar hand phone, dari Mbak Zulfa, isteri
Ustadz Mujab, yang masih bisa digolongkarl sepupu
dengannya. Kakek ayah Ustadz Mujab adalah juga kakek
abahnya. Jadi antara dirinya dan Ustadz Mujab masih
erat pertalian darahnya. Ia buka pesan yang masuk :
"Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana Istikharahnya? — Sdh ada kepastian?
Td Ust. Furqan ngebel ke Ust. Mujab, katanya besok mau dolan. Mungkin
mau menanyakan hasilnya."
Ia tertegun sesaat, sesuatu yang nyaris dia lupakan, kini
ditanyakan. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia
diberitahu Mbak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang
ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang konsentrasi
ujian, jadi ia anggap angin lalu. Apalagi Furqan bukan
yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia
telah menerimanya belasan kali. Baik yang melalui orang
128

ketiga seperti Furqan, atau yang langsung blak-blakan
lewat telpon, sms, email, surat maupun disampaikan
langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesaikan
dengan baik.
Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum
PPMI, dan kandidat M.A. dari Cairo University, ia rasakan
agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan
"tidak", seperti sebelum-sebelumnya. Juga tidak mudah
untuk mengatakan "ya."
Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak.
Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk
menerimanya. Pikirannya masih terpaku pada tesisnya.
Namun ia juga sadar bahwa waktu terus berjalan, dan
usianya hampir seperempat abad. Memang sudah saatnya
ia membina rumah tangga, menyempurnakan separo
agama.
Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam
tas birunya. Jilbab putih yang menutupi sebagian jubah
biru lautnya berkibaran diterpa semilir angin sejuk
musim semi. Ia mencoba menghadirkan bayangan wajah
Furqan. Namun spontan ada yang menolak dan dalam
jiwanya. Ia tersadar, dalam kenikmatan, dalam kelapangan
selalu ada ujian. Dalam setiap hembusan nafas
dari aliran darah selalu ada setan yang ingin menyesatkan.
Ia langsung istighfar dan ber-ta'awudz. Ia juga
sadar bahwa dirinya adalah manusia biasa yang punya
nafsu, bukan malaikat suci yang tak memiliki nafsu.
129

Yang pasti, sunah Nabi tetap harus diikuti, dan suatu
saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk
Furqan. Ya, suatu saat nanti tidak harus saat ini. Musim
semi kali ini ia tidak ingin diganggu siapa saja, termasuk
apa saja yang berkenaan dengan Furqan.
* * *
Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, tampak sebuah
sedan Fiat putih keluar dari pelataran Fakultas Darul
Ulum, Cairo University. Sedan itu melaju pelan di Sarwat
Street lalu belok kanan ke Gami'at El Qahirah Street,
kemudian belok kanan melintas di depan Zoological
Gardeen dan terus melaju ke arah sungai Nil.
Tak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El
Gama'a Bridge, salah satu jembatan utama Kota Cairo
yang melintang gagah di atas sungai Nil. Begitu sampai
di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El Roda,
sedan itu belok kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud
Street yang membentang di tepi sungai Nil dari ujung
selatan Geziret sampai ujung utara. Sedan putih buatan
Italia itu terus melaju ke ujung utara, hingga melintasi
Cairo University Hospital. Tepat di ujung utara Geziret,
tampak Meridien Hotel berdiri gagah.
Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di
pelataran Meridien. Begitu menemukan tempat yang
tepat di pelataran parkir, sedan itu berhenti. Seorang
pemuda berwajah Asia keluar dari sedan. Ia mengeluarkan
tas ransel dan tas jinjing hitam. Setelah mengunci
130

mobil ia melangkah ke arah pintu masuk hotel. Dua
orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan rompi
dan celana hijau tua menyambutnya dengan senyum
manis. Seorang di antara mereka menawarkan untuk
membawakan tasnya, tapi ia menolak. Pemuda itu
berjalan tenang melewati lobby hotel menuju resepsionis.
Dua orang petugas resepsionis dengan aura kecantikan
khas gadis Mesir menyambutnya dengan senyum.
Seorang di antara mereka menyapa,
"Good Afternoon, Sir. Can I help you? "
Pemuda itu membalas dengan senyum seraya
menunjukkan paspornya. Saat menyerahkan paspornya,
ia sempat membaca nama dua resepsionis itu. Dina dan
Suzan. Si Dina menerima paspor itu dengan senyum lalu
menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata,
sang Pemuda telah mendahuluinya dengan sebuah
kalimat dalam bahasa Arab,
"Lau samahti ya Anesa Dina...." 15
"Na'am," Resepsionis bernama Dina tampak terkejut,
"Hadratak bitakallim 'arabi? " 16
"Alhamdulillah, fiin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el
yom?" 17
15 Maaf Nona Dina. (Anesa, atau Anisah adalah sapaan untuk petempuan yang belum menikah)
16 Anda bisa berbahasa Arab?
17 Alhamdulillah, mana Nona Yasmin? Dia tidak datang hari ini?
131

"Heya hategi bil leil, insya Allah." 18
Dina lalu melihat data di komputer. "Kamar Anda 615,
Tuan Furqan"
"Kalau boleh 919."
"Sebentar saya cek dulu."
Furqan menangkap bau semerbak wangi parfum yang
menyengat. Bau itu begitu menteror dirinya. Ia menoleh
ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir
berambut jagung dan berpakaian ketat melintas.
Tangannya digandeng seorang turis bule. Dalam hati ia
istighfar, ia berdoa semoga suatu kali nanti perempuan itu
tahu adab memakai pakaian dan parfum. Mengenai bule
yang menggandengnya ia tidak mau berpurbasangka.
Mungkin itu adalah suaminya. Ia kembali memperhatikan
Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh ke
arahnya.
"Ada isinya, Tuan."
"Kalau begitu coba 819."
"Baik, sebentar."
18 Dia akan datang nanti malam, Insya Allah.
132

Dina kembali melihat layar komputer sementara jari
jarinya menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan
melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga menit.
"Alhamdulillah, kosong!"
"Breakfast -nya sekali saja ya."
"Baik, Tuan."
Dina lalu memasukkan data. Mengambil key card, dan
memasukkannya ke dalam wadah berlipat tiga dari
karton berwarna kuning keemasan. Menuliskan nama
Furqan, nomor kamar dan mengambil kupon merah
muda.
"Ini kunci dan kupon breakfast -nya."
"Mutasyakkir ya Anesa." 19
"Afwan." 20
Furqan memeriksa sebentar key card dan kupon yang ia
terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzan.
Keduanya membalas dengan senyum dan anggukan
ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia
tidak sadar kalau Dina terus mengikuti gerak tubuhnya
sampai hilang ditelan pintu lift.
19 Terima kasih nona.
20 Maaf
133

Furqan naik lift bersama dua turis dari Jepang. Dua
muda-mudi yang sedang melakukan riset tentang alat
transportasi Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa
Kyoto University. Kamar mereka dilantai yang sama
dengan kamar Furqan. Mereka begitu antusias ketika
Furqan menjelaskan dia juga seorang mahasiswa. Furqan
memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa pascasarjana
Cairo University, jurusan tarikh wal hadharah, sejarah dan
peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju kamar
masing-masing, Furqan sempat bertukar kartu nama
dengan mereka.
Sampai di pintu kamar 819, dengan mengucap basmalah,
Furqan membuka pintu kamar dengan key card-nya. Lalu
memasukkan key card-nya ke tempat bertuliskan "insert
your card here" untuk menyalakan listrik. Furqan
langsung merasakan kesejukan dan kemewahan
kamarnya. Kemewahan Eropa kontemporer hasil
perkawinan arsitektur Italia dan Turki modern.
Furqan meletakkan tas jinjing dan tas ranselnya di atas
meja pendek di samping kanan almari televisi. Ia lalu
beranjak membuka tabir jendela kamarnya. Dan
terhamparlah di hadapannya panorama sungai Nil.
Kamarnya tepat menghadap sungai Nil. Dari jendela
kamamya ia bisa melihat hampir semua panorama sungai
Nil. Ke arah utara ia bisa melihat El Tahrir Bridger,
jembatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga
bisa melihat Gezira Sheraton Opera House, Cairo Tower,
134

bahkan menara Television and Broadcasting Studio di
kejauhan.
Ke arah barat ia bisa melihat gedung Papyrus Institute,
arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di
sepanjang tepi barat sungaiNil, membentang dari Giza
hingga Imbaba. Ke arah selatan ia bisa melihat El
Gama'a Bridge, bendera Kedutaan Israel, dan terminal
transportasi air yang letaknya tak begitu jauh dari El
Gama'a Bridge dan tentu saja beberapa menara masjid.
Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara.
Sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini.
Sebab hampir di setiap titik ada masjidnya
Furqan merebahkan badannya di atas springbed.
Punggungnya terasa nyaman. Perlahan-lahan kedua
matanya hendak terpenjam. Tiba-tiba hand phone-nya
berdering mengingatkan saatnya shalat. Ia bangkit,
menggerak-gerakkan badannya untuk melemaskan otot
ototnya lalu duduk di kursi. Di kepalanya telah
tergambar jadwalnya selama berada di hotel. Setelah
wudhu ia akan keluar sebentar untuk shalat Zuhur di
masjid terdekat dari hotel. Ada masjid di dekat Cairo
University Hospital yang terletak di sebelah selatan
Meridien.
Setelah itu istirahat sebentar. Satu jam sebelum Ashar,
bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. Untuk
seterusnya konsentrasi memperdalam isi tesisnya yang
siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya
135

diselingi shalat, makan dan mandi. Selain tesis yang telah
paripurna penyuntingannya, bahan -bahan terpenting
telah ia bawa yaitu beberapa buku penting, data-data
penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta
beberapa data dalam berlembar-lembar fotocopy. Itulah
jadwal yang telah tersusun di kepalanya.
Saat ia bangkit hendak ke kamar mandi telpon yang ada
di kamarnya berdering. Ia kaget, dalam hati ia bertanya
siapa yang telpon, baru saja sampai sudah ada yang
telpon.
"Ya, hello. Ini siapa ya?"
"Ini Sara, Tuan Furqan. "
"Sara siapa ya?"
"Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan
dengan Tuan diperpustakaan dua bulan yang lalu. "
"Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya?"
"Iya benar."
"Kok bisa tahu saya di sini!?" Tanya Furqan heran. Ia
heran bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia ada di
hotel itu dan tahu nomor kamarnya. Apalagi dia adalah
gadis Mesir yang berkenalan tidak di sengaja di
Perpustakaan. Setelah itu tidak pernah bertemu lagi
sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan.
Gara garanya, saat itu perpustakaan penuh. Tidak ada
lagi kursi kosong kecuali satu kursi di dekat seorang
gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca dan
136

menulis hal-hal penting dengan laptop-nya di samping
gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya
bicara dan terjadilah perkenalan itu.
Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai
mahasiswi Cairo University yang tinggal di Mohandisin.
Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara, Tapi ia
minta maaf tidak bisa banyak bicara, sebab banyak yang
harus ditulisnya.
"Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu
koleganya di hotel ini. Saat saya hendak meninggalkan
lobby saya sempat melihat Tuan Furqan di meja
resepsionis. Maka saya tanya pada resepsionis untuk
meyakinkan saya bahwa yang saya lihat tidak salah. Dan
ternyata benar. Sebenarnya saya ingin bertemu langsung
dengan Tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan
seorang teman di Giza. Ini saya menghubungi Tuan di
jalan, dalam perjalanan ke Giza."
"Ada keperluan apa Anda menghubungi saya, Nona?'
"Saya ingin mengundang Anda makan malam bersama?"
"Ya makan malam bersama?"
Furqan kaget, ia baru sekali bertemu dengan gadis Mesir
itu. Tapi gadis Mesir itu bisa tidak lupa padanya. Ia saja
jika bertemu lagi dengan gadis itu di jalan mungkin
sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani
mengundang makan malam. Ia heran. Itu bukanlah
watak asli gadis Mesir. Watak asli gadis Mesir adalah
menjaga diri dengan rasa malu yang berlapis lapis.
137

"Saya mengundang Tuan nanti malam jam 19.30 di Abu
Sakr Restaurant di Qashr Aini Street, tepat di depan
Qashr El Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan Tuan
di perpustakaan itu, saya lalu mencari data lebih jauh
tentang Tuan di bagian kemahasiswaan. Saya jadi
mengetahui banyak hal tentang Tuan. Saya juga sering
melihat Tuan melintas di gerbang kampus, tapi Tuan
pasti tidak tahu. Saya harap Tuan bisa memenuhi
undangan saya malam ini" Suara Sara itu terasa indah
ditelinga. Bahasa 'Amiya Mesir jika diucapkan oleh gadis
Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki
jika diucapkan oleh kaum laki-laki. Furqan berpikir
sejenak lalu menjawab dengan tegas,
"Maaf, mungkin saya tidak bisa Nona. Ada yang harus
saya kerjakan."
"Tidak harus Tuan jawab sekarang. Lihat saja nanti
malam, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak
apa. Namun saya sangat senang jika Tuan bisa datang.
Ini saja Tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu nanti
malam. Syukran."
"Afwan."
Seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan,
kenapa gadis yang baru begitu ia kenal itu
mengundangnya makan malam? Sangat aneh untuk adat
wanita Mesir kebanyakan. Ia merasa heran.
138

"Ah, emang gua pikirin. Gua ke sini bukan untuk
memenuhi undangan makan, tapi untuk persiapan sidang
tesis tiga hari yang akan datang. Ah sekarang shalat,
makan siang, istirahat lalu belajar dengan tenang. " Kata
Furqan pada diri sendiri, meskipun undangan makan
malam dari Sara di salah satu restauran berkelas itu, mau
tidak mau, hinggap juga di pikiran dan menimbulkan
seribu tanda tanya.
Di luar hotel, angin musim semi mencumbui sunga Nil
dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan
dan rasa bahagia.
139

8
SIANG DI KAMPUS
MAYDAN HUSEIN
Usai shalat Zuhur di masjid Al Azhar, Azzam melangkahkan
kakinya menuju kampus Fakultas Ushuluddin, Al
Azhar University. Ia keluar masjid lewat pintu utara.
Menyusuri trotoarAl Azhar Street yang melintas tepat di
utara masjid. Jalan raya itulah yang memisahkan Masjid
Al Azhar dengan kantor Grand Syaikh Al Azhar yang
lama, kantor yang biasa disebut Masyikhatul Azhar.
Masjid Al Azhar, Universitas Al Azhar, pasar tradisional
Al Azhar, serta Mustasyfa 21 Husein berada di sebelah
selatan jalan.
21 Rumah Sakit
140

Sedangkan Masyikhatul Azhar yang lama, Masjid Sayyidina
Husein, Khan Khalili, dan toko buku paling populer
di sekitar kampus Al Azhar yaitu Dar El Salam, berada di
sebelah utara jalan. Lalu lintas di jalan ini cukup padat.
Untuk menghubungkan kawasan utara dan selatan ada
terowongan bawah tanah yang tepat berada di halaman
barat Masjid Al Azhar. Juga ada jembatan penyeberangan
yang berada di sebelah barat toko buku Dar El
Salam. Kawasan ini, semuanya, dikenal dengan Maydan
Husein.
Masjid Al Azhar, dan kampus Universitas Al Azhar yang
lama dikenal berada di kawasan Maydan Husein.
Sedangkan kampus Al Azhar yang baru, termasuk
rektorat Al Azhar berada di Madinat Nasr atau dikenal
juga dengan sebutan Nasr City. Untuk kantor Grand
Syaikh Al Azhar yang baru, berada tepat di sebelah
selatan Daarul Ifta'.
Daarul Ifta' adalah tempat dimana Mufti Mesir
berkantor. Keduanya berdiri tepat di tepi barat Shalah
Salim Avenue, yang membentang dari kawasan Cairo
lama, tepatnya dari kawasan Malik El Shaleh, terus
melintas di depan Benteng Shalahuddin hingga ke
kawasan Abbasea. Shalah Salim Avenue, ini termasuk
jalan raya yang paling terkenal di Cairo, karena banyak
melintasi daerah daerah penting dan bersejarah. Melintas
di kawasan yang dianggap paling tua hingga kawasan
yang dianggap metropolis.
141

Letak Masyikhatul Azhar yang baru dan Daarul Ifta’ tidak
begitu jauh dari kampus Al Azhar, masih bisa ditempuh
dengan berjalan kaki. Tepat di depan Masyikhatul Azhar
yang baru dan Daarut Ifta' terbentang pekuburan terluas
di Cairo. Orang yang pertama kali datang ke Cairo dan
melewati daerah ini tidak akan langsung tahu kalau
kawasan itu adalah pekuburan. Sebab banyak sekali
bangunan berkubah. Beberapa bangunan malah ada yang
bermenara Ternyata bangunan yang berkubah itu adalah
kuburan para khalifah dan orang orang penting. Bagi
umat Islam, pekuburan ini adalah pekuburan tertua
setelah pekuburan yang ada di sebelah timur Mesir lama
atau Fusthath.
Di sebelah timur Mesir lama, ada daerah yang dikenal
dengan sebutan City of the Dead. Sebuah kawasan yang di
situ menyatu antara pekuburan dan perkampungan.
Makam dan Masjid Imam Syafi'i ada di sini. Makam
Imam Waqi' yang dikenal sebagai salah satu guru Imam
Syafi'i juga ada di sini. Imam Zakaria AL Anshari dan
Imam Leits juga dimakamkan di sini. Bahkan makam
Imam Hasan Al Banna juga ada di sini. Kawasan ini
dulunya, merupakan tempat tinggalnya para imam besar.
Di sebelah utara daerah ini ada kawasan pekuburan rajaraja
Mameluk.
Sedangkan pekuburan di depan Masyikhatul Azhar yang
baru dan Daarul Ifta' dikenal sebagai tempat disemayamkannya
Dinasti Qaitbay. Pekuburan ini dikelilingi oleh
beberapa masjid bersejarah. Masjid Sultan Barquq ada di
142

pinggir utara kawasan ini. Sedangkan Masjid Qaitbay
ada di pinggir timur, tepat di samping jalan El Nasr. Dan
di sebelah selatan, beberapa ratus meter di utara Benteng
Shalahuddin berdiri Masjid Emir Khair Bey.
Kawasan ini, sekarang tidak murni sebagai kawasan
pekuburan. Bangunan yang tampak kotak-kotak dan
sebagian berkubah yang memenuhi kawasan itu, banyak
yang telah dijadikan tempat tinggal orang-orang yang
tidak punya tempat tinggal. Daerah ini mungkin bisa
disebut kawasan paling aneh di Cairo, manusia yang
masih hidup bisa sedernikian nyaman dan akrabnya
dengan jasad dan tulang-belulang orang yang telah mati.
Daerah ini bahkan kini nyaris mirip perkampungan.
Namun fungsinya sebagai tempat menguburkan orang
yang merunggal dunia juga masih berjalan. Hampir
semua mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di Nasr
City, jika berangkat kuliah ke Al Azhar pasti melewati
daerah ini.
Bagi mahasiswa Indonesia yang berasal dari Solo, atau
sangat paham, dengan Solo, setiap melintasa kawasan ini
akan diingatkan dengan kawasan pemakaman terluas di
Solo, yaitu makam Bonoloyo. Tidak sama persis memang.
Paling tidak diingatkan akan adanya manusia
yang tinggal sehari-hari di makam Bonoloyo. Makan dan
tidur di Bonoloyo. Sehari-hari hidup di atas kuburan. Hal
itulah paling tidak titik persamaan keduanya.
143

Ia masuk area kampus lewat pintu gerbang sebelah barat.
Seorang duf’ah 22 berseragam putih tersenyum padanya.
Ia membalas dengan senyum seraya mengucapkan salam.
Ia terus melangkah menuju gedung Fakultas Ushuluddin.
Ia berlalan menuju tempat penjualan muqarrar, atau
diktat kuliah. Buku muqarrar Tafsir Tahlili masih kurang
satu.
Tempat penjualan muqarrar Pakultas Ushuluddin itu tak
lain adalah bangunan kecil beeukuran kira-kira 2 X 2
meter. Terbuat dari kayu dan papan. Dicat hijau. Sangat
sederhana untuk nama besar Al Azar, sebagai universitas
tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam. Seorang
penjaga berada di dalamnya. Tempat itu mirip warung
penjual rokok dan makanan kecil di pinggir-pinggir
jalan di Indonesia. Ada pintu kecil tempat penjaga itu
keluar masuk dan ada jendela tempat melayani mahasiswa
yang beli muqarrar.
Tempat peenjualan muqarrar itu agak sepi. Hanya satu
dua mahasiswa yang beli. Memang menjelang akhir
semester, hampir semua mahasiswa telah memegang
muqarrar. Bahkan muqarrar itu mungkin telah habis
dibaca. Kecuali beberapa mahasiswa yang memang
terlambat beli muqarrar, termasuk dirinya.
Buku kedua muqarrar Tafsir Tahlili sebenarnya sudah
keluar satu bulan yang lalu. Namun ia belum sempat
untuk mengambilnya. Karena kondisi pribadinya
22 Tentara wajib militer
144

menghalanginya untuk bisa benar-benar aktif kuliah
seperti mahasiswaAl Azhar pada umumnya. Kesibukan
hariannya membuat tempe dan memasarkannya nyaris
menyita hampir sebagian waktunya di Cairo. Apalagi jika
ada order membuat bakso atau sate ayam dari bapak
bapak atau ibu-ibu KBRI, nyaris ia tidak bisa menyentuh
buku, termasul buku muqarrar yang semestinya ia sentuh.
Kecuali Al-Quran, dalam sesibuk apapun tetap merasa
harus menyentuhnya, membacanya meskipun cuma setengah
halaman lalu menciumnya dengan penuh rasa
takzim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan
beratnya di negeri orang, Al-Quran adalah pelipur dan
penguat jiwa.
Sampai di depan jendela tempat penjualan muqarrar, ia
melongok. Sang penjaga lagi menulis sesuatu di atas
kertas. Angka-angka. Mungkin menghitung uang yang
masuk bulan itu, serta membagi hasilnya pada para dosen
penuhs muqarrar. Ia tampak begitu serius sehingga tidak
memperhatikan kehadirannya.
"Assalamu'alaikum ya Ammu Shabir. " Sapanya dengan
nada nyaris sama dengan nada orang Mesir asli. Ia
sangat kenal nama penjaga itu, meskipun mungkin sang
penjaga tidal mengenalnya.
"Wa'alaikumussalam, lahdhah. " 23 Ammu Shabir menjawab
tanpa melihat ke asal suara.
23 Wa’alaikumussalam, sebentar!
145

Ia tahu Ammu Shabir,24 penjaga buku muqarrar sedang
serius, tidak bisa diganggu. Ia menunggu sambil melihatlihat
beberapa buku yang dipajang di daun jendela
tempat penjualan muqarrar. Yang dipajang biasanya,
buku-buku terbaru karya dosen-dosen Al Azhar
Universi ty, atau buku penting yang dicetak ulang. Ia
perhatikan buku-buku baru itu dengan seksama.
Prof. Dr.Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul Hadi, Guru
Besar Hadis Fakultas Ushuluddin mengeluarkan buku
baru yang sangat menarik, Ahaditsu Mu'jizatir Rasul,
terdiri atas dua juz, dicetak oleh Mathba'ah AL Madani,
kover sampul bukunya cukup sedap dipandang Buku
buku Profesor hadis yang disebut-sebut juga sebagai
salah satu murid Syaikh Nashiruddin AI Albani ini
termasuk yang banyak diminati. Kepakarannya di bidang
sanad dan dibarengi kematangannya dalam fiqhul haditslah
yang membuat karya-karyanya dianggap sangat
berbobot.
Dalam hal fiqhul hadits bahkan banyak yang berpendapat
beliau lebih matang dibandingkan dengan gurunya,
Syaikh Jashiruddin Al Albani sekalipun. Prof. Dr. Thal'at
Muhammad Afifi Salim, Guru Besar Fakultas Dakwah,
menulis buku baru berudul "Akhlaqut Du'at Ilallah, An
Nadhariyyah wat Tathbiq. " Buku itu berwarna biru tua.
Judulnya ditulis dengan warna kuning keemasan.
Diterbitkan oleh Maktab Al Iman, penerbit yang bermarkas
dibelakang kampus Al Azhar, disebuah lorong
24 Ammu, artinya paman
146

sempit, dikenal dengan hargan ya yang selalu murah dari
yang lain.
Sementara Sang Maestro Ilmu Tafsir Universitas Al
Azhar, Prof. Dr. Ibrahim Khalifah menulis buku "Ad
Dakhil fit Tafsir", diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin.
Buku tersebut bersampul putih polos tanpa hiasan apa
pun. Buku maestro tafsir ini, meskipun tanpa hiasan dan
desain sampul yang memikat tetap menunjukkan
kelasnya. Nama Ibrahim Khalifah adalah jaminan
kualitas.
Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq, Guru Besar Filsafat, JeboIan
Muenchen University, Jerman, yang dikenal pakar
Orientalis menerbitkan kembali bukunya berjudul "Al
Istisyraq wal Khalfiyyah Al Fikriyyah Lish Shira' Al
Hadhari", diterbitkan oleh Dar El Manar, penerbit yang
bermarkas di samping Masjid Sayyidina Husein.
Ia memandangi buku-buku itu dengan mata berkacakaca.
Ingin sekali rasanya memiliki buku buku baru itu,
lalu melahapnya dengan penuh konsentrasi seperti tahun
pertama hidup diMesir dulu. Tahun pertama yang indah,
saat ia bisa menggunakan waktunya untuk belajar, bisa
melampiaskan obsesinya membaca buku sebanyak
banyaknya.
Dulu, saat ia tidak harus membanting tulang dan
memeras keringat dan otak untuk mempertahankan
hidupnya dan adik-adiknya di Indonesia. Ia hanya
berdoa, semoga kesempatan untuk belajar dan membaca
147

dengan serius itu datang lagi, suatu hari nanti. Dan
semoga waktu yang ia jalani selama di bumi Kinanah ini
tetap diberkahi oleh Dzat yang mengatur hidup ini.
"Na'am ya Andonesi Enta ‘ais eh?"25 Suara penjaga
membuyarkan keasyikannya melihat buku-buku yang
terpajang di daun jendela tempat penjualan muqarrar.
"Muqarrar Tafsir Tahlili juz dua, jurusan tafsir, tahun
empat." Ia menjelaskan spesifikasi buku muqarrar yang
ia maksud.
"Mana juz pertamanya, kamu bawa?"
Ia membuka tas ranselnya, dan mengeluarkan buku
berwarnabiru muda.
"Ini"
Sang penjaga lalu membuka halaman paling akhir. Ia
mencoret stempel bertuliskan "masih ada juz kedua"
dengan tinta merah. Kemudian mengambil sebuah buku
yang juga berwarna biru muda.
"Tafadhal, kudz dza ya Andonesi."26
Ia menerima dua buku yang diulurkan oleh penjaga, dan
memeriksanya sebentar. Tak perlu membayar lagi, sebab
telah ia bayar saat membeli juz satu.
25 Orang Indonesia, apa yang kau inginkan?
26 Silakan ambil ini, hai orang Indonesia.
148

"Syukran ya Ammu."27
"Afwan. "
Ia lalu melangkah menapaki tangga di depan pintu
masuk. Di sana ia mendapati pengumuman ditulis
dengan spidol warna hitam dan biru. Pengumuman
sidang terbuka ujian disertasi doktor seorang mahasiswa
jurusan hadis dari Syiria. Ia baca pengumuman itu
dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Ia tak sanggup
membayangkan, mungkinkah suatu saat nanti namanya
ditulis dalam sebuah pengumuman seperti itu.
Pengumuman yang membanggakan, untuk diri sendiri
dan bangsa. Pengumuman yang dibaca oleh mahasiswa
dari pelbagai penjuru dunia. Ia hanya bisa mendesah
untuk kemudian pasrah pada takdir. Bisa lulus S.1 tahun
ini saja sudah alhamdulillah.
Dulu di awal tahun masuk Al Azhar, ia mungkin adalah
mahasiswa Indonesia paling idealis. Begitu namanya
tercatat sebagai mahasiswa Al Azhar Pakultas
Ushuluddin, dan begitu ia terima kartu mahasiswa,
seketika ia proklamirkan sebuah cita-cita: AKU TAK
AKAN PULANG KE INDONESIA SEBELUM
MENGONDOL DOKTOR. DAN AKAN AKU BIKIN
REKOR SEBAGAI DOKTOR TERCEPAT DI AL
AZHAR!
Saat itu ia langsung teringat nama-nama besar jebolan
Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar. Nama-nama
27 Terima kasih, paman.
149

yang sangat terkenal di dunia Islam: Syaikh Abdul Halim
Mahmud, Syaikh Muhammad Ghazali, Syaikh Yusuf AL
Qardhawi, Syaikh Abdullah Darraz, Prof. Dr. M. M. Al-
Azami, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Prof. Dr. Hamdi
Zaqzuq, Prof. Dr. Abdu1 Muhdi, dan lain sebagainya.
Sementara dari Indonesia ada nama yang sangat terkenal
yaitu Prof. Dr. M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Roem
Rowi. Mereka berdua adalah lulusan Fakultas
Ushuluddin Al Azhar University.
Ia masih ingat dulu, di atas meia belajarnya ia menuIis
semboyan yang membuatnya selalu bersemangat,
semboyan yang selalu membuatnya merasa optimis:
AKU HARUS MENGUKIR SEJARAH! Ia lalu menulis
nama-nama besar itu dan di deret paling akhir ia menulis
namanya sendiri: Prof. Dr. Khairul Azzam, MA. Ia tidak
pernah mempedulikan beberapa respon miring dari
teman-temannya atas ulahnya itu. Baginya itu adalah
bagian dari strateginya untuk menjaga semangat belajar
dan mengejar cita-citanya.
Ia tesenyum sendiri mengingat itu semua. Kini semuanya
jadi kenangan manis. Ia sangat sadar, betapa jauhnya ia
saat ini dari cita-citanya. Semuanya telah berubah. Ia
tidak bisa lagi konsentrasi seratus persen pada mata
kuliah. Saat ini konsentrasinya lebih banyak tercurah
bagaimana mencari uang untuk hidupnya sendiri di
Cairo, juga kelangsungan hidup adik-adiknya di
Indonesia. Ia lebih banyak pergi ke Pasar Sayyeda
Zaenab untuk membeli bahan dasar membuat bempe dan
bakso daripada ke kampus untuk kuliah dan
150

mendengarkan uraian ilmiah para guru besar yang
sesungguhnya sangat-sangat ia cintai.
Tak terasa matanya berkaca-kaca. Dengan cepat ia
menghapus air matanya yang mau keluar. Kenapa ia
harus meneteskan air mata. Apa yang harus ditangisinya.
Ia langsung tersadarkan, kesuksesan sejati tidaklah
semata-mata hanya bisa diraih dengan meraih gelar
Profesor Doktor. Dan kebahagiaan sejati tidak harus
berupa nama besar yang disebut di mana-mana. Ia harus
tahu siapa dirinya dan seperti apa kondisi dirinya agar
tidak menzalimi dirinya sendiri.
Ia lalu masuk ke gedung Fakultas Ushuluddin. Beberapa
mahasiswa lalu laIang. Ada yang turun dari lantai atas,
ada yang mau naik ke aias. Ada yang baru dari bagian
kemahasiswaan dan ada yang bergegas keluar mau
pulang. Ketika ia mau naik lantai satu, sekonyongkonyong
ia mendengar seseorarlg memanggil nama
terkenalnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo.
"Kang Insinyur!"
Ia menoleh ke asal suara. Seseorang melangkah ke
arahnya sambil tersenyum. Ia pun tersenyum. Ia tidak
pernah protes dipanggil "Kang Insinyur", atau "Kang
Ir.", terkadang ada juga yang membahasa-arabkan jadi
"Kang Muhandis". Tapi orang-orang satu rumahnya
biasa memanggil "Kang Azzam."
151

Pada mulanya panggilan insinyur adalah panggilan
ledekan dari teman-teman satu angkatan, karena kepintarannya
membuat tempe dan bakso. Mereka menyebutnya
insinyur tempe bakso, seringkali disingkat Ir. Tempe
atau Ir. Bakso. Lama-lama tinggal insinyur. Tempe dan
baksonya tak ada. Dan setiap kali ada acara dia selalu
dikenalkan dengan nama "Kang Insinyur Khairul" atau
"Kang Insinyur Irul".
Sekarang panggilan insinyur jadi kebanggaan sekaligus
hiburan baginya. Seringkali ia mendapat undangan dari
organisasi kekeluargaan dan di sana tertulis: Yth. Mas Ir.
H. Khairul Azzam. Siapa tidak bangga tanpa sekolah di
fakultas teknik sudah dapat gelar Ir. alias insinyur
Apapun kata orang tentang dirinya, selama ia merasa
dirinya tidak berbuat yang dilarang Allah ia tidak pernah
peduli. Dalam hal ini ia selalu dimotivasi oleh perkataan
Pythagoras, seorang filsuf dan ahli matematika Yunani
yang hidup 580-800 S.M. Pytagoras pernah berkata:
"Tetaplah puas melakukan perbuatan yang baik. Dan
biarkanlah orang lain membicarakan dirimu sesuka mereka. "
"Hei kamu tho Mif, piye kabarmu?"28
"Alhamdulillah, baik-baik saja Kang."
Keduanya lalu berjabat tangan.
"Tumben kuliah Kang?"
28 Apa kabar?
152

"Nggak kuliah kok Mif. Ini baru datang. Ngambil
muqarrar. Trus mau nemui si Khaled, anak Mesir yang
satu kelas denganku. Mau minta tahdid. Aku janjian
dengannya di Mushala."
"Kang, ada berita menarik?"
"Apa itu? Nanti malam ada Syaikh Yusuf Al Qardhawi di
Darul Munasabat 29 Masjid Utsman bin Affan, Heliopolis.
Kalau mau datang, shalat Maghrib di sana. Tempat terbatas.
Sampeyan kan pengagum abis Yusuf Al Qadhawi."
"Nggak tau ya Mif, bisa datang apa nggak ya nanti
malam."
"Sayang lho Kang kalau nggak datang. Apalagi selain
Syaikh Yusuf- Al Qardhawir ada Prof. Dr. Murad
Wilfred Hofmann, Mantan Dubes Jerman untuk Maroko
yang masuk Islam dan kini jadi pembela Islam di Eropa.
Temanya tentang Umat Islam dan Tatanan Dunia Baru. "
"Wis, doakan aja bisa datang Mif, eh itu yang kamu
pegang apa Mif, tashdiq ya?"
"Iya Kang, ini tinggal minta stempel."
"Cari tashdiq untuk apa Mif? Mau umrah?"
"Nggak Kang. Ini untuk memperpanjang visa. Bulan
depan habis."
"O, kirain mau umrah lagi. Kalau umrah lagi kan bisa
nitip. "
29 Gedung serba guna
153

"Doakan Kang, habis ujian nanti saya mau umrah, insya
Allah."
"Masih bisa nitip kan?"
"Sama Miftah beres deh Kang. Saya jalan dulu Karg, mau
nyetempelin ini nih. Nanti keburu tutup bagian Stempel.
Ketemu diHeliopolis nanti malam Kang"
"Semoga. Salam untuk teman-teman di Darmalak ya
Mif'"
"Insya Allah Kang."
Ia mengiringi langkah Miftah dengan senyum. Miftah,
empat tahun lalu dia yang menjemput di Bandara. Dia
iuga yang membimbingnya empat bulan pertama hidup
di Mesir. Setelah itu pindah ke Darmalak bersama kakakkakak
kelasnya dari Pesantren Maslakhul Huda, Pati.
Kini Miftah sudah di tingkat akhir sama dengan dirinya.
Selama ini hubungannya dengan teman -teman dari Pati
di Darmalak seperti layaknya saudara. Miftah sudah ia
anggap seperti adiknya sendiri. Hanya saja kesibukannya
membuat tempe sekaligus memasarkannya ke pelbagai
titik di Kota Cairo membuatnya tidak punya banyak
waktu untuk silaturrahmi.
Ia sendiri mengakui, bahwa silaturahminya ke Darmalak
seringkali dilakukannya bila ada teman Darmalak yang
mau pergi umrah atau haji. Atau saat ada yang datang
dari umrah atau haji. Ia seringkali nitip dibelikan ragi di
Tanah Suci. Di Mesir ia telah mencari ke sana kemari,
154

tidak ada yang menjual ragi yang merupakan bahan
utama untuk membuat tempe.
Selain ragi, ia biasanya juga nitip kecap dan saos yang
sangat penting baginya dalam menyajikan baksonya saat
dipesan orang-orang KBRI. Kecap juga tidak bisa ia
tinggalkan saat membuat sate ayam. Dan ia tidak bisa
menggunakan sembarang kecap. Kecap Cap Jempol
buatan Boyolali yang ia anggap paling pas untuk racikan
bumbunya. Dan kecap Cap Jempol itu tidakbisa ia
dapatkan di Mesir. Kecap itu bisa didapatkan dari Toko
Asia, dekat Pasar Seng di Makkah. Teman-teman yang
pergi umrah atau hajilah yang menjadi penolongnya
dalam mendatangkan kecap Cap Jempol itu. Biasanya
sebagai ucapan terima kasih dia akan membawakan
beberapa lembar tempe untuk mereka.
Di Cairo, tempe termasuk makanan istimewa bagi
mahasiswa Indonesia. Sama istimewanya dengan daging
ayam. Bahkan jika disuruh memilih antara telor dan
tempe, banyak mahasiswa Indonesia yang lebih memilih
tempe.
Ia terus melangkah menuju mushala. Ada yang menyesak
dalam dada. Kabar adanya ceramah Dr. Yusuf Al
Qardhawi yang datang dari Qatar bersama Dr. Murad
Wilfred Hofmann di Heliopolis membuncahkan keinginannya
untuk hadir, tapi ia merasa itu sulit. Ulu
hatinya seperti tertusuk paku. Pedih dan ngilu. Ia harus
bersabar dengan pekerjaan rutinnya mengantar tempe ke
beberapa tempat. Masakin Utsman, Abbas Aqqad, dan
155

Hay El Thamin. Paling cepat selesai jam seembilan
malam. Ia tidak mungkin mengejar ke Heliopolis.
Matanya kembali berkaca-kaca. Ada yang terasa
menyesak dalam dada. Sebenarnya sangat ingin ia
bertemu langsung dengan Dr. Yusuf Al Qardhawi.
Ulama moderat jebolan Al Azhar yang sangat brilian
pemikiran- pemikirannya. Ia juga sangat ingin bertemu
Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann. Bukunya berjudul
Islam fil Alfiyyah Ats Tsalitsah atau Islam di Millineum
Ketiga, yang sempat ia baca dua puluh lima halaman saja
itu sangat mengesan di hatinya. Dan ia harus rela
menelan rasa pahit. Keinginannya yang sesungguhnya
sangat besar itu harus ia simpan rapat -rapat di dalam
satu ruang mimpinya.
Itu bukan rasa pahit yang pertama ia rasakan. Telah
berkali-kali ia merasakan hal seperti itu. Ia hanya
berharap semoga suatu kelak nanti Alkah memberikan
gantinya. Jika pun ia harus pulang ke Tanah Air nanti
dengan bekal yang pas-pasan karena hari-harinya lebih
banyak ia habiskan usaha berjualan tempe, bakso dan sate
daripada membaca kitab, menghadiri kuliah, seminar dan
diskusi, ia berharap yang pas-pasan, yang sedikit itu
berkah dan bermanfaat. Harapan itulah yang menghibur
hatinya.
Ia terus melangkahkan kakinya menuju mushala fakultas.
Ia berharap semoga Khaled, mahasiswa Mesir itu masih
berada di mushala. Biasanya mahasiswa berwajah putih
bersih dari Desa Sanhur yang terletak antara Kota El
156

Faiyum dan Danau Qarun itu me-muraja'ah 30 hafalan
Quran-nya di mushala. Setiap hari habis shalat Zuhur. Ia
akrab dengannya sejak berkenalan dengannya di acara
itikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan di Masjid
Ar Ridhwan, Hayyu Tsabe tahun lalu. Sudah beberapa
kali Khaled mengunjungi flatnya dan sudah dua kali ia
diajak Khaled ke desanya sekaligus melihat Danau Qarun
yang letaknya hanya beberapa kilo dari desanya. Tempat
yang kini berwujud danau itu diyakini sebagai tempat
ditenggelamkannya seluruh harta Qarun ke dalam bumi
oleh Allah karena Qarun mengingkari nikmat Allah.
Danau itu kini jadi salah satu tempat wisata yang cukup
terkenal di Mesir.
Ia terus melangkah Mushala ada di depan mata. Tiga
mahasiswa dari Rusia keluar dari mushala. Seorang
mahasiswa berkulit hitam sedang melepas sepatunya.
Masih ada jamaah yang sedang shalat. Ia masuk dengan
tenang. Hatinya senang ketika matanya menangkap
sosok berjalabiyah putih dan berkopiah putih duduk di
salah satu sudut mushala menghadap kiblat. Matanya
terpejam dan mulutnya komat -kamit melantunkan ayat
ayat suci Al-Quran dengan irama cepat. Ia mendekat.
Benar dugaannya. Sosok itu adalah Khaled.
Ia meletakkan tas, dan duduk di samping Khaled.
Punggungnya ia rebahkan ke dinding mushala. Kedua
kakinya ia selonjorkan. Ia menarik nafas pelan. Memejamkan
mata. Lalu larut khusyuk mendengarkan bacaan
30 Mengulang hafalan Al -Quran agar tidak lupa.
157

ayat-ayat suci Al-Quran. Bacaan yang cepat, fasih dan
enak didengar. Tidak keras juga tidak lirih. Ia menyimak
dengan sepenuh hati. kesejukan yang tiada terkira. Kesejukan
yang melebihi embun pagi musim semi
Sepuluh menit kemudian bacaan ayat-ayat Ilahi itu
berhenti. Ia membuka mata dan menyapa,
"Assalamu'alaikum ya Akhi."
Khaled menolehke arahnya. Sedikit kaget.
"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah. Masya Allah, Akhi
Azzam, sudah lama?"
Khaled selalu menyambutnya hangat dan selalu
memanggilnya dengan sebutan akhi di depan namanya,
Azzam. Itulah nama yang ia kenalkan pada Khaled saat
pertama kali kenalan tiga tahun yang lalu. Setiap Khaled
memanggil namanya, ia merasakan ada keakraban yang
kuat terjaga.
"Ada sedikit waktu untuk bincang-bincang, Akhi
Khaled?"
"Tentu, dengan senang hati. Seluruh waktuku untukmu
Akhi. "
"Bisa dijelaskan tahdid yang telah ada. Mana-mana yang
muhim, muhim jiddan, makhdzuf, dan mana yang qiraah
faqad?"
"Dengan senang hati, ya Siddi." 31
31 Siddi, tuanku.
158

Khaled lalu membuka buku catatannya, dan menjelaskan
kepada Azzam tahdid semua mata kuliah yang telah ia
dapatkan selama mengikuti kuliah. Ia menjelaskan satu
per satu dengan detil dan sabar. Ia juga memberi
kesempatan kepada Azzam untuk bertanya. Dan semua
pertanyaan ia jawab panjang lebar, sampai Azzam merasa
puas.
"Ada hal lain yang bisa saya bantu ya Syaikh Azzam.? "
"Cukup, insya Allah. Jangan kapok kalau saya tanya iniitu."
"Ana fi khidmatik ya Siddi."32
"Jazaakallah khairan."33
"Sekarang gantian saya. Sebenarnya sejak dua hari yang
lalu aku mencarimu untuk suatu urusan. Boleh kan saya
menyampaikan sesuatu padamu?"
"Dengan senang hati jika ada yang bisa saya bantu. "
"Masih ingat kunjunganmu ke kampungku dua bulan
yang lalu? "
"Ya. Kunjungan yang menyenangkan. Kampung yang
menenteramkan. Dan sambutan yang hangat dan penuh
persaudaraan. Saya sangat terkesan. Jazakumullah khaira."
"Ingat ketika engkau kubawa ke rumah Syaikh Abbas? "
32 Saya selalu siap membantumu, Tuanku.
33 Semoga Allah membalas (kebaikanmu) dengan kebaikan.
159

"Yang Imam masjid itu?"
"Tepat."
"Ingat saat kita dijamu dirumanya."
"Masya Allah, jamuan yang tidak akan pernah saya
lupakan. Keluarga yang ramah dan sangat berpendidikan."
"Ingat seseorang yang menyajikan makanan dan
minuman."
"Isteri Syaikh Abbas dan seorang perempuan bercadar."
"Kau tahu siapa perempuan bercadar itu?"
"Mungkin puteri beliau. "
"Tepat."
"Ada apa dengan puteri beliau?"
"Begini, Saudaraku...."
Belum sempat Khaled menjelaskan lebih lanjut, seorang
mahasiswa Mesir memakai jubah seragam khas Al Azhar
memanggil Khaled dari pintu mushala,
"Ya Khaled, sur'ah! " 34
"Ada apa?"
"Doktor Yahya memanggilmu di ruang kerjanya. Kau
harus ke sana sekarang. Penting!"
"Sekarang?"
"Ya ayo cepat. Beliau tergesa-gesa mau ada urusan!"
34 Khaled, cepat!
160

"Mmm. Baik"
Khaled memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam
tas. Lalu berkata pelan, "Akhi Azzam, afwan, saya tinggal
dulu. Kita lanjutkan pembicaraan kita di lain kesempatanya."
"O ya baik. Salam buat Doktor Yahya."
"Insya Allah."
Khaled bergegas keluar. Sementara Azzam, ia terpekur di
mushala dengan sebagian hati didera penasaran: apa
sesungguhnya yang akan dibicarakan Khaled tentang
putri bungsu Syaikh Abbas itu? Sementara sebagian
hatinya yang lain telah mengembara di Pasar Sayyeda
Zainab. Ya ia harus ke sana untuk belanja bahan baku
membuat tempe dan bakso. Ia harus ke sana jika ingin
tetap bisa hidup dan menyelesaikan kuliah di Cairo.
161

9
PERJALANAN
KE SAYYEDA ZAINAB
Azzam melihat jam tangannya. Sudah seperepat jam ia
menuggu, bus ke Sayyeda Zaenab tidak juga datang,
padahal bus ke Atabah sudah berkali-kali lewat. Halte
bus di depan Masjid Al Azhar itu ramai manusia. Sebagian
duduk di kursi halte, tapi yang berdiri jauh lebih
banyak. Bus jurusan Imbaba datang. Orang-orang
berlarian naik. Seorang ibu-ibu sekuat tenaga berusaha
menggapai pintu bus. Tangannya telah meraih pegangan,
dan ketika kakinya hendak naik, bus itu berjalan. Ibuibu
itu tidak melepaskan pegangannya. Jadilah ia terseret.
Para penumpang dan orang-orang yang melihatnya
berteriak-teriak marah. Seorang lelaki setengah baya
berteriak keras marah,
162

"Hasib ya hayawan! " 35
Bus itu berhenti, dan sang sopir tertawa nyengir tanpa
terlihat berdosa sama sekali. Ibu-ibu berhasil naik dan
kemarahannya tidak juga berhenti. Azzam melihat hal ltu
dengan hati sesak. Sudah tak terhitung lagi ia melihat
kejadian seperti itu. Seorang turis bule tampak asyik
mengabadikan adegan kekonyolan. Tampaknya turis itu
mendapatkan oleh oleh yang sangat unik untuk dia bawa
ke negaranya. Azzam merasakan dadanya semakin sesak.
Layakkah kekonyolan semacam ini terjadi di depan
kampus Islam tertua di dunia? Tanyanya dalam hati.
Bus jurusan Imbaba itu telah hilang dari pandangan. Tak
lama sebuah bus datang. Ia sangat akrab dengar nomor
bus itu. Delapan puluh coret. Bus yang sangat legendaris
dan terkenal bagi mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal
di kawasan Hayy El Ashir. Legendaris karena murahnya.
Jauh dekat sama saja. Cuma sepuluh piester. Apa
tidak murah. Dan terkenal, karena lewat jalur strategis
bagi mahasiswa. Bus itu dari Hayyul Ashir Nasr City
melewati Hayyu Thamin, Masakin Ustman, Kampus Al
Azhar Nasr City, Muqowilun, Duwaiqoh, Kampus Al
Azhar Maydan Husein, dan berakhir di Attaba.36 Selain
itu, juga terkenal karena sering terjadi pencopetan di
dalamnya. Maka seringkali mahasiswa Indonesia me-
35 Hati-hati, jangan sembrono, hei hewan!
36 Tahun 2006 route bus delapan puluh coret berubah jadi: Hayyul Ashir Nasr City-
Hayyu Thamin- Masakin Ustman-Kampus Al Azhar Nasr City- Muqowilun- Duwaiqoh-
Buuts-Darrasah.
163

nyebutnya, "bus delapan puluh copet", bukan "delapan
puluh coret". Meskipun demikian, bus itu tetap saja
dicintai dan dekat di hati.
Begitu delapan puluh coret berhenti, dari pintu depan
banyak penumpang yang turun. Dan di pintu belakang
penumpang berjejal naik. Ia melihat seorang dosen ikut
berdesakan naik. Ia amati dengan seksama, ternyata Prof.
Dr. Hilal Hasouna, Guru Besar Ilmu Hadis. Ia selalu
dibuat takjub oleh sikap tawadhu' dan kesahajaan para
syaikh dan guru besar Universitas Al Azhar. Di
Indonesia mana ada seorang guru besar yang mau
berdesakan naik bus.
Perlahan delapan puluh coret pergi. Lima detik kemudian
datang bus bernomor enam puluh lima. "Ini dia," desis
Azzam lirih. Hatinya begitu lega dan bahagia. Selalu saja
di dunia ini, jika seorang menanti sesuatu dan sesuatu
yang dinanti itu hadir, maka hadir pulalah kebahagiaan
yang susah dilukiskan. Di antara bus-bus yang lain, enam
puluh lima adalah yang paling dicintai Azzam. Karena
bus itulah yang senantiasa mengantarkannya ke Pasar
Sayyeda Zaenab. Bus itu telah menjadi alat yang sangat
akrab dalam menunjang bisnisnya. Bisnis tempe dan
bakso.
Begitu bus berhenti beberapa orang naik dari pintu
belakang. Azzam ikut naik. Bus tidak penuh sesak. Tidak
ada penumpang yang berdiri. Namun tidak banyak
tempat duduk yang kosong. Semua penumpang yang
baru naik, mendapatkan tempat duduk, kecuali Azzam. Ia
164

harus berdiri. Bus beranjak pergi menyusuri Al Azhar
Street. Azzam berdiri agak di tengah. Sekilas ia melihat
ke depan. Beberapa mahasiswi Asia Tenggara duduk di
barisan depan.
"Mungkin mereka juga mau belanja di Sayyeda Zaenab. "
Gumamnya dalam hati.
Ia yakin mereka mahasiswi Indonesia, meskipun tidak
menutup kemungkinan ada mahasiswi Malaysia. Yang
lebih sering kreatif belanja ke Pasar Sayyeda Zaenab
biasanya mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia.
Sementara mahasiswa dan mahasiswi dari Malaysia lebih
memilih belanja di tempat yang dekat dengan flat mereka
di Nasr City, seperti Swalayan Misr wa Sudan di Hayye
El Sabe. Meskipun tentu saja harganya lebih mahal.
Perlahan bus beranjak menyusuri Al Azhar Street. Dari
jendela Azzam bisa melihat bangunan -bangunan tua
yang kusam. Di antara bangunan itu banyak yang
dijadikan toko dan gudang tekstil. Sampai di El Muski
belok kiri menyusuri Port Said Street.
Bus terus melaju melewati Museum of Islamic Art. Di halte
dekat Maidan Ahmad Maher bus berhenti. Seorang
perempuan Mesir turun. Tak ada penumpang naik. Bus
kembali berjalan. Azzam duduk di kursi yang baru saja
ditinggal perempuan Mesir. Kursinya masih terasa
hangat. Ia merasa lega. Sekilas ia tahu bahwa yang duduk
di sampingnya adalah seorang mahasiswi Asia Tenggara.
Ia tak merasa harus menyapa. Pikirannya sudah ada di
165

Pasar Sayyeda Zaenab. Ia melihat jam tangannya. Ia
berharap tidak terlambat sampai disana. Kalau terlambat
ia akan bertambah lelah karena tidak mendapatkan
barang yang ia inginkan.
"Semoga Ammu Ragab belum pulang" doanya dalam
hati. Jika Ammu Ragab pedagang kedelai itu sudah
pulang ia harus ke Pasar Attaba. Harga kedelai di Attaba
lebih mahal dan kualitas kedelainya di bawah Sayyeda
Zaenab. Dan ia sebagai produsen ingin memberikan yang
terbaik kepada konsumen. Terbaik dalam harga, juga
terbaik dalam kualitas barang. Selisih harga sekecil
apapun harus ia perhatikan. Ia memang berusaha
seprofesional mungkin. Meskipun cuma bisnis tempe.
Ia ingin memposisikan diri sebagai produsen tempe
terbaik dan termurah. Ia berusaha memposisikan
tempenya adalah tempe dengan kualitas kedelai nomor
satu. Rasa nomor satu. Rasa khas tempe Candiwesi
Salatiga yang sangat terkenal itu. Dan kelebihan lainnya
adalah bentuknya paling besar di antara tempe yang lain,
isinya paling padat, dan harganya paling murah. Inilah
uniquiness yang dimiliki hasil produksinya. Keunikan
inilah yang menjadi positioning bisnisnya. Dan ia akan
terus mempertahankan positioning ini terus terukir dalam
benak para pelanggannya. Sehingga para pelanggan itu
percaya penuh padanya dan pada produk- produknya.
Untuk menjaga hal itu memang perlu keseriusan dan
kerja keras. Tidak hanya konsep dalam pikiran atau di
atas kertas. Ia teringat satu ajararan dari Cina kuno:
166

"Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika
kamu bekerja keras dan tidak keburu mati dulu"
Ajaran itu senada dengan kata mutiara bangsa Arab yang
sangat dahsyat: Man jadda wajada. Siapa yang
besungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang
diharapkannya.
Bus terus berjalan.
"Maaf, Anda dari Indonesia ya? "
Ia mendengar suara pelan dari sampingnya.
"Iya benar. Anda juga dari Indonesia?" Jawabnya tenang.
"Iya. Maaf, kalau boleh tanya toko buku Daarut Tauzi'
itu di mana ya?"
"Sebentar." Ia melihat ke depan dan ke kiri jalan.
"Halte depan. Sebelah kiri jalan ada tulisannya kok.
Pokoknya kira-kira seratus meter dari Masjid Sayyeda
Zaenab." Lanjutnya
"Terimakasih."
"Sama-sama. Belum pernah ke Daarut Tauzi'ya?"
"Iya belum pernah. Biasanya saya beli buku di toko toko
buku dekat kampus Al Azhar Maydan Husein"
"Oo."
Setelah itu keduanya diam. Masing-masing mengikuti
pikirannya sendiri. Setiap kali bertemu dengan mahasiswi
Indonesia Azzam langsung teringat dengan kedua
167

adiknya yang sudah gadis. Husna dan Lia. Husna pastilah
sudah saatnya menikah. Dan Lia telah meninggalkan
masa remaja. Genap sembilan tahun sudah ia tidak
bertemu mereka berdua. Adapun adiknya yang ketiga, si
Bungsu Sarah, sudah masuk usia sembilan tahun. Ia sama
sekali belum pernah melihatnya, kecuali lewat foto. Saat
ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada
dalam kandungan ibunya. Seperti apakah wajah ketiga
adiknya itu.
"Semoga ada jalan untuk pulang. Aku rindu pada mereka.
Juga pada ibu," katanya dalam hati. Dan jalan pulang
yang paling realistis baginya adalah membuat tempe
sebanyak-banyaknya, dan berdoa semoga mendapatkan
order membuat bakso yang juga sebanyak-banyaknya.
Hasil dari usahanya itu akan ia gunakan membeli tiket.
Jika kurang semoga bisa minta bantuan ke Baituz Zakat
yang berkantor di Muhandisin. Namun sesungguhnya
dalam hati ia ingin bisa membeli tiket sendiri tanpa
minta bantuan kepada siapapun. Itu berarti ia harus
benar benar membanting tulang dan memeras keringat.
Di samping itu semua, yang paling penting adalah, ia
harus selesai S.1 tahun ini. Jika tidak, rencana pulang
akan berantarakan. Ia harus menahan rindu satu tahun
ke depan. Dan ia tidak mau hal itu terjadi.
Maka ia harus melakukan sesuatu.
Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus
melakukan sesuatu! Demikianlah kata Johann Wolfgang
168

von Goethe yang pernah disitir Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq
dalam kuliahnya.
Sekali lagi ia harus melakukan sesuatu. Yaitu bekerja
lebih serius, belajar lebih serius, dan berdoa lebih serius.
Tak ada yang lain.
Tak terasa bus telah sampai di depan Masjid Sayyeda
Zaenab. Azzam harus turun, karena bus akan ke
Termimnal Abu Raisy dan tidak melewati pasar. Para
penumpang turun. Lima orang mahasiswi itu turun,
termasuk yang duduk di samping Azzam. Azzam yang
paling akhir turun. Beberapa mahasiswi menengok ke
kiri dan kanan.
"Maaf Daarut Tauzi'-nya ke sana ya?" mahasiswi
berjilbab biru muda yang tadi duduk di sampingnya
kembali bertanya padanya.
Reflek Azzam memandang wajahnya sekilas. Subhanallah,
cantik. Mahasiswi Indonesia di Cairo ada yang cantik
juga. Bahkan ia merasa belum pernah melihat wanita
Indonesia secantik gadis berjilbab biru muda ini. Azzam
cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Lalu dengan
memandangke arah Daarut Tauzi', ia menjelaskan ke
mana mereka harus melangkah dan bagaimana ciri-ciri
gedungnya. Daarut Tauzi' me mang tidak terlalu
kelihatan lazimnya toko buku. Sebab, tempatnya ada di
lantai dua sebuah gedung agak tua
"Syukran, ya."
169

"Afwan. O ya sampaikan salam buat Hosam Ahmad.
Penjaga Daarut Tauzi. "
"Dari siapa?"
"Katakan saja dari thalib dzu himmah. 37 Dia pasti tahu."
"Insya Allah. " Jawab gadis berjilbab biru muda itu. Ia dan
teman-temannya menuju ke arah yang dijelaskan Azzam.
Sementara Azzam langsung bergegas ke pasar. Ia
melewati masjid. Pasar itu ada di sebelah selatan masjid.
* * *
Pasar Sayyeda Zaenab masih ramai meskipun tak seramai
ketika pagi hari, sebelum Zuhur. Beberapa pedagang ikan
dan daging ayam sudah mengemasi tempat mereka.
Dagangan mereka telah ludes. Azzam langsung menuju
kios Ammu Ragab. Ammu Ragab memang khusus
menjual segala jenis tepung, kacang-kacangan dan beras.
Ia menjual kacang jenis ful sudani, ful soya, adas dan lain
sebagainya.
"Assalamu'alaikum ya Ammu."
"Wa 'alaikumussalam, o anta ya Azzam. Kaif hal ?"38
"Ana bi khair. Alhamdulillah. Andak ful shoya ?"39
37 Mahasiswa yang memiliki cita-cita.
38 Kamu Azam. Apa kabar?
39 Saya baik-baik saja. Alhamdulillah. Masih punya kacang kedelai?
170

"Thab'an 'andi. 'Aisy kam kilo?"40
"Khamsah wa 'isyrin kilo kal ‘adah. "41
Azzam lalu menjelaskan sebentar. Karena waktu sudah
dekat Ashar, ia akan mengambiI barangnya setelah
shalat Ashar. Setelah itu ia berrgegas ke kios penjual
daging. Ia sudah pesan daging tadi pagi lewat telpon.
Jika tidak pesan, jelas ia tidak akan mendapatkan daging
yang diinginkan. Ternyata kios penjual daging sudah
siap tutup. Dagingnya juga telah habis.
"Kami masih buka karena menunggu kamu Akhi." Kata
Ibrahim yang kini menjalankan kios daging milik
ayahnya itu.
"Maaf. Saya sedikit terlambat." Jawab Azzam. Ia
memang terlambat setengah jam mengambil pesanannya.
Ibrahim tampak sudah rapi dan bersih, tidak tampak
kotor layaknya penjual daging. Separo kiosnya sudah
ditutup. Ia duduk di kursi di depan kiosnya sambil
membaca koran.
Ibrahim masih muda. Umurnya masih di bawah tiga
puluh tahun. Ayahnya tidak bisa lagi bekeria karena
terkena stroke. Ibrahim anak sulung. Masih mempunyai
empat adik. Dua perempuan dan dua laki-laki. Yang
paling besar namanya Sami, lalu Yasmin, Heba dan yang
paling kelil bernama Samir. Dialah yang kini jadi kepala
rumah tangga. Ia mati-matian menghidupi adik-adiknya.
40 Tentu aku punya. Ingin berapa kilo?
41 Dua puluh lima kilograrn. Seperti biasa.
171

Juga mati-matian menjaga mereka agar tetap
memperoleh pendidikan yang layak. Semua adiknya
sekolah di Al Azhar, karena memang tak ada yang lebih
murah dari Al Azhar.
Yang ia tahu, Sami baru saja selesai Fakultas Dirasat
Islamiyyah. Yasmin tingkat akhir di Kulliyah Banat Al
Azhar. Heba baru masuk kuliah. Dan Samir masih di
Madrasah Ibtidaiyyah. Ibrahim sendiri lulusan Syariah.
Sebagaimana ia bisa akrab dengan mahasiswa Mesir
bernama Khaled, ia bisa akrab dengan Ibrahim, juga
bertemu di masjid. Tepatnya Ramadhan dua tahun lalu,
saat itikaf dua hari di Masjid Amru bin Ash. Biasanya
Ibrahim dibantu sama Sami, tapi kali kelihatannya ia
tidak ada.
"Mana Sami, kok tidak kelihatan?''
"Sedang ada keperluan keluarga di Giza."
"O begitu. Kau tergesa-gesa?"
"Sebenarnya tidak. Tapi saya dan Heba harus segera
menyusul Sami sebelum Maghrib tiba."
Azzam langsung paham bahwa Ibrahim tidak punya
banyak waktu. Ia langsung mengambil pesanannya dan
membayar harganya. Azzam ingin segera beranjak,
namun seorang gadis remaja berjilbab khas Mesir datang
dengan dua gelas karikade dingin dinampan.
"Minum dulu Akhi." Ibrahim mempersilakan.
172

Sekilas Azzam melihat gadis remaja itu menatapnya
sambil mengangguk lalu ke dalam. Ini adalah kali ketiga
ia bertatapan dengan gadis remaja itu. Ia yakin ia adalah
Heba. Kalau boleh jujur, ia harus mengakui, bahwa ia
belum pernah melihat gadis secantik Heba. Cantik dan
cerdas. Sebab Ibrahim pernah cerita, diusia tujuh tahun
Heba telah hafal Al-Quran. Hal itulah yang membuatnya
punya keinginan adiknya yang paling kecil bisa hafalAl-
Quran. Seperti Heba.
Ibrahim mengambil gelas dan meminumnya. Tanpa
banyak bicara, Azzam langsung melakukan hal yang
sama. Tujuh detik kemudian gelas itu telah kosong.
Azan Ashar mengalun dari Masjid Sayyeda Zaenab.
"Terima kasih Akhi. Saya pamit." kataAzzam setelah itu.
"Maaf, kalau kita tidak bisa banyak berbicara seperti
biasa. Waktunya memang sempit. Jangan lupa doakan
kami. Doa penuntut ilmu dari jauh yang ikhlas sepertimu
pasti di dengar Allah," tukas Ibrahim.
"Sama-sama. Kita saling mendoakan."
Azzam lalu bergegas kembali ke kios Ammu Ragab dan
menitipkan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid
shalat Ashar dulu. Ia berjalan melewati lorong pasar.
Langsung ke tempat wudhu masjid. Dan saat kaki
kanannya menginjak pintu masjid, sang mu'azin
melantunkan iqamat.
173

Usai shalat dan berzikir secukupnya, ia langsung kembali
ke pasar. Membeli bumbu-bumbu untuk membuat bakso.
Dan dengan langkah cepat kembali ke kios Ammu-
Ragab. Seorang pembantu Ammu Ragab membantu
mengangkatkan kacang kedelainya ke pinggir jalan raya.
Ia memang belanja cukup banyak dan berat. Ia merasa
perutnya sangat lapar tapi tak ada waktu lagi buat makan
siang. Nanti saja jika sudah sampai di rumah.
Tak lama bus enam lima datang. Namun sudah penuh
sesak. Ia urung naik. Jika ia tidak membawa barang pasti
sudah naik. Seperempat jam berlalu dan bus enam lima
berikutnya tak juga datang. Tak ada pilihan, ia harus
naik taksi. Tak ada salahnya ia realistis. Ongkos biaya
produksi dalam kondisi tertentu susah untuk ditekan.
Yang jelas selama dalam perhitungan masih ada
keuntungan sesuai dengan margin yang ditetapkan, tidak
jadi problem.
Sebuah taksi melintas. Ia hentikan dan dengan cepat
terjadi kesepakatan. Sopir taksi membantu memasukkan
barang-barang belanjaan Azzam ke dalam bagasi. Azzam
duduk di depan. Taksi melaju perlahan. Menyusuri Port
Said Street. Sopir taksinya seorang lelaki gendut
setengah baya. Wajahnya bundar. Hidungnya besar.
Rambutnya keriting kecil-kecil. Khas keturunan Afrika.
Kulitnya sedikit hitam, tapi tak legam. Agaknya ia lelaki
yang ramah,
"Kamu mahasiswa Al Azhar ya? "
174

"Benar, Paman."
"Belajarlah yang serius agar tidak susah. Agar tidak jadi
sopir taksi seperti saya "
"Memangnya jadi sopir taksi susah, Paman?"
Sopir taksi malah cerita,
"Kalau saya dulu serius belajar dan mau kuliah, pasti
sudah jadi pegawai bank dengan gaji tinggi dan tidak
susah seperti sekarang. Kalau saja..."
Azzam langsung memotong cerita itu. Ia tahu orang
Mesir kalau cerita pasti akan ke mana-mana. Kalau cerita
bahagia akan melangit, kalau cerita susah akan sangat
melankolis. Azzam tak mau dengar cerita itu. Ia sendiri
juga sedang susah. Maka dengan cepat ia memotong,
"E... Paman asli Cairo ya?" tanya Azzam.
"Ah tidak. Saya lahir di Sohag. Besar di Tanta dan
menikah di Cairo."
"Sudah punya anak berapa, Paman?"
"Baru satu dan baru berumur satu tahun"
"Oo."
"Yah. Saya termasuk terlambat menikah. Saya menikah
saat berumur 46 tahun. Tahu sendiri. Menikah di sini
tidak mudah."
Ini bukan kali pertama Azzam mendengar cerita seperti
ini. Di Mesir dan negara Arab lainnya, menikah memang
sangat mahal. Sehingga tidak sedikit yang terlambat
menikah. Golongan yang pas-pasan punya, tapi tidak
175

kaya, biasanya banyak terlambat. Baik lelaki maupun
perempuan. Justru sekalian golongan yang miskin malah
banyak yang nikah muda. Mereka menikah dengan
sesama orang miskin sehingga syarat syarat bersifat
material sama-sama dimudahkan.
Banyak ulama Mesir yang menyerukan untuk
memurahkan mahar dan memudahkan syarat. Tapi
seruan itu seperti angin yang berlalu tanpa bekas. Si
Ibrahim, penjual daging langgaanannya ingin sekali
segera menikah. Namun belum juga bisa menikah karena
persoalan materi.
"Saya sarankan kamu jangan sekali-kali punya pikiran
menikahi gadis Mesir." Gumam sang sopir.
"Kenapa, Paman? "
"Susah. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen
perempuan Mesir itu menyusahkan. Keluarga mereka
juga menyusahkan."
"Ah yang benar, Pamar."
"Benar. Serius! "
"Termasuk isteri Paman? " Entah kenapa spontan ia
bertanya begitu.
"Iya. Apalagi dia. Rasanya nggak pernah dia bikin suami
bahagia, kecuali saat bulan madu dulu."
"Ah Paman bohong. Tuan rumah saya di Hay El Ashir,
seorang perempuan. Asli Mesir, Paman. Namanya
176

Madam Rihem. Dia sangat baik. Kepada siapa saja.
Kepada kami yang bukan siapa-siapanya, juga kepada
para tetangga. Dia membuat kami bahagia, Paman. Dia
sangat pengertian jika kami telat membayar uang sewa"
"Dia masuk dalam kelompok nol koma nol satu persen.
SudahIah percayalah padaku. Jangan sekali-kali
berpikiran mau menikahi gadis Mesir. Saya dengar nikah
di Asia Tenggara itu mudah. Perempuan perempuannya
juga sangat taat pada suami. Kamu orang mana?"
"Indonesiar Paman."
"Apalagi Indonesia. Sebaik-baik manusia adalah orang
Indonesia. "
"Ah Paman bisa saja basa-basinya."
Taksi terus melaju melewati MaydanAhmad Maher.
"Saya tidak basa-basi. Saya serius. Tetangga saya yang
baru haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepada
saya. Ia melihat selamah haji, jamaah haji yang paling
lembut dan paling penurut adalah jamaah haji Indonesia."
Azzam tidak tahu harus menjawab apa. Tiba-tiba
matanya menangkap sesuatu di depan. Dua mahasiswi
Indonesia di pinggir jalan tak jauh dari Museum of Islamic
Art. Kelihatannya ada sesuatu dengan mereka. Keduanya
duduk. Yang satu, yang berjilbab cokelat muda
kelihatannya menangis. Sementara yang satunya, yang
berjilbab biru kelihatannya sedang berusaha
177

menenangkan temannya. "Masya Allah, dia kan
mahasiswi yang tadi duduk di sampingku. " lirih Azzam.
"Paman berhenti sebentar ya. Kelihatannya ada masalah
dengan mahasiswi dari Indonesia itu. " Pinta Azzam.
"Baik. Tapi jangan lama-lama ya."
"Baik, Paman. "
Azzam turun dan mendekati mereka berdua. Ia
mendengar suara sesenggukan dari gadis berjilbab
cokelat muda.
"Mm, maaf Ukhti. Ada apa ya? Ada yang bisa saya bantu?
Sapa Azzam sesopan mungkin. Beberapa orang Mesir
melihat mereka. Gadis yang berjilbab biru menjawab,
"Kami kena musibah. Dompet Ukhti Erna ini dicopet.
Tadi busnya penuh sesak. Kami berdiri dekat pintu. Saya
melihat copet itu mengambil dompet Ukhti Erna. Saya
berteriak. Si copet langsung loncat bus dan lari. Saya
minta bus berhenti dan minta orang-orang membantu
mengejar pencuri itu. Tapi mungkin sopirnya nggak
dengar, soalnya kita di pintu belakang. Kita baru bisa
turun di halte depan. Kita lari ke sini karena copetnya
tadi loncat di sini. Dengan harapan ada orang Mesir
yang menangkapnya. Tapi jejaknya saja tidak ada.
Padahal dalam dompet itu ada uang dua ratus lima puluh
dollar dan tujuh puluh lima pound. Sekarang kami baru
sadar, kami tak punya uang sama sekali. Kami tak bisa
pulang. Uangku sendiri sudah habis untuk beli kitab."
178

Azzam tahu kenapa mahasiswi itu sampai menangis. Dua
ratus lima puluh dollar dan tujuh puluh lima pound itu
sangat banyak bagi mahasiswa Indonesia di Cairo. Kalau
bagi mahasiswa Brunei mungkin lain.
"Sudahlah diihklaskan saja. Semoga diganti yang lebih
baik oleh Allah. Oh ya bukankah kalian tadi berlima atau
berenam?"
"Ya, tadi kami berenam. Saat pulang kami berpisah di
depan Masjid Sayyeda Zaenab. Mereka berempat naik
taksi ke Dokki, sementara kami naik bus enam lima. "
" Kalau boleh tahu, kalian tinggal di mana? "
"Di Abdur Rasul."
"O, baik. Kebetulan saya naik taksi. Bangku belakang
masih kosong. Kalian bisa ikut." Kata Azzam.
"Erna ayo sudahlah, kita ikut dia saja."
Tanpa bicara sepatah pun mahasiswi bernama Ema itu
perlahan bangkit. Azzam berjalan di depan. Ia membukakan
pintu taksi. Dua mahasiswi itu masuk. Azzam
melihat dua mahasiswi itu tak membawa apa apa selain
yang berkerudung biru membawa tas cangklong hitam
kecil.
"Lha buku dan kitab yang dibeli mana?" Tanya Azzam.
"Tertinggal di bus. Saat kami berdiri, kitab dalam kantong
plastik itu saya letakkan di bawah, karena agak
berat. Begitu saya melihat penjahat itu mencopet dompet
179

Erna, saya sudah tidak ingat apa-apa kecuali berteriak
dan merebut dompet itu kembali. Dan ketika kami turun
dari bus, kitab itu tertinggal di dalam bus." Jawab
mahasiswi berjilbab biru.
"O, ya sudah. Semoga bisa dilacak." Sahut Azzam sambil
menutup pintu taksi. Taksi perlahan bergerak. Pikiran
Azzam juga bergerak bagaimana mendapatkan kembali
kitab itu.
"Kitab apa saja yang kamu beli kalau boleh tahu?"
Dari belakang terdengar jawaban,
"Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, Fatawa
Mu'ashirah-nya Yusuf Al Qardhawi, Dhawabithul
Mashlaha-nya Al Bulthi, Al Qawaid Al Fiqhiyyah-nya Ali
An Nadawi, Ushulud Dakwah-nya Doktor Abdul Karim
Zaidan, Kitabul Kharraj-nya Imam Abu Yusuf, Al Qamusnya
Fairuzabadi dan Syarhul Maqashid-nya Taftazani."
Azzam tidak berkomentar. Dari jawaban yang ia dengar,
ia langsung bisa memastikan tiga hal. Pertama, total
harga kitab itu ratusan pound. Kedua, mahasiswi yang
membeli kitab itu adalah orang yang sangat cinta ilmu.
Ketiga, ia kemungkinan besar adalah mahasiswi Syari'ah.
"Busnya sudah lama jalan?" tanya Azzam.
"Kira-kira lima belas menit yang lalu."
180

Tiba-tiba sebuah ide berpijar di kepalanya. Bus itu
mungkin bisa dikejar jika taksi bisa memotong jalur.
Apalagi bus itu padat. Pasti lebih lambat karena akan
banyak menurunkan penumpang. Itu prediksinya.
"Paman bisa ngebut dan motong jalur ke Masjid Nuril
Khithab Kulliyatul Banat Nasr City?"
"Tentu bisa. Kebut mengebut dan memotong jalur itu
kebiasaanku waktu masih muda. "
"Lakukan itu Paman, saya tambah lima pound."
"Nggak. Kalau mau tambah sepuluh pound."
Azzam berpikir sebentar.
"Baik. "
Dan seketika taksi itu menambah kecepatannya.
Azzam memperbanyak membaca shalawat. Sementara
dua penumpang di belakangnya diam dalam rasa sedih
berselimut cemas. Tak ada yang mereka lakukan kecuali
menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha
Menentukan Takdir.
181

10
PENGEJARAN DENGAN TAKSI
Sopir taksi itu mengerahkan segenap kemampuannya
untuk ngebut. Ia sangat hafal dengan jalan jalan tembus
yang paling aman dari keramaian dan macet. Dalam
waktu seperempat jam, taksi itu telah sampai di Hay El
Sades ke arah kawasan kampus Al Azhar Nasr City. Lalu
melaju kencang ke arah Masjid Nuri Khithab.
Selama dalam perjalanan Azzam diam. Tidak banyak
berbicara. Dua penumpang di belakangnya juga melakukan
hal yang sama. Kalaupun Azzam bicara hanya untuk
menjawab pertanyaan sopir taksi sesekali saja.
Tiga menit kemudian taksi hitam putih itu sampai di
perempatan Masjid Nuri Khithab. Azzam minta supaya
182

belok kiri menyusuri Thayaran Street ke arah Ta’min
Shihi. Azzam memposisikan taksi berhenti di Halte jalur
ke Hay El Sabe dekat Muraqib supaya enak mencegat
bus enam lima. Sopir minta tambah an ongkos. Akhirnya
Azzam kembali harus sepakat memberi tambahan.
Beberapa menit menunggu, dari arah Rab'ah sekonyong
konyong Azzam melihat bus enam lima datang.
"Ukhti, kamu lihat kitabmu dipintu belakang. Saya akan
naik dari pintu depan minta agar sopirnya berhenti
beberapa saat. Semoga itu bus kamu tadi!" Seru Azzam
begitu bus itu merapat di Halte mau berhenti.
Mahasiswa berjilbab biru itu mengangguk dan bersiapsiap.
Bus berhenti. Azzam menuju kepintu depan. Begitu pintu
dibuka ia langsung melompat. Ia nyaris bertabrakan dengan
penumpang yang mau turun. Ia mepet bergantung
di pinggir pintu dan minta sang sopir berhenti sebentar.
Mahasiswi berjilbab biru sudah naik. Ia melihat -lihat
dibawah kursi dekat kondektur duduk. Kedua matanya
langsung menangkap buku dan kitabnya dalam dua
plastik putih. Hatinya sangat bahagia. Ketika hendak
mengambilnya sang kondektur mempersilakan. Agaknya
sang kondektur belum lupa dengan musibah yang
menimpa dua mahasiswi beberapa saat yang lalu.
"Maafkan kami atas musibah tadi," kata kondektur itu.
"Tidak apa-apa. Semoga diganti yang lebih baik oleh
Allah," jawab mahasiswi itu lalu turun.
183

Sambil menggelantung di pintu depan, Azzam melihat
mahasiswi itu membawa dua plastik putih berisi kitab. Ia
langsung melompat turun dan mempersilakan sopir
menja-lankan busnya.
"Gimana masih lengkap, tak ada yang hilang? " tanya
Azzam.
Mahasiswi itu lalu memeriksa sebentar. Dan dengan
wajah berbinar, ia menjawab,
"Alhamdulillah. Masih lengkap. Terima kasih ya atas
segalanya. Kalau boleh tahu nama situ siapa?"
"Aku Abdullah." Jawab Azzam. Nama kecilnya memang
Abdullah Khairul Azzam. Entah kenapa ketika dibuat
akte kelahiran yang terlulis hanya Khairul Azzam saja,
Abdullahnya hilang. Jadi dengan mengatakan namanya
Abdullah, ia sama sekali tidak bohong. Namun mahasiswa
di Cairo tidak ada yang mengenalnya sebagai Abdullah.
Ia memang tidak ingin namanya diketahui dua
mahasiswi itu. Ia mau menjaga keikhlasannya. Maka
meskipun mahasiswi cantik berjilbab biru itu bertanya
namanya, ia tidak gantian menanyakan namanya.
"Tinggal di mana?" tanya mahasiswi itu lagi. Sementara
mahasiswi yang satunya diam saja. Kelihatannya ia masih
sedih kehilangan dompetnya yang berisi dua ratus lima
puluh dollar dan tujuh puluh lima pound.
"Di Madrasah Hay El Ashir. Ini sudah sore. Kalian ikut
sampai sini saja ya. Saya harus segera melanjutkan
perjalanan. Sopir taksinya sudah menunggu. Nanti kalau
184

kelamaan, dia minta tambah lagi. Jawab Azzam sambil
melihat jam tangannya.
"Iya Mas..a..Abdullah. Terima kasih banget ya."
"Ya sama-sama. Lain kali lebih hati-hati ya. Assalamu-
'alaikum."
"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah."
Azzam langsung masuk ke dalam taksi. Taksi berjalan
lurus ke arah Hay El Sabe'. Dua mahasiswi itu memandangi
taksi itu sampai menghilang dikejauhan. Nama
Abdullah membuka satu lembar catatan dalam hati
mereka.
Matahari semakin kekuning-kuningan. Senja menunjukkan
tanda-tanda segera datang. Bus-bus penuh dengan
orang kelelahan. Dua mahasiswi itu melangkah perlahan
ke arah Abdur Rasul. Letaknya tak jauh. Tiga ratus
meter ke depan. Angin musim semi yang sejuk membelai
jilbab mereka dengan penuh kasih sayang. Cairo kembali
menggores episode yang indah untuk dikenang.
***
Dua mahasiswi itu sampai di rumah kontrakan mereka di
Abdur Rasul. Rumah yang besar berada di lantai dua
sebuah villa anggun bercat putih. Rumah itu terdiri atas
tiga kamar tidur asli. Satu kamar tidur tambahan. Satu
kamar mandi. Dapur. Ruang tamu. Dan dua balkon.
Dihuni oleh enam orang mahasiswi. Empat orang dari
Indonesia dan dua orang dari Malaysia.
185

Erna sudah lebih cerah meskipun guratan kesedihannya
masih tampak jelas. Mereka pulang disambut oleh
Zahraza, mahasiswi tingkat tiga dari Negeri Kedah,
Malaysia.
"Erna, kenape muka awak pucat macam tu? Fi eh?" 42
tanya Zahraza, teman satu kamar Erna. Logat Malaysianya
sama sekali tidak berubah meskipun sudah dua
tahun tinggal satu rumah dengan orang Indonesia. Selain
Zahraza, mahasiswi Malaysia yang tinggal di situ adalah
Wan Aina, berasal dari Negeri Selangor. Zahraza masih
duduk di S. 1, tingkat akhir. sedangkan Wan Aina sudah
masuk tahun pertama S.2-nya. Dua penghuni lainnya
adalah Hanum dari Bandung, dan Sholihati dari Kudus.
Keduanya satu kelas dengan E rna.
Jadi di rumah itu yang paling senior secara akademis
adalah Anna. Adapun yang paling senior secara umur
adalah Sholihati. Sebelum kuliah di Al Azhar, gadis yang
pernah belajar di Madrasah Banat Kudus itu pernah
menjadi tenaga kerja di Kuwait lebih dari dua tahun.
Karena cintanya pada ilmu, begitu ia memiliki dana
untuk terbang ke Mesir, ia tinggalkan pekerjaannya
untuk menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar
biasa itu membuat banyak orang salut padanya. Namun
Anna tetaplah yang paling disegani di rumah itu, selain
karena ia paling berprestasi dan paling bisa memimpin, ia
adalah puteri seorang kiai. Anna tinggal satu kamar
sendiri. Erna satu kamar dengan Zahraza. Sedangkan
42 Fi eh? , ada apa?
186

Wan Aina satu kamar dengan Sholihati. Mereka hidup di
rumah itu layaknya saudara sendiri. Adapun Hanum
menempati kamar tambahan sendirian. Kamar itu letaknya
di samping ruang tamu, hanya disekat dengan tabir
dari kain berwarna hijau tua yang tebal.
"Tak usah cemas. Tak ada ape-ape. Hanya musibah sikit
aje." jawab Erna, sedikit terpengaruh oleh logat Malaysia.
"Musibah apa tu? " kejar Zahraza.
"Tanya aja sama Erna. Saya nak ke kamar dulu ya,"
jawab Anna bergegas ke kamarnya.
Zahraza langsung minta penjelasan Erna. Erna lalu
menjelaskan dengan detil semua peristiwa yang baru saja
dialaminya. Termasuk juga pertolongan tak disangka
dari seorang mahasiswa Indonesia bemama Abdullah.
Zahraza mendengar-kan dengan penuh perhatian.
Sementara itu, taksi berwarna hitam putih yang membawa
Azzam meluncur memasuki kawasan Hay El Ashir.
Melewati Bawwabah Tsalitsah, terus melaju ke timur.
Melewati kawasan yang oleh mahasiswa Asia Tenggara
disebut Nadi Kahrubai. Sebuah kawasan luas yang
dilewati arus listrik tegangan tinggi. Daerah itu berupa
jalan aspal yang lebar. Dan oleh penduduk setempat, juga
oleh mahasiswa Asia Tenggara, sering digunakan bermain
sepakbola. Maka disebut Nadi Kahrubai, atau stadion
listrik.
187

Kawasan ini juga sering disebut Suq Sayyarah, atau Pasar
Mobil. Sebab, padahari Jumat kawasan ini berubah menjadi
tempat jual beli mobil bekas terbesar di Cairo.
Kawasan yang luasnya berhektar-hektar itu penuh
dengan pelbagai macam mobil. Bagi yang ingin mendapatkan
mobil yang bagus dan murah, di sinilah tempatnya.
Syaratnya tentu saja harus bisa memilih dan bisa
menawar dengan baik. Jika tidak, justru bisa sebaliknya.
Azzam melihat ke arah Nadi Kahrubai dan dari kejauhan
ia melihat banyak mahasiswa Asia Tenggara di sana. Ada
juga mahasiswa berkulit hitam. Mereka sedang bermain
sepak bola. Di sebelah Nadi tampak Masjid Sarbini yang
pada bulan Ramadhan biasa menyediakan buka puasa
gratis. Masjid itu menjadi salah satu tempat favorit bagi
mahasiswa Asia Tenggara, di samping masjid-masjid
yang lain. Azzam sendiri juga sering berbuka di masjid
itu bersama teman-teman satu rumahnya.
Tak lama kemudian, taksi itu sampai di Mutsallats.
Azzam memberi instruksi kepada sopir taksi agar belok
ke kanan. Taksi berjalan pelan memasuki kawasan
Mutsallats. Rumah-rumah penduduk berbentuk kotak
kotak berwarna cokelat. Warna khas pasir dan debu
padang pasir di Mesir. Azzam kembali meminta taksi
belok kanan. Sampai di depan apartemen berlantai enam
yang menghadap ke selatan, Azzam menyuruh taksi itu
berhenti.
Azzam keluar dari taksi. Sopir taksi membantu mengeluarkan
barang-barang Azzam dari bagasi. Azzam memeriksa
barangnya. Semua genap. Azzam menyerahkan
188

ongkos pada sopir taksi. Sopir gendut berwajah bundar
itu langsung menghitung.
"Khamsah junaih kaman ya Andonesi !" 43
"La, khalas, mafi ziadah ya Ammu. Haram ‘alaik ya Ammu!"
44
Sopir taksi itu tersenyum.
"Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi" 45 Ia lalu
masuk ke dalam taksi dan pergi.
Azzam meletakkan barang-barangnya di depan pintu
gerbang. Sambil menenteng kantong plastik berisi
daging sapi ia naik ke lantai tiga. Flatnya ada di lantai
tiga. Ia masuk. Sepi. Tak ada orang di ruang tamu. Ia
langsung memasukkan daging sapi ke dalam kulkas. Ia
periksa kamar per kamar. Hanya ada Nanang yang
sedang duduk di depan komputer milik Fadhil. Kedua
telinganya ditutup dengan earphone. Agaknya ia sedang
asyik mendengarkan lagu-lagu pop Mesir sambil
mengetik. Azzam menepuk bahu Nanang. Nanang
terhenyak kaget, lalu tersenyum. Ia melepas earphonenya.
Azzam meminta Nanang untuk membantunya
menaikkan barang-barang belanjaannya ke atas. Terutama
mengangkat kedelai. Ia sendiri sudah sangat letih.
43 Lima pound lagi, hai orang Indonesia!
44 Tidak, s udah, tak ada tambahan lagi Paman. Haram bagimu Paman
45 Baik, walau bagaimanapun, terima kasih. Inl sudah cukup!
189

"Okay bos!" Jawab Nanang riang. Ia mengikuti Azzam
turun. Mereka berdua lalu menaikkan barang barang
belanjaan itu ke dalam Flat.
* * *
"Semoga ini semua ada hikmahnya," lirih Zahraza selesai
mendengar cerita Erna.
"Hikmahnya sudah aku dapatkan. Ini jadi teguran Allah
atas kebakhilanku selama ini. Sebenarnya uang itu tadi
pagi mau dipinjam Mbak Hanum dua ratus dollar tapi
aku tidak boleh. Aku sungguh menyesal,'' Jawab Erna
sambil menundukkan kepalanya.
"Sudahlah Erna. Kita cakap perkara yang lain saja. By the
way, siapa tadi pemuda yang menolong kalian?" tanya
Zahraza.
"Namanya Abdullah."
"Kau kenal dia tak?"
Erna menggelengkan kepala.
"Sst... by the way ia handsome tak?"
Erna melototkan matanya. Namun Zahraza tidak takut.
Ia malah berkomentar,
"Wah berarti pemuda itu handsome. Terus terang aku
suka sekali kepada pemuda yang baik hati dan pemberani
seperti pemuda yang menolong kalian tadi. Apalagi kalau
dia handsome. Nggak handsome saja aku pasti menaruh
190

simpatik. Kalau aku yang jadi kau sudah aku kejar
pemuda itu. Jaman sekarang, tidak mudah cari calon
suami yang baik hati dan penuh perhatian seperti
pemuda itu. Semoga Allah mempertemukan aku dengan
dia dalam pertemuan yang penuh barakah. "
Komentar mahasiswi Malaysia itu didengar dengan jelas
oleh Anna dari kamarnya. Entah kenapa, ia begitu
cemburu mendengar komentar itu. Ia jadi heran sendiri
kenapa ia mesti cem-buru. Padahal ia bukan siapa
siapanya. Ia juga baru bertemu hari itu. Ia tidak tahu
identitasnya. Juga tidak tahu rumahnya. Pemuda itu pun
tidak tahu siapa dia. Sebab ia tidak mem-perkenalkan
namanya, dan pemuda itu juga tidak bertanya namanya.
Anna cepat-cepat menyingkirkan perasaan itu.
Herannya, setiap kali Zahraza bercerita tentang kebaikan
mahasiswa Indonesia, ia selalu cemburu. Aksen dan logat
ga-dis Malaysia yang halus itu, kalau bercerita tentang
mahasiswa Indonesia memang punya kekuatan yang
membangkitkan rasa cemburu bagi mah asiswi Indonesia.
Apalagi ia memang punya pengalaman indah dengan
mahasiswa Indonesia. Saat awal-awal di Mesir, ia tinggal
di rumah Negeri Kedah yang ada di daerah Thub Ramly,
Hay El Ashir.
Suatu kali ia puIang dari belanja di toko Misr wa sudan
menjelang Isya. Ketika ia berjalan berdua dengan temannya
melewati shahra 46 yang sepi tiba-tiba ada orang
Mesir yang hendak berbuat jahat padanya. Ia menjerit
46 Shahra, tanah yang sangat lapang, padang pasir.
191

jerit. Untung saat itu ada mahasiswa Indonesia melintas.
Mahasiswa itu langsung memukul orang Mesir. Orang
Mesir balik memukul. Terjadilah perkelahian. Ternyata
mahasiswa Indonesia itu bisa ilmu bela diri, sehingga
orang Mesir itu akhirnya lari. Mahasiswa Indonesia itu
juga mengantarkan mereka berdua sampai di rumahnya.
Sejak itulah di mata Zahraza, pemuda Indonesia yang
belajar di Mesir adalah manusia pemberani yang baik
hati.
"Bodohnya awak ni. Awak tak tanya siape nama pemuda
itu. Dan dimana alamat dia duduk. Awak benar-benar
bodoh. Padahal pemuda itu sangat berjasa bagi awak.
Jika tak ada pemuda itu mungkin kesucian awak sudah
hilang." Begitu komentar Zahraza setiap kali mengulang
ceritanya itu. Entah sudah berapa kali Zahraza bercerita
tentang kejadian itu. Dan sampai sekarang, mahasiswa
Indonesia yang menolong Zah-raza itu juga tidak
diketahui siapa. Tidak ada kabar dan selentingan berita
mahasiswa Indonesia yang mengaku atau bercerita
pernah menolong mahasiswi Malaysia di Shahra dekat
Thub Ramli.
Anna tahu, kecemburuannya merupakan hal yang tak
perlu. Mahasiswi Malaysia menaruh simpatik pada mahasiswa
Indonesia karena kebaikan, adalah hal yang bukannya
tidak boleh terjadi. Jika yang jadi landasannya adalah
kebaikan, jalannya adalah kebaikan, dan tujuannya adalah
kebaikan. Apanya yang salah.
Anna merasa ia telah berlebihan dengan merasa cemburu,
hanya karena komentar yang bisa jadi juga sekadar
192

komentar biasa: tak lebih dari sekadar komentar yang
mungkin tujuannya justru untuk menghangatkan suasana,
atau untuk menunjukkan rasa hormatnya pada
orang Indonesia. Ia merasa harus meletakkan cemburunya,
cintanya, dan bencinya pada tempatnya yang
tepat.
* * *
"Kau lagi nulis apa tho Nang?" tanya Azzam pada
Nanang. Keduanya duduk di ruang tamu. Azzam menyandarkan
punggungnya. Ia tampak kelelahan.
"Anu Kang lagi iseng-iseng bikin cerpen."
"Iseng?"
"Iya Kang. "
"Jangan isenglah Nang. Kalo bikin cerpen mbok ya yang
serius. Menulis ya yang serius. Kalau iseng itu percuma!
Komputernya bukan milik sendiri, listrik juga mbayar,
waktu habis, lha kok masih iseng!"
"Maksudnya latihan Kang. Latihan bikin cerpen. Bukan
iseng!"
"Ya gitu lho. Kapan kita maju kalau kita menggunakan
waktu kita untuk iseng terus. Ya tho Nang? O ya Nang,
kok sepi anak-anak pada ke mana?"
"Fadhil sama Ali lagi main bola. Keduanya sedang
bertanding sekarang," jawab Nanang.
193

"Di Nadi Kahrubai?"
"Ya tidaklah Kang. Ini pertandingan serius. Tim KMA 47
dan Tim KEMASS. 48 Fadhil membela KMA dan, Ali
membela KEMASS. Mereka bertanding di Nadi Syabab."
"O kok mereka nggak bilang-bilang ya mau tanding."
"Iya lha aku aja ngertinya ya tadi ketika si Mahmud,
kiper KMA datang menjemput Fadhil. Mereka nggak
bilang-bilang ke kita. Katanya sih biar kita tidak bingung
bela siapa."
"Ya udah, kita nggak usah membela siapa-siapa saja."
"Terus Hafez sama Nasir ke mana?"
"Hafez tadi pamit mau ke Katamea. Ke rumah Salman,
temannya satu almamater. Kalau Nasir ya seperti biasa
Kang, nganter tiket. Katanya sih ke Abdur Rasul. Ada
mahasiswi Indonesia yang akan pulang. Kang itu di
kulkas ada tamar hindi."
"Wah kebetulan. Lagi haus nih."
Azzam bergegas ke dapur. Membuka kulkas. Mengambil
botol air mineral yang berisi tamar hindi lalu menuangkannya
ke gelas. Ia kembali ke ruang tamu dan minum
dengan penuh kenikmatan.
"Yang beli kamu Nang?"
47 KMA, Keluarga Mahastswa Aceh
48 KEMASS, Keluarga Mahasiswa Sumatera Selatan.
194

"Bukan saya Kang, tapi Ali. Tadi sebelum berangkat ke
Nadi Syabab. Ia beli dua botol. Yang satu ia bawa, yang
satu untuk kita katanya. Kang, aku ngelanjutin nulis lagi
ya?"
"Ya. Tapi jangan pake earphone. Nanti kamu nggak
dengar azan. Sebentar lagi Maghrib!"
"Iya Kang. "
Nanang beranjak menuju komputer yang ditinggalkannya.
Sementara Azzam masuk ke kamamya. Ia mengganti
bajunya dengan kaos, dan celana panjangnya
dengan sarung. Lalu rebahan di atas kasur. Ia ingin
mengendurkan otot-ototnya barang beberapa menit.
Sebab sore ini juga ia harus langsung menggarap
kedelainya untuk mulai diproses menjadi tempe. Lalu
nanti malam setelah shalat Isya ia harus mulai menggarap
daging sapinya untuk dijadikan bakso.
Dalam kondisi seletih apapun, ia harus tetap sabar dan
tegar melakukan itu semua. Jika tidak, ia takkan hidup
layak, juga adik-adiknya di Indonesia. Namun karena
sudah biasa, itu semua sudah tak lagi menjadi sesuatu
yang berat baginya.
Dan yang paling penting bagi dirinya, dengan kerja
keras yang sudah biasa ia lakukan, ia sama sekali tak
khawatir akan masa depannya. Ia merasa bersyukur
dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya saat ini.
Ia berani menatap mantap masa depannya. Ia tidak
merasa cemas? Apa yang perlu dicemaskan oleh seorang
195

manusia yang diberi pikiran sehat, anggota badan yang
genap, dan mengimani adanya Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang?
Selain pada Pak Ali, selama ini ia tak pernah menceritakan
kepada siapa pun mengenai beban-beban hidupnya.
Juga jalan terjal yang harus dilaluinya. Beberapa
orang hanya tahu ia adalah jenis mahasiswa yang lebih
mementingkan bisnis tempe dan baksonya daripada
kuliah. Ia sama sekali bukan mahasiswa yang diperhitungkan
dalam kancah dunia kajian dan intelektual.
Nama aslinya bahkan sedikit yang tahu. Kalau memang
ada yang tahu, biasanya adalah orang-orang seangkatannya.
Sementara mereka yang satu angkatan dengannya
telah banyak yang menyelesaikan studi S.1 nya.
Bahkan telah banyak yang pulang ke Tanah Air. Tinggal
beberapa orang yang tersisa dari mereka, karena mereka
melanjutkan S.2. Yang masih S.1 hanya dirinya.
Beberapa mahasiswa baru yang mengenalnya, lebih
banyak mengenalnya sebagai mahasiswa kawakan yang
belum juga lulus S.1. Padahal ia sudah sembilan tahun di
Mesir. Ia sama sekali tidak mempedulikan hal itu.
Baginya, yang penting ia telah melakukan hal yang
benar. Benar untuk dirinya, ibunya, adik-adiknya dan
agamanya. Ia teringat sebuah nasihat dari seorang
Syaikh Muda, ketika ia shalat Jumat di Masjid Ar
Rahmah Masakin Utsman. Syaikh Muda itu dalam
khutbah-nya menguraikan tentang pentingnya banyak
kerja sedikit bicara.
196

"Kenapa Allah mengaruniakan kepada kita dua tangan,
dua kaki, dua mata, dua telinga, jutaan syaraf otak, tapi
hanya mengaruniakan kepada kita satu mulut saja?
Jawabnya, karena Allah menginginkan agar kita lebih
banyak bekerja, lebih banyak beramal nyata daripada
bicara. Maka ada ungkapan, man katsura kalamuhu katsura
khatauhu. Siapa yang banyak bicaranya maka banya dosanya!
Dan karenanya Rasulullah Saw. menasihati kita semua,
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah
berkata yang baik atau diam saja!' Umat dan bangsa yang
besar adalah umat dan bangsa yang lebih banyak
kerjanya daripada bicaranya. Orang orang besar
sepanjang sejarah adalah mereka yang lebih banyak
bekerja daripada bicara!" kata Syaikh Muda itu.
Lalu sebelum mengakhiri khutbah pertamanya, Syaikh
Muda itu menyitir nasihat James Allen, "Jangan biarkan
orang lain lebik tahu banyak tentang dirimu. Bekerjalah
dengan senang hati dan dengan ketenangan jiwa, yang
membuat kamu menyadari, bahwa muatan pikiran yang benar
dan usaha yang benar akan mendatangkan hasil yang benar!"
Ia merasa yang benar baginya adalah tidak banyak
bicara. Banyak kerja. Dan orang tidak perlu tahu kenapa
ia tidak juga lulus. Kenapa ia nyaris tidak pernah hadir
dalam segala hiruk pikuk kegiatan ilmiah mahasiswa
Indonesia di Cairo. Kecuali beberapa saja. Hidupnya di
Cairo lebih banyak berkutat di rumah, masjid, pasar,
rumah para pelanggan tempenya, dan rumah-rumah
bapak-bapak KBRI yang memesan baksonya. Kampus Al-
Azhar sendiri jarang ia datangi apalagi perpusta-kaan.
197

Baginya, kampus utamanya justru masjid. Khutbah
Jumat, ceramah beberapa menit dari imam masjid setelah
shalat, halaqah membaca Al-Quran setelah shalat Subuh
adalah tempat utamanya menimba ilmu. Ia menganggap
itulah yang terbaik untuk doaya. Dan berulangkali ia
mengatakan pada dirinya sendiri, jangan pernah engkau
merasa tersiksa dengan apa yang engkau anggap baik
untuk dirimu! Ia tidak mengingkari bahwa ia sebenarnya
sangat ingin bergerak dan berdinamika normalnya
mahasiswa. Namun kondisi orang berbeda-beda.
Sudah seperempat jam ia rebahan sambil memejamkan
mata. Otot-otot tubuhnya lebih terasa lebih fresh dan
segar. Lima menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia
cepat cepat bangkit. Menyambar handuk dan ke kamar
mandi. Begitu ia masuk kamar mandi dan memutar kran
air panas, sayu-sayup ia mendengar suara heboh Fadhil
dan Ali.
"Mereka sudah pulang. Semoga tidak ada yang kalah.
Semua menang!" desisnya dalam hati sambil menambah
kuat aliran air dingin. Setelah ia merasa ukuran panasdinginnya
air pas, ia mandi dengan shower. Sentuhan air
yang menerpa tubuhnya itu ia rasakan begitu nikmat.
Begitu meremajakan syaraf-syaraf dan otot-ototnya.
Ketika sedang asyiknya mandi, pintu kamar mandi
digedor keras,
"KangAzzam ada telpon!"
Itu suara Ali langsung mejawab dengan suara keras.
198

"Sedang mandi! "
"Disudahi dulu saja Kang! Ini penting."
"Disudahi gimana, ini lagi pakai shampo!"
"Ini dari Eliana Kang, putrinya Pak Dubes! Katanya
penting! "
"Mau putrinya Dubes, mau putrinya Presiden, suruh
telpon lagi habis Maghrib. Titik!"
"Baik Kang."
* * *
Matahari perlahan masuk ke peraduannya. Lampu lampu
di sepanjang Kornes Nil mulai menyala. Azan berkumandang
bersahut-sahutan. Furqan keluar dari kamar
hotelnya. Ia bergegas ke masjid. Di dalam lift ia kembali
bertemu dengan mahasiswa dari Jepang. Mahasiswa
Jepang itu mengangguk, ia pun mengangguk. Ia sampai
di masjid tepat sesaat sebelum iqamat dikumandangkan.
Kali ini, ia shalat diimami oleh imam yang agaknya
menganut mazhab Imam Malik. Sebab sang imam setelah
takbir tidak meletakkan kedua tangganya di dada, tapi
meluruskan tangan-nya seperti posisi tentara yang
sedang siap dalam barisannya. Bacaan Al-Quran imam
setengah baya itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh .
199

Usai shalat ia kembali ke hotel. Langsung masuk kamar.
Membaca Al-Quran beberapa halaman, lalu kembali
membaca tesisnya. Ia kembali membaca baris demi baris.
Sesekali ia berhenti memprediksi pertanyaan para
penguji yang kira-kira akan disampaikan kepadanya. Lalu
ia mempersiapkan jawaban yang ia anggap tepat. Tibatiba
telepon berdering membuyarkan konsentrasinya.
"Ya siapa ini?"
"Ini Sara, Tuan Furqan. Mengingatkan aja. Anda tidak
lupa dengan undangan saya bukan? Pukul 19.30 di Abu
Sakr Restaurant."
"Saya tidak lupa. Tapi saya kelihatannya tidak bisa
datang"
"Saya sangat berharap Tuan datang."
"Kalau tidak datang semoga Nona tidak kecewa. "
"Justru saya kuatir, jika Anda tidak datang, Anda menyesal.
Undangan ini mungkin hanya sekali Anda dapatkan
dalam hidup Anda"
"Terima kasih, saya merasa tersanjung."
"Saya merasa lebih tersanjung jika Anda berkenan
datang. O ya, Anda kenal Prof. Dr. Sa'duddin Zifzat?"
"Ya saya kenal. Dia seorang sejarawan dan penulis
terkenal."
"Dia ayah saya."
200

"Benarkah?"
"Iya tentu saja. Dia akan datang bersama saya."
"Sekali lagi, maafkan jika nanti saya tidak bisa datang."
"Pikirkanlah, saya berharap Anda datang.Terima kasih. "
Klik. Telpon itu diputus.
Furqan sedikit bingung antara menyelesaikan persiapannya
membaca ulang tesisya, atau memenuhi
undangan Sara. Undangan makan malam gadis Mesir
sesungguhnya sangat menarik. Apalagi ia sediri terbayang
gadis itu juga memiliki pesona yang sangat
menarik.
Astaghfirullah.
Ia beristighfar ketika kelebatan wajah Sara yang menarik
hadir di pikirannya. Dari penjelasan Sara bahwa prof.
Sa'duddin Zifzaf, penulis Mesir terkenal yang juga staf
ahli Menteri Pendidikan itu adalah ayahnya, sungguh
mengusik hatinya. Apakah benar? Yang lebih mengusiknya,
kenapa gadis Mesir itu mengundangnya? Dan
kenapa sedemikian gencar menelponnya? Apakah benar
gadis itu benar-benar tahu banyak tentang dirinya?
Ataukah hanya basa-basi belaka? Hatinya terus bertanyatanya.
201

11
REZEKI SILATURRAHMI
Usai shalat Mahgrib, Azzam langsung dapur memasak
air di panci besar untuk menggarap kacang kedelainya.
Sambil menunggu air memanas, ia membaca Al Ma’tsurat
lalu tilawah. Lima belas menit kemudian ia yakin air
telah sangat panas. Tidak harus mendidih. Ia turunkan
air itu dari kompor gas. Ia membuka karung kedelainya.
Menakarnya dan langsung merendamnya dengan air
panas itu. Itulah proses paling awal dalam menggarap
kedelai menjadi tempe.
Kira-kira lima menit ia merendam kedelai itu. Kemudian
ia memisahkan kotoran -kotoran yang menyertai kedelai.
Biasanya kotoran itu mengapung. Ia ciduk kotoran itu,
lalu ia buang. Setelah itu ia memisahkan kedelai dari air
202

panas itu. Air itu ia bersihkan. Lalu kedelai ia masukkan
kembali ke dalam air itu. Ia letakkan di pojol dapur.
Kedelai itu harus direndam satu malam. Besok pagi, kirakira
jam tujuh ia akan kembali menggarap kedelai itu
dengan mengulesinya di kamar mandi. Diulesi agar
kacang kedelainya pecah. Paling mudah adalah dengan
menginjak-injaknya. Lalu ia cuci sampai bersih. Tapi
kulit arinya tidak boleh hilang. Kemudian ia rebus. Kalau
sudah matang ia tiriskan sampai dingin. Setelah dingin
diberi ragi. Lalu ia bungkus dan ia letakkan di rak khusus
yang telah ia buat di dalam kamarnya. Dua hari berikutnya
barulah jadi tempe.
Sebenarnya, tanpa direbus, kedelai yang telah diulesi
hingga pecah itu bisa langsung diberi ragi dan dua hari
kemudian bisa jadi tempe. Sehingga bisa mengirit minyak
tanah. Namun hasilnya masih kalah dengan yang
direbus dulu.
Tempe Azzam diakui oleh para pelanggannya dan juga
oleh ibu-ibu KBRI sebagai tempe yang sangat gurih dan
lezat. Ia memang serius dalam membuat tempe. Ia masih
ingat, bahwa ia bisa membuat tempe juga karena tidak
sengaja. Saat masih di pesantren dulu ia punya teman,
namanya Handono. Ia sangat akrab dengan Handono.
Ketika liburan panjang ia diajak Handono berlibur di
rumahnya yang terletak di sebuah kampung di pinggir
Kota Salatiga. Kampung itu namanya Candiwesi. Dikenal
sebagai salah satu kampung yang penduduknya banyak
berprofesi sebagai produsen tempe. Selama berlibur di
203

rumah Handono itulah, secara tidak sengaja ia belajar
membuat tempe sampai taraf mahir.
Kebetulan ayah Handono memang dikenal sebagai juragan
tempe terbesar di Candiwesi. Setiap hari produksinya
tiga kwintal kedelai. Memiliki pekerja tetap sebanyak sepuluh
orang. Berawal dari ikut-ikutan membantu, ia
akhirnya tertarik belajar dengan langsung praktik dari A
sampai Z. Tentang takaran kedelainya. Takaran raginya.
Cara membungkus yang ideal dan lain sebagainya. Satu
bulan penuh ia ikut magang membuat tempe. Dan sejak
saat itu ia sudah bisa membuat tempe sendiri. Bahkan ia
sering mencobanya di rumah, dan ia minta ibunya
menggoreng dan mencicipinya.
"Wah, tempemu enak sekali Zam, " puji ibunya.
Itulah rezeki silaturrahmi. Dengan bersilaturrahmi ketempat
Handono, ia jadi tambah ilmu. Ilmu membuat
tempe. Ia sama sekali tidak pernah mengira, ilmu membuat
tempe itu kemudian hari akan sangat berguna baginya,
saat ia harus mempertahankan hidupnya di Mesir.
Sangat berguna saat ia harus mandiri, tidak hanya untuk
menghidupi diri sendiri, tapi juga adik-adiknya di Indonesia.
Ia merasakan benar bahwa rezeki yang didatangkan oleh
Allah dari silaturrahmi sangat dasyat. Ia bisa sampai belajar
di Al Azhar University juga bermula dari silaturrahmi.
204

