Memahami Perbedaan Hipokrasi dan Ambivalensi
Sebelum-sembelumnya
gw juga, krn keperluan mengurus medos ortu, jg sering melihat bagaimana lalu
lintas share-share di grup komunitas
guru begitu tdk berkualiasnya. Guru yg semestinya tempat kita bertanya jadi
terlihat bgt “gobloknya”.... Saya maklum org2 tua ini kurang akses kpd
perkembangan dunia informasi yg begitu massif dan penuh tipu daya saat ini;
dan disitu aq merasa sedih... jg tdk bisa melakukan apa2 krn akan ada
konsekuensinya kalo coba-coba menginterupsi. Apalagi terbongkarnya kasus peran
perusahaan Cambridge Analytica yang sanggup mempengaruhi pilpres di Amerika
Serikat membuatku tercenung: bagaimana jk metode kontemporer sophisticated-hitech propaganda
informasi ini diberondongkan kpd kami manusia2 timur inferior-complex yg “lugu-lugu” dgn peringkat
literasi nomor dua paling bawah dari 61 negara ini?
Spt
biasa, di grup alumni sekolahan tadi aq mulai menceracau dgn “diksi-diksi alien”
dan referensi-referensi multi bidang (sejauh yg gw tahu tentu saja, hehe) yg
mungkin bisa membuat ngebul otak org2 dangkal yg pengennya klo tengok medsos
itu buat baca yg ringan2 aja. Mungkin jg temen2 lamaku itu tak sebodoh itu,
tapi lg males mikir aja; bahkan mungkin ada sj yg lebih pinter tapi males
terlibat krn gak ada untungnya, xixixixi. Setelah sebelumnya ada yg
keluar diam2 saja, akhirnya pas aku mengklimakskan provokasi statement dgn istilah-istilah yg mungkin
seumur-umur hidup baru mereka dengar (maklum, org2 kurang wawasan pengetahuan
generik krn mungkin fokus pd pengetahuan yg punya nilai keekonomian ter-nyata)
plus lagi ini makin menyinggung sentimental kerohanian spt: korupsi syar’i,
sogok syar’i, prostitusi syar’i, perampokan syar’i, makar syar’i, kudeta
syar’i, bigot syar’i hingga genosida syar’i, mulailah ada diantara sahabat2
masa remaja labilku itu yg mulai terus terang menunjukkan ketdksenangannya.
Tentu
saja mereka ogah berdebat krn faktor APA UNTUNGNYA(?) itu tadi, meski Tuhan
memerintahkan untuk memberikan argumentasi sekiranya kamu merasa benar,
sehingga hanya bisa komplen yg diistilahkah oleh pimred koran Washington Post
dlm All The President Mens tentang tanggapan Presiden Richard Nixon atas
tuduhan skandal watergate-nya sebagai
denial non-denial. Akhirnya
setelah berbasa-basi meredam angkara ummat
dgn mengucapkan minal aidin wal faidzin
dan utk mencegah yg lainnya tambah lagi yang keluar gara-gara kenakalan mulut
digitalku, tanpa memperbanyak cincong argumentasi lagi (yg jelas mereka tak
mau/mampu bantah) gw pun memutuskan meninggalkan forum manusia2 banal itu,
hehehe. Dari sini kita bisa lihat bagaimana kita bisa membuat org “susah”
krn menyesakkan pengetahuan yg tidak mereka inginkan. Disinilah bgmn teknik
propaganda modern di medsos mengasupi netizen dgn info yg mereka mau (krn ada
harapan dapat enak) yang ujungnya menjadi prinsip: apa yg saya inginkan
adalah kebenaran. Hmmm.. sebetulnya ini taktik marketing kuno sih, wkwkwk. Informasi
rumit membuat org jadi tdk bisa melihat dgn terang manfaat dari mengetahuinya.
Ini mirip2 taktik DR. Rizal Ramli yg menyuruh tim penulis pengumuman batal
kawin dua bank plat merah-swasta di tahun 1998 (yg punya potensi besar
dipermasalahkan) utk memperbanyak kosakata asing agar publik jadi malas untuk
mencerna.
Meningkatnya
pengetahuan dan kedalaman pengetahuan, atau keluasannya, yang ujungnya
gelombang tsunami informasi yg makin berakses terbuka pada abad jaringan
internet ini membuat org harus bertemu dgn berbagai kosakata atau konstruksi
kata-kata yg semakin beragam yang mungkin jarang atau bahkan belum pernah ia
memorikan preseden pemaknaannya. Orang yg jarang baca, atau org yg males
baca di luar arena pengetahuan profesionalnya akan sering mentok ketika bertemu
hal spt ini. Salah satu atau duanya adalah yang akan gw bahas kali ini: hipokrasi dan ambivalensi. Bukan krn sedang offline, tapi gw memang tidak sudi
melihat pengertiannya di kamus krn bisa jadi gw lebih paham ttg makna kata ini
dr si penulis kamus itu sendiri, qiqiqiqiqiqiqiqi. Kedua kata ini kurasa
(wkwkwk) tidak ada yg otentik dr bahasa (budaya) orang Indonesia walau disini
sudah diserap ke penggunaan bahasa Indonesia. Ambivalensi jelas sumbernya dr bahasa Inggris walau mungkin si
Inggris juga menyerap dr bahasa negeri lain atau yg lebih kuno darinya. Nah, hipokrasi ini selain merujuk kpd bahasa
Inggris (hypocrite) dan Yunani Kuno
(filsuf Hipocrates) dalam bahasa Indonesia punya (katakanlah semacam) sinomin
yakni kata munafik yang berasal dari
bhs Arab. Menariknya, sebagai istilah agama Islam (setidaknya menurut mahzab
tertentu) pengertian kata ini akan lebih dibatasi kpd sebuah hadits
termahsyur Muhammad SAW tentang ciri-ciri orang munafik itu. Jadi, walau
bersinonim dgn hipokrasi (noun) atau hipokrit (adjektiva) medan maknanya
bisa berbeda dan tidak sama lagi dlm pemaknaan umum arbitrer-konsensus
dinamisnya di tengah-tengah pemakaian oleh masyarakat umum.
