Memahami Perbedaan Hipokrasi dan Ambivalensi
Beberapa jam nan silam—maksud gw beberapa hari yg lalu, atau mungkin dah lewat sepekan (biar diksi gw gak klise alias taat kaidah, ach)—aq “dimasukkan” bergabung ke sebuah grup aplikasi Whatsapp oleh kawan lamaku yang, spt biasanya, penuh sesak dgn share-share monoton keagamaan semacam fatwa Zakir Naik, Ust Abraham Somad, Ustadz Ana, Ustat Anu, Ustazah Titit Tutut. Mungkin ini memang menakjubkan bagi org sibuk cari duit yg sesekali belajar agama buat rehat dr kepenatan hidupnya (jadi agama sekarang ini jadi komoditas entertainment kayak bioskop dan PSK, buat hiburan bok ! Bisa bikin candu jugakkk keaknya!); membangkitkan motive ekspektasi bahwa klo saya ikut-ikutan religius gak akan rugi nanti kelak di akhirat juga ada imbalan/insentifnya , sebagaimana paradigma hidup berekonomi (dan berpolitik) sehari-hari kita. Segunung apapun dosa dan tricky licik-licik saya dlm muamalah kompetisi ekonomi yg kian ketat ini, insaallah dosa saya akan senantiasa terhapusi sepanjang saya mau ...