Saat itu, menjelang evaluasi belajar tahap akhir nasional,
teman satu kamarnya di pesantren sakit. Namanya Wasis.
Rumahnya di daerah Bantul. Ia mengantarnya pulang.
Setelah dibawa ke dokter ternyata Wasis sakit
thypus serius. Jadi harus dirawat di rumah sakit. Ia sempat
menemani satu hari di rumah sakit.
Saat menemani di rumah sakit itulah ia berbincang bincang
secara tidak sengaja dengan pasien satu kamar dengan
Wasis. Pasien itu juga sakit thypus dan sudah mau
dibawa pulang. Dari berbincang-bincang dengan pasien
itu, ia dapat informasi adanya test untuk mendapatkan
beasiswa ke Al Azhar. Pasien setengah baya yang ramah
itu berkata,
"Saya pernah belajar di pesantren tempat kamu belajar.
Hanya beberapa bulan saja. Bulan depan ada test penjaringan
siswa Madrasah Aliyah untuk mendapat beasiswa
Al Azhar. Kamu ikut saja test di DEPAG Pusat. Cari
informasi di sana. Nanti pada bagian pendaftaran bilang
saja disuruh Pak Dhofir gitu."
Dari info itu, ia bisa ikut test untuk mendapatkan beasiswa
kuliah di Al Azhar University. Dan diterima. Ia sampai
sekarang tidak tahu Pak Dhofir itu siapa. Yang ia tahu
Pak Dhofir yang memberi info padanya itu katanya tinggal
di daerah Kotagede Yogyakarta.
Silaturrahmi jugalah yang membuat bisnis baksonya di
Cairo berjalan lancar. Memang ia tidak banyak muncul di
kalangan mahasiswa, tapi ia sering hadir dan muncul di
acara bapak-bapak dan ibu-ibu KBRI. Muncul untuk
205

memberikan bantuan apa saja. Bahkan jika ada orang
KBRI pindah rumah ia sering jadi jujugan minta tolong.
Karena itulah ia sangat dikenal di kalangan orang-orang
KBRI. Itu sangat penting bagi bisnis baksonya.
Tanpa banyak silaturrahmi seorang pebisnis tidak akan
banyak memiliki jalan dan peluang. Benarlah anjuran
Rasulullah Saw., agar siapa saja yang ingin dililuaskan
rezekinya, hendaklah ia melakukan silaturrahmi. 49
Selesai merendam kedelai, Azzam beranjak ke kulkas
untuk mengeluarkan daging sapi yang baru tadi sore ia
masukkan ke dalam freezer. Ia keluarkan agar tidak keras.
Sebab setelah shalat Isya ia harus mengolahnya jadi bolabola
bakso. Keahliannya membuat bakso yang kini banyak
mendatangkan rezeki baginya juga karena silaturrahmi.
Jika keahliannya membuat tempe ia dapat sejak
ia masih di Indonesia, keahliannya membuat bakso justru
ia dapat setelah berada di Mesir.
Setengah tahun berada di Mesir ia kenal baik dengan Pak
Jayadi yang bekerja di KBRI sebagai lokal staf bagian
konsuler. Kenal baik karena sama-sama berasal dari Kartasura.
Pak Jayadi lahir di daerah Ngabean Kartasura. Sementara
ia lahir dan tinggal di daerah Sraten, Kartasura.
Ia jadi sering diundang dan sering datang ke rumah Pak
Jayadi yang dikenal sangat baik dengan para mahasiswa.
Apalagi yang berasal dari Jawa Tengah. Ia nyaris diang-
49 Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, Bab Shilaturrahmi wa Tahrimi
Qathiiha, Juz 2, hal. 421.
206

gap sebagai adik sendiri oleh Pak Jayadi. Pak Jayadi
hanya memiliki satu anak lelaki yang masih duduk di
kelas empat SD. Dari Pak Jayadi dan Ibu Jayadilah ia
bisa membuat bakso yang kemantapan rasanya sangat
diakui di Cairo.
Bermula sering silaturrahmi. Lalu diminta oleh Pak
Jayadi untuk ikut membantu Ibu Jayadi membuat bakso
pesanan KBRI untuk acara-acara resmi. Lalu coba-coba
membikin sendiri, ternyata diakui nyaris sama dengan
buatan Ibu Jayadi. Ia pun dikenal bisa bikin bakso. Bahkan
sempat dikenal sebagai tangan kanan Ibu Jayadi.
Ketika Pak Jayadi sekeluarga pulang ke Tanah Air untuk
selamanya, kepercayaan para pelanggan Ibu Jayadi dan
juga KBRI jatuh kepadanya. Saat itu ia sendiri sedang
sangat memerlukan datangnya sumber rezeki untuk
mempertahankan hidupnya, dan juga adik-adiknya. Jadilah
ia terjun total dalam bisnis membuat bakso.
Azzam masih di dapur, setelah mengeluarkan daging dari
freezer, ia melihat beberapa alat dapur belum dicuci. Ia
tergerak untuk mencucinya. Ini semestinya tugas Fadhil.
Karena hari ini yang bertugas masak adalah Fadhil.
Namun agaknya Fadhil kelelahan habis bertanding di
Nadi Syabab. Ketika sedang asyik mencuci panci yang
biasa digunakan untuk menyayur, Ali muncul dan
memanggilnya,
"Kang Azzam, ayo ke depan. Kita makan kibdah dulu.
Fadhil beli kibdah untuk ganjal perut!"
207

"Wah boleh juga. Oh ya, minumnya sudah ada? Kalau
belum ada biar saya masak air sekalian." Tukas Azzam
sambil merampungkan cuciannya.
"Oh ya Kang belum," jawab Ali.
Azzam mempercepat kerjaannya. Sebelum meninggalkan
dapur terlebih dahulu ia meletakkan panci yang berisi air
di atas kompor yang menyala. Mahasiswa Indonesia di
Cairo memang tidak lazim memiliki termos penyimpan
air panas. Sebab mereka biasa minum teh khas Mesir.
Teh itu lebih enak bila disedu dengan air yang masih
mendidih. Jika tidak begitu, rasanya kurang mantap.
"Wah beli kibdah banyak sekali Dhil," kata Azzam sambil
duduk di samping Fadhil. Nanang, dan Ali juga sudah
duduk mengitari kibdah yang diletakkan begitu saja di
atas karpet beralaskan koran.
"Ya Kang, ini sekaligus syukuran. Tadi saya mencetak
dua gol dalam pertandingan," jawab mahasiswa dari
Aceh itu dengan wajah berseri.
"Berarti KMA menang dong?" tanya Azzam sambil
mengambil satu kibdah.
"KMA memang menang dipermainan. Kami menguasai
bola. Tapi KEMASS ternyata mampu menjebol gawang
kami dengan dua gol. Jadi skornya 2-2."
"Wah pasti seru tadi."
208

"Seru banget!" sahut Ali, "Apalagi dua gol KEMASS itu
yang mencetak aku. Ali Mustafa El Plajuwi!" sambung
Ali sambil membusungkan dada.
"Ali tadi memang boleh. Aku salut!" Fadhil mengakui
kehebatan Ali.
"Yang penting mana syukurannya untuk dua gol. Yang
mencetak satu gol saja beli. "
"Beres. Setelah shalat Isya nanti aku beli firakh masywi.
Yang di rumah tinggal menanak nasi saja!" jawab Ali.
"Mantap. Syukran Li!" teriak Fadhil girang. Bagaimana
tidak girang, malam itu adalah tugas dia untuk masak.
Jika lauk sudah ada, hanya tinggal menanak nasi apa susahnya.
Itu sama saja dia terbebaskan dari tugasnya. Dan
ia bisa beristirahat melepas lelah.
"Ngomong-ngomong Nasir ke mana kok belum pulang?"
tanya Azzam sebagai yang dituakan.
"Nasir tadi pamit tidak pulang. Dia ada urusan ke Tanta
katanya. Hafez juga sama. Ia bilang menginap di Katamea"
jelas Nanang.
"O ya sudah kalau begitu." Kata Azzam datar. Dalam hati
ia senang Hafez langsung pergi ke Katamea. Pasti anak
itu sedang mencari tempat yang nyaman untuk mengungsi
sementara waktu. Jika ia tetap tinggal satu
rumah dengan Fadhil, akan sangat susah melupakan Cut
Mala.
209

Tiba-tiba telpon berdering. Ali yang gesit bergerak cepat
mengangkat,
"Siapa?... Dari Mala?... O ya sebentar ya?" Kata Ali. Ia
lalu menunjuk Fadhil. Semua yang ada di situ langsung
paham itu adalah telpon dari Cut Mala untuk Fadhil,
kakaknya. Fadhil langsung bergegas menerima telpon.
Azzam menarik nafas, ia tidak membayangkan jika Hafez
saat itu ada di situ dan ia yang pertama mengangkat telpon.
Seperti apa gemuruh dalam dadanya, nyala dalam
hatinya mendengar suara Cut Mala. Semalam suntuk ia
pasti tidak akan bisa tidur.
Sementara Fadhil menerima telpon, Azzam dan yang lain
melanjutkan perbincangan mereka.
"Oh ya, katanya, tadi putrinya Pak Dubes nelpon, kok
belum nelpon lagi?" tanya Azzam.
"Iya Kang. Tadi sudah aku bilang untuk telpon lagi
setelah shalat Maghrib. Kok sampai sekarang belum
nelpon ya," tukas Ali sambil beranjak ke dapur karena
mendengar suara air mendidih.
"Sampeyan sih Kang diminta menghentikan mandinya
sebentar tidak mau. Jarang jarang orang dapat telpon
dari putrinya Pak Dubes yang cantik lulusan EHESS
Prancis itu," kata Nanang menyayangkan. "Aku yakin
dia takkan nelpon lagi. Kayaknya Sampeyan yang seka210

rang harus nelpon balik Kang. Siapa tahu ini bisnis besar
Kang." sambungnya memberi saran.
Azzam diam, tidak menjawab. Fadhil meletakkan gagang
telpon, ia baru saja selesai berbicara dengan adiknya. Baru
diletakkan telpon kembali berdering. Fadhil langsung
mengangkatnya.
"Ya, hallo. Ini siapa ya?" tanya Fadhil.
"Ini Eliana . Bisa bicara dengan Mas Insinyur?"
"O bisa, sebentar Mbak Eliana ya," kata Fadhil datar.
Fadhil lalu memanggil Azzam. Azzam segera bangkit
dan menerima gagang telpon.
"Halo. Ada yang bisa saya bantu," kata Azzam.
"Ini Eliana, Mas Insinyur"
"O Mbak Eliana, apa kabar Mbak?"
"Baik."
"Pak Dubes sehat?"
"Sehat. Alhamdulillah. "
"Kok tumben nelpon kemari, ada apa Mbak?" tanya
Azzam sambil melihat ke arah Nanang dan Fadhil yang
dengan seksama memperhatikannya.
"Ini Mas, to the point saja ya?"
211

"Ya."
"Begini, dua bulan lagi saya mau ulang tahun. Ulang tahun
saya ke dua puluh empat. Saya akan merayakannya
di Wisma Duta. Sederhana saja. Tapi saya ingin yang
mengesankan. Saya ingin untuk tamu undangan disuguhi
masakan khas Indonesia."
"O bagus itu Mbak. Dua bulan lagi itu berarti kira kira
pas selesai ujian Al Azhar ya Mbak."
"Ya. Mayoritas mahasiswa sudah selesai ujian kelihatannya,
meskipun mungkin masih ada beberapa yang belum
selesai ujian. Mas Insinyur kira-kira ada waktu nggak?"
"Insya Allah ada Mbak."
"Syukurlah kalau begitu. Tapi kali ini saya tidak mau
bakso. Sudah sangat biasa."
"Mbak inginnya apa?"
"Soto Lamongan. Mas bisa bikinin buat saya?"
"Soto Lamongan?" Azzam bertanya agak ragu.
"Ya, Soto Lamongan. Bisa nggak? Mas Insinyur kan terkenal
jago masak. "
"O bisa Mbak, insya Allah bisa. Mau untuk berapa porsi?"
"Lima ratus porsi, sanggup?"
"Sanggup Mbak, asal harganya cocok aja." Azzam sudah
langsung ke hal paling penting dalam dunia bisnis
212

"Satu porsinya berapa Mas? Sama dengan bakso
gimana?"
"Wah kalau disamakan dengan bakso berat Mbak, terus
terang. Kalau bakso sudah sangat biasa, bikinnya juga
bagi saya sangat biasa. Ini Soto Lamongan lho Mbak. Tidak
ada di Cairo, dan perlu keahlian khusus."
"Ya sudah kalau gitu saya ikut Mas Insinyur, jadi
berapa?"
"Dua kali lipat bakso. Gimana? Deal?"
"Baik. Deal. Tapi nanti jangan dipas lima ratus ya. Ya ada
kelebihannya beberapa porsi gitu."
"Beres Mbak. Terus acaranya tepatnya kapan Mbak?
Tanggal berapa? Jam berapa?"
"Tepat tanggal satu awal Juli depan. Acara tepat jam
tujuh malam. Jangan lupa lho."
"Baik Mbak. Tapi tolong satu minggu sebelum hari H.
Mbak mengingatkan ya?"
"Ya. Salam buat teman-teman Mas Insinyur di situ ya?"
"Ya."
Azzam menutup gagang telpon dengan wajah berbinar.
Rezeki besar ada di depan mata. Jika satu porsi bakso
biasanya dihargai 3 pound, ini berarti untuk Soto
Lamongan ia akan dapat 6 pound satu porsinya: 6 X 500
sama dengan 3000. Dikurangi modal sekitar 400 pound.
213

Jadi dua bulan lagi ia akan dapat keuntungan kira-kira
2600 pound.
"Bisnis baru ya Kang? Kok saya tadi dengar ada nyebutnyebut
Soto Lamongan?" tanya Nanang.
"Iya, putrinya Pak Dubes itu mau ulang tahun minta
dibikinkan Soto Lamongan."
"Lho memangnya Sampeyan bisa bikin Soto Lamongan?"
"Ya belum bisa."
"Lho kok Sampeyan sanggupin?"
"Lha kan ada kamu Nang. Kamu kan orang Lamongan,
pasti bisa kan bikin Soto Lamongan."
"Waduh Kang, Sampeyan itu sungguh nekat. Aku saja
yang orang Lamongan tidak bisa bikin Soto Lamongan
kok. Kalau boleh saya sarankan batalin saja Kang.
Daripada nanti mengecewakan keluarga Pak Dubes,
reputasi yang Sampeyan bangun selama ini bisa hancur
lho Kang."
"Wah kamu itu Nang, penakut. Tak punya nyali. Ini
bisnis Nang. Bisnis! Nyawa bisnis itu keberanian Nang.
Dalam dunia bisnis yang berhasil adalah mereka yang
memahami bahwa, hanya ada perbedaan sedikit antara
tantangan dan peluang, dan mereka bisa mengubahnya
menjadi keuntungan. 50 Aku memang belum bisa bikin
50 Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari perkataan Victor Kiam.
214

Soto Lamongan, tapi aku dulu sering makan Soto
Lamongan. Kekhasan rasa dan bentuk Soto Lamongan
masih aku ingat. Yang paling penting aku merasa bisa
membikin Soto Lamongan. Dan aku yakin kualitasnya,
insya Allah sama dengan aslinya!"
"Wah Sampeyan kadang memang nekat banget Kang!"
"Bukan nekat Nang. Ini memanfaatkan tantangan
menjadi peluang. Nekat adalah untuk mereka yang tidak
tahu langkah -langkah pastinya menaklukkan tantangan.
Tapi bagi mereka yang tahu langkah -langkah pastinya
itu berarti tidak lagi nekat, tapi mengambil peluan
dengan sedikit risiko!"
"Wah kata-kata Sampeyan kayak motivator besar saja
Kang. "
"Yang aku katakan hanyalah berangkat dari pengalamanku
selama ini Nang. Aku yakin bisa. Kalau aku merasa
tidak bisa pasti sudah kutolak. Kau ingat beberapa
bulan yang lalu ketika Pak Atase Perdagangan minta
dibuatkan Garang Asem khas Kudus. Jelas aku angkat
tangan. Belum terbayang bagaimana cara membuatnya.
Apalagi Garang Asem banyak khasnya. Ada khas Kudus,
khas Kartasura, khas Salatiga, khas Semarang, khas
Boyolali. Saat itu aku melihat bukanlah suatu tantangan
yang bisa diubah jadi peluang. Lebih baik aku mundur."
"Tapi, Soto Lamongan setahuku juga ada kerumitannya
lho Kang."
215

"Aku tahu yang paling penting aku yakin bisa."
***
"Kau yakin bisa La?" tanya Anna pada Laila, mahasiswi
Indonesia yang dikenal menjadi agen tiket Malaysia Air
Lines dan Singapore Air Lines. Laila mengikuti jejak
kakaknya Nasir. Boleh dikata Laila hanyalah membantu
kakaknya. Karena dia mahasiswi, jadi promosi di kalangan
mahasiswi bisa ia lakukan dengan gencar. Apalagi
ia juga menjadi pengurus Wihdah.
Bedanya Laila dengan kakaknya, Laila termasuk jajaran
mahasiswi yang berprestasi. Tidak pernah tidak lulus
ujian. Sering nulis di buletin dan majalah. Sedangkan
Nasir, biasa-biasa saja. Aktivitasnya lebih banyak berbisnis
di Cairo. Selain bisnis tiket pesawat, Nasir juga
bisnis warnet dan jualan jahe. Ya jualan jahe. Dengan
cara, ia pergi umrah naik kapal. Lalu di Saudi membeli
jahe yang masih segar. Jahe dari Saudi itu asalnya juga
bukan dari Saudi tapi dari Asia Tenggara. Kebanyakan
dari Thailand. Ia membeli langsung beberapa kuintal. Ia
bawa ke Mesir dan ia jual ke oran gorang Mesir.
Keuntungannya selain menutup biaya umrah, juga bisa
untuk membayar sewa rumah beberapa bulan. Sebuah
bisnis yang sangat menguntungkan.
Laila yang ditanya tersenyum.
216

"Ya sangat yakinlah Mbak. Tanpa harus membawa visa
dari kedutaan Malaysia Mbak bisa masuk Malaysia.
Nanti ngambil visa entri di bandara Kuala Lumpur.
Kakak saya kan pernah pulang ke Tanah Air dan transit
dua minggu di Malaysia. Hanya saja kalau Mbak mau
transit masuk KL, ada biaya tambahan lima puluh dollar
Mbak." Laila menjelaskan panjang lebar.
"Untuk apa itu La?"
"Untuk meng-open tiket KL-Jakarta. Karena mau tinggal
beberapa hari di KL, maka harus open. Itu harganya lebih
mahal lima puluh dollar. Gimana Mbak?"
"Ya baiklah La. Uangnya besok insya Allah. Kapan tiket
bisa saya ambil? "
"Dua hari setelah uang saya terima Mbak."
"O ya Mbak, bisa tidak Lala tanya dikit sama Mbak?"
"Apa itu La?"
"Saya dengar Mbak dilamar sama Mas Furqan ya
Mbak?"
"Wah kalau itu tidak bisa dijelaskan via telpon La. Udah
dulu ya. Ini pulsanya sudah habis banyak. Yuk,
assalamu'alaikum."
"O ya Mbak wa 'alaikumussalam."
Wajah Anna merah padam. Pertanyaan Laila itu
menyentak hatinya. Dari mana dia tahu? Ia sangat yakin
217

di kalangan mahasiswi berita dirinya dilamar Furqan
pasti mulai tersebar. Yang membuatnya marah adalah
siapa yang membocorkan ini semua. Bukankah yang tahu
masalah ini selain dirinya, seharusnya hanya tiga orang,
yaitu Furqan, Ustadz Mujab dan isterinya, Mbak Zulfa.
Ada kejengkelan dan rasa marah yang memercik dalam
dadanya. Tapi ia bingung kepada siapa harus marah.
Untuk meredam amarahnya ia mengambil air wudhu.
Setelah itu ia ke ruang tamu di mana Erna dan Zahraza
sedang asyik membaca koran Al Ahram.
"Mbak kita jadi ke Palace?" tanya Erna begitu Anna
duduk di sampingnya.
Anna melihat jam dinding, lalu menjawab,
"Sekarang, sudah jam tujuh lebih lima, tapi Wan Aina
dan Sholihati belum pulang. Apa tidak terlalu malam jika
kita keluar setelah mereka pulang?"
"Iya, terlalu malam. Nanti dilihat orang tidak baik."
Sahut Zahraza sambil tetap membaca.
"Atau tidak usah ke Palace saja Mbak. Nanti kalau
mereka pulang kontak Babay saja. Pesan makanan minta
diantar ke sini." Erna memberi usul.
"Yah, nanti kalau mereka pulang kita musyawarah.
Enaknya bagaimana. Yang jelas malam ini insya Allah
tetap syukuran seperti yang saya janjikan." Jawab Anna
lirih. Pikiran Anna sedang tidak pada acara syukuran
dengan makan-makan yang ia rencanakan, tapi pada
218

berita dirinya telah dilamar Furqan yang telah diketahui
oleh orang-orang yang semestinya tidak mengetahuinya.
"Eh ini ada berita menarik di Ahram!" kata Zahraza
setengah berteriak.
"Apa itu!?" tanya Erna.
"Di sini disebutkan ada mahasiswa Indonesia yang
tinggal di Ighatsah Islamiyyah Hay El Thamin dirampok
seseorang yang mengaku sebagai anggota mabahits. 51
Mahasiswa ini menderita kerugian lebih dari seribu
dollar. Kemungkinan besar perampok itu memakai caracara
hipnotis!" jelas Zahraza.
Spontan Anna berkata,
"Berarti kita harus hati-hati. Jangan pergi-pergi sendirian!
Ternyata di atas muka bumi ini masih banyak
penjahat berkeliaran!"
51 Badan intelijen.
219

12
RUMUS KEBERHASILAN
Furqan baru saja pulang dari masjid ketika hand phonenya
berdering. Ia lihat di layar. Panggilan dari Indonesia.
Ibunya.
"Ini ibu Nak."
"Ya ada apa Bu?"
"Mungkin ayah dan ibu tidak bisa ke Cairo."
"Kenapa Bu? Apa Ibu tidak ingin melihat sidang master
Furqan yang seumur hidup cuma sekali?"
220

"Sebenarnya ayah dan ibu sangat ingin. Tapi ini kakakmu
sedang di rumah sakit."
"Ada apa dengan kakak Bu?"
"Kakakmu pendarahan serius. Padahal usia kandungannya
baru lima bulan. Ia perlu ibu di sampingnya. Sebab
suaminya sedang ditugaskan di Aceh. Ia tidak bisa cuti
untuk menunggui isterinya."
"Kalau ibu tidak bisa, apa ayah tidak bisa ke Cairo
sendiri?"
"Ayahmu tidak mau pergi sendirian tanpa ibu. Sudahlah
kami yang di Indonesia mendoakanmu, semoga kau lulus
sidang dengan hasil terbaik. Direkam saja pakai handycam,
biar nanti ibu dan ayah bisa melihat."
"Iya Bu, baik. Semoga kakak dan janinnya selamat."
"Amin."
Ada rasa kecewa yang menyusup ke dalam hatinya. Ia
ingin sekali, sidang munaqasah tesis masternya dihadiri
kedua orangtuanya. Ia telah menyiapkan semuanya.
Termasuk pergi ke Alexandria bersama ayah dan ibunya
usai sidang. Tapi benarlah kata orang bijak, manusia
boleh merancang dan merencanakan, namun Tuhanlah
yang menentukan.
Ia mengambil nafas panjang. Meskipun kecewa ia tidak
ingin rasa kecewanya mempengaruhi konsentrasinya
menyiapkan diri menghadapi pertarungan dalam sidang
221

tesisnya. Sudah setengah dari isi tesisnya yang ia baca. Ia
merasa perlu istirahat. Perutnya juga terasa lapar. Ia
melihat jam tangannya. Tujuh seperempat. Ia teringat
undangan makan malam Sara. Tapi ia ragu. Ia belum
kenal siapa itu Sara. Ia juga merasa undangan itu tidaklah
penting. Meskipun Sara adalah putri Prof. Dr.
Sa'duddin. Ia tak mau kehilangan fokus. Ia tak mau kehilangan
konsentrasi. Ia teringat pesan guru bahasa
Inggrisnya saat di Pesantren Modern dulu. Pesan yang
membuatnya sangat terinspirasi dan tergugah:
The formula for succes is simple: practice and concentration
then more practice and more concentration. (Rumus
keberhasilan adalah simpel saja, yaitu praktik dan
konsentrasi kemudian meningkatkan praktik dan
meningkatkan konsentrasi).
Undangan Sara ia anggap sebagai hal yang akan merusak
konsentrasinya. Dan itu berarti hal yang akan merusak
keberhasilannya. Maka ia putuskan untuk mengabaikannya
sama sekali. Ia memilih untuk makan malam
sendiri di restaurant hotel. Lalu kembali ke kamar untuk
rileks melihat Nile TV sebentar, lalu tidur. Ia jadwalkan
jam tiga bangun.
Ia turun ke restaurant. Memilih meja yang masih kosong
di dekat jendela kaca yang menghadap ke sungai Nil.
Panorama malam sungai Nil begitu indah. Suasananya
begitu romantis. Entah kenapa ia tiba-tiba teringat
lamarannya pada Anna Althafunnisa. Wajah Anna berkelebat
di depan matanya. Wajah yang luar biasa daya
pesonanya. Ia merasa di dunia ini tidak ada gadis yang
222

seperti Anna. Ia sangat yakin lamarannya akan sangat
dipertimbangkan oleh Anna. Ia bahkan yakin lamarannya
diterirna.
"Ia sudah tahu reputasi dan sepak terjangku selama ini"
gumamnya.
Ia merasa akan sangat berbahagia jika suatu saat nanti
bisa makan berdua di tempat yang begitu romantis dan
indah bersama Anna. Anna yang telah ia sunting menjadi
isterinya. Ia merasa keindahan tempat itu masih kurang
tanpa adanya Anna. Ia geleng-geleng kepala sendiri.
"Ini sudah dosa. Astaghfirullah. Saya tidak boleh membayangkan
yang tidak-tidak," gumamnya dalam hati. Sementara
matanya masih asyik melihat panorama sungai
Nil dengan lampu-lampu yang berjajar di tepinya. Indah
seperti taburan mutiara.
"Boleh saya duduk di sini?" Suara itu mengejutkan
lamunannya. Ia terhenyak sesaat. Yang berbicara dengan
bahasa Indonesia itu adalah turis Jepang yang sudah dua
kali ia temui. Rambutnya gondrong, berkaca mata minus
agak tebal.
"O boleh. Silakan." jawabnya agak gugup.
"Terima kasih."
"Anda bisa berbahasa Indonesia?" tanyanya dengan nada
heran.
223

"Saat di SMA dulu saya pemah ikut program pertukaran
pelajar. Dan saya ditempatkan di Indonesia selama satu
tahun."
"Di mana?"
"Di Yogyakarta."
"O pantas. Anda juga bisa berbahasa Arab."
"Bisa juga."
"Wah boleh juga. Berapa lama Anda belajar bahasa
Arab?"
"Satu tahun. Saya belajar bahasa Arab di Universitas
Aleppo, Suriah."
Furqan mengangguk-anggukkan kepala. Dalam hati ia
kagum dengan orang Jepang di hadapannya. Bahasa
Indonesianya bagus. Ia yakin bahasa Arabnya bagus.
Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Sebab saat berkenalan
di lift orang Jepang itu menggunakan bahasa Inggris.
"KaIau boleh tahu, dalam rangka apa Anda berada di
Cairo ini?" tanya Furqan.
"Emm pertama memang untuk jalan jalan. Saya sudah ke
Luxor, Sant Caterine, dan Alexandria. Kedua saya
sedang mengadakan penelitian sejarah."
"Penelitian apa kalau saya boleh tahu."
224

"Saya sedang meneliti cara beribadahnya orangorang
Mesir kuno yang menyembah matahari. Apa persamaan
dan perbedaannya dengan orang-orang Jepang yang juga
mendewakan matahari. Apa ada interaksi antara Mesir
kuno dan Jepang kuno? Apakah dewa matahari yang
disembah orang Mesir dan orang Jepang memiliki sifatsifat
dan deskripsi yang sama. Di samping itu saya juga
menemani adik saya."
"Yang bersamamu itu."
"Iya. Namanya Fujita Kotsuhiko. Anda masih ingat nama
saya?"
"Masih, nama Anda Eiji Kotsuhiko kan?"
"Ya. Ingatan Anda kuat. Anda berbakat jadi intelektual
dan ilmuwan besar."
"Terima kasih."
"Adik saya sedang tertarik pada Islam."
"Tertarik pada Islam?"
"Ya. Itu setelah dia membaca buku-bukunya Maryam
Jamela dalam bahasa Inggris. Kebetulan ia kuliah di
Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris. Kalau saya
Jurusan Sejarah. Kami sama-sama di Kyoto University. Ia
ingin lebih tahu tentang Islam. Apakah Anda bisa
membantu mempertemukan dia dengan orang yang
tepat?"
"Bisa-bisa. O ya. Anda mau makan?"
225

"Wah iya. Karena asyik ngobrol sampai lupa makan.
Ayo."
Keduanya lalu bangkit dan mengambil makan. Orang
Jepang itu memilih spagheti. Sedangkan Furqan memilih
nasi daging khas Yaman dengan lalap gargir dan buah
Zaitun. Minumnya ia pilih syai bil halib 52 hangat.
Keduanya kembali ke tempat semula.
"Waktu di Jogja saya paling suka makan Cap Jay rebus,"
kata Eiji.
"O ya."
"Menurutku Cap Jay rebus termasuk makanan paling
enak di dunia."
"O ya."
"Waktu di Jogja dulu saya punya langganan Cap Jay di
daerah Sapen. Belakang IAIN Suka. Cap Jay Mbah Giman.
Rasanya mantap."
"Wah jadi pengin ke Jogja."
"Tapi mungkin kau takkan merasakan Cap Jay Mbah
Giman."
"Kenapa?"
52 Teh susu.
226

"Empat bulan yang lalu saya ke Jogja dan Mbah Giman
telah tiada. Yang menggantikan Mbah Giman putri
bungsunya. Namanya Minarti. Hasil masakannya tak
bisa menyamai Mbah Giman. Enak sih, tapi tetap saja
tidak seenak buatan Mbah Giman." |
"Kelihatannya Anda tahu banyak tentang Jogja ya."
"Jogja telah jadi kota kedua bagi saya setelah Kyoto. Saya
lahir dan besar di Kyoto. Dan saya sangat terkesan
dengan Jogja."
Keduanya terus berbincang sambil makan.
"Adikmu tidak makan?"
"Sebentar lagi dia datang. Dia masih asyik nonton film
Lion of Desert di kamarnya."
"Film perjuangan rakyat Libya?"
"Ya. Kami dapatkan di Attaba tadi pagi."
"Sebentar saya ambil buah Zaitun lagi."
"O ya silakan."
Furqan beranjak mengambil buah Zaitun hijau. Ketika ia
kembali, Fujita telah duduk di samping kakaknya.
"Fujita, ini Furqan mahasiswa Indonesia yang sedang
belajar di Cairo University, yang berjumpa dengan kita di
lift tadi siang. Masih ingat?" kata Eiji dalam bahasa
Inggris.
227

"Tentu," jawab Fujita sambil mengangguk pada Furqan.
"Saya sering dapat cerita tentang Indonesia dari kakak
saya ini. Tapi saya belum pernah pergi ke sana,"
sambung Fujita sambil menatap Furqan.
"O ya," jawab Furqan sambil menatap Fujita sesaat.
Mata keduanya bertemu. Furqan dengan reflek menundukkan
pandangannya ke beberapa butir buah Zaitun
yang ada di piringnya. Ia harus mengakui adik Eiji itu
layak jadi model. Saat di lift ia sama sekali tidak memperhatikannya.
Wajah Fujita mengingatkannya pada
bintang film Mandarin, Rosamund Kwan. Tapi jauh lebih
segar Fujita.
Ia merasa tidak boleh berlama-lama berbincang bincang
dengan dua Jepang kakak beradik itu. Ia bisa menakar
imannya. Imannya tidak akan kuat berhadapan dengan
gadis secantik Fujita. Ia makan dengan lebih cepat.
Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba tiba Fujita
membuka suara,
"Dari kartu nama Anda yang Anda berikan kepada Eiji
saya tahu Anda kuliah di jurusan sejarah. Jurusan yang
sama dengan Eiji. Kalau boleh tahu, menurut Anda apa
sih istimewanya mempelajari sejarah?Apakah mempelajari
sejarah tidak hanya membuang-buang waktu, sebab
membuat orang terpaku pada masa lalu. Masa yang
memang sudah hilang dan tak perlu dibicarakan? Apa
tidak lebih baik mempelajari kemungkinan -kemungkinan
untuk eksis di masa yang akan datang?"
228

"Itu lagi yang kau diskusikan. Bukankah sudah sering
aku jelaskan Fujita?" potong Eiji.
"Iya. Aku sudah mendengar panjang lebar jawabanmu.
Tapi menurutku terlalu teoretis. Aku belum puas. Siapa
tahu mahasiswa Cairo University dari Indonesia ini punya
jawaban lain yang lebih simpel dan membumi," debat
Fujita.
Furqan memasukkan sendok terakhir ke mulutnya dan
mengunyahnya dengan tenang. Dua Jepang kakak
beradik itu menunggu apa yang akan diucapkan Furqan.
"Sejarahlah yang memberitahu kepada kita siapa
sebenarnya kedua orang tua kita. Siapa nama kakek
nenek kita. Sejarah jugalah yang memberitahu kepada
kita tempat dan tanggal lahir kita. Sejarah juga yang
akan memberitahukan kepada generasi mendatang
bahwa mereka ada sebab kita lebih dulu ada. Jika mereka
maju, maka sejarah yang akan memberitahukan kepada
mereka bahwa kemajuan yang mereka capai tidak lepas
dari keringat kita dan orang-orang yang lebih dulu ada.
Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa lalu
sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama
dua kali, bahkan mungkin berkali-kali. Dan itu sungguh
suatu kecelakaan yang pasti sangat menggelikan. Kirakira
itulah jawaban sederhana atas pertanyaan Anda,
Nona Fujita."
"Eemm. Sederhana penjelasannya, tidak teoretis, tapi
dalam muatannya. Terima kasih," tukas Pujita seraya
memanggut-manggutkan kepalanya.
229

Furqan melihat jam tangannya, ia harus kembali ke
kamarnya.
"Maafkan saya. Saya harus kembali ke kamar. Saya ada
pekerjaan yang harus saya selesaikan," kata Furqan
undur diri.
"Wah, sayang, sebenarnya masih ada banyak hal yang
ingin saya tanyakan. Bolehkan lain kali saya menghubungi
Anda?" tanggap Fujita.
"O. tentu, boleh saja. Nama dan alamat saya di Mesir dan
di Indonesia ada di kartu nama yang telah saya berikan
kepada kalian."
"Baik, terima kasih atas waktunya," kata Fujita.
"Dua bulan lagi saya ada rencana ke Bandung dan Jogia.
Semoga saat itu kau ada di Indonesia," sambung Eiji
sambil tersenyum.
"Semoga. Yang penting kalau kalian sedang berkunjung
di Indonesia hubungi saya. Kalau kebetulan saya ada di
Indonesia kalian bisa saya ajak jalan jalan di Jakarta dan
sekitarnya. Baik saya naik dulu. Mari."
"Mari!" Sahut Fujita dan Eiji hampir berbarengan.
Furqan bergegas naik. Sampai di kamar ia langsung
merebahkan tubuhnya di kasur. Keinginannya menonton
Nile TV telah hilang. Ia meniatkan diri untuk bangun
230

jam empat. Ketika hendak memejamkan mata, telpon
kamarnya berdering. Dengan sangat malas ia angkat,
"Siapa ya?"
"Sara."
"O Nona Sara. Maaf saya tidak bisa menghadiri undangan
Nona."
"Saya sangat kecewa! Dan saya yakin suatu saat nanti
Anda akan sangat menyesal!"
Dan klik. Telpon itu diputus. Ada nada kemarahan yang
sangat dalam pada kalimat yang didengar Furqan.
Furqan hanya menarik nafas panjang lalu kembali
merebahkan badan. Sebelum memejamkan mata, bayangan
wajah Sara hadir sesaat lalu disapu hadirnya wajah
Fujita yang sangat ketimuran. Ia teringat lamarannya
pada Anna, segera ia mengucapkan istighfar. Lalu tertidur
dengan bibir melepas zikir.
***
Azzam masih kerja di dapur. Sementara teman temannya
satu rumah sudah pulas. Nasir belum pulang. Masih ada
satu panci adonan bakso yang harus ia selesaikan. Tangan
kirinya belepotan adonan. Ia ambil adonan. Ia pencet.
Adonan itupun keluar dari sela ibu jari dan telunjuknya.
Langsung berbentuk bulat. Denga sendok yang ia
pegang dengan tangan kanan ia ambil adonan itu dan
langsung ia masukkan ke dalam air panas yang telah
mendidih.
231

Begitulah cara membuat bola bakso yang benar. Memencet
adonan harus dengan tangan kiri. Menyen
doknya dengan tangan kanan. Kalau dibalik hasilnya
tidak seperti yang diharapkan. Itu ilmu sederhana,
namun sangat penting bagi pembuat bakso. Ilmu yang
mungkin tidak ditulis dalam buku-buku resep memasak,
apalagi dalam buku-buku ilmiah.
Azzam terus membuat bola demi bola dan memasuk
kannya ke dalam air panas. Kepalanya sudah terasa
panas. Matanya telah merah. Tubuhnya telah minta
istirahat. Tapi malam itu juga harus selesai. Ia tidak
boleh kalah oleh matanya yang merah. Ia harus disiplin.
Jika tidak, besok pagi pekerjaannya akan menumpuk, dan
akibatnya bisa berantakan. Tapi jika ia tetap teguh disiplin
dan menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai
malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan
pekerjaannya yang lain akan selesai pada waktunya.
Memang, satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang
lain. Itu yang ia rasakan.
Ia melihat jam tangannya. Sudah setengah sebelas
malam. Ia istirahat sebentar, berjalan ke balkon melihat
ke jalan raya yang tampak sepi. Tapi kedai kopi di samping
jalan masih buka dan ramai. Beberapa orang duduk
menghisap shisha. Yang lain main kartu. Satu orang terlihat
duduk asyik menonton televisi yang sedang memutar
film hitam putih yang dibintangi Fatin Hamama, bintang
film legendaris Mesir. Ia menghela nafas. Dalam hati ia
berkata,
232

"Mereka kok bisa hidup dengan begitu santainya. Hidup
di dunia seolah sudah berada di surga. Membuang-buang
waktu dengan percuma begitu saja. Ah andai waktu mereka
bisa aku beli dengan beberapa pound saja pasti aku
beli. Sehingga aku bisa kuliah setiap hari, membaca buku
yang banyak setiap hari tapi juga bisa membuat bakso
dan tempe setiap hari."
Ia kembali ke dapur. Kembali mengakrabi adonan baksonya.
Meski mata telah merah, dan kepala terasa panas,
tapi ia merasa bahagia. Ia tidak merasakan apa yang ia
lakukan itu sebagai penderitaan.
Baginya kebahagiaan bukanlah sekadar mengerjakan apa
yang ia senangi, atau kebahagiaan adalah menyenangi
apa yang ia kerjakan. Ia yakin bahwa kekuatan yang
diberikan oleh Allah kepadanya lebih besar ketimbang
apapun. Jadi segala jenis pekerjaan harus diselesaikannya
dengan baik dan sempurna. Kemampuan yang diberikan
Allah kepadanya lebih besar dari tantangan yang harus
diatasinya. Ia yakin Allah selalu bersamanya. Allah sangat
memperhatikannya. Dan Allah tidak akan menyengsarakannya
karena bekerja keras. Justru sebaliknya,
Allah akan memberikan keberkahan karena bekerja
keras.
Waktu terus berjalan. Ia mendengar pintu diketuk. Ia
beranjak ke pintu. Ia lihat siapa yang mengetuk dari
lubang yang berisi lensa pembesar di pintu. Di negeri
orang kewaspadaan harus senantiasa dijaga. Keselamatan
terjaga karena sikap yang waspada. Ternyata Nasir. la
buka pintu.
233

"Assalamu'alaikum, Kang," sapa Nasir begitu pintu terbuka.
"Wa 'alaikumussalam. Malam sekali Sir, dari Tanta jam
berapa?" tanya Azzam sambil perlahan menutup pintu.
"E... jangan ditutup Kang, saya bawa teman, ia sedang
beli sesuatu. Tadi dari Tanta habis Maghrib," jawab
Nasir.
"Teman? Orang Indonesia?" tanya Azzam menyelidik.
"Bukan. Orang Mesir. Orang Tanta."
"Orang Mesir?" Azzam kaget.
"Iya. Nggak apa-apa kan Kang? Dia orang baik kok."
"Sir, kamukan sudah lama di Mesir. Dan kamu sudah tahu
bagaimana kita harus berhati-hati! Kenapa kamu tidak
minta ijin kami dulu!" Azzam berkata tegas sebagai kepala
rumah tangga.
"Afwan Kang. Ini juga tidak saya sengaja. Kami bertemu
di Ramsis. Saya kenal baik dengannya. Saya pemah ke
rumahnya dan saya dijamu oleh keluarganya. Saya mulanya
basa-basi saja menawarkan dia berkunjung ke rumah
dan menginap. Saya kira dia pasti tidak mau. Ee ternyata
kok mau. Lha bagaimana lagi? Masak harus menjilat
ludah sendiri. Ya sudah akhirnya saya ajak dia."
"Kamu sembrono Sir! Kalau kau bisa menemukan jalan
keluar agar dia tidak menginap di rumah ini sebaiknya
kau lakukan! Sebagai imam di rumah ini aku tidak meng234

ijinkan!" tegas Azzam. Ia merasa, sudah menjadi tanggung
jawabnya untuk menjaga kenyamanan dan keamanan
anggota keluarganya.
"Tolonglah Kang! Sekali ini saja! Apalagi kita kan harus
menghormati tamu!"
"Apa kau mengira aku tidak bisa menghormati tamu,
Sir?!" Suara Azzam meninggi. Nasir pucat Azzam adalah
orang yang dulu menjemputnya di bandara saat pertama
kali ia datang. Azzam juga yang dulu sangat sabar mengajarinya
memahami beberapa muqarrar awal-awal masuk
kuliah. Ia sangat segan kepadanya. Ia sangat takut jika
Azzam yang telah ia anggap sebagai kakaknya itu marah.
"Bukan begitu Kang. Baiklah saya akan berusaha dia tidak
menginap di sini. Tapi tidak apa-apa kan beberapa
menit dia masuk dan minum teh di sini?"
"Ya, boleh. Besok-besok lagi lebih hati-hati. Kita ini di
negeri orang, jangan banyak basa-basi kayak di kampung
sendiri! Saya ke dapur dulu menyelesaikan pekerjaan ya.
Biar sekalian saya masakkan air," kata Azzam seraya
berjalan ke dapur.
Nasir duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian seorang
pemuda Mesir, bertubuh agak gempal memakai baju
hijau tua datang. Nasir mempersilakan masuk. Pemuda
Mesir itu membawa roti dan kabab.
235

"Teman-temanmu sudah tidur ya?" tanya pemuda Mesir
itu pada Nasir.
"Iya. Sudah malam. Tadi masih ada satu orang yang
belum tidur," jawab Nasir seraya memberi isyarat kepada
pemuda itu untuk duduk. Ia lalu menutup pintu.
"Kalian berapa orang di rumah ini?"
"Kami berenam."
"Ada berapa kamar?"
"Tiga. "
"Jadi satu kamar dua orang. Ada satu orang yang satu
kamar sendiri? Apakah itu kau?"
"Tidak. Saya juga berdua."
"Lalu nanti aku tidur sama siapa?"
"Itu gampang. Sebentar ya saya bikin teh," Nasir bangkit
ke dapur.
"Jangan lupa saya tehnya yang kental dan gulanya
banyak," seru pemuda itu.
Tak lama kemudian Nasir keluar diiringi Azzam. Tangan
Azzam telah bersih. Ia telah selesai dari pekerjaannya.
Azzam keluar dengan menyungging senyum. Pemuda
Mesir itu berdiri dengan tersenyum.
236

"Ana min Tanta. Ismi Wail. Wail El Ahdali." 53 Pemuda itu
menjabat tangan Azzam dan memperkenalkan diri.
"Ahlan wa sahlan. Syaraftana bi ziyaratik. Ismi Azzam.
Khairul Azzam," 54 jawab Azzam.
"Masya Allah. Namamu bagus sekali. Kau pasti orang
yang memiliki kemauan keras dan karakter yang kuat."
Ujar pemuda Mesir bernama Wail. Orang Mesir memang
paling suka memuji orang yang diajak bicara.
"Doanya. Maaf saya tinggal dulu ya. Terus terang saya
harus istirahat. Jika perlu apa-apa minta saja sama
Nasir." Azzam minta diri. Ia benar-benar lelah. Ia tidak
mau terlalu lama di ruang tamu. Sebab orang Mesir jika
diajak ngobrol bisa berjam jam tidak selesai.
"Tidak makan roti dan kabab ini bersama kami?" Wail
berusaha menahan.
"Terima kasih. Saya masih kenyang. Saya tinggal dulu
ya." Jawab Azzam sambil tersenyum.
"Ya. Terima kasih. Semoga istirahatmu nyaman," jawab
Wail.
Sebelum masuk kamar Azzam sempat berkata pada Nasir
dengan bahasa Jawa,
53 Saya dari Tanta. Nama saya Wail. Wail El Ahdali.
54 Ahlan wa sahlan. Engkau telah memuliakan kami dengan kunjunganmu.
Nama saya Azzam. Khairul Azzam.
237

"Sir, ojo lali yo. Ojo kok inepke neng kene. Ora tak ijini! Wis
aku tak turu ndisik!" 55
Nasir mengangguk. Azzam mengangguk sekali lagi ke
Wail. Wail pun mengangguk dengan tersenyum.
Dalam hati Azzam minta maaf melakukan hal itu. Tetapi
ia merasa sudah menjadi tugas dan kewajibannya menjaga
keamanan rumahnya. Bukan ia berburuk sangka pada
pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan
terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja.
55 Sir, jangan lupa. Jangan kauinapkan di sini. Tidak aku ijinkan. Sudah, aku tidur dulu!
238

13
TAMU TAK DIUNDANG
Malam itu Anna tidak bisa tidur gara-gara pertanyaan
Laila tentang lamaran Furqan itu. Pikirannya tidak tenang.
Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan Mbak
Zulfa kepadanya, tapi ia belum juga bisa mengambil keputusan.
Ini adalah waktu terlama baginya dalam menimbang
sesuatu. Entah kenapa kali ini tidak mudah baginya
untuk mengatakan "tidak", seperti sebelum-sebelumnya.
Ia benar-benar belum menemukan alasan untuk menolak
lamaran Mantan Ketua PPMI yang terkenal cerdas dan
tajir itu. Juga tidak mudah untuk mengatakan "ya". Ia
belum merasakan kemantapan hati untuk menjadi pendamping
hidupnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa
239

tidak juga merasakan kemantapan hati. Ia tidak mungkin
melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima
lamaran seseorang kemudian menikah adalah ibadah.
Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai kemantapan
hati dan jiwa.
Jarum jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul dua
dini hari. Matanya tidak mau terpejam. Bagaimana jika
Furqan, atau Mbak Zulfa mendesaknya lagi untuk segera
memberi kepastian? Ia bangkit dari kasur. Duduk dan
menunduk. Kedua matanya yang sedikit merah mengguratkan
kelelahan. Namun sama sekali tidak mengurangi
pesona kecantikannya. Dari kamar sebelah sayup-sayup
ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar
Wan Aina. Mahasiswi asal Selangor Malaysia yang pernah
belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang
seorang pekerja keras.
Anna tahu persis gadis Melayu pecinta lagu-lagunya
Ummi Kultsum itu benstirahat hanya dua jam. Ia sangat
salut padanya. Wajar, jika tahun pertama di S.2 Al Azhar
dilaluinya dengan mudah. Tak ada satu mata kuliah pun
yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina.
Mengetuk pintunya pelan.
"Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar.
Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina
duduk di depan komputer tanpa jilbab. Rambutnya dipotong
pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada
buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya.
Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari240

nari indah di atas tuts-tuts keyboard komputer Anna
mendekat berdiri di sampingWanAina.
"Nerjemah apa Wan?"
"Ini Kak, nerjemah cerpennya Ibrahim Ashi," jawab Wan
Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak kukirim
ke majalah sastra miliknya Dewan Bahasa dan
Pustaka di KL," lanjut Wan Aina sambil sesekali membetulkan
tulisan yang salah.
"Apa judulnya Wan?"
"'Alal Mughtasal. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial.
Ada kalimat dari Ibrahirn Ashi yang menggelitik sekali."
Jelas Wan Aina sambil tetap mengetik.
"Kalimat apa itu Wan?"
"Ibrahim Ashi menulis: Orang-orang kaya tidak mati
mati... Orang-orang kaya bisa menyuap Izrail."
"Ada-ada saja sastrawan itu. Eh Wan, ngomong ngomong
kamu pernah nggak dikhitbah seseorang?"
"Apa Kak? Dikhitbah?" Wan Aina menghentikan jari
jemarinya. Ia memalingan wajahnya ke Anna.
"Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah nggak kamu dilamar
seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang
pertanyaannya dengan lebih jelas.
"Ya pernah lah. Sudah dua kali. Tapi dua-duanya aku
tolak mentah-mentah!"
241

"Kenapa?"
"Sebab aku tidak yakin bisa mencintai dia."
"Meskipun agamanya baik?"
"Ya. Yang kucari adalah yang agamanya baik dan aku
yakin bisa mencintainya. Aku bisa berbakti padanya dengan
penuh rasa suka, rasa cinta dan ikhlas. Kenapa Kak
Anna tiba-tiba bertanya khitbah padaku? Apa ada yang
mengkhitbah lagi?"
"Iya. Tapi yang ini membuatku susah."
"Kenapa?"
"Aku belum yakin bisa mencintainya. Namun aku juga
masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada
WanAina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang paling
aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewasa
dan bisa menjaga rahasia.
"Menurutku kakak tidak usah tergesa-gesa. Kak Anna
tunggu dulu sampai benar-benar siap mengambil keputusan
yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar,
ya biar mundur. Jangan tergesa-gesa memutuskan Kak.
Tergesa-gesa itu datangnya dari setan. Menentukan
siapa yang jadi pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan
menentukan nasib kita selanjutnya. Harus benar
benar matang dan penuh pertimbangan. Oh ya Kak, bagaimana
tiketnya? Sudah beres?"
242

"Besok saya bayar insya Allah. Dua hari lagi bisa saya
ambil."
"Baguslah. Tiket Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke
Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah Hari Ahad
kita ikut seminar sehari tentang Ulama Perempuan di
Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI,
Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil. Hari
Seninnya kita terbang ke KL. Keluarga saya akan menanti
kita di air port. Kak Anna tak usah kuatir. Saya sudah
cerita semua pada mereka. Mereka sangat berbahagia
dengan kedatangan Kakak."
"Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia
pikiranku bisa lebih jernih dan tenang. Dan kupikir masalah
khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah
dan ummiku di Indonesia."
"Itu lebih baik Kak."
"Kau sudah Tahajud Wan?"
"Belum Kak."
"Kita Tahajud bareng yuk. Kita gantian jadi imam biar
sekalian muraja'ah." 56
"Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu
ya. Kakak ambil wudhu dan shalat dulu saja di kamar
kakak. Nanti saya ke sana."
56 Mengulang hafalan (Al-Quran).
243

"Baiklah." Jawab Anna dan langsung bergegas mengambil
wudhu.
* * *
Jam beker di kamar Azzam terus berdering. Azzam
masih saja pulas. Jarum menunjukkan pukul dua empat
puluh menit. Tak lama kemudian jam beker itu berhenti.
Lima menit kemudian jam beker yang satunya berdering.
Sudah menjadi kebiasaan Azzam memasang dua beker
untuk mengamankan dirinya agar bisa bangun malam. Ia
masih ingat pesan ibunya sebelum berangkat ke Mesir,
Jangan tinggalkan shalat malam!"
Jam beker kedua sudah dua menit berdering, Azzam
tidak juga bangun. Tiba-tiba...
Dar... dar... dar..!
Azzam tersentak. Seluruh penghuni rumah itu juga
terbangun kaget! Dan...
Dar..dar..dar...!
Iftahil baab! If tahil baab! 57
Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah
untuk membuka pintu juga dengan suara keras Mata
57 Buka pintu! Buka pintu!
244

Azzam masih berkunang-kunang. Kepalanya masih terasa
sangat berat. Namun telinganya bisa menangkap jelas
suara perintah membuka pintu itu. Ia bisa menangkap
dengan jelas itu adalah suara orang Mesir. Belum sempat
beranjak dari tempat tidur. Gedoran keras kembali terdengar.
Dar..dar..dar...!
Iftahil baab! Iftahil baab!
Ia tersadar dengan membawa kemarahan di ubun ubun
kepalanya.
"Orang Mesir tak tahu adab dan sopan-santun! Malammalam
menggedor-gedor rumah orang seenaknya. Memang
rumah mbahnya apa!" Sengitnya pada diri sendiri
seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya
yang lain sudah bangun. Nanang mengikutinya di belakang.
Ketika ia hendak membuka pintu, gedoran di pintu
mengagetkannya,
Dar..dar..dar...!
Iftahil baab! Iftahil baab!
Spontan ia berteriak keras:
"Na'am ya alilal adab! " 58
58 Ya, hai orang yang kurang ajar!
245

Lalu membuka pintu. Begitu pintu terbuka ia kaget bukan
kepalang. Seorang berpakaian serangam hitam langsung
menodongkan senjata kepadanya dan membentak,
"Mana Wail!"
Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang
berseragam hitam menerjang masuk dan langsung menutup
pintu. Azzam berusaha tenang, meski nyalinya ciut
saat itu.
"Di rumah ini tak ada yang bernama Wail! Kami juga
tidak mengenal Wail kecuali Wail Kafuri penyanyi pop
yang terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara
sedikit bergetar.
"Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah
ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, kalian
semua akan kami bawa! Kami mabahits 59 dari amn
daulah! " 60 Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis
itu menjelaskan siapa mereka dengan nada ancaman yang
membuat Azzam tersadar dengan siapa dia berhadapan.
Azzam langsung pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya
dan Wail masih ada di situ, menginap di situ,
maka habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap
Nasir mematuhi perintahnya. Entah kenapa, ia yakin
Wail tidak ada di situ, maka dengan tegas ia menjawab,
59 Inteljen.
60 Keamanan Negara.
246

"Kapten, meskipun kalian mabahits, kalian tidak bisa
seenaknya masuk rumah kami tanpa ijin. Tidak bisa
seenaknya menginjak-injak kehormatan kami. Kami tidak
kenal siapa itu Wail yang kalian maksud. Di rumah ini
tidak ada yang bernama Wail. Sebaiknya kalian segera
keluar dari rumah ini. Karena kami tidak mengijinkan
kalian masuk!"
"Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. Jangan macammacam!"
bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan
tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh
sudut ruangan.
Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gemetar. Bibir mereka
biru. Tak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tak terasa
ada yang membasahi celana Fadhil. Anak Aceh itu didera
ketakutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun
silam langsung hadir kembali. Kejadian saat itu langsung
mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam di
Aceh, saat rumahnya didatangi tentara berseragam
tengah malam. Mereka menuduh ayahnya sebagai anggota
gerakan pengacau keamanan yang dianggap paling
menyengsarakan rakyat Aceh dan dianggap membahayakan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ayahnya yang hanya seorang guru ngaji biasa, dan
pedagang biasa, jadi bulan-bulan tentara-tentara itu.
Ayahnya lalu dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentaratentara
itu datang lagi membawa ayahnya ke rumah dalam
kondisi antara hidup dan mati. Satu hari berikutnya
ayahnya meninggal di pangkuannya dengan meninggalkan
pesan singkat,
247

"Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati!
Jadilah orang Aceh sejati!"
Tiba-tiba Fadhil merasa tulang-tulangnya seperti hilang.
Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia
pingsan. Tubuhnya ambruk di lantai. Azzam kaget. Demikian
juga Ali dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di
tempatnya. Ia ragu untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai
kepala rumah tangga ia harus bertanggung jawab.
Maka dengan cepat ia melihat kondisi Fadhil. Ali dan
Nanang masih mematung di tempatnya.
"Jika ada apa-apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggung
jawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung
dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu
akan diselesaikan secara diplomatik!" Geram Azzam sambil
memandang si Kumis Tipis. Ia lalu memeriksa denyut
nadinya. Masih. Si Kumis Tipis ikut memeriksa lalu
berkata,
"Dia hanya kaget. Tak apa-apa. Nanti juga bangun!"
Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa
di kamar. Mereka meneliti kondisi kamar dengan seksama.
Termasuk buku-buku yang ada di semua kamar.
Lima belas menit kemudian, mereka keluar dan memberikan
laporan pada si Kumis Tipis,
"Komandan, yang kita cari tak ada di rumah ini. Setelah
kami periksa juga tak ada yang mencurigakan. Buku
buku yang mereka baca biasa saja!"
248

"Hmm begitu ya! Tapi aku kok masih merasa laporan ke
kita bahwa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu
sangat tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis
yang ternyata adalah komandan operasi mabahits itu.
Azzam mendengar dengan seksama. Kalimat yang
terakhir disampaikan sang komandan menjadi catatan
baginya. Tukang sayur yang mana yang menjadi
anggota mabahits itu. Azzam meminta Ali dan Nanang
mengangkat Fadhil ke tempat tidurnya. Dalam hati ia
bersyukur, Nasir dan Wail yang beberapa jam yang lalu
ada di situ, saat itu tidak ada di situ.
Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan
ulang dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke kolong tempat
tidur, kamar mandi dapur dan dua balkon. Ia tidak
menemukan apa yang ia cari. Ia lalu mengorek-ngorek
tempat sampah. Dan menemukan sesuatu. Beberapa biji
tusuk kabab, dan bungkus roti. Ia bawa barang bukti
yang membuatnya merasa menang.
Di kamar Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan
Nanang agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang
bicara menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta
mengiyakan apa yang dikatakannya dan menidakkan apa
yang ditidakkannya. Azzam menduga komandan mabahits
itu akan melakukan penyelidikan serius dan akan
menginterogasi dirinya dan teman-temannya untuk
mendapatkan apa yang dicari. Ia sendiri tidak mau tahu
apa urusan mabahits Mesir itu dengan Wail, pemuda
yang dibawa Nasir. Yang paling penting baginya adalah
249

menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota keluarganya
dari bahaya yang sedang mengancam mereka.
Dugaan Azzam benar.
"Kalian bertiga keman! Temanmu yang pingsan itu biar
ditunggui anak buahku. Tenang, aku akan bertanggung
jawab jika ada apa-apa dengan temanmu yang penakut
itu!" Kata komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang
tegas.
Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang.
Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi
ia sadar bahwa dirinya tinggal di negeri orang.
Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Nanang
duduk di sampingnya. Sang komandan memegang
tusuk kabab sambil tersenyum,
"Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini? "
Azzam langsung sadar akan digiring ke mana ia dan
teman-temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab,
"Saya!" Dalam hati ia meneruskan: "tidak membelinya."
Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari
mabahits itu.
"Kamu?!" Komandan itu kaget dengan ketegasan Azzam.
"Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang.
"Benarkah perkataannya? Hei kau, siapa namamu?" tanya
komandan kepada Ali.
250

"Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan ya berati ya."
Jawab Ali pelan.
"Apa kau tahu kapan dia belinya?"
"Persisnya saya tidak tahu. Saya tidur awal tadi. Dan dia
selalu tidur paling akhir. Bisa jadi saat saya tidur dia
membeli kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang
lapar. Sebab dia tidak bisa tidur jika perutnya lapar."
Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek
Azzam berkomentar santai,
"Malam ini adalah malam yang takkan kami lupakan.
Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang
sangat menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata
keliru. Malam ini kami dibangunkan dengan paksa hanya
untuk ditanya tentang siapa yang membeli tusuk kabab.
Kenapa tidak memerintahkan kepada semua penjual
kabab agar setiap pembelinya menyerahkan tanda
pengenal untuk didata. Sehingga dengan mudah akan
diketahui siapa saja yang membeli kabab."
Kata-kata Azzam itu membuat telinga komandan
mabahits panas. Serta merta ia menunjukkan bahwa
dialah sebenarnya sang tuan rumah.
"Tolong tunjukkan paspor kalian! Saya ingin tahu apa
kalian legal berada di negeri ini!" Kata sang komandan
dengan nada marah.
251

"Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Ia lalu bangkit
menuju kamarnya untuk mengambil paspor. Hal yang
sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga
menyerahkan paspor kepada komandan itu. Sang komandan
lalu memeriksa paspor-paspor itu dengan seksama.
Tak ada yang tidak beres. Namun komandan itu masih
belum puas.
"Kalian satu rumah ini berapa orang?" Selidik komandan
itu.
Dengan tegas Azzam menjawab, "Lima orang, ditambah
saya jadi ada enam orang! " Azzam tidak berani bohong.
Sebab ia yakin komandan itu akan mencari kepastian
dengan melihat akad kontrak sewa rumah. Yang biasanya,
di akad kontrak itu, tertera berapa orang yang
mengisi rumah itu.
"Jadi enam orang ya?" Ulang komandan.
"Ya."
"Berarti dua orang tidak ada di rumah?"
"Ya."
"Di mana mereka?"
Azzam pura-pura bertanya pada Ali, "Di mana mereka
Li?"
Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui "Yang satu
sedang di Tanta dan yang satunya di Katamea."
252

"Di Tanta dan Katamea?" Ulang komandan .
"Ya!" Jawab Ali tegas.
"Untuk apa kira-kira teman kamu pergi ke Tanta? Dan
untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan
tetap mengarahkan pandangan ke Nanang.
"Ya, biasa berkunjung ke rumah teman. Sesama orang
Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di
Cairo."
"Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu?"
"Nasir."
"Yang ke Katamea?"
"Hafez."
"Tolong saya ingin lihat surat akad perjanjian sewa
rumah ini!" Pinta Sang Komandan.
Dugaan Azzam kembali benar. Azzam langsung bergegas
mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian
surat akad sewa rumah itu telah ada di tangan sang
komandan berkumis tipis. Surat itu diteliti dengan
seksama terutama nama-nama penghuni rumah. Semua
sesuai dengan keterangan Azzam. Komandan itu mengangguk-
anggukkan kepala.
"Mungkin benar kata an ak buah saya, kami salah rumah.
Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami
253

minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih
bersahabat.
"Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pingsan.
Kami minta pertanggung jawaban!" tukas Azzam.
"Dia tidak apa-apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan
dia sampai kencing. Nanti dia akan bangun dan baik
kembali. Anggap saja ini latihan membina mental dia."
jawab komandan itu diplomatis.
"Kalau ada apa-apa dengan dia bagaimana? Apa kalian
akan lepas tangan begitu saja? Kalau kalian tidak mau
bertanggung jawab, kasus ini akan kami angkat ke
permukaan. Akan kami tulis di koran-koran dunia. Kami
akan minta wartawan yang bisa menulis untuk menulisnya."
Azzam tak mau kalah, sebab ia merasa benar.
Sudah menjadi watak Azzam untuk sebuah kebenaran ia
siap berduel sampai mati.
"Baiklah. Jika ada apa-apa temui saya di kantor mabahits
Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Letnan Kolonel
Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau
rawat dulu. Jangan banyak berbuat ulah di Mesir. Ijin
kalian di sini hanya untuk belajar. Ingat itu!"
Tanpa menunggu jawaban Azzam, komandan itu bangkit
dan mengajak ketiga anak buahnya meninggalkan rumah
itu. Ali dan Nanang cepat-cepat ke kamar Fadhil. Azzam
mengucap hamdalah dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan
apa yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali
jadi menginap di situ. Ia menyandarkan punggungnya ke
254

kursi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu: Nasir dalam bahaya.
Dalam bahaya jika terus bersama Wail. Tetapi di mana
Nasir berada malam itu? Ia tidak tahu. Yang jelas ia
harus secepatnya tahu di mana Nasir berada. Baru ia bisa
mengambil langkah.
Azzam melihat jam dinding. Sudah jam setengah empat
lebih dan ia belum shalat malam. Ia pernah mendengar
dari seorang ulama bahwa shalat malam dapat menghapus
kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin
shalat beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil
yang masih pingsan.
255

14
HARI YANG MENEGANGKAN
Matahari pagi mulai menyinari bumi Kinanah. Sinarnya
hangat, sehangat celoteh anak-anak Mesir yang keluar
dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Di rumah
Azzam suasana tegang belum hilang. Fadhil belum juga
sadar sampai jam enam pagi.
"Bagaimana ini Kang?" tanya Nanang cemas.
Azzam berpikir sebentar. Ia memang yang harus memutuskan.
Sebab ia yang paling tua di rumah itu.
"Kita bawa ke rumah sakit . Kau cari taksi sana sama Ali.
Fadhil biar aku yang tunggu!" kata Azzam.
256

"Baik Kang."
Nanang dan Ali lalu keluar untuk mencari taksi. Lima
belas menit kemudian mereka kembali dengan membawa
taksi. Pagi itu juga Fadhil mereka bawa ke Mustasyfa 61
Rab'ah El Adawea. Dokter yang memeriksa mengatakan,
Fadhil harus dirawat di rumah sakit.
Pagi itu menjadi pagi yang sangat sibuk bagi Azzam. Ia
teringat bahwa ia harus menyelesaikan pekerjaan pekerjaannya.
Rendaman kedelai yang harus ia olah jadi tempe.
Tempe-tempe yang sudah jadi yang harus ia distribusikan.
Kemudian acara di Sekolah Indonesia Cairo
(SIC) yang memesan bakso padanya. Jam sebelas ia dan
baksonya harus siap di SIC. Jika tidak ia akan dimarahi
banyak orang.
Ia merasa perlu mendelegasikan tugas dan pekerjaan.
Yang bisa dilakukan orang lain biar dilakukan orang lain.
Sementara ia akan menangani yang hanya bisa ia tangani.
Ia bergerak cepat. Ia meminta Ali menjaga Fadhil.
Nanang ia minta menghubungi KMA, Keluarga Mahasiswa
Aceh, juga adik perempuannya yang tinggal di Makram
Abied. Sementara ia sendiri harus segera kembali ke
rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Aku kembali ke sini bakda Zuhur, insya Allah. Habis dari
KMA kau langsung balik lagi ke sini ya N ang?" kata
Azzam.
Nanang mengangguk.
61 Rumah Sakit
257

"Nasir bagaimana Kang?" Tanya Nanang.
"Biar aku yang mengurus. Baik, aku tinggal dulu." Jawab
Azzam.
Sampai di rumah Azzam langsung mengontak Anam,
Yayan dan Rio. Tiga orang yang selama ini ikut mendistribusikan
tempe-tempenya. Agar nyaman Azzam
membagi wilayah operasi mereka. Mereka sebenarnya
tinggal enak, karena hanya mengantar ke rumah-rumah
para pelanggan yang telah dirintis Azzam. Namun
mereka juga diberi kebebasan mencari pelanggan baru di
wilayahnya masing-masing. Untuk Anam, Azzam memercayakan
beroperasi di Abdur Rasul, Rab'ah, Haidar
Tuni. Sedangkan Yayan, beroperasi di Masakin Ustman,
Hay Zuhur dan Hay Sabe'. Adapun Rio beroperasi di
Katamea.
Tiga mahasiswa itu langsung datang. Azzam meminta
mereka segera mendistribusikan tempe-tempe yang telah
jadi ke wilayah masing-masing, kecuali Rio.
"Sementara Rio, kau membantuku membuat tempe saja."
UjarAzzam pada Rio. Rio pun mengangguk setuju.
Azzam langsung memberi petunjuk pada Rio. Pertama ia
minta Rio merebus kacang kedelai yang direndam sampai
matang.
"Tanda kedelainya sudah matang, jika uapnya sudah
berbau kedelai," jelas Azzam pada Rio. Jika sudah matang
tiriskan sampai dingin. Baru diberi raginya," lanjut
Azzam.
258

"Raginya seberapa Kang?" tanya Rio
"Jangan banyak-banyak. Ini ragi keras. Segini saja,"
jawab Azzam sambil memberi contoh takaran ragi dengan
mengambil ragi dengan tangannya.
"Baru setelah itu dibungkus dengan plastik itu. Ukurannya
seperti biasa," lanjutAzzam. Untuk membuat tempe
Azzam hanya bisa percaya pada Rio. Anak dari Tuban
itulah yang paling sering membantunya membungkus
tempe. Dan hasil bungkusannya rajin dan bagus.
Setelah semuanya ia rasa beres, ia menyiapkan segala
kebutuhannya membuat bakso. Semua barang dan alat
yang ia butuhkan ia masukkan ke dalam panci besar. Ia
lalu memanggil taksi. Dengan taksi ia membawa panci
besar itu menuju SIC yang letaknya cukup jauh dari
rumahnya. Dalam perjalanan, ingatannya tertuju pada
Fadhil yang saat ia tinggalkan masih pingsan. Ia berharap
tidak terjadi apa-apa dengannya.
* * *
Pukul delapan Furqan baru terbangun. Ia sangat kaget.
Bagaimana bisa terjadi? Seharusnya ia bangun jam empat.
Bagaimana bisa kebablasan sampai pukul delapan. Ia
merasa ada yang sangat menyiksanya. Ia tidak hanya kehilangan
shalat Tahajud. Namun ia juga kehilangan shalat
Subuhnya.
259