Okelah
kita percepat ujung postingan blog kali ini, biar tidak kayak orang merasa
paling pintar saja (padahal iya), ambivalensi
maknanya adalah sikap yang mendua juga. Lho, apa bedanya dgn hipokrit
dan kemunafikan? Tentu saja saya tdk sedang membahas soal kelas kata yg
biarlah di-uthak-athik gathuk oleh
org2 idiot itu. Saya sih lebih tertarik membahas masalah bahasa yg substansial
yaitu bagaimana manusia memaknai/memahaminya. Bukan pula semantik ataupun
semiotik krn sbg cabang-kaku ilmu pseudo-sains
itu cenderung reduktif juga; yg berbahaya bagi org2 yg masih mau wawasan
dan nalarnya tetap berkembang tidak terkekang oleh dalil-dalil kuno yang
sudah tdk lagi relevan. Kalo menurut sayah, bukan menurut kamus yang pasti maha
benar itu, dan juga ini tidak memaksa pembaca untuk setuju tapi malah memaksa
Anda yang baca untuk berpikir membantahnya, perbedaan makna kata ambivalensi dan hipokrasi ini memang ada seutas nuansanya namun tegas juga kukira.
Saya tidak akan bicara dgn memberi contoh kalimat, (reduktif gincu2 metode
populasi statisitik lagi, dari kemungkinan konstruksi kalimat yg akan terus expand) silahkan Anda sendiri yg
mengkontruksi “contoh” narasinya dan mudah2an bisa membantah pengetahuan saya
supaya saya bisa mengkoreksi diri (inilah yg menurut gw keuntungan,
xixixixi). Makna ambivalensi itu dekat
kepada situasi keraguan krn dua hal yang bertentangan secara sama kuat atau
hampir sama kuat spt diumpamakan oleh peribahasa simalakama. Jadi menurutku ambivalen ini lebih cocok bersinonim dgn
bimbang. Kalo kata ragu kadang tdk ada hubungannya dgn
situasi yg bertentangan ketika ia punya konteks kpd hal-hal yang lain semacam
ketakutan, ketakmampuan, ke-inferior-an dstnya.
Nah,
bagaimana dgn hipokrasi? Orang yang hipokrit
itu seringnya malah tanpa keraguan. Justru bagi orang hipokrit ini, dua hal
yang semestinya bertentangan berhasil mereka damaikan dan sinkron-kan demi
kepentingan sesaat. Jadi salah besar kalo ada yang men-judge seorang yang hipokrit itu mutlak ambivalen menurutku. Paradoks
bahkan. Dalam hipokrasi yang sukses, konsep filosofi para pesumo Jepang
tentang kebenaran hakiki/dalam (honne)
dan kebenaran luar/tampilan (entah apa bhs jepangnya, gw lupa) berhasil
dipraktikkan. Makin tidak gugup, tanpa kebimbangan, tidak tercium sebagai
sikap ambivalen, maka makin kelas beratlah derajat skill munafiknya, hehehe. Tapi ini aq tidak berolok-olok lho
ya. Serius, aq setuju bahwa kemunafikan itu sering kali sangat bermanfaat utk
mengatur “politik hubungan baik” antar berbagai kepentingan berbagai kelompok
gerombolan gelombang in-group manusia.
Makanya pada peradaban yg beradab kita merumuskan sopan santun dan basa-basi
yang sebetulnya akarnya adalah kemampuan utk bersikap munafik; atau dlm
bahasa positifnya: kontrol diri atas kejujuran motif syahwat binatang dlm
jiwa kita sebagai insting natural manusiawi. Makanya buat gw hipokrasi
ini—sebagai bukan dibatasi istilah keagamaan tertentu—terbagai atas dua juga.
Yang satu harus saya terima sebagai bagian dari politik bermasyarakat, yang
satunya lagi amit-amit dach semoga
tidak pernah gw idap sampai meregang nyawa nantik. Apa itu: hipokrasi sbg
praksis insidentil dlm situasi desakan sosial berhubungan baik dgn orang
lain/musuh dan, yang kedua, hipokrasi sebagai “karakter kejiwaan”. Nah, kalo
yang pertama itu baru ada unsur ambivalennya sehingga kebohongan Anda bisa
dideteksi, xixixixi.
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh