Memahami Perbedaan Hipokrasi dan Ambivalensi

Beberapa jam nan silam—maksud gw beberapa hari yg lalu, atau mungkin dah lewat sepekan (biar diksi gw gak klise alias taat kaidah, ach)—aq “dimasukkan” bergabung ke sebuah grup aplikasi Whatsapp oleh kawan lamaku yang, spt biasanya, penuh sesak dgn share-share monoton keagamaan semacam fatwa Zakir Naik, Ust Abraham Somad, Ustadz Ana, Ustat Anu, Ustazah Titit Tutut. Mungkin ini memang menakjubkan bagi org sibuk cari duit yg sesekali belajar agama buat rehat dr kepenatan hidupnya (jadi agama sekarang ini jadi komoditas entertainment kayak bioskop dan PSK, buat hiburan bok! Bisa bikin candu jugakkk keaknya!); membangkitkan motive ekspektasi bahwa klo saya ikut-ikutan religius gak akan rugi nanti kelak di akhirat juga ada imbalan/insentifnya, sebagaimana paradigma hidup berekonomi (dan berpolitik) sehari-hari kita. Segunung apapun dosa dan tricky licik-licik saya dlm muamalah kompetisi ekonomi yg kian ketat ini, insaallah dosa saya akan senantiasa terhapusi sepanjang saya mau bayar upeti sedekah dan taat membebek dlm barisan kelompok merasa pasti benar. Gw yg kesehariannya “berkelindan” di dunmay dgn wacana sejarah-politik-agama ini betul-betul mual dibuatnya.

Sebelum-sembelumnya gw juga, krn keperluan mengurus medos ortu, jg sering melihat bagaimana lalu lintas share-share di grup komunitas guru begitu tdk berkualiasnya. Guru yg semestinya tempat kita bertanya jadi terlihat bgt “gobloknya”.... Saya maklum org2 tua ini kurang akses kpd perkembangan dunia informasi yg begitu massif dan penuh tipu daya saat ini; dan disitu aq merasa sedih... jg tdk bisa melakukan apa2 krn akan ada konsekuensinya kalo coba-coba menginterupsi. Apalagi terbongkarnya kasus peran perusahaan Cambridge Analytica yang sanggup mempengaruhi pilpres di Amerika Serikat membuatku tercenung: bagaimana jk metode kontemporer sophisticated-hitech propaganda informasi ini diberondongkan kpd kami manusia2 timur inferior-complex yg “lugu-lugu” dgn peringkat literasi nomor dua paling bawah dari 61 negara ini?

Spt biasa, di grup alumni sekolahan tadi aq mulai menceracau dgn “diksi-diksi alien” dan referensi-referensi multi bidang (sejauh yg gw tahu tentu saja, hehe) yg mungkin bisa membuat ngebul otak org2 dangkal yg pengennya klo tengok medsos itu buat baca yg ringan2 aja. Mungkin jg temen2 lamaku itu tak sebodoh itu, tapi lg males mikir aja; bahkan mungkin ada sj yg lebih pinter tapi males terlibat krn gak ada untungnya, xixixixi. Setelah sebelumnya ada yg keluar diam2 saja, akhirnya pas aku mengklimakskan provokasi statement dgn istilah-istilah yg mungkin seumur-umur hidup baru mereka dengar (maklum, org2 kurang wawasan pengetahuan generik krn mungkin fokus pd pengetahuan yg punya nilai keekonomian ter-nyata) plus lagi ini makin menyinggung sentimental kerohanian spt: korupsi syar’i, sogok syar’i, prostitusi syar’i, perampokan syar’i, makar syar’i, kudeta syar’i, bigot syar’i hingga genosida syar’i, mulailah ada diantara sahabat2 masa remaja labilku itu yg mulai terus terang menunjukkan ketdksenangannya.

Tentu saja mereka ogah berdebat krn faktor APA UNTUNGNYA(?) itu tadi, meski Tuhan memerintahkan untuk memberikan argumentasi sekiranya kamu merasa benar, sehingga hanya bisa komplen yg diistilahkah oleh pimred koran Washington Post dlm All The President Mens tentang tanggapan Presiden Richard Nixon atas tuduhan skandal watergate-nya sebagai denial non-denial. Akhirnya setelah berbasa-basi meredam angkara ummat dgn mengucapkan minal aidin wal faidzin dan utk mencegah yg lainnya tambah lagi yang keluar gara-gara kenakalan mulut digitalku, tanpa memperbanyak cincong argumentasi lagi (yg jelas mereka tak mau/mampu bantah) gw pun memutuskan meninggalkan forum manusia2 banal itu, hehehe. Dari sini kita bisa lihat bagaimana kita bisa membuat org “susah” krn menyesakkan pengetahuan yg tidak mereka inginkan. Disinilah bgmn teknik propaganda modern di medsos mengasupi netizen dgn info yg mereka mau (krn ada harapan dapat enak) yang ujungnya menjadi prinsip: apa yg saya inginkan adalah kebenaran. Hmmm.. sebetulnya ini taktik marketing kuno sih, wkwkwk. Informasi rumit membuat org jadi tdk bisa melihat dgn terang manfaat dari mengetahuinya. Ini mirip2 taktik DR. Rizal Ramli yg menyuruh tim penulis pengumuman batal kawin dua bank plat merah-swasta di tahun 1998 (yg punya potensi besar dipermasalahkan) utk memperbanyak kosakata asing agar publik jadi malas untuk mencerna.

Meningkatnya pengetahuan dan kedalaman pengetahuan, atau keluasannya, yang ujungnya gelombang tsunami informasi yg makin berakses terbuka pada abad jaringan internet ini membuat org harus bertemu dgn berbagai kosakata atau konstruksi kata-kata yg semakin beragam yang mungkin jarang atau bahkan belum pernah ia memorikan preseden pemaknaannya. Orang yg jarang baca, atau org yg males baca di luar arena pengetahuan profesionalnya akan sering mentok ketika bertemu hal spt ini. Salah satu atau duanya adalah yang akan gw bahas kali ini: hipokrasi dan ambivalensi. Bukan krn sedang offline, tapi gw memang tidak sudi melihat pengertiannya di kamus krn bisa jadi gw lebih paham ttg makna kata ini dr si penulis kamus itu sendiri, qiqiqiqiqiqiqiqi. Kedua kata ini kurasa (wkwkwk) tidak ada yg otentik dr bahasa (budaya) orang Indonesia walau disini sudah diserap ke penggunaan bahasa Indonesia. Ambivalensi jelas sumbernya dr bahasa Inggris walau mungkin si Inggris juga menyerap dr bahasa negeri lain atau yg lebih kuno darinya. Nah, hipokrasi ini selain merujuk kpd bahasa Inggris (hypocrite) dan Yunani Kuno (filsuf Hipocrates) dalam bahasa Indonesia punya (katakanlah semacam) sinomin yakni kata munafik yang berasal dari bhs Arab. Menariknya, sebagai istilah agama Islam (setidaknya menurut mahzab tertentu) pengertian kata ini akan lebih dibatasi kpd sebuah hadits termahsyur Muhammad SAW tentang ciri-ciri orang munafik itu. Jadi, walau bersinonim dgn hipokrasi (noun) atau hipokrit (adjektiva) medan maknanya bisa berbeda dan tidak sama lagi dlm pemaknaan umum arbitrer-konsensus dinamisnya di tengah-tengah pemakaian oleh masyarakat umum.