Ia beristighfar berulang kali. Belum juga kekagetannya
reda. Ia kaget dengan keadaannya.
"Laa haula wa la quwwata illa billah! Inna lillah!" Ia
berkata setengah teriak. Ia kaget bagai tersengat listrik.
Bagaimana mungkin ia bisa tidur tanpa busana. Tidur
hanya bertutupkan selimut saja. Padahal ia tidur tidak
dalam keadaan seperti itu. Ia tidur dengan kaos panjang
dan celana panjang. Ia melihat kaos panjang dan celana
panjangnya tergeletak di lantai. Ia bingung dengan
diriya sendiri. Apa saat tidur dia mengigau dan melepas
pakaiannya tanpa sadar. Ia merasa tidak yakin. Sepanjang
hidupnya baru kali ini ia bangun tidur dengan kondisi
yang menurutnya sangat memalukan.
Ia langsung bangkit, mencuci muka dan mengambil air
wudhu. Ia harus segera meng-qadha shalat Subuh. Pikirannya
benar-benar kacau. Hatinya tidak tenang. Ia
shalat dengan tidak bisa khusyuk sama sekali. Perasaan
berdosa karena shalat tidak tepat pada waktunya terus
menggelayut di pikirannya. Pagi yang bagi sebagian besar
penduduk Kota Cairo sangat cerah itur baginya terasa
sangat suram.
Kekagetannya tidak berhenti sampai di situ. Selesai shalat
ia bermaksud menghidupkan laptopnya dan untuk
mendengarkan nasyid Raihan dengan winamp, namun ia
tersentak dengan adanya sebuah foto di atas laptopnya
yang tergeletak di atas meja. Poto itu adalah foto dirinya
dengan seorang perempuan berambut pirang dalam kondisi
sangat memalukan. Foto yang membuatnya gemetar
dan didera kecemasan luar biasa, juga rasa geram yang
260

menyala. Sesaat ia bingung harus berbuat apa. Ia sendiri
tidak tahu perempuan berambut pirang itu siapa? Bagaimana
itu semua bisa terjadi? Dan dirinya? Apa yang sebenarnya
telah dilakukan perempuan itu pada dirinya?
Dan apa yang telah dilakukannya dengan perempuan itu?
Serta merta ia disergap rasa sedih yang menusuk nusuk
jiwa. Airmatanya meleleh. Ia merasa telah ternoda. Harga
diri dan kehormatannya telah hancur. Ia merasa tidak
memiliki apa-apa. Ia merasa menjadi manusia paling terpuruk
dan terhina di dunia. Sesaat lamanya ia bingung.
Ia didera rasa cemas dan ketakutan yang begitu besar
sehingga ia tidak tahu harus berbuat apa? Foto itu ia
rasakan bagaikan pedang yang siap menggorok lehernya.
Dunia terasa hitam-pekat baginya.
Ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia meyakinkan dirinya
bahwa ia adalah seorang lelaki. Ya. Seorang lelaki
sejati tepatnya. Seorang yang berani menghadapi masalah
yang ada di hadapannya. Ia adalah Mantan Ketua
PPMI yang disegani. Ia harus bisa menguasai diri. Harus
bisa bertindak tepat, cepat dengan akal sehat. Ia amat i
foto itu sekali lagi. Ia balik. Ia menangkap sesuatu.
Sebuah pesan singkat:
Please read "myoptions.doc" in ur notebook!
Furqan langsung menyalakan laptopnya dan mencari file
yang beriudul myoptions.doc. Langsung ketemu. Ia buka.
Sebuah pesan dengan bahasa Arab muncul di layar.
261

Tuan Furqan, begitu bangun tidur Anda pasti kaget
dengan keadaanmu dan dengan apa yang kau temukan.
Saya sudah tahu siapa Anda. Tak usah berbelit-belit. Kita
langsung ke inti masalah. Ini murni masalah bisnis. Bisnis
kecil-kecilan antara Tuan dan saya. Saya sudah punya
foto-foto "menarik" dengan Tuan. ]ika Tuan ingin fotofoto
ni tidak jadi konsumsi umum maka sebaiknya Tuan
melakukan dua hal ini:
Pertama, jangan lapor ke polisi.
Kedua, silakan transfer uang sebesar 200.000 USD.
ke nomor rekening ini: 68978967605323 Banca Com -
merciale Italiana Roma (jangan lupa dicatat, sebab begitu
file ini Tuan tutup, file ini akan langsung musnah). Saya
beri tenggang waktu 2 x 24 jam untuk mentransfer.
Ketiga, setelah uang masuk rekening saya, maka saya
akan kirim seluruh film negatif dari foto-foto tersebut dan
saya jamin tak ada yang saya tahan.
Terima kasih atas kerjasamanya.
Miss Italiana.
Furqan tertegun di depan layar laptopnya. Ia diintimdasi.
Ia mau diperas. Ia tidak percaya ini akan terjadi padanya.
Ini seperti di film-film yang pernah ia tonton. Siapakah
Miss Italiana itu? Tiba-tiba ia teringat Sara. Apakah ini
semua ada hubungannya dengan undangan Sara? Juga
kekecewaan Sara? Siapakah Sara sebenarnya? Benarkah
ia putri Prof. Sa'duddin seperti yang diakuinya? Akal
sehatnya mulai berjalan. Namun ia tetap dicekam kece262

masan dan ketakutan. Ia seperti diseret masuk ke dalam
dunia yang kelam.
263

15
PESONA GADIS ACEH
Begitu sampai di SIC, Azzam langsung membuat kuah
untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta menyicipi
bola bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permintaan
mereka. Sebab jika satu anak diberi yang lain pasti
akan minta. Dengan bijak ia menjawab,
"Jangan kuatir, nanti kalian semua akan mendapat jatah,
masing-masing anak satu mangkok bakso. Sabar sedikit
ya."
Seorang anak yang terkenal suka usil menukas,
"Walah minta satu saja tak boleh. Dasar pelit!"
264

Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak kaget mendengarnya.
Sudah sering dan biasa. Maka ia tidak nenjawab
apa-apa. Sebab saat nanti acara selesai, dan masih ada sisa
bakso, anak-anak itu akan minta lagi Biasanya ia akan
meluluskan permintaan mereka. Dan mereka akan berkata
padanya, "Mas Insinyur memang pemurah dan baik
hati. Makasih ya Mas."
Acara di SIC selesai tepat pukul dua belas siang. Dari
acara itu Azzam mendapat keuntungan bersih tujuh
puluh dollar. Azzam langsung pulang ke Mutsallats.
Nasir ternyata telah ada di rumah. Sedang menanak nasi
dan membuat telur ceplok.
"Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman-teman pada di
mana Kang kok sepi?" tanya Nasir santai sambil membalik
telur ceploknya. Kelihatannya ia sama sekali tidak
tahu apa yang telah terjadi di rumah itu.
"Mereka sedang di rumah sakit Rab'ah?" jawab Azzam
sambil meletakkan panci besar dan perkakasnya pada
tempatnya.
"Di rumah sakit? Siapa yang sakit Kang?" Nasir kaget.
Pandangan matanya beralih dari telur ceploknya ke
wajah Azzam.
"Fadhil." Ucap Azzam datar.
"Fadhil?! Sakit apa Kang?"
"Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik
saja. Sudahlah nanti kuceritakan semuanya."
265

Azzam masuk ke kamarnya untuk istirahat. Sementara
Nasir makan dengan sangat lahap. Nasi panas, telur ceplok
dan kecap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang
pernah nyantri di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan
lelah masih tampak jelas di wajahnya. Namun guratan lelah
itu masih belum seberapa jika dibanding guratan
lelah wajah Azzam yang kini menelentangkan tubuhnya
di atas tempat tidurnya.
Azzam memejamkan mata, tapi pikirannya mengembara
ke mana-mana. Mengembara ke ruang-ruang kelelahan
demi kelelahan, tanggung jawab demi tanggung jawab,
bakti demi bakti. Perjalanan hidup yang harus ditempuhnya
di Cairo adalah kerja keras, tetesan keringat, mata
yang kurang tidur, pikiran yang penuh, dan doa yang
dibalut tangis jiwa. Ingatannya pada ibu dan adik-adiknya
adalah tanggung jawab sebagai seorang lelaki sejati
yang beriman. Ingatan pada ayahnya adalah kewajiban
bakti seorang anak mengalirkan doa pembuka rahmat
Allah di alam baka.
"Kang apa yang sesungguhnya terjadi pada Fadhil?"
Nasir duduk di sampingAzam. Ia tahu Azzam tidak tidur.
Azzam bangkit perlahan lalu duduk.
"Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sesungguhnya yang
telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja,
ia tahu Azzam belum selesai bicara. Justru baru memulai
bicara. "Tadi malam terjadi peristiwa besar di rumah ini.
Peristiwa yang tak lain adalah getah dari tindakan ketidak
hati-hatianmu," lanjut Azzam. Nasir kaget mendengarnya.
266

"Tindakan saya yang mana Kang?!" tanya Nasir dengan
nada protes.
Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan
detil. Tak dikurangi dan tak dilebihi. Mata Nasir berkaca
kaca. Ia baru mengerti dengan "tindakan ketidak-hatihatiannya
yang dimaksud Azzam.
"Maafkan saya Kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai
terjadi hal yang tidak diinginkan seperti itu. Saya beruntung
satu rumah bersama orang yang berjiwa mengayomi
dan melindungi seperti Sampeyan. Sekarang saya
harus bagaimana Kang baiknya?" Ucap Nasir dengan disertai
rasa penyesalan yang dalam.
"Untuk sementara, selama kau di Mesir hapus itu nama
Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan
orang Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan
sok terlalu akrab. Bergaul sewajarnya selain membuat
kita waspada juga membuat kita lebih dihormati di
negeri orang. Yang jelas mungkin kau sedang dicari
mahahits. Bersikap biasa saja. Jika suatu kali diinterogasi
mahahits jawablah yang wajar saja. Yakinkan mereka
bahwa kau tidak berbuat macam macam di tanah mereka
ini. Yakinkan mereka bahwa konsentrasimu adalah belajar
di Al Azhar. Jangan pernah mengisyaratkan kau kenal
dan punya hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam
menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting
bagi orang yang terlalu familiar dengan siapa saja seperti
Nasir. Sikap familiar yang terkadang berlebihan, sehingga
berpeluang mengundang hal-hal yang tidak diinginkan.
267

"Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik kok Kang. Dia
bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah
Mahallet Marhum, dekat Tanta."
"Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku
percaya kok teman -temanmu baik. Tapi yang terbaik
bagi kita saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn
Daulah Mesir merasa punya urusan dengan Wail. Kita
biarkan itu sebagai urusan mereka. Kita di sini adalah
tamu. Dia orang Mesir. Dia lebih tahu Mesir daripada kita.
Wail pasti memiliki cara untuk menyelesaikan urusannya.
Kita urus saja urusan kita sebaik-baiknya.
"Bukankah urusan kita sendiri masih banyak?" tegas
Azzarn.
"Ya Kang."
"Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah."
"Baik Kang. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian
ya Kang? Tadi pagi aku belum mandi."
"Ya. Tapi cepetan ya."
"Ya Kang."
Saat Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia
pasrahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya
untuk lebih merasa yakin bahwa pekerjaan anak
buahnya itu beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat
beberapa calon-calon tempe di rak. Ia ambil satu, ia teliti.
"Bagus. Rio bisa diandalkan," lirihnya.
Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak bisa
membuat sendiri tempenya, ia bisa menyerahkannya pada
268

Rio. Dengan begitu bisnisnya akan tetap lancar. Dan Rio
juga senang, sebab dia akan mendapat tambahan gaji.
Nasir benar-benar mandi cepat. Entah apa yang ia lakukan
di kamar mandi. Rasanya baru masuk sudah keluar
lagi. Ia langsung masuk ke kamarnya dan gan ti pakaian.
Sepuluh menit kemudian mereka berdua sudah keluar
rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya. Begitu
ada bus nomor 65 mereka naik. Selama dalam perjalanan
yang tidak lama itu Azzam tidur. Nasir masih didera rasa
bersalah. Tadi malam ia nyaris mau nekat tetap menginapkan
Wail di rumah. Namun ia ingat, jika Azzam marah,
maka seisi rumah pasti akan juga marah.
Karena itulah, begitu selesai makan roti dan kabab, ia
mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail
akhirnya menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa asal
Pahang, Malaysia yang sama-sama agen tiket Malaysia
Air Lines. Mat Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat
senang dengan kedatangan Wail. Mereka bertiga
tidak tidur. Sebab Wail banyak bercerita tentang masa
kecilnya dan juga kedamaian desanya. Cerita yang enak
didengar dan mengasyikkan, karena Wail sering membumbui
dengan humor-humor yang menyegarkan. Ia
masih ingat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail berkata,
"Waktu kecil dulu aku paling suka mendengar cerita
cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan
cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari
anak-anak desa kami membaca Al-Quran. Sekarang
dia bekerja di kementerian wakaf di Cairo. Saya masih
269

ingat satu cerita dari Ammu Husni tentang Abu Nuwas.
Cerita yang jika saya mengingatnya masih bisa tertawa,
paling tidak tersenyum sendiri. Ammu Husni bercerita
begini:
'Suatu sore Khalifah Harun Ar Rasyid berjalan-jalan
mencari angin di luar istananya. Ia melewati pasar. Di
sana, ia berpapasan dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah
sangat kaget melihat Abu Nuwas membawa sebuah botol
yang kelihatannya berisi arak dalam ukuran yang besar.
Untuk meyakinkan apa yang dilihatnya Sang Khalifah
pun menghampiri Abu Nuwas.
'Sejak kapan kamu jadi pemabuk Abu Nuwas?' selidik
Khalifah.
'Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan ngawur menuduh
seenaknya!' jawab Abu Nuwas berkelit.
'Lalu apa yang kamu bawa itu?'
'Botol.'
'Lalu apa isi botol itu?'
'Susu, Khalifah.'
'Susu kok warnanya merah? Sungguh aneh, bukankah di
mana-mana susu warnanya putih?'
'Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih.
Tapi karena malu pada Khalifah jadi berubah merah.
Ia lebih pemalu dari gadis pingitan, Khalifah,' jawab Abu
Nuwas diplomatis.
Mendengar jawaban Abu Nuwas itu Sang Khalifah
tertawa terpingkal-pingkal. Kok bisa-bisanya susu memi270

liki sifat malu. Sungguh jawaban yang konyol, namun
menyegarkan. Sang Khalifah lalu melanjutkan perjalanannya
setelah tahu ternyata yang dibawa Abu Nuwas
memang bukan arak, tapi minuman sejenis syirup dari
kurma."
Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang Abu Nuwas,
yang kalau di Indonesia lebih di kenal Abu Nawas, sudah
sangat sering ia dengar. Tapi ceria tentang susu yang
bisa berubah merah warnanya karena malu baru ia dengar
saat itu. Mesir memang kaya dengan cerita-cerita
lucu, di samping juga kaya akan kisah romantis dan juga
epik yang menggetarkan jiwa.
Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah
ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata
merah. Mereka turun dan langsung ke rumah sakit. Di
depan kamar Fadhil, mereka melihat Nanang danAli berdiri
di samping pintu,
"Kenapa di luar? Siapa yang di dalam?" tanyaAzzam.
"Fadhil sedang ditunggui dua cewek," jawab Nanang.
"Siapa?" tanya Azzam.
"Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut
Mala."
"Fadhil gimana keadaannya?"
"Sudah sadar. Kata dokter akan baik-baik saja. Tapi tadi
pagi sempat diinfus dengan vitamin otak. Setelah di-scan,
ada gegar ringan. Mungkin karena kepalanya membentur
lantai saat dia jatuh tadi malam. O ya Kang, dia
271

menanyakan Sampeyan terus sejak sadar," kata Nanang
menjelaskan.
"Baik kalau begitu aku masuk dulu."
Azzam langsung masuk. Dua mahasiswi berjilbab duduk
di samping Fadhil. Yang berjilbab biru muda bercakapcakap
dengan Fadhil. Sementara yang berjilbab putih
membaca majalah.
"Assalamu 'alaikum?" sapa Azzam.
Seketika yang ada di kamar itu menjawab salam. Fadhil
tersenyum melihat siapa yang datang. Ia langsung berkata
pada gadis berjilbab biru muda,
"Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah."
Gadis berjilbab biru mengangguk kepada Azzam sambil
menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
Azzam juga melakukan hal yang sama sambil memperkenalkan
diri,
"Ya saya Azzam."
"Saya adiknya Kak Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut
Malahayati." Tukas gadis berjilbab biru berwajah putih
bersih. Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru
kali ini ia bertatap muka dan melihat langsung wajah
adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez nyaris gila.
Ia harus mengakui, memang memesona. Ia langsung menundukkan
kepala, lalu tanpa sadar ia mengalihkan pandangan
ke arah gadis yang satunya yang sedang menghadap
ke arahnya dengan menundukkan kepala.
272

"Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan
saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." Fadhil memperkenalkan.
Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu.
Azzam hanya mengangguk-angguk. Gadis yang
bernama Cut Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan
perhatiannya pada Fadhil.
"Bagaimana keadaamnu Dhil?"
"Baik Kang. Tak ada yang perlu dicemaskan. Tapi aku
perlu berbicara dengan Sampeyan tentang satu hal penting
jawab Fadhil.
"Apa itu?" tanya Azzam penasaran.
"Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat
kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan kamar.
Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata,
"Bisa nggak Kang saya pulang sore ini? "
"Kenapa Dhil? Kau masih perlu perawatan? "
"Terus terang Kang, saya tidak punya uang. Adik saya
juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia."
"Sudahlah kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal
itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sehat kembali.
Ujian tidak lama lagi. Ingat itu."
"Kalau bisa pulang secepatnya. Cobalah bicara kepada
dokternya, jika nanti dia datang."
"Baiklah."
"Terima kasih Kang."
273

"Ya sama-sama. Adikmu biar masuk lagi ya. Soalnya kelihatannya
ia ingin terus dekat denganmu. Aku dan teman-
teman shalat Ashar dulu."
"Iya Kang."
Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu
mengajak teman satu rumahnya shalat Ashar. Sebab saat
itu azan tengah berkumandang.
Setelah Ashar dokter datang. Azzam membicarakan kemungkinan
Fadhil dibawa pulang.
"Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas dokter
berambut putih meyakinkan.
Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri.
Tak lama setelah itu Azzam dan Nanang juga minta diri.
Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri.
Atas permintaan Azzam, Hafez memang sejak awal tidak
usah dikabari dulu. Dia biar menyelesaikan urusannya di
Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu langsung
ke rumah sakit dan bertemu Cut Mala.
Saat Azzam pamitan pada Fadhil, dengan nada bergurau
Fadhil berkata,
"Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang?"
Azzam menjawab dengan gurauan,
"Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan
cantik. Kelihatannya dia tadi mengamati betul
adikmu itu."
274

Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta
merta ia berkata,
"Ya kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi
kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantik."
Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua adiknya
kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala,
atau malah lebih cantik? Tiba-tiba ia malu pada diri
sendiri. Hatinya benar-benar mengakui pesona gadis
Aceh berjilbab biru muda itu tadi. Fadhil memang telah
berkali-kali bercerita tentang adiknya yang baru satu
tahun setengah menyusulnya kuliah di Cairo. Namun
baru sore itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata
Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ
se-Tanah Rencong, Aceh. Ia bisa memahami kenapa Hafez
sedemikian jatuh hati padanya.
275

16
INSYAF
Orang-orang baru saja pulang dari jamaah shalat
Maghrib ketika Furqan menyalakan mobilnya dan membawanya
meluncur dari Haidar Tony ke arah Hay Sabe'.
Tujuannya adalah rumah Ustadz Saiful Mujab yang terletak
di dekat Masjid Ridhwan. Ia merasa tidak bisa
mengambil keputusan sendiri atas masalah yang menimpanya.
Ia perlu pendapat Ustadz Mujab yang selama ini
ia anggap seperti kakaknya sendiri. Sampai di rumah
Ustadz Mujab ia disambut hangat oleh Abdullah, anak
sulung Ustadz Mujab yang berumur tujuh tahun.
276

"Om Furqan, kok lama nggak main ke mana aja?" tanya
Abdullah.
"Om Furqan sedang sibuk persiapan ujian," jawab
Furqan datar.
"Om, om, tadi di sekolah aku dapat hadiah." Begitulah,
tanpa diminta Abdullah pasti cerita tentang kejadian di
sekolahnya. Anak itu sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah
Al-Azhar bersama anak-anak Mesir. Kemampuan bahasa
Arabnya tidak diragukan. Bahkan dalam hal-hal tertentu
ia lebih mengerti bahasa harian Mesir daripada kedua
orangtuanya. Karena memang ia sama dengan anak Mesir.
Lahir dan besar di Mesir. Bermain bersama anakanak
Mesir. Juga tidak jarang, berkelahi dengan anakanak
Mesir.
"Hadiah apa?"
"Hadiah karena aku telah hafal juz tiga puluh. Semua
yang hafal juz tiga puluh mendapatkan hadiah."
"Apa hadiahnya?"
"Buku dan kaset nasyid anak-anak."
Percakapan keduanya terputus begitu Ustadz Mujab keluar.
Abdullah langsung masuk ke dalam. Sedangkan
Furqan langsung menjabat tangan Ustadz Mujab. Tanpa
basa-basi Ustadz Mujab berkata,
"Begini Fur, sampai sekarang si Anna belum bisa memberi
jawaban. Kau bersabarlah satu dua bulan lagi. Dia
sedang sibuk untuk melakukan penelitian untuk tesisnya."
277

"Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan masalah
itu Ustadz."
"Lalu untuk apa?"
"Saya sedang menghadapi masalah besar yang saya merasa
tidak bisa menuntaskannya sendirian."
"Apa masalahmu?"
Furqan lantas menceritakan semua yang dialaminya di
hotel. Sejak dia masuk hotel sampai dia keluar hotel. Terutama
tentang foto-foto yang membuatnya merasa tidak
berharga dan permintaan mengirim uang sebesar
200.000 USD. Ustadz Mujab mendengarkan dengan seksama.
Sesekali ia mengernyitkan dahi. Saat Furqan
mengakhiri ceritanya dengan wajah bergurat kecemasan
dan kesedihan, Ustadz Mujab mendesah dan mengambil
nafas panjang.
"Sekarang apa yang harus saya lakukan Ustadz?"
Ustadz Mujab kembali menarik nafas dan berkata,
"Yang paling penting, kau harus mengintrospeksi dan
me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini teguran dari Allah
atas cara hidupmu yang menurutku sudah tidak wajar sebagai
seorang penuntut ilmu. Menurutku kau sudah berlebihan
dengan menginap di hotel untuk alasan agar bisa
konsentrasi mempersiapkan sidang tesismu. Apa kamarmu
masih kurang nyaman, masih kurang luas?!"
"Iya Ustadz, saya telah menyadarinya."
"Menurutku kamu tidak perlu mengindahkan ancaman
orang yang tidak kau kenal itu."
278

"Tapi, jika foto-foto itu benar-benar dijadikan konsumsi
publik bagaimana Ustadz? Di mana saya menaruh muka
Ustadz?"
"Itu kan foto fitnah. Tidak benar. Yang penting kau kan
tidak melakukannya."
"Aduh mental saya belum kuat jika foto-foto itu diketahui
mahasiswa Indonesia di Cairo Ustadz. Apalagi jika
dipublikasikan juga ke Tanah Air, bisnis ayah saya bisa
hancur Ustadz. Saya hidup tidak sendirian Ustadz. Masalahnya
tidak sesederhana yang Ustadz bayangkan."
Ustadz Mujab termenung mendengar perkataan Furqan.
"Ya, saya lupa kalau ayahmu itu seorang pengusaha nasional.
Masalahnya memang tidak sederhana. Aduh Furqan,
saya belum bisa memberi saran untuk masalahmu
ini. Maafkan saya." Ucap Ustadz Mujab.
Furqan terdiam sesaat lamanya. Ia tidak tahu harus
minta pendapat siapa lagi. Apa ia harus ke tempat bapak
bapak KBRI?
"Tidak ada salahnya." Ucapnya dalam hati. Ia melihat
jam tangannya, masih agak sore. Ia harus segera
meluncur ke Dokki, maka ia langsung minta diri. Sebelum
pergi Furqan sempat berpesan, "Tolong jaga rahasia
masalah ini. Doakan saya menemukan jalan keluar secepatnya."
Furqan langsung meluncur cepat menuju Dokki. Di
perjalanan ia masih berpikir rumah siapa yang akan ia
tuju. Sampai di Ramsis ia baru bisa menentukan bahwa
rumah orang yang paling ia kenal-lah yang harus ia tuju.
279

Yaitu rumah Pak Rusydan, Atase Pendidikan dan Kebudayaan.
Semestinya memang lebih tepat ke Atase Bidang
Politik, atau Atase Bidang Konsoler. Saat ini yang paling
ia perlukan adalah saran terbaik, juga dukungan moril.
Dukungan moril lebih bisa diharapkan dari orang orang
yang benar-benar mengenalnya.
Sedikit beruntung, malam itu ia langsung bisa bertemu
dan berbicara dari hati ke hati dengan Pak Rusydan.
Dengan penuh kearifan seorang bapak yang mengayomi
anaknya, Pak Rusydan berkata pada Furqan,
"Tenang, ini masalah kecil Nak Furqan. Jangan terlalu
cemas. Ini bukan masalah yang tidak bisa diselesaikan.
Menurut hematku, kita tetap harus minta tolong pada
pihak keamanan Mesir. Tidak bisa tidak."
"Tapi kalau penjahat itu tahu, maka saya bisa hancur
Pak."
"Tidak. Dia tidak akan tahu. Sebab kita tidak minta tolong
pada polisi biasa. Tapi kita langsung minta tolong
pada mahahits."
"Mabahits?"
"Ya. Kau kan pernah jadi Ketua PPMI, dulu pernah mengantongi
nama-nama orang penting di kalangan
mahabits. Telponlah orang itu malam ini juga. Besok pagi
saya akan menguatkan dengan menelponnya."
"Oh ya baik Pak."
Setelah itu mereka memperbincangkan tema yang lain.
280

"Setelah selesai S.2 ini apa rencanamu Nak?"
"Kalau bisa langsung aplikasi program doktor Pak."
"Bagus. Memang kalau bisa agar Indonesia maju setiap
KK melahirkan satu doktor. Saat ini ada seorang pakar
yang berpendapat bahwa kemajuan suatu negara bisa
dilihat dari jumlah doktor per satu juta orang penduduknya.
Semakin banyak jumlah doktornya, maka akan
semakin maju. Tapi doktor yang benar-benar doktor lho,
bukan doktor hasil membeli. Sebab sekarang ini banyak
gelar doktor diobral dengan harga sekian juta rupiah.
Dan sudah banyak kasus terungkap, orang-orang Indonesia
termasuk paljng gemar membeli gelar. Dan juga
membeli ijazah."
"Kondisi bangsa kita memang memprihatinkan Pak."
"Karena itulah dibutuhkan generasi-generasi tangguh
yang berprestasi seperti kamu."
"Doanya Pak."
Setelah merasa cukup Furqan pamit minta diri. Di sepanjang
perjalanan dari Dokki sampai Haidar Toni Furqan
tiada henti berzikir dan beristighfar. Ia masih terus
diteror rasa cemas. Saat itulah ia benar-benar merasa
membutuhkan kasih sayang Allah. Ia membenarkan nasihat
Ustadz Mujab, "Yang paling penting, kau harus
mengintrospeksi dan me-muhasabah-i dirimu sendiri. Ini
teguran dari Allah atas cara hidupmu yang menurutku
sudah tidak wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Menurutku
kau sudah berlebihan dengan menginap di hotel
untuk alasan agar bisa konsentrasi."
281

Mungkin benar penilaian Ustadz Mujab atas dirinya. Ia
telah melakukan sesuatu yang berlebihan. Sesuatu yang
sejatinya kurang pantas bagi seorang penuntut ilmu. Ia
langsung menyadari kekhilafannya itu. Ia yang mengambil
spesialisasi sejarah dan peradaban Islam semestinya
menyadari bahwa para pemikir dan ulama besar
tidak ada yang berhasil meraih ilmu dengan hidup bermewah-
mewah.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa bahwa dalam kitabkitab
sastra, sejarah, manakib dan thabaqat banyak dijelaskan
betapa para ulama lebih biasa bergelut dengan kemiskinan,
penderitaan dan kesulitan hidup yang mencekik.
Namun mereka meresapinya dengan penuh kesabaran.
Dalam penderitaan yang mencekik itulah mereka
mengais ilmu dan hikmah. Dalam kesulitan hidup itulah
mereka menulis karya-karya besar yang monumental.
Bagaimana mungkin, ia yang jebolan jurusan sejarah dan
peradaban Islam Al Azhar University, dan sebentar lagi
meraih gelar master di jurusan yang sama dari Cairo
University bisa melupakan sunah para ulama itu.
Bagaimana mungkin ia bisa lupa kisah mengharukan
yang diriwayatkan oleh Imam Bakar bin Hamdan Al
Maruzi yang mengatakan, bahwa Imam Ibnu Kharrasy
pernah bercerita,
"Demi mencari ilmu, aku pernah meminum air kencingku
sendiri sebanyak lima kali. Ceritanya, sewaktu sedang
berjalan melintasi gurun pasir untuk mendapatkan hadis
aku merasa kehausan luar biasa tanpa ada yang bisa aku
282

minum. Maka dengan terpaksa aku rninum air kencingku
sendiri."
Ulama besar sekaliber Ibnu Kharrasy bahkan harus meminum
air kencingnya sendiri demi mempertahankan hidupnya
ketika mencari ilmu. Sedangkan dirinya, bisabisanya
makan dan minum di restoran mewah Hotel
Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa cerita Imam Abu Hatim
yang pernah mengalami keadaan sangat memprihatinkan.
Imam Abu Hatim mengatakan, "Ketika sedang
mencari hadis kondisiku benar-benar sangat memprihatinkan.
Karena tidak mampu membeli sumbu lampu, pada
suatu malam aku terpaksa keluar ke tempat ronda yang
terletak di mulut jalan. Aku belajar dengan menggunakan
lampu penerangan yang dipakai oleh tukang ronda.
Dan terkadang tukang ronda itu tidur, aku yang menggantikannya
ronda."
Sementara dirinya masih juga tidak merasa cukup akan
nyamannya lampu apartemannya. Harus lampu mewah
Hotel Meridien.
Bagaimana mungkin ia lupa kisah Imam Bukhari yang tidak
memiliki apa-apa. Sampai pakaian pun tidak punya,
sehingga ia terhalang dari menulis hadis. Bagaimana
mungkin ia melalaikan kisah menggetarkan yang beberapa
kali ia baca dan ia kaji itu? Bagaimana mungkin ia
lupa pada kisah yang diriwayatkan oleh ulama besar seangkatan
dengan Imam Bukhari yang bernama Umar bin
Hafesh Al Asyqar. Al Asyqar mengatakan,
283

"Selama beberapa hari kami tidak mendapati Bukhari
menulis hadis di Bashrah. Setelah dicari ke mana mana
akhirnya kami mendapatinya berada di sebuah rumah
dalam keadaan telanjang. Ia sudah tidak punya apa-apa.
Atas dasar musyawarah kami berhasil mengumpulkan
uang beberapa dirham lalu kami belikan pakaian untuk
dipakainya. Selanjutnya ia mau bersama-sama kami lagi
meneruskan penulisan hadis."
Sementara dirinya selama ini memilih pakaian yang
bermerk dan mahal-mahal.
Bagaimana mungkin ia lupa akan penderitaan Imam
Malik. Yang demi membiayai dirinya menuntut ilmu,
beliau sampai mencopot atap rumahnya, lalu menjual
papannya.
Bagaimana mungkin ia lupa?
Bukankah itu semua adalah sejarah yang benar-benar
nyata. Bukan cerita fiktif yang mengada-ada. Datanya
valid, tertulis dalam banyak kitab-kitab sejarah, sastra
dan lain sebagainya.
Bagaimana ia bisa melalaikan suatu kenyataan penting,
bahwa para ulama salaf menganggap kemiskinan adalah
teman akrab yang tidak mungkin ditinggalkan begitu
saja. Justru kemiskinan itu, saat menuntut ilmu, harus
benar-benar dinikmati. Sampai sampai ada seorang ulama
menulis syair:
Aku bertanya kepada kemiskinan.
Di manakah kamu berada?
Ia menjawab, aku berada di sorban para ulama.
284

Mereka adalah saudaraku.
Yang tidak mungkin aku tinggal begitu saja.
Bagaimana mungkin ia bisa melalaikan itu semua?
Hati Furqan gerimis. Airmatanya meleleh. Ia benarbenar
menginsyafi cara hidupnya yang selama ini sudah tidak
wajar sebagai seorang penuntut ilmu. Ia benar benar merasakan
bahwa ini semua adalah teguran dari Dzat Yang
Maha Bijaksana.
285

17
PERTEMUAN YANG
MENGGETARKAN
Hari berikutnya Fadhil boleh dibawa pulang. Untuk membayar
biaya rumah sakit, Azzam harus merelakan uang hasil
kerja kerasnya berjualan bakso. Begitu Fadhil sampai di
Mutsallats, Azzam langsung pergi ke Abbasea. Tujuannya
satu, yaitu ke kantor mabahits mencari Letnan Kolonel Hosam
Qatimi. Ia mau minta pertanggung jawaban. Sesampainya di
sana semua pertugas keamanan di sana tak ada yang merasa
mengenal nama Hosam Qatimi. Dan ia memang sama sekali
tidak melihat Hosam Qatimi dan anak buahnya di sana.
"Maaf, tidak ada nama Hosam Qatimi di sini. Kamu salah
alamat, Orang Indonesia!" Ucap seorang petugas berpakaian
seragam persis dengan seragam Hosam Qatimi.
286

Azzam meninggalkan kantor itu dengan perasaan marah dan
kesal. Marah, karena ia merasa dipermainkan oleh Letnan
Kolonel itu. Dan kesal, karena meskipun ia dipermainkan, ia
tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah, menerima yang
sudah terjadi. Ya sudahlah. Ia tidak punya kekuatan untuk
mengusut apalagi sampai memaksa Letnan Kolonel itu
bertanggung jawab. Ia hanya mengatakan dalam hati bahwa
kezaliman sekecil apapun akan ada hisabnya kelak. Biarlah
pengadilan Allah kelak yang memutuskan.
Ia melangkah pergi. Di luar gerbang ia berpapasan dengan
sedan Fiat putih yang dikendarai oleh Furqan. Ia tidak tahu
yang mengendarai mobil itu Furqan. Sebab ia memang tidak
memperhatikan. Furqan pun tidak tahu kalau yang baru saja
disimpanginya itu adalah Azzam teman satu pesawat saat
berangkat ke Mesir sembilan tahun yang lalu.
Azzam melangkahkan kakinya menuju Mahattah Abasea. Ia
mau mencari bus ke Sayyeda Zaenab. Kembali belanja daging
sapi. Ia harus membuatkan bakso untuk Bu Faizah yang punya
hajatan syukuran. Syukuran menempati rumah baru. Sudah
satu bulan yang lalu Bu Faizah pesan padanya. Ia harus
menepatinya. Meskipun sebenarnya ia ingin istirahat.
Sementara ia melaju di atas bus menuju Sayyeda Zaenab,
Furqan telah berada di salah satu ruang kantor yang baru saja
didatangi Azzam. Furqan berbincang bincang dengan seorang
lelaki gagah berkulit putih bersih. Lelaki setengah baya itu
memakai kemeja biasa. Tangannya biasa, tidak terlihat begitu
kekar. Ia lebih mirip direktur sebuah perusahaan daripada
anggota Mabahits Amn Daulah.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya lelaki itu.
287

Furqan lalu menjelaskan dengan detil segala hal yang dialaminya
di hotel. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama
sambil memandangi wajah Furqan lekat-lekat. Begitu Furqan
selesai bercerita, lelaki itu bertanya,
"Jadi penjahat itu menamakan dirinya Miss Italiana?"
"Ya," jawab Furqan.
"Baiklah, seperti janjiku dulu. Aku akan membantumu agar
kau nyaman belajar di Mesir ini. Tapi terus terang, ini kasus
yang cukup rumit. Perlu kerja keras. Terus terang, aku juga
akan minta bantuan beberapa anak buahku. Dan terus terang,
mereka perlu uang lelah."
Furqan langsung paham apa yang dimaksudkan lelaki yang
menduduki jabatan menentukan dan sangat disegani kawankawan
dan anak buahnya itu.
"Baiklah, kolonel, saya akan kasih seribu pound jika berhasil
menangani kasus ini."
"Itu untuk anak buahku. Lha yang untuk aku?"
"Itu sudah termasuk untuk kolonel."
"Wah kayaknya tidak bisa. Aku tak sanggup, kalau cuma
segitu. Jika kami berhasil mengatasi ingatlah nominal 200.000
USD yang seharusnya kau keluarkan."
Furqan diam sesaat. Ia menghitung segala yang ia miliki. Ia
tidak ingin minta uang ke Tanah Air. Uang di rekeningnya
masih seribu dollar, dan itu ia cadangkan untuk beli tiket
pulang setelah sidang tesis magisternya. Kalau seribu dollar ia
lepas berarti untuk pulang ia harus minta kiriman. Tiba-tiba ia
288

teringat mobilnya. Mobil Fiat putihnya yang kondisinya
masih sangat bagus.
"Baiklah kolonel, bagaimana kalau mobil Fiat saya?"
"Kau mau memberiku hadiah mobil?"
"Ya, jika kolonel berhasil. Mobil Fiat saya di depan itu akan
menjadi milik kolonel."
"Boleh saya lihat mobilnya, saya tidak mau mobil rongsokan."
"Mari kita lihat kolonel."
Keduanya lalu keluar melihat mobil Fiat putih. Sang kolonel
melihat dengan teliti. Bahkan mencoba menyalakan mesin
segala. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mengajak
Furqan kembali masuk ke ruangannya.
"Baik, saya setuju. Saya akan bekerja keras menuntaskan kasus
ini. Kau tenang-tenang sajalah belajar."
"Kapan laporannya bisa saya terima."
"Paling lama satu minggu."
"Baiklah. Saya percaya pada kolonel. Saya pulang dulu. Mobil
saya bawa dulu. Minggu depan mobil itu akan jadi milik
Kolonel Fuad, jika saya telah melihat penjahat itu tertangkap
dan meringkuk dalam penjara."
"Insya Allah."
***
289

"Bagaimana keadaan kakakmu Dik?" Tanya Tiara pada Cut
Mala. Saat itu hanya mereka berdua yang ada di dalam rumah.
Yang lain sedang kuliah. Mereka berdua duduk di sofa sambil
makan kwaci. Di Mesir makan kwaci adalah salah satu budaya
yang sangat merakyat.
"Sudah baik. Sudah dibawa pulang. Dia masih perlu istirahat
beberapa hari," jawab Cut Mala.
"Jadi tentang yang aku sampaikan di Hadiqah itu belum kamu
sampaikan kepadanya?"
"Sudah saya sampaikan lewat telpon. Sebelum Kak Fadhil
sakit. Kak Fadhil minta agar aku menjelaskannya panjang
lebar secara langsung, tidak lewat telpon. Kami sudah janjian
mau bertemu di Masjid Nuri Khithab. Namun manusia hanya
bisa berencana sedangkan yang menentukan adalah Tuhan.
Belum sempat bertemu Kak Fadhil sudah sakit duluan. Jadinya
saya belum menjelaskan dengan detil. Dan otomatis Kak
Fadhil belum memberikan saran atau masukan."
"Kau tahu kira-kira kenapa kakakmu minta penjelasan panjang
lebar?" Tiara penasaran. Ada secercah cahaya harapan di hatinya.
Ia berharap bahwa Fadhil memang menaruh perhatian
padanya, bahkan menaruh hati padanya.
"Saya tidak tahu persis, Kak. Tapi memang kakak saya sering
begitu. Seringkali jika saya minta saran, minta ketemu
langsung untuk menjelaskan dengan detil panjang lebar."
"Kalau kau menemuinya hari ini dan menjelaskan panjang
lebar tentang yang aku hadapi bisa tidak Dik? Nanti malam
ayahku mau menelpon lagi. Kemarin beliau menelpon dan aku
290

janjikan nanti malam. Sampai sekarang aku belum punya
pegangan untuk mengambil sikap. Tolonglah Dik."
"Tapi kakak masih belum sehat benar Kak. Apa tidak bisa
menunggu dua atau tiga hari lagi?"
Tiara menghela nafas. Ia memejamkan kedua mata. Haruskah
ia menjelaskan lebih dalam tentang perasaannya yang selama
ini ia simpan di dalam dada kepada Cut Mala? Tak terasa
matanya basah. Airmatanya tanpa bisa ia bendung keluar
perlahan membasahi pipi. Cut Mala menangkap dengan jelas
yang terjadi pada kakak kelasnya itu.
"Kak Tiara menangis? Maafkan saya Kak, jika katakata saya
tidak berkenan." Lirih Cut Mala.
"Tidak apa-apa Dik. Kakak hanya merasa berat meresapi
masalah ini. Kakak ingin segera jelas. Kakak ingin segera
konsentrasi ujian. Hari-hari ini kakak sulit tidur. Tapi kau
memang benar. Dua hari lagi tidak lama. Atau kakak akan
ambil keputusan tanpa perlu saran dan penjelasan dari
kakakmu. Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa kakak
menangis." Jawab Tiara sambil tetap memejamkan mata.
Cut Mala diam . Dari kalimat yang disamp aikan Tiara, ia bisa
menangkap bahwa kakak kelasnya itu memendam sesuatu. Ia
hanya bisa meraba bahwa Tiara susah untuk mengambil
keputusan karena kelihatannya Tiara mengharapkan kakaknya,
Fadhil. Namun Cut Mala tidak mau terlalu jauh menduga
dan berprasangka. Bukankah sebagian pra-sangka adalah
dosa? Untuk menenangkan hati Tiara, ia berkata,
"Sore nanti saya akan menjenguk Kak Fadhil di rumahnya.
Saya akan melihat keadaannya, jika mau mungkinkan saya
akan jelaskan semuanya padanya."
291

Mendengar kalimat itu Tiara langsung membuka mata. Ada
binar bahagia di wajahnya.
"Benarkah Dik? Tolong ya Dik, jelaskan pada kakakmu,
usahakan!" tukas Tiara penuh harap.
"Insya Allah Kak. Sekali lagi jika keadaan memungkinkan."
"Semoga memungkinkan."
Melihat reaksi Tiara, Cut Mala memiliki sedikit petunjuk
bahwa kakak kelasnya itu menaruh hati pada kakak
kandungnya. Ia akan berusaha menjelaskan masalah kakak
kelasnya itu pada kakak kandungnya. Namun ia tidak akan
menceritakan segala petunjuk yang ia dapat bahwa Tiara
diam-diam menaruh hati pada kakaknya. Ia ingin semuanya
berjalan alamiah. Ia akan menceritakan apa adanya persis
seperti yang diceritakan Tiara padanya di Hadiqah Dauliyah.
***
Dari Pasar Sayyeda Zaenab Azzam naik bus 65. Ia memilih
duduk di bangku paling belakang. Karena barang bawaannya
agak banyak. Begitu bus merangkak berjalan, Azzam mulai
memejamkan mata. Rasa kantuknya tak bisa ia tahan. Sepanjang
perjalanan ia tidur. Pulas. Bahkan ketika bus yang
ditumpanginya telah memasuki kawasan Nasr City ia tak juga
bangun.
Bis 65 itu melintas di depan Masjid Ar Rahmah. Di sebuah
halte tak jauh dari situ bus berhenti menurunkan dan
menaikkan penumpang. Seorang penumpang turun, dan
seorang gadis berjilbab putih naik. Gadis itu membayar
ongkos. Lima puluh piaster. Gadis itu mencari-cari tempat
292

duduk. Semua telah terisi. Kecuali satu kursi di bagian
belakang. Tepat di samping Azzam yang sedang pulas tidur.
Gadis itu ragu untuk duduk. Sang kondektur mempersilakan
untuk duduk. Akhirnya gadis itu duduk.
Azzam yang sedang tidur sama sekali tidak sadar, ada seorang
gadis yang duduk di sampingnya. Ia sangat pulas. Wajah lelahnya
tergurat jelas. Gadis itu memperhatikan wajah Azzam.
"Benar kata kakak, dia seorang pekerja keras. Wajahnya adalah
wajah lelah pekerja keras," kata gadis itu dalam hati. Gadis
itu tak lain adalah Cut Mala, yang hendak menjenguk Fadhil
kakaknya.
Sampai di ENPI, kondektur bus berteriak keras,
"Enpi! Enpi Enpi!"
Azzam terbangun. Ia mengucek-ucek kedua matanya. Cepatcepat
ia melihat ke jendela. Ia ingin tahu sampai di mana
dirinya sebenarnya. Begitu melihat gedung Enpi ia lega. Ia
tidak kebablasan. Ia berusaha keras menahan kantuknya. Ia
tidak mau ketiduran dan kebablasan sampai akhir terminal. Ia
harus turun di halte Mutsallats. Ia menggerak-gerakkan
kepalanya yang pegal. Ia melihat ke depan dan ke sampingnya.
Ia baru sadar ada seorang gadis duduk tepat di sampingnya. Ia
terperanjat.
"Mala ya?" lirihnya.
Gadis itu memandang ke arahnya dengan tersenyum. Kedua
tangannya menelungkup di dada. Isyarat mengulurkan salam.
"Iya Kang Azzam. Dari belanja ya Kang?"
293

"Iya seperti biasa. Belanja kacang kedelai di Sayyeda Zaenab.
Mala mau ke mana? Ke Mutsallats ya?"
"Iya Kang. Mau nengok Kak Fadhil."
"Oh iya. Insya Allah kondisi Fadhil sudah baik kok. Jangan
cemas."
"Ya semoga segara pulih seperti sedia kala. Sebentar lagi kan
mau ujian. Saya kuatir kalau mengganggu ujiannya."
"Jangan kuatir. Kakakmu itu termasuk orang cerdas yang bisa
meresapi soal ujian dengan baik. Dia selalu naik tingkat
dengan predikat jayyid tiap tahun. Semoga sakitnya kali ini
menjadi penebus dosanya sehingga ia bisa lulus ujian akhir
dengan nilai terbaik."
"Amin."
Keduanya lalu diam. Azzam tidak menemukan tema untuk
dibicarakan. Demikian juga Cut Mala. Di samping itu rasa
segan menghalangi mereka berdua untuk terus berbicara. Cut
Mala sangat segan pada Azzam yang sangat dihormati oleh
kakaknya. Cut Mala juga tahu jika selama ini kakaknya sering
mendapat banyak bantuan dari orang yang duduk di sampingnya.
Azzam segan pada Cut Mala, karena prestasi dan
pesonanya. Ia sudah sering mendengar prestasi-prestasinya.
Tahun pertama di Al Azhar gadis itu langsung lulus naik
tingkat dua dengan predikat jayyid jiddan. Dan mendapat
penghargaan dari Bapak Atase Pendidikan. Suaranya yang
halus sedikit menggetarkan syaraf-syarafnya.
Ia jadi teringat Hafez. Ia bisa membayangkan jika Hafez yang
duduk di tempatnya saat itu, seperti apa rasa gembiranya.
Segera ia mencegah hatinya untuk merasakan simpati berle294

bihan pada gadis Aceh itu. Ia teringat tiga adik perempuannya
di Indonesia. Husna, Lia dan Sarah. Ia harus menghormati Cut
Mala. Ia ingin orang lain menghormati tiga adiknya.
Bus terus melaju. Sampai di Mutsallats. Bus berhenti. Cut
Mala turun. Azzam menurunkan barang-barangnya. Cut Mala
menunggu Azzam. Azzam meminta kepada Cut Mala agar
duluan. Cut Mala langsung melangkah meninggalkan Azzam.
Azzam istirahat sesaat. Ia melihat ke arah penjual buah. Ia
ingin beli jeruk Abu Surrah. Ia memanggul kacang kedelainya.
Tangan kanannya menenteng plastik hitam berisi bumbu. Ia
berhenti di tukang buah dan membeli jeruk satu kilo. Lalu ia
berjalan pelan-pelan ke arah rumahnya. Cut Mala sudah tidak
kelihatan. Mungkin ia telah masuk flat-dan bertemu dengan
kakaknya.
Di pintu gerbang, Nanang telah menunggunya.
"Kedelainya biar saya angkat Kang." Nanang menawarkan
diri. Azzam yang sangat lelah menurunkan karungnya yang
berisi kedelai. Nanang langsung memanggulnya. Mereka
berdua menaiki tangga.
"Ada siapa saja di rumah Nang?" tanya Azzam.
"Semua ada Kang," jawab Nanang sambil tetap menaiki
tangga satu per satu.
"Hafez juga ada?"
"Ya ada. Dia pulang jam satu siang tadi. Dia sempat marahmarah
karena tidak diberitahu kalau Fadhi masuk rumah
sakit."
"Si Mala, adiknya Fadhil sudah masuk?"
295

"Sudah Kang. Dia yang tadi memberitahu kalau Sampeyan
sedang berjalan. Katanya tadi satu bus Kang."
"Iya."
Azzam membayangkan bahwa telah terjadi pertemuan antara
Hafez dan Cut Mala. Ia bisa membayangkan seperti apa kirakira
perasaan Hafez. Ia pasti sedang panas dingin. Hanya ia
yang tahu. Tentang Cut Mala, ia yakin gadis itu biasa-biasa
saja. Sebab kepentingan gadis itu sangat jelas, yaitu menjenguk
kakaknya.
Saat Azzam masuk flat, yang ada di ruang tamu hanya Fadhil
dan Cut Mala. Keduanya sedang berbincang-bincang. Ia
mendengar suara minuman diaduk. Ia masuk dapur. Hafez
sedang membuat teh.
"Jangan sampai kurang manis. Dan jangan sampai terlalu
manis lho Fez," ujar Azzam sambil meletakkan barang yang
dibawanya. Nanang meletakkan karung di tempat biasanya,
pojok dapur.
"E e iya Kang," jawab Hafez gugup. Wajahnya memerah.
"Jangan lupa itu ada buah. Setelah mengantar minuman.
Antar juga buahnya ya. Setelah itu kembali ke kamar. Jangan
menganggu kenyamanan pembicaraan kakak beradik itu ya."
Kata Azzam santai sambil berlalu merunggalkan Hafez yang
bersiap dengan dua gelas di atas nampan. Azzam masuk ke
kamarnya. Nanang melakukan hal yang sama. Sementara
Hafez membawa nampan ke ruang tamu dengan tangan
bergetar.
"Wah jadi merepotkan Kak Hafez," kata Cut Mala kala
melihat Hafez datang membawa minuman.
296

"Ah tidak kok, sudah ada," jawab Hafez dengan nada sebiasa
mungkin. Ia tidak ingin tubuhnya yang gemetar dan panas
dingin diketahui oleh Fadhil maupun Cut Mala
"Mari silakan diminum," Hafez mempersilakan.
"Terima kasih Kak," sahut Cut Mala sambil menatap wajah
Hafez. Pada saat yang sama Hafez juga sedang memandang ke
arah Cut Mala. Cut Mala tersenyum lalu memandang kakaknya.
"Kak Fadhil, Kak Hafez kan orang Palembang ya. Berarti dia
bisa bikin empek-empek ya?"
Fadhil menjawab dengan tersenyum, "Ya iyalah. Dia jagonya
kalau bikin empek-empek. Kalau mau dia bisa bisnis empek -
empek di Cairo ini, tapi dia tidak mau. Katanya takut kuliahnya
terganggu."
Hafez yang mendengar dirinya dipuji Fadhil di hadapan Cut
Mala merasa sangat berbahagia. Kedua kakinya seperti tidak
menginjak bumi. Ia seperti melayang. Ia segera menguasai
diri.
"Sebentar ya," katanya sambil melangkah ke dapur. Ia mengambil
buah yang masih ada di dalam kantong plastik, meletakkannya
di atas piring dan membawa ke ruang tamu.
"Iya keluarkan semuanya Fez. Nanti kalau tidak habis biar
dibawa pulang Mala," ujar Fadhil santai.
"Iya nggak apa-apa. Siapkan sekalian kantong plastiknya biar
nanti saya bawa pulang," tukas Cut Mala santai.
Hafez kembali mencuri pandang ke wajah Cut Mala. Ia seperti
tersengat listrik. Ada perasaan sangat indah yang sangat su297

sah dilukiskan. Kakinya seperti mau lumpuh. Keringat dinginnya
keluar. Wajahnya memerah. Cepat-cepat ia membalikkan
badan.
"Mau ke mana Fez? Masih ada lagi?" celetuk Fadhil.
Hafez sudah menguasai keadaan, ia langsung membalikkan
badan dan menjawab dengan guyonan,
"Masih. Di dapur masih ada banyak buah. Mala mau bawa?"
"Boleh. Masih ada apa aja?"
Spontan Hafez menjawab,
"Kubis, lombok, kentang, terong, wortel dan buncis. Mau?"
"Ah Kak Hafez punya rasa humor juga ya. Kalau itu sih di
kulkas kami sudah penuh. Berlebih malah. Terima kasih deh,"
tukas Cut Mala santai.
Hafez tersenyum. Ia punya kesempatan memandang Cut Mala
lagi. Hatinya benar-benar bergetar. Tubuhnya panas dingin.
"Sama-sama," jawabnya seraya melangkah, langsung menuju
kamar Azzam. Itu adalah pertemuan yang sangat mengesan
dan menggetarkan jiwanya.
298

18
AIRMATA CINTA
Fadhil mengambil gelas berisi teh Arousa lalu menyeruputnya
perlahan. Cut Mala melakukan hal yang sama.
"Insya Allah, kakak sudah baik. Tak ada yang perlu dikuatirkan.
Kakak akan segera konsentrasi untuk ujian. Kakak
ingin lulus S.1 kalau bisa dengan predikat jayyid jiddan atau
mumfaz," kata Fadhil pada adiknya. Tangan kanannya masih
memegang gelas berisi teh. Ia kembali menyeruput isi gelas
itu perlahan.
"Syukur alhamdulillah. Untuk ujian Al-Qurannya kakak sudah
siap?" tanya Cut Mala.
299

"Siap insya Allah. Sejak awal tahun pelajaran kakak sudah
siap."
"Selesai S.1 rencana kakak bagaimana? Mau pulang ke
Indonesia atau bagaimana?"
Fadhil mengambil nafas panjang.
"Abah dulu berpesan agar kakak dan kamu menuntut ilmu
setinggi mungkin. Ilmulah yang membuat derajat seseorang
dan derajat suatu bangsa terangkat. Sebenarnya kakak ingin
lanjut S.2 ke Sudan, atau ke Malaysia. Tapi biayanya, kau tahu
sendiri, tidak ada. Mungkin kakak akan bertarung matimatian
untuk melanjutkan S.2 di Al Azhar, sembari menunggu
kamu selesai kuliah. Kalau menurutmu sebaiknya bagaimana
Dik?"
"Menurutku apa yang menurut kakak baik adalah baik. Kalau
ada biaya memang S.2 di Sudan lebih cepat. Dan kakak bisa
lebih cepat mengabdi dan mengamalkan ilmu di Tanah Air.
Tapi menyelesaikan S.2 di Al Azhar jika bisa jauh lebih baik.
Meskipun sedikit lebih lama. Walau bagaimanapun Al Azhar
adalah universitas tertua di dunia. Wibawa dan kualitasnya
sangat diakui di dunia."
"Kau sendiri persiapanmu bagaimana Dik?"
"Doakan prestasi Mala tidak menurun Kak. O ya Kak, biaya
rumah sakit kemarin bagaimana. Kakak dapat uang dari
mana?"
"Alhamdulillah. Semua telah dibayarkan oleh Kang Azzam.
Meskipun Kang Azzam tidak minta dikembalikan, suatu saat
nanti jika ada rezeki pasti akan kakak kembalikan. Kang
300

Azzam terlalu baik bagi anggota rumah ini. Terkadang aku iri
padanya. Iri akan kebaikan dan sifat pem urahnya."
"O jadi Kang Azzam yang menutup semuanya."
"Iya. Kemarin dia baru bekerja keras dapat order bikin bakso.
Mungkin uang hasil dia bikin bakso itu yang digunakan untuk
menutup biaya rumah sakit kakak."
"Dia tingkat berapa Kak?"
"Sudah tingkat empat. Tapi kelihatannya sengaja tidak ia
luluskan."
"Kenapa?"
"Ia masih ingin bertahan di Mesir, demi adikadiknya."
"Saya tidak paham maksud kakak."
"Kang Azzam itu sama seperti kita, seorang anak yatim. Dia
anak sulung. Adik perempuannya ada tiga. Dialah yang selama
ini bekerja keras menghidupi adikadiknya. Terutama membiayai
sekolah adik-adiknya. Ya dengan membuat tempe dan
bakso. Ia ingin adiknya semua sekolah, maka ia korbankan
dirinya. Sebenarnya Kang Azzam itu sangat cerdas. Tak kalah
dengan dirimu. Dulu, tahun pertama di Al Azhar ia jayyid
jiddan. Ia juga dapat beasiswa dari Majlis A'la. Namun tahun
kedua ayah beliau meninggal. Sementara ibunya sering sakit
sakitan. Ia akhirnya mengalihkan konsentrasinya. Dari belajar
ke bekerja. Ia di Cairo ini untuk bekerja sambil belajar. Sejak
itu prestasinya menurun. Beberapa kali tidak naik tingkat. Ia
sudah sembilan tahun di Mesir tapi masih juga belum lulus
S.1. Tapi kakak sendiri tidak merasa lebih baik dari dia.
301

"Dalam hal prestasi akademik mungkin orang mengatakan
Kang Azzam gagal, atau tidak bisa dikatakan bisa dibanggakan.
Namun kakak bisa melihat sendiri, dalam hal meresapi
kehidupan real dia sangat bisa dibanggakan. Kakak sangat
salut padanya. Kakak pernah hendak mengikuti jejaknya,
bekerja. Tapi dia memberi nasihat untuk konsentrasi belajar
saja. Dia bilang, 'Adik kamu kan cuma satu. Dan masih bisa
ditanggung oleh ibumu. Lebih baik kamu menunaikan amanah
abahmu agar kamu belajar dan menuntut ilmu dengan serius.
Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda-beda.' Nasihat
Kang Azzam itu sangat berarti bagi kakak. "
"Umurnya sudah berapa kak?"
"Kira-kira 28 tahun."
Cut Mala lalu diam. Ia tidak menyangka orang yang tadi duduk
di sampingnya dengan wajah begitu lelah adalah seorang
petarung yang mati-matian menghidupi keluarganya jauh di
Indonesia sana. Tak banyak orang tahu bahwa di Cairo ada
seorang mahasiswa seperti Azzam.
"Kenapa dia tidak segera menyelesaikan S.1 -nya dan segera
pulang ke Indonesia?" tanya Cut Mala.
"Kang Azzam menurutku memiliki strategi hidup yang jenius.
Jika pulang ke Indonesia, belum tentu bisa dapat masukan
sebesar ketika dia bekerja keras di Cairo. Dia mentargetkan
begitu ada salah satu adiknya selesai S.1, ia akan segera
menyelesaikan studinya dan pulang. Bebannya lebih ringan.
Dan dengan tetap di Cairo, dia masih bisa menimba ilmu.
Setiap pagi bakda Subuh Kang Azzam selalu ikut belajar
qira'ah riwayat Hafs dan Warasy pada Syaikh Abdul Adhim di
masjid. Dengan tetap di Cairo, ia bisa lebih baik dalam memotivasi
adikadiknya berprestasi. Saya pernah mendengar dari
302

Kang .Azzam, adiknya yang kuliah di UNS terpilih sebagai
mahasiswi teladan tingkat nasional. Lebih dari itu Kang
Azzam kelihatannya memang cinta sekali pada Mesir."
Cut Mala mengangguk-angguk mendengar penjelasan kakaknya.
"Jangan pernah kau ceritakan hal ini kepada siapapun ya Dik.
Kalau Kang Azzam tahu aku menceritakan dirinya padamu,
dia pasti akan sangat marah. Ia tidak ingin jati dirinya dikenal.
Ia ingin dirinya hanya dikenal sebagai mahasiswa kawakan
yang tidak lulus, dan dikenal sebagai pembuat tempe dan
bakso. Itu saja. Ini amanah lho Dik!"
Cut Mala kembali mengangguk. Mendengar kata kata amanah
ia jadi teringat sesuatu
"Oh ya Kak, nyaris lupa, aku dapat amanah dari Kak Tiara
untuk Kakak."
"Amanah apa Dik?"
"Begini Kak, beberapa hari yang lalu aku diajak Kak Tiara ke
Hadiqah Dauliyah. Dia menceritakan masalah yang saat ini
dihadapinya kepadaku. Kak Tiara cerita, ia sedang menghadapi
masalah serius. Aku diminta untuk tidak membuka hal ini
kepada siapapun juga. Kak Tiara mendapat telpon dari ayahnya
di Aceh yang memberitahu bahwa Kak Tiara dilamar oleh
seorang Ustadz. Namanya Ustadz Zulkifli. Dia adalah salah
seorang ustadz di pesantren Kak Tiara dulu. Namun tidak
pernah mengajar Kak Tiara. Karena ketika ustadz itu masuk
pesantren, Kak Tiara sudah kelas dua aliyah. Sedangkan
Ustadz itu mengajar di kelas satu. Jadi Kak Tiara tidak tahu
persis bagaimana sebenarnya ustadz itu. Ayah Kak Tiara
memberitahu, Ustadz Zulkifli itu pernah satu pesantren de303

ngan Kak Fadhil. Kak Tiara minta masukan dan saran. Keputusan
apa yang sebaiknya diambil Kak Tiara? Diterima atau
tidak lamaran itu? Kak Tiara minta saran kepada Kak Fadhil
keputusan apa yang harus ia ambil. Itulah amanahnya Kak.
Bagaimana Kak?"
Fadhil mendengarkan penjelasan adiknya yang panjang lebar
itu dengan nafas tertahan. Dadanya sebenamya terasa sesak
mendengar Tiara dilamar oleh Zulkifli. Ia kenal benar dengan
nama itu. Zulkifli adalah teman akrabnya di pesantren dulu.
Teman satu kamar. Ia memang sangat mengenalnya. Orangnya
baik dan cerdas. Meskipun ada sedikit sifat sombongnya.
Dan ia pernah tersakiti oleh sifat sombongnya. Namun telah ia
maafkan. Tidak ada manusia yang sempuma di atas muka
bumi ini kecuali Rasulullah Saw.
Ia yakin, setelah menjadi seorang ustadz, Zulkifli pastilah
sudah jauh lebih arif. Yang membuat dadanya sesak sebenarnya,
karena ia sejatinya menyimpan harapan hendak melamar
Tiara selepas ujian selesai. Ternyata telah didahului oleh
orang lain. Dan orang lain itu adalah temannya sendiri saat di
pesantren dulu, yaitu Zulkifli. Ada rasa nyeri menusuk-nusuk
ulu hatinya. Sakit dan pedih rasanya. Memendam rasa cinta
memang menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi jika cinta itu
tidak kesampaian. Begitulah para pujangga berkata. Dan
begitulah keadaan Fadhil sepertinya. Tapi ah, benarkah begitu?
Bisa jadi belum tentu?
Fadhil terdiam sesaat lamanya. Cut Mala memperhatikan
kakaknya dengan seksama.
"Bagaimana Kak? Apa saran kakak untuk Kak Tiara?" Cut
Mala tidak sabar.
304

Fadhil tersadar. Ia harus berani menghadapi realita . Realita -
nya gadis yang diam-diam telah ia rancang hendak ia lamar
selesai ujian—padahal ujian tinggal satu bulan lagi—telah
dilamar orang. Ia merasa sangat jahat jika meminta kepada
Tiara menolak lamaran itu, agar ia bisa melamarnya setelah
ujian. Ia merasa jika melakukan hal itu, ia seperti menikam
temannya sendiri. Ia merasa kebesaran jiwa dan kesabarannya
benar-benar sedang diuji. Ia harus bisa memberikan jawaban
sebagai seorang Muslim sejati.
Ya, seorang Muslim sejati. Yaitu Muslim yang gentle, yang
berani melepaskan Muslimah yang dicintainya kepada saudara
Muslim lainnya yang lebih siap darinya dalam urusan
menikah.
"Katakan pada Tiara, Ustadz Zulkifli itu teman baik kakak
selama di pesantren dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari ala -
san untuk menola k lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu
pendapat kakak. Namun semuanya tentu kembali kepada
Tiara. Sebaiknya dia shalat Istikharah dulu. Walau bagaimanapun
dialah yang nanti akan menjalani apa yang diputuskannya."
Jawaban Fadhil jelas, tegas dan tanpa ragu. Meski
jauh di lubuk hatinya, ada jenis getar-getar suara aneh yang
susah diartikan maknanya. Orang yang pemah jatuh cinta,
pastilah bisa mendengar getar-getar suara itu.
Cut Mala menangkap ketegasan dari ucapan kakaknya itu. Ia
tidak menangkap sedikit pun keraguan dari kata -katanya. Ia
sedikit kecewa kakaknya mengata kan hal itu. Ia sesungguhnya
berharap kakaknya menunjukkan satu isyarat bahwa
Tiara ada di hatinya. Namun dari sikap dan kata -kata kakaknya
itu ia tidak menemukan isyarat yang ia cari itu sama
sekali. Ia menyimpulkan bahwa Tiara sama sekali tidak terpikir
oleh kakaknya. Meskipun kecewa diam-diam ia bangga dan
305

salut pada kakaknya. Kakaknya adalah pemuda yang tegas,
yang selalu mengutamakan ilmu dan belajar di atas segalanya.
Cut Mala benar-benar tak bisa menangkap getar-getar suara
aneh yang ada di relung hati terdalam kakaknya. Tidak
pernahkah Cut Mala terselubungi selimut cinta yang merindu
dendam dalam dada seperti kakaknya? Sehingga ia tak bisa
menangkap getar-getar suara aneh yang ada di relung hati
terdalam kakaknya itu? Ah, entahlah!
Setelah mendengar jawaban kakaknyar Cut Mala minta diri.
Hari sudah mulai sore. Ia harus segera pulang ke Masakin
Utsman untuk menyampaikan jawaban dan saran kakaknya
kepada Tiara agar bisa segera mengambil keputusan.
***
Tepat pukul lima lebih lima sore, Cut Mala sampai di flatnya.
Cut Mala langsung masuk ke kamarnya diikuti Tiara. Tiara
sepeffi tidak sabar mendengar berita yang dibawa Cut Mala.
Setelah menutup pintu Tiara langsung mencercar Cut Mala
dengan sebuah pertanyaan,
"Bagaimana Dik, sudah kausampaikan pada Kak Fadhil?"
Cut Mala mengangguk dan berkata lirih, "Sudah."
"Apa sarannya?"
"Intinya Kak Tiara diminta Istikharah dan memutuskan
sendiri."
306

"Tentang Ustadz Zulkifli bagaimana?"
"Kata Kak Fadhil, dia orangnya baik." Agaknya Tiara belum
juga puas dengan jawaban singkat Cut Mala. Tiara mengajak
Cut Mala duduk lalu berkata,
"Tolong Dik, ceritakan dengan detil apa yang disampaikan
Kak Fadhil padamu. Tolong kau ulangi kata -katanya. Jangan
kau kurangi dan kautambahi kalau bisa."
"Apa tadi kurang jelas Kak?"
"Jelas Dik, tapi aku perlu yang lebih jelas." Kata Tiara dengan
nada sedih.
Cut Mala menatap dalam-dalam wajah kakak kelasnya. Ia
merasa ada sesuatu yang dipendam oleh kakak kelasnya itu.
Sambil memandang wajah Tiara, ia berkata,
"Baiklah Kak. Saya akan berusaha tidak mengurangi dan
menambahi apa yang disampaikan Kak Fadhil. Setelah aku
sampaikan semua amanah kakak, panjang lebar. Kak Fadhil
terdiam sesaat, lalu tanpa keraguan ia berkata begini, 'Katakan
pada Tiara, Zulkifli itu teman baik kakak selama di pesantren
dulu. Ia orang yang baik. Susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Itu pendapat kakak.
Namun semuanya tentu kembali kepada Tiara. Sebaiknya dia
shalat Istikharah dulu. Walau bagaimanapun dialah yang
nanti akan menjalani apa yang diputuskannya.' Begitulah kata
Kak Fadhil. Masih ada yang kurang jelas?"
"Jadi dia mengatakan: Susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli?"
Cut Mala mengangguk.
307

"Itu berarti dia menyarankan saya untuk menerima lamarannya,"
kata Tiara parau.
"Kak Tiara jangan salah paham. Menurut pemahamanku kok
Kak Fadhil tidak menyarankan apa-apa berkaitan menolak
atau menerima. Kak Fadhil berusaha objektif menilai Ustadz
Zulkifli. Bahkan Kak Fadhil tetap meminta Kak Tiara untuk
shalat Istikharah," tanggap Cut Mala.
"Dengan mengatakan, susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli, itu sama saja memberi
saran jangan menolak lamaran Ustadz Zulkifli," tukas Tiara
pelan dengan mata berkaca-kaca.
"Sepertinya Kak Tiara kecewa ya mendengar apa yang dikata -
kan Kak Fadhil?" raba Cut Mala.
Tiara diam. Matanya yang berkaca -kaca terpejam dalam. Dari
sikap Tiara itu, Cut Mala bisa menyimpulkan apa yang dirasa
kakak kelasnya itu.
"Kenapa Kak Tiara tidak terus terang kepada Mala!?" kata Cut
Mala sedikit keras.
"Terus terang apa Dik?" tukas Tiara parau.
"Berterus terang kalau Kak Tiara mencintai Kak Fadhil,"
tegas Cut Mala.
Tiara kaget mendengar kata-kata Cut Mala.
"Bagaimana kau bisa berkata begitu Dik?" tanya Tiara dengan
nada mengingkari apa yang ia dengar.
"Karena kedua mata Kak Tiara yang berkaca -kaca dan pengingkaran
Kak Tiara atas apa yang dikatakan Kak Fadhil. Kak,
308

jujurlah Kak! Kak Tiara mengharap Kak Fadhil kan? Jujurlah
Kak?"
Tiara mengangguk kemudian menutupi mukanya dengan
kedua tangannya dan menangis lirih. Cut Mala melihat hal itu.
Ia meneteskan air mata. Ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya
terasa perih dan sedih. Ia merasa tak bisa banyak membantu
Tiara. Kakaknya sudah mengatakan dengan tegas, jelas dan
tanpa keraguan bahwa susah dicari alasan untuk menolak
lamaran orang sebaik Ustadz Zulkifli. Ia tahu persis watak
kakaknya yang tidak mungkin mencabut apa yang dikata -
kannya. Tapi benarkah ia tahu persis watak kakaknya?
Termasuk dalam hal cinta -mencinta? Kita lihat saja nanti
kisah selanjutnya.
Dalam hati Cut Mala berpikir, bahwa kejadiannya akan
berbeda jika sejak awal Tiara berterus terang padanya. Ia akan
berusaha bagaimana caranya agar kakaknya bisa bertemu hati
dengan Tiara. Sebab, sejak dulu sejatinya terbersit sebuah
harap di dalam hatinya, Tiara bisa menjadi pendamping hidup
kakaknya. Tiara, meskipun tidak secantik Masyithah. Namun
memiliki akal budi yang memesona.
Dalam haru Cut Mala masih menaruh harap mereka berdua
akhirnya bisa bertemu dalam akad penuh barakah. Ia hanya
bisa menaruh harap dan catatan takdirlah yang pada akhirnya
akan menentukan segalanya.
Selesai shalat Maghrib, Cut Mala langsung menghubungi
kakaknya lewat telpon. Panjang lebar ia menjelaskan perasaan
Tiara yang sesungguhnya, juga harapan Tiara sebenarnya.
Namun persis seperti yang ia duga, kakaknya telah kukuh
dengan pendiriannya Bahkan kakaknya mengatakan lebih tegas
lagi tepatnya lebih ditegas-tegaskan lagi, "Memang sebaiknya
Tiara menerima lamaran Zulkifli. Itu yang lebih baik secara
309

syariat daripada mengharap cinta seorang lelaki yang belum
jelas iya dan tidaknya!"
Cut Mala kecewa dengan jawaban kakaknya, tapi ia tidak
punya kuasa apa-apa. Ia hanya bisa menyampaikan apa yang
baru saja dikatakan kakaknya itu pada Tiara. Setelah mendengar
penuturan Cut Mala, Tiara berkata lirih dengan mata
nanar berkaca-kaca,
"Baiklah, akan aku turuti saran kakakmu itu. Semoga di kemudian
hari kakak kandungmu itu tidak menyesal memberikan
saran itu!"
Hati Cut Mala bergetar mendengarnya. Ia tidak tahu harus
berbuat apa. Ia hanya bisa menghela nafas dan memejamkan
mata. Ia merasa tak ada yang lebih misterius dalam hidup ini
melebihi cinta. Ia pernah mendengar bahwa cinta bukanlah
apa yang kita pikirkan, tetapi ia adalah suratan takdir, suratan
nasib. Benarkah demikian?
310

19
SURAT DAR1 INDONESIA
Malam itu Hafez berpamitan pada teman-teman satu rumahnya.
Kepada teman-temannya ia mengaku memerlukan suasana
baru untuk menyongsong ujian. Ia minta ijin pindah ke
Katamea untuk selama dua bulan. Di Katamea ia akan tinggal
satu kamar dengan Salman. Tak ada yang tahu sejatinya Hafez
pindah ke Katemea karena apa kecuali Azzam. Hafez membawa
buku-buku muqarrar-nya, pakaian dan barang-barang yang
ia anggap penting. Barang yang ia bawa satu koper dan dua
kardus ukuran sedang. Ditemani oleh Nanang ia pergi dengan
taksi.
Kepergian Hafez yang katanya untuk menenangkan diri
membuat Fadhil, Nasir dan Ali semakin sadar bahwa ujian
tidak lama lagi. Hanya Azzam yang tidak terpengaruh apaapa.
Sebab bebannya tinggal satu mata kuliah saja, yaitu Tafsir
311

Tahlili. Kalau ia ingin lulus, ia hanya perlu sedikit serius.
Namun kalau masih ingin di Mesir, ya diktat dibaca tapi saat
menjawab soal ya sekenanya. Baginya jika masih ingin di
Mesir ya sebaiknya tidak lulus. Dengan begitu ia masih bisa
mendapatkan visa tinggal gratis.
Azzam sendiri meskipun statusnya masih belum lulus, ia
merasa telah lulus. Sebab, ya itu tadi bebannya tinggal satu
mata kuliah saja. Ia bahkan sudah bisa memprediksi yudisium
yang akan tertulis dalam ijazahnya. Meskipun nilainya mepet,
tapi tetap jayyid, alias baik. Dengan yudisium jayyid, jika ada
rezeki ia masih memiliki peluang untuk melanjutkan S.2 di
beberapa universitas terkemuka di dunia, seperti di IIUI
Pakistan maupun IIUM Malaysia. Jadi, meskipun orang
mengenalnya sebagai pembuat tempe, tapi ia tetap memiliki
standar minimal prestasi akademik.
Malam itu ia minta tiga anak buahnya Rio, Yayan dan Anam
yang bekerja membuat tempe. Ia merasa harus istirahat. Ia tak
mau jatuh sakit. Jam setengah sembilan setelah minum madu
hangat dicampur air habbah sauda, Azzam masuk kamar untuk
tidur. Ia mengatur jam bekernya dan menyalakan murattal
Syaikh Sa'ad Al Ghamidi pelan. Ia rebahan di atas kasur
dengan nyaman. Matanya belum terpejam. Ia memandang
langit-langit kamarnya yang putih polos. Di langit-langititu ia
seolah melihat wajah ibunya dan ketiga adiknya, Husna, Lia,
dan Sarah. "Sudah sembilan tahun aku berpisah dengan
mereka. Aku seharusnya segera pulang," lirihnya. Tiba-tiba ia
merasa begitu rindu pada mereka. Ia bangkit dan mengambil
buku agendanya. Di sana terselip surat terakhir dari Husna.
Surat yang ia terima tiga bulan yang lalu.
Husna juga mengirimkan foto terbaru mereka. Ia ingin
melihat foto mereka. Ia duduk di meja belajarnya dan meman312

dangi foto yang ada di tangannya dengan seksama. Husna
dengan jilbab putihnya. Lia tersenyum dengan tangan mengacungkan
bravo ke udara. Sarah yang duduk di atas pasir
dengan tertawa. Dan ibundanya yang bersahaja, kerudungnya
berkelebat ke kanan seakan hendak lepas ke udara. Di bela -
kang mereka terhampar lautan dengan ombaknya yang indah.
Di balik foto itu tertuliskan keterangan singkat: "Rekreasi di
Pantai Kartini Jepara saat mengantar Dik Sarah ke Kudus."
Kedua matanya berkaca-kaca. Ia jarang menangis. Namun jika
didera rindu pada ibunda dan adik-adiknya ia mudah sekali
menangis.
Ia pandangi wajah ibundanya yang mulai tampak gurat-gurat
tuanya. Bersamaan dengan airmatanya yang merembes keluar,
ia berkata lirih, "Ibu kapan kita kembali bertemu?"
Tiba-tiba ia merasa berdosa. Sebenarnya, ia yang lebih bisa
menjawab pertanyaannya itu daripada ibunya. Ibunya hanya
bisa menunggu. Ialah yang harus memutuskan dan mengambil
tindakan nyata, kapan pulang ke Indonesia dan bertemu ibu.
Ia bangkit dan membawa foto itu ke kasur. Ia merebahkan
badannya dan meletakkan foto itu di dadanya. Ia memejamkan
mata. Sambil terus membayangkan wajah ibu dan adikadiknya
ia berdoa dalam hati memohon kepada Dzat Yang
Maha Kuasa, agar mempertemukan dia dengan ibu serta adikadiknya
dalam tidurnya. Baginya, bertemu mereka dalam
mimpi mampu sedikit meredam kerinduannya yang membara.
Matanya terpejam, tapi pikirannya masih sadar. Telinganya
menangkap suara seseorang mengetuk pintunya. Ia tak jadi
tidur. Kenyamanannya buyar. Hatinya sedikit marah tidurnya
diganggu.
313

"Ada apa!?" ucapnya setengah berteriak.
"Maaf Kang, ini ada surat buat Sampeyan dari Indonesia."
Mendengar itu rasa marahnya hilang seketika, berganti rasa
bahagia yang luar biasa. Ia langsung bangkit dari tempat
tidurnya.
"Surat dari Indonesia?" tanyanya seolah tak percaya.
"Iya Kang dari Indonesia."
"Dari siapa?"
"Biasa, dari adik Sampeyan, dari Husna."
Azzam langsung melompat dan membuka pintu. Di depan
pintu kamarnya Ali berdiri dengan senyum mengembang.
"Ini Kang suratnya." Kata Ali sambil menyodorkan sepucuk
surat beramplop cokelat muda.
"Siapa yang bawa?" tanya Azzam.
" Seperti biasa, suratnya tadi jatuh ke rumah Miftah di Abdur
Rasul. Yang membawa ke sini si Miftah sendiri. Ia langsung
pergi. Katanya sedang punya janji" jawab Ali tenang.
Azzam menerima surat itu dengan hati luar biasa bahagia. Ia
menutup pintu dan mengamati amplop surat itu dengan
seksama. Di bagian depan amplop tertulis, "Radio Jaya Pemuda
Muslim Indonesia (JPMI) Solo." Di bawahnya tertulis
nama dirinya dan alamat suratnya. Ia mengambil gunting dan
membuka surat itu. Berisi dua lembar kertas HVS putih yang
dilipat. Surat itu ditulis dengan komputer. Azzam membaca
surat itu dengan segenap perasaan rindu dan cintanya:
314

Menjumpai
Kakakku Tercinta
Abdulllah Khairul Azzam
Di Bumi Para Nabi
Assalamu'alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Dari pojok Kota Kartasura tercinta kami tiada henti
mengirimkan doa, semoga Kak Azzam senantiasa sehat,
terjaga dari segala keburukan, dan berada dalam
selimut rahmatNya siang malam. Amin.
Kak, alhamdulillah, kami semua di rumah baik, sehat
wal afiyat, berlimpah rahmat Allah. lbu alhamdulillah
baik dan sehat. Beliau sudah sangat rindu pada Kakak.
Husna sendiri juga sehat. Dua minggu yang lalu Husna
menerima ijazah profesi, Husna sudah bisa praktik
sebagai psikolog. Segala puji bagi Allah Swt. Ini tak
lepas dari jasa Kakak. Lia sudah menyelesaikan D.2.
PGSD-nya. Ia kini mengajar di SDIT Al Kautsar Solo.
Dan Sarah masih belajar di Pesantren Al-Quran di
Kudus. Terakhir Husna ke Kudus ia sudah hafal Juz 27,
28, 29 dan 30.
Kak Azzam tercinta,
Selama delapan tahun ini sejak ayah berpulang ke
rahmatullah, engkau telah menunaikan kewajibanmu
dengan baik. Lihatlah kami, kini adik-adikmu sudah
bisa engkau banggakan. Kami sangat berterima kasih
dan bangga kepadamu Kak. Selama ini kami tahu engkau
tidak lagi memikirkan dirimu Kak. Studimu di Al Azhar
yang seharusnya bisa selesai dalam empat tahun,
bahkan sampai sekarang, belum juga selesai. Padahal
kau sudah sembilan tahun di Mesir. Kami tahu bahwa
engkau mengorbankan dirimu dan segala idealismemu
demi untuk membiayai hidup dan sekolah kami.
Kak Azzam tercinta,
Aku sendiri masih ingat surat kakak ketika kakak
berhasil naik tingkat tahun pertama di A1 Azhar.
315

(Surat itu masih kusimpan baik-baik Kak). Dalam surat
itu kakak menjelaskan kepada ayah, bahwa kakak adalah
satu-satunya mahasiswa dari Indonesia tingkat pertama
yang meraih predikat jayyid jiddan, atau Sangat Baik.
Saya masih ingat Kak, begitu membaca surat kakak,
ayah langsung sujud syukur dan menangis haru dan
bahagia. Ayah sangat bangga. Ayah langsung meminta
ibu masak enak dalam porsi besar. Malam harinya ayah
mengundang tetangga kanan kiri untuk syukuran. Saat
itu aku juga sangat bangga pada Kakak.
Kak Azzam tercinta,
Satu bulan setelah menerima surat dari kakak, ayah
dipanggil Allah. Ayah meninggal karena kecelakaan.
Tahukan engkau kakakku, ternyata di saku baju ayah
yang berlumuran darah itu ada suratmu. Sedemikian
bangganya ayah pada dirimu, bahkan suratmu itu selalu
dibawanya ketika ayah pergi kerja. Saat ayah tiada,
kami merasakan dunia terasa gelap. Namun, kau dari
negeri para nabi menguatkan kami. Kepada kami, adikadikmu
ini kau berpesan untuk terus tenang dan
konsentrasi belajar. Sejak itu kau datang tiap bulan
dengan kirimanmu yang kautransfer lewat bank ke
rekening ibu. lbu yang memang sering sakit dan tidak
bisa lagi bekerja keras sering menangis, aku yakin
ibu menangis haru bercampur bangga, setiap kali
menerima transferan uang dari kakak.
Tak lama setelah itu aku tahu dengan detil apa yang
kakak lakukan di Mesir untuk kami. Kakak bekerja
keras membuat tempe, berjualan tempe dan membuat
bakso demi kami. Kakak rela mengorbankan studi kakak
demi kami. Kami tahu itu pasti sangat berat bagi
kakak. Sebab kami tahu mental kakak sejatinya adalah
mental berkompetisi dan berprestasi. Sejak SD sampai
Madrasah Aliyah kakak selalu rangking satu. Dan
karena prestasi kakak itu, di setiap pelepasan
kelulusan, dari SD sampai Madrasah Aliyah, ayah
selalu diminta pihak sekolahan untuk maju ke panggung
pelepasan, sebagai wali murid dari siswa paling
berprestasi. Tak henti hentinya ayah membanggakan
prestasi kakak itu kepada kami, anak-anaknya. Kami
pun terlecut karenanya.
316

Kak Azzam,
Sungguh, saat mengetahui hal itu aku menangis. Nun
jauh di sana, di negeri para nabi kakak mati-matian
jualan tempe dan bakso demi kami. Sungguh Kak,
semangatku untuk survive, untuk maju dan berprestasi
semakin terlecut, terlecut dan terlecut. Adik-adik
juga terlecut. Hari berganti hari. Matahari terus
terbit dan tenggelam. Sudah delapan tahun kakak
membanting tulang dan berkorban. Kini kakak bisa
segera pulang untuk melihat adik-adik kakak yang
alhamdulillah sudah bisa menatap masa depan dengan
kepala tegak berlimpah rahmat Tuhan seru sekalian
alam.
Kak Azzam tercinta,
Kami tahu sebentar lagi kakak akan menghadapi ujian.
Sudah saatnya kakak menata masa depan kakak. Kami
berharap saat ini kakak kembali konsentrasi ke studi
kakak. Kakak harus segera selesai dan segera pulang.
Kami semua sudah rindu. Sementara jangan pikirkan
kami dulu. Insya Allah kami berkecukupan. Aku sendiri
sejak dua bulan ini sudah menjadi pengisi rubrik
psikologi remaja di Radio JPMI (Jaya Pemuda Muslim
Indonesia) Solo, juga diminta sebagai asisten dosen
di UNS. Dik Lia sudah menjadi pengajar tetap di SDIT.
Gaji kami berdua Insya Allah cukup untuk hidup layak.
Jika kakak ada rezeki dialokasikan saja untuk membeli
tiket pulang dan mungkin membeli buku-buku referensi
yang pasti akan sangat kakak perlukan jika nanti
mengamalkan ilmu di Tanah Air.
Kak Azzam tercinta,
Harapan kami kakak bahagia membaca surat ini. Lia
titip salam. Salam rindu dan kangen tiada tara
katanya. Sarah titip kecupan cinta katanya. Ibu titip
setetes air mata cinta dan bangga untukmu kakakku
tercinta. Ini dulu ya. Selamat menempuh ujian. Semoga
lulus dan segera pulang ke Tanah Air. Semoga Allah
melimpahkan rahmat dan taufik-Nya kepada kakak. Amin
Wassalam,
Dengan sepenuh cinta,
Adikmu,
Ayatul Husna
317

Azzam membaca surat dan adiknya dengan air mata berderaiderai.
Selesai membaca surat itu ia langsung tersungkur di
atas karpet. Sujud syukur kepada Allah Swt. Ia menangis
merasakan keagungan kasih sayang Allah Swt. Kerja kerasnya
membuahkan hasil. Ia sangat bahagia. Ia merasa ini semua
adalah karena kasih sayang Allah Swt.
Dalam sujudnya ia meminta kepada Allah agar diberi tambahan
kekuatan untuk belajar dan diberi tambahan ilmu yang
bermanfaat. Ia menguatkan azzam untuk lulus tahun itu juga.
Tinggal satu mata kuliah, Tafsir Tahlili. Dan ia akan
mempelajarinya dengan penuh konsentrasi. Selesai ujian ia
akan fokus mencari dana untuk pulang. Hatinya tiba-tiba
riang dan bahagianya membuncah-buncah. Dengan penuh
penghayatan ia berdoa, "Ya Allah kabulkan harapanku untuk
lulus dan pulang tahun ini. "
Malam itu Azzam tidur dengan penuh kedamaian. Ia
bermimpi dirinya telah berada di Indonesia makan pagi
bersama ibu dan adik-adiknya. lbunya membuat bubur dengan
sambel tumpang yang sangat sedap. Sementara Husna
membuat bakwan dan mendoan. Lia membuat teh tubruk
kesukaannya. Dan Sarah bercerita tentang pengalaman
indahnya selama berada di Pesantren Al-Quran. Pagi itu ia
makan bubur buatan ibunya dengan sangat lahap. Ibunya
memperhatikan dengan kedua mata bersinar-sinar bahagia.
"Iyo Le. mangano sing akeh. Ben awakmu seger. Trus ndang cepet
kawin."62 Kata ibunya yang disambut tawa riang adik-adiknya.
62 Iya, Nak, makanlah yang banyak. Biar badanmu segar. Terus segera menikah.
318

Azzam lalu ikut juga tertawa. Rasanya sangat bahagia.
"Kawin sama siapa tho Bu." Sahut Azzam.
"Ya sama mahasiswi Indonesia yang cantik-cantik itu tho. Apa
kau kira ibu tidak tahu. Ada Cut Mala, ada Laila, Masyithah,
ada Cut Rika, ada Hilda, ada Erna, dan ada Anna. Kau tinggal
pilih salah satu dari mereka." Jawab ibunya, menyebut namanama
mahasiswi Indonesia di Cairo yang ia ketahui. Ia tidak
mengerti dari mana ibunya tahu nama-nama itu.
"Kok ibu tahu nama mereka?" Tanyanya heran.
"Lho kamu ini bagaimana tho, kan mereka semua kemarin ke
sini menemui ibu. Mereka menginap di pesantrennya Anna.
Dan sebentar lagi mereka mau datang ke sini?"
"Datang ke sini? Ke rumah kita ini?"
"Iya. Kamu itu bagaimana tho. Katanya kamu ingin ketemu
mereka. Kamu ingin menunjukkan gadis yang kamu pilih pada
ibu dan adik-adikmu."
Azzam sama sekali tidak bisa mengerti dengan apa yang
didengarnya. Bagaimana mungkin mahasiswi mahasiswi itu
bisa datang ke rumahnya. Kapan mereka pulang dari Mesir.
Belum hilang keheranannya. Tiba-tiba ada suara memberi
salam sambil mengetuk pintu. Itu suara Cut Mala, ia hafal
betul dengan suara itu.
"Lha itu mereka datang!" Seru ibunya dengan wajah bahagia.
Ketiga adiknya juga menampakkan wajah sangat bahagia. Ia
319

masuk terpaku di tempatnya. Sementara ibu dan adik-adiknya
bergegas ke ruang tamu. Sayup-sayup ia mendengar ibunya
menanyakan kabar pada mereka. Tak lama kemudian, Husna,
adiknya memintanya untuk ke ruang tamu. Ia berjalan dengan
kaki gemetar.
Ia masuk ke ruang tamu dengan menundukkan kepala. Ia lalu
duduk di samping ibunya. Pelan-pelan ia mengangkat kepalanya.
Di depannya duduk tujuh orang gadis dengan pesona
masing-masing. Ya ada Cut Mala, Erna, Masyithah, Cut Rika,
Hilda, Laila dan seseorang memakai cadar. Ia tidak tahu siapa
dia.
Ibunya berkata, "Yang pakai cadar ini namanya Anna. Anna
Althafunnisa."
"Anna Althafunnisa?" Kagetnya.
Perempuan bercadar itu mengangguk. Ia semakin penasaran
dan bingung. Selama ini ia hanya mendengar berita kecantikan
Anna Althafunnisa, tapi tidak pernah tahu seperti apa. Dan
saat itu, ketika Anna ada di hadapannya pun masih juga
menyembunyikan wajahnya. Dan ia bingung, kenapa Anna
Althafunnisa ikut datang, bukankah ia telah dilamar Furqan?
Terus Cut Mala, kenapa juga ikut datang. Bukankah Cut Mala
seharusnya telah dikhitbah Hafez, teman satu rumahnya.
"Apakah kau ingin aku membuka cadarku? Agar kau bisa
melihat wajahku?" Kata Anna seolah tahu rasa penasarannya.
Dengan suara bergetar ia menjawab, "I...iya."
"Baiklah."
Perlahan Anna menyingkap cadar penutup wajahnya. Baru
seperempat yang disingkap, tiba-tiba ia merasakan tubuhnya
320

melayang. Wajah itu bercahaya. Anna tidak langsung menyingkap
semua. Anna menahan sesaat. Lalu kembali menggerakkan
tangannya untuk menyingkap. Tiba-tiba....
Kriing... kriing... kriiing...
Jam bekernya berbunyi keras sekali. Ia terkesiap bangun. Ia
sangat kecewa, itu semua hanya mimpi belaka. Lebih kecewa
lagi, ia belum sepenuhnya melihat wajah Anna Althafunnisa.
"Yah hanya mimpi." Lirihnya pada diri sendiri.
Ia lalu berpikir, mana mungkin ia bisa memiIih salah satu dari
tujuh mahasiswi Cairo itu. Mana mungkin mereka datang ke
rumahnya. Mana mungkin mereka mau menjadi pendamping
hidup penjual tempe seperti dirinya.
"Ah mimpi itu ada-ada saja."
Tiba-tiba ia tersenyum sendiri.
Ia bersyukur masih bisa memimpikan hal yang indah. Ia bersyukur
doanya minta bertemu dengan ibunya dalam mimpi
benar-benar terkabul. Tiba-tiba ia berpikir: "Bisa jadi kalau
aku berdoa, meminta dijodohkan dengan salah satu dari tujuh
gadis dalam mimpiku itu juga akan terkabul. Apa salahnya
berdoa?"
Ia tersenyum. Saatnya Tahajud dan bermunajat pada Tuhan
yang Maha Pengasih dan Penyayang.
321

Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu
mengangkat kamu ke tempat yang terpuji 63
63 QS. Al Israa'(Memperjalankan di Malam Hari) [17]: 79
322

20
BINTANG
YANG BERSINAR TERANG
Anna baru saja pulang dari Khan Khalili. Ia membeli Papyrus,
kaos, celak, siwak, gantungan kunci khas Cairo, dan minyak
wangi. Ia tidak membeli banyak oleh-oleh untuk pulang, terutama
makanan. Sebab ia masih akan mampir di Kuala
Lumpur beberapa hari. Ia bisa membeli tambahan oleh-oleh di
Kuala Lumpur nanti.
"Wah jadi pulang nih Kak." Sapa Zahraza begitu Anna meletakkan
barang belanjaannya di atas meja ruang tamu.
"Insya Allah." Jawab Anna pelan sambil mengusap peluh di
wajahnya. Hari ini lebih panas dari biasanya. Dan Anna naik
taksi yang AC-nya sedang rusak.
323

"Belanja sendirian Kak?"
"Tidaklah Zah. Tadi aku pergi bertiga. Aku ditemani Cut
Mala dan Erna. Cut Mala turun di Rab'ah sedangkan Erna itu
masih di bawah. Ada penjual buah keliling. Ia ingin beli buah."
"Cut Mala itu yang mana sih Kak. Aku sering dengar namanya
tapi kok belum pernah ketemu orangnya."
"Cut Mala, anak Aceh yang kemarin jayyid jiddan itu lho.
Anaknya cantik dan ramah. Ia sering nulis di buletin Citra.
Kalau mau kenalan nanti sore jam empat dia mau datang ke
rumah ini. Dia mau tanya tentang beberapa masalah Ushul
Fiqh."
"Wah kebetulan. Awak penasaran banget dengan yang namanya
Cut Mala Kak. Dia katanya pernah diminta membaca Al-
Quran oleh teman-teman mahasiswi di rumah Negeri Kedah.
Suaranya katanya sangat indah. Ia jadi pembicaraan. Sayang
awak tak hadir saat itu."
"Iya dia memang pernah menjuarai Musabaqah Tilawatil
Quran se-Aceh."
"Oh ya, Wan Aina mana Zah?"
"Dia baru saja tidur. Dua puluh menit yang lalu. Baru pulang
dari rapat panitia seminar."
"Seminarnya jadi positif hari Ahad?"
"Insya Allah positif, Profesor Razlina Afif, Guru Besar Sejarah
Islam dari Universiti Malaya bahkan sudah tiba di Cairo.
Profesor Sherly Lombard, Pakar Sejarah Asia Tenggara dari
Birmingham University juga positif bisa datang."
324

"Syukur alhamdulillah kalau begitu."
"Tapi ada sedikit masalah?"
"Apa itu?"
"Seminarnya kan memakai bahasa Inggris, jadi moderatornya
harus benar-benar yang bisa berbahasa Inggris. Rencana
panitia yang menjadi moderator adalah Wan Faiza Wan Nuh,
yang sedang menempuh master di Cairo University . Wan Faiza
tiba-tiba mengundurkan diri karena ia harus ke Damaskus
untuk suatu urusan yang katanya sangat penting. Sampai
sekarang panitia belum menemukan moderator yang tepat."
"Lha Wan Aina kan bahasa Inggrisnya bagus."
"Dia bilang tidak berani."
"Masak tidak berani?"
"Dia sendiri yang bilang begitu," kata Zahraza meyakinkan.
"Benar Kak Anna, saya tidak berani menghadapi audiens yang
begitu banyak," tiba-tiba Wan Aina menjawab dari pintu
kamarnya. "Tapi panitia, atas usulan saya sudah menemukan
moderator yang tepat insya Allah," lanjut Wan Aina.
"Siapa Wan?" tanya Zahraza.
"Kak Anna Althafunnisa."
"Apa? Aku? Kau jangan bercanda Wan !?" Anna kaget.
"Aku tidak bercanda Kak Anna. Aku serius. Dan aku diamanahi
panitia untuk membereskan masalah ini. Dengan sepenuh
harap aku minta Kak Anna mau menjadi moderator untuk
acara seminar besok."
325

"Kau jangan main-main Wan, bahasa Inggrisku jelek"
"Kak Anna selalu merendah. Saya sudah lama hidup dengan
Kak Anna, sudah lama mengenal Kak Anna. Hanya kakak
yang menurut saya paling tepat untuk memoderatori seminar
besok. Kakak pernah ikut pertukaran pelajar ke Wales selama
satu tahun sebelum kuliah di Al Azhar. Bahasa kakak halus
khas Wales," kata Wan Aina meyakinkan Anna.
"Tapi rasanya susah Wan. Segala sesuatu perlu persiapan.
Aku tak ada persiapan sama sekali untuk tema seminar ini
Wan. Aku bisa seperti badut nanti."
"Jangan kuatir Kak. Dalam satu jam ke depan, saya akan kasih
Kakak print out makalah yang akan disampaikan oleh Profesor
Razlina Afif dan Profesor Sherly Lombard. Juga makalah yang
ditulis Prof. Dr.Nadia Hashem dari Cairo University. Dengan
modal tiga makalah itu paling tidak Kakak punya persiapan
yang cukup ditambah beberapa literatur yang nanti akan saya
usahakan segera ada di meja belajar Kakak. Bagaimana Kak?"
Anna diam tak menjawab.
"Ingat Kak, kita harus saling tolong menolong dalam kebaikan.
Tolonglah panitia Kak!" desak Wan Aina.
Anna sama sekali tidak bisa mengelak, akhirnya ia menjawab,
"Baiklah akan aku coba semampuku."
"Terima kasih Kak."
Seperti yang dijanjikan Anna pada Zahraza, jam empat tepat
Cut Mala tiba di rumah itu. Zahraza sangat senang berkenalan
dengan gadis dari Aceh yang rendah hati itu.
326

"Saya pernah sekali ke Banda Aceh. Saya sempat tengok
Masjid Baiturrahman. Rumah kamu jauh tak dari Masjid
Baiturrahman?" tanya Zahraza pada Cut Mala
"Kalau rumah saya dari Masjid Baiturrahman jauh sekali. Saya
tinggal di Pidie. Kalau tempat kelahiran saya cukup dekat
dengan Masjid Baiturrahman. Masih satu kota. Saya lahir di
Ulee Kareng, Banda Aceh," jelas Cut Mala.
Zahraza yang memang suka ngobrol mengajak Cut Mala
berbicara ke mana-mana. Obrolan mereka berhenti ketika
Anna mengajak Cut Mala masuk ke kamarnya. Cut Mala
sangat hormat dan kagum pada gadis yang judul tesisnya
sudah diterima itu. Ia sendiri bercita-cita bisa mengikuti jejak
Anna Althafunnisa.
Cut Mala membawa diktat kuliahnya. Segala yang musykil
baginya ia tanyakan dengan tanpa rasa malu pada Anna. Anna
menjawab sejelas jelasnya dengan penuh kesabaran.
"KakAnna, maksud kaidah ini apa?" tanya Cut Mala.
"Coba baca apa kaidahnya!" pinta Anna.
"Kaidahnya begini Kak: Al Itsar bil qurbi makruuhun wa fi ghairiha
mahbuubun! Di sini tidak ada penjelasan dan contohnya
sama sekali Kak. Saya belum benar-benar paham."
Anna langsung menjawab dengan tenang,
"Kaidah itu artinya, itsar, mengutamakan orang lain, dalam hal
mendekatkan diri kepada Allah, atau mengutamakan orang
lain dalam beribadah, itu hukumnya makruh. Adapun mengutamakan
orang lain pada selain ibadah itu dianjurkan. Dalam
ibadah yang dianjurkan dan disunahkan adalah berlombalomba
mendapatkan yang paling afdal. Mendapatkan pahala
327

yang paling banyak. Maka mengutamakan orang lain sangat
tidak dianjurkan alias makruh.
"Contohnya, jika seseorang memiliki air yang hanya cukup
buat berwudhu untuk dirinya saja, maka ia tidak boleh mem -
berikan air itu pada orang lain, agar orang lain bisa berwudhu
sementara ia tayammum. Yang disunahkan adalah dia menggunakan
air itu untuk berwudhu biarkan orang lain tayammun.
Kecuali jika ada orang lain yang membutuhkan untuk
minum karena kehausan, maka ia sebaiknya memberikan air
itu padanya dan ia bisa bersuci dengan tayammum.
"Contoh lain, jika seorang Muslimah memiliki satu mukena.
Lalu datang waktu shalat. Ia tidak diperbolehkan mempersilakan
orang lain shalat dulu menggunakan mukenanya dan
ia menunggu setelah orang-orang selesai menggunakan mukenanya.
Yang benar adalah ia harus segera shalat sebelum yang
lain. Ia harus mengutamakan dirinya. Sebab shalat di awal
waktu itu lebih baik. Baru setelah ia shalat ia bisa meminjamkan
pada orang lain. Dalam ibadah sekali lagi dimakruhkan
mengutamakan orang lain. Begitu maksud kaidah itu Dik. Kau
bisa menganalogikan dengan yang lain."
Cut Mala tampak puas mendengar jawaban itu. Tiba-tiba ia
terpikir sesuatu yang menarik untuk ia tanyakan,
"Maaf Kak saya mau tanya. Kalau misalnya. Sekali lagi ini
misalnya lho Kak. Misalnya ada seorang gadis Muslimah,
dilamar oleh seorang pemuda yang sangat baik. Baik agamanya,
akhlaknya, prestasinya, juga wajahnya. Lalu ia mengalah,
mengutamakan saudarinya yang menurutnya lebih baik
darinya dan lebih pantas menikah dengan pemuda Muslim
tadi. Apa ini termasuk makruh Kak?"
328

Anna menatap kedua mata Mala. Sebuah pertanyaan yang
membuatnya tersenyum sekaligus kagum akan kreativitas
gadis dari Aceh ini. Bukankah pertanyaan yang baik adalah
separo dari ilmu?
"Menurutmu menikah itu ibadah nggak Dik?" tanya Anna.
"Ibadah Kak. Bukankah menikah itu menyempurnakan separo
agama?"
"Jadi jelas kan jawabannya. Aku pribadi kalau menemukan
pemuda yang baik, yang menurutku sungguh baik dan ada
yang menjodohkan aku dengannya ya aku akan mengutamakan
diriku dulu. Tidak akan aku tawarkan pada akhwat lain.
Menikah kan ibadah. Cepat-cepat menikah kan juga bagian
dari berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau aku itsar, mengutamakan
akhwat lain, berarti aku akan kalah cepat. Akhwat
itu akan menikah duluan, dapat jodoh duluan dan aku belum.
Jadi tertunda. Dan, tambah lagi belum tentu aku akan dapat
jodoh yang lebihbaik dari itu. Meskipun jodoh ada yang
mengaturnya yaitu Allah. Tapi kita kan harus ikhtiar. Di
antara bentuk ikhtiar, ya, ketika menemukan yang baik tidak
usah mengutamakan orang lain. "
Cut Mala merasa mendapatkan wawasan baru belajar pada
Anna. Cut Mala terus bertanya dan bertanya. Kurang lebih
satu jam setengah Cut Mala berada di kamar Anna. Menjelang
Maghrib ia minta diri. Zahraza mengingatkan agar datang ke
seminar.
"Jangan lupa datang dan ajak teman-teman satu rumahmu ya.
Besok moderatornya Kak Anna," ucap Zahraza.
"Insya Allah," jawab Cut Mala lirih.
329

***
Hari yang dinanti oleh mahasiswa Asia Tenggara tiba. Seminar
sehari membahas sejarah ulama perempuan di Asia Tenggara
digelar juga. Peserta membludak. Di antara daya tariknya,
selain nara sumbernya adalah tiga profesor dari universitas
terkenal di dunia, juga lantaran dimeriahkan oleh Group
Nasyid terkemuka dari Malaysia. Auditorium Shalah Kamil Al
Azhar University penuh sesak. Peserta yang hadir di luar
prediksi panitia. Karena sudah mendekati ujian panitia
mentargetkan enam puluh persen kursi ruangan Shalah Kamil
terisi sudah bagus. Beberapa mahasiswa yang tidak bisa masuk
ruangan sempat protes. Tapi panitia bisa menenangkan
keadaan.
Seminar itu berjalan sangat hidup. Anna Althafunnisa jadi
bintang yang bersinar cemerlang. Bahasa Inggrisnya yang
khas Wales serta pengetahuannya yang luas, ditambah guyonan-
guyonan segarnya benar-benar menghidupkan suasana.
Hadirin selalu berdecak kagum dan tersihir oleh kepiawaian
mahasiswi dari Indonesia yang selama ini tidak banyak dikenal
itu.
"Uedan, moderatornya siapa itu Cak? Cuantik, pinter dan
bahasa Inggrisnya fasih buetul! Anake sopo yo kae?"64 Seorang
mahasiswa dari Surabaya berkomentar pada temannya.
Sejak saat itu Anna menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa
Asia Tenggara. Cut Mala yang menjadi staf redaksi buletin
Citra, bersiap menulis profil orang yang dikaguminya itu. Cut
Mala, tiba-tiba merasakan bahwa prestasinya selama ini tak
ada artinya apa-apa dibanding dengan yang telah diraih Anna
64 Anaknya siapa ya dia itu?
330

Althafunnisa. Ia merasa harus banyak belajar pada perempuan
yang begitu sabar menjelaskan kaidah-kaidah fikih padanya.
Di pojok auditorium itu seorang pemuda memandangi Anna
dengan hati harap-harap cemas. Ia menaruh harapan besar
bisa menyunting moderator yang sangat cemerlang itu.
Namun kejadian di hotel membuatnya sangat cemas bisa
menggagalkan harapannya. Pemuda itu adalah Furqan yang
telah melamar Anna lewat Ustadz Mujab.
Furqan sama sekali tidak mengira kalau moderator pada hari
itu adalah Anna. Hari itu ia benar-benar tersihir oleh pesona
gadis yang telah dipinangnya, tapi belum juga memberi
jawaban iya atau tidak. Furqan merasa jika ia gagal meminang
sang bintang itu, ia benar-benar menderita kerugian yang
tiada terkira besarnya.
Sementara di sisi lain, seorang pemuda agak kurus memperhatikan
pesona Anna dengan mata berkaca -kaca. Dalam dada
pemuda itu membuncah perasaan cemburu, kaget, bahagia
juga sedih. Cemburu karena ia pernah mencoba untuk melamar
gadis yang sedang menjadi pusat perhatian. Bahagia karena
pada akhirnya ia bisa mengetahui wajah gadis yang pernah
ia lamar itu dengan jelas. Bahkan menyaksikan sendiri kepiawaian
dan kecerdasan gadis itu. Memang bukan sembarang
gadis.
Dan kaget karena gadis itu adalah gadis yang pernah ia tolong
bersama kawannya untuk ikut taksinya saat pulang belanja
dari Pasar Sayyeda Zaenab. Ia pernah berbincang-bincang dan
pernah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan gadis
itu. Ia sangat menyesal bahwa ia tidak berterus terang mem -
berikan nama aslinya pada gadis itu.
331

Pemuda itu adalah Khairul Azzam yang begitu mendengar ada
seminar dengan moderator Anna Althafunnisa, ia langsung
datang untuk menghilangkan penasarannya. Dalam hati
pemuda itu berkata, "Alangkah bahagianya Furqan, jika ia
benar-benar bisa menyunting Anna. Semoga kebaikan selalu
menyertai kalian." Pemuda itu mengusap matanya yang basah.
Hanya basah.Tak sampai ada airmata yang tumpah.
Anna menunaikan tugasnya dengan baik. Ia tampil biasa saja.
Tidak ada yang ia buat-buat. Mengalir alamiah. Selesai
seminar pikirannya cuma satu: besok terbang ke Malaysia
bersama WanAina untuk melakukan penelitian tesisnya. Ia
sama sekali tidak sadar kalau ia telah menyihir banyak orang
dan telang menjadi seorang bintang. Bintang di kalangan
mahasiswa Asia Tenggara di Mesir.
Bersambung....
Sabar plen, kalau sudah ketemu lanjutannya, akan segera aku pajang
di EBOOK CENTER - AQUASIMSITE - http://jowo.jw.lt

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!