Okelah kita percepat ujung postingan blog kali ini, biar tidak kayak orang merasa paling pintar saja (padahal iya), ambivalensi maknanya adalah sikap yang mendua juga. Lho, apa bedanya dgn hipokrit dan kemunafikan? Tentu saja saya tdk sedang membahas soal kelas kata yg biarlah di-uthak-athik gathuk oleh org2 idiot itu. Saya sih lebih tertarik membahas masalah bahasa yg substansial yaitu bagaimana manusia memaknai/memahaminya. Bukan pula semantik ataupun semiotik krn sbg cabang-kaku ilmu pseudo-sains itu cenderung reduktif juga; yg berbahaya bagi org2 yg masih mau wawasan dan nalarnya tetap berkembang tidak terkekang oleh dalil-dalil kuno yang sudah tdk lagi relevan. Kalo menurut sayah, bukan menurut kamus yang pasti maha benar itu, dan juga ini tidak memaksa pembaca untuk setuju tapi malah memaksa Anda yang baca untuk berpikir membantahnya, perbedaan makna kata ambivalensi dan hipokrasi ini memang ada seutas nuansanya namun tegas juga kukira. Saya tidak akan bicara dgn memberi contoh kalimat, (reduktif gincu2 metode populasi statisitik lagi, dari kemungkinan konstruksi kalimat yg akan terus expand) silahkan Anda sendiri yg mengkontruksi “contoh” narasinya dan mudah2an bisa membantah pengetahuan saya supaya saya bisa mengkoreksi diri (inilah yg menurut gw keuntungan, xixixixi). Makna ambivalensi itu dekat kepada situasi keraguan krn dua hal yang bertentangan secara sama kuat atau hampir sama kuat spt diumpamakan oleh peribahasa simalakama. Jadi menurutku ambivalen ini lebih cocok bersinonim dgn bimbang. Kalo kata ragu kadang tdk ada hubungannya dgn situasi yg bertentangan ketika ia punya konteks kpd hal-hal yang lain semacam ketakutan, ketakmampuan, ke-inferior-an dstnya.

Nah, bagaimana dgn hipokrasi? Orang yang hipokrit itu seringnya malah tanpa keraguan. Justru bagi orang hipokrit ini, dua hal yang semestinya bertentangan berhasil mereka damaikan dan sinkron-kan demi kepentingan sesaat. Jadi salah besar kalo ada yang men-judge seorang yang hipokrit itu mutlak ambivalen menurutku. Paradoks bahkan. Dalam hipokrasi yang sukses, konsep filosofi para pesumo Jepang tentang kebenaran hakiki/dalam (honne) dan kebenaran luar/tampilan (entah apa bhs jepangnya, gw lupa) berhasil dipraktikkan. Makin tidak gugup, tanpa kebimbangan, tidak tercium sebagai sikap ambivalen, maka makin kelas beratlah derajat skill munafiknya, hehehe. Tapi ini aq tidak berolok-olok lho ya. Serius, aq setuju bahwa kemunafikan itu sering kali sangat bermanfaat utk mengatur “politik hubungan baik” antar berbagai kepentingan berbagai kelompok gerombolan gelombang in-group manusia. Makanya pada peradaban yg beradab kita merumuskan sopan santun dan basa-basi yang sebetulnya akarnya adalah kemampuan utk bersikap munafik; atau dlm bahasa positifnya: kontrol diri atas kejujuran motif syahwat binatang dlm jiwa kita sebagai insting natural manusiawi. Makanya buat gw hipokrasi ini—sebagai bukan dibatasi istilah keagamaan tertentu—terbagai atas dua juga. Yang satu harus saya terima sebagai bagian dari politik bermasyarakat, yang satunya lagi amit-amit dach semoga tidak pernah gw idap sampai meregang nyawa nantik. Apa itu: hipokrasi sbg praksis insidentil dlm situasi desakan sosial berhubungan baik dgn orang lain/musuh dan, yang kedua, hipokrasi sebagai “karakter kejiwaan”. Nah, kalo yang pertama itu baru ada unsur ambivalennya sehingga kebohongan Anda bisa dideteksi, xixixixi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!