Repiuw Pelem "Jackass Bad Grandpa" (2013) dan "Anie Hall" (1977)
anie hall review jackass bad grandpa |
Baiklah, daripada kejauhan bicarakk tentang
agama'-agama'an yang kami sebetulnya ndak kompeten
ini (baik secara sertifikasi formal ataupun politis) kita kembali saja kepada
judul artikel ini termaksud yakni membahas: pelem. Tepatnya film bajakan yang
kami download secara
"gratis" ke hardisk "penadah" di kompi kami niyy, hihi. Sebetulnya,
tentang movie atau cinema ini pun kami jugakk belum
terlalu kompeten untuk sok jadi reviewer,
namun akan tetapi, setidaknya lah kalo sok-sok-an merasa tahu di bidang
"liberal" dan "tidak bermanfaat" ini kami berani untuk
menggonggong karena yakinlah tak akan ada histeria massa pekok dari geng Islam sontoloyo yang hobi
rame-rame melakukan persekusi. Kecuali kalok film "Passion of the
Christ", misalnya, kami olok-olok sebagai tafsir subjektif dari aneka
alegori tentang kehidupan Sang Isabnu Maryam atau Jezz from Nazareth tersebut;
mungkin akan ada juga intelektual-puritan neo-ortodoks yang punya pengaruh
politik/ekonomi akan tak senang pada kejujuran ilmiyyah kami. Apa boleh buat. Resiko harus diambil jika tak
ingin hanya diam tidur-tiduran menanti pengadilan akhirat tempat membongkar
semua tipu-tipu di dunia nie nantik. Ya iyalah, lebih baik hare-hare indehoi dibelai-belai angin yang sepoi-sepoi menikmatin
waktu yang sebetulnya sebentar aja dari azan ke iqomat ini daripada terlalu serius ikutan rebutan receh-receh
dengan kaum kuli kafirtalisme globalism
di kaki-kaki tertindas piramida
hukum proporsi 80:20 kue sebaran kesejahteraan. Dan lalu selanjutnya, sadar
tidak sadar, jadi bagian dari tunggangan berbagai faksi kekuatan politiking
yang saling saing sikut untuk menuju puncak kenikmatan di puncak
kekuasaan sana. Ciyus bangett abang nie, h-five
dulu ach, toss!
Masukin kita ke film: kedua film yang ingin
kubahas ini sama-sama udah tersimpan lama di kompi. Udah tahunan juga mungkin, idle for years. Maklum, satu pelem itu
durasinya bisa sekitar dua jam, kadang-kadang rasanya rugi juga meng-alokasikan
sisa umur untuk amalan-amalan yang katanya sia-sia ini. Kalo nonton sinema
"nut/bocop" setidaknya ada manfaatnya untuk pelepas ketegangan dan menetralisir keseimbangan kejiwaan,
hehe. Sengaja sekaligus kali ini review
film-nya akan kumadu pembahasannya dua bidji sekaligus alias nge-bioskop secara
threesome-an; selain karena waktu
menontonnya berdekatan dan beriringan, juga karena aq menemukan sebuah pola
pemaknaan/reseptik antar keduanya.
Hyang pertama abang pantengin ya dinda yaa habibah adalah Anie Hall. Ini film oldschool banget, meski nggak se-klasik Cassablanca (1942 kalok
ndak salah, masih hitam-putih tapi udah ada sound-nya)
yang bisa dibilang syahadat-sinema
bagi setiap orang yang mau terjun serius ke dunia kritik/analisis film. Film
Anie Hall ini juga film popular. Bahkan mendapat Oscar di tahun 1977 tersebut;
yang kalo ndak salah untuk akting aktor ceweknya, Diane Keaton, dan kategori
skenario terbaik (entah siapa yang nulis, lupa). Sutradara sekaligus aktor
utamanya adalah cowok “cunihin” berkacamata lebar bernama Woody Allen; bukan
nama asing lagi yaa. Ini adalah sebuah film humour
(mungkin bisa dibilang satire atau dark-comedy
juga) yang sangat berat dan bisa dianggap film serius bagi saudara-saudara kita
yang ber-IQ jebot kurang asupan informasi tentang konteks kultural pikiran
kaum "barat". Pantes ia menang di kontes Academy Award tersebut
karena disini tidak ada lelucon kacangan;
bahkan sepanjang film penuh dengan dialog-dialog hiper-intertekstual kepada
pelbagai hal-hal mind-fuck lainnya
seperti pemikiran-pemikiran filsafat dan sejenisnya. Saya ndak bisa men-contek-kan
kutipannya walau sangat banyak karena kalok lagi nulis biasanya aq offline; dan kalok mau online dulu nyari referensi bakal makan waktu pulak. Mending gw
beresin apa-apa yang mo ditulis seingat-ingatnya aja dulu; sebelum mood memudar dan demi blog gw agar tetap
up to dead yoi. Oya, judul film ini
sendiri adalah nama dari pacar/bininya si aktor utama (Alvy Singer, kalok cuma
nama begini tidak terlalu sulit untuk diingat), meski menurutku dia kalah
dominan justru dalam film ini dibanding si Woody Allen tea yang memerankan aktor utama itu, yang kerjanya nyerocos-intelek
sepanjak durasi film diputar. Oya lagi perlu dicatat, di film ini ada teknik
yang mungkin pertama kali terjadi dalam sejarah pembuatan film seperti
ketika Alvy berbicara kepada kamera/penonton dan proses recall memories yang berlangsung di satu set scene (gimana yaa cara jelasin ini, hehe).
Setelah dibuat ngakak secara ejakulasi-cerdas oleh film ini,
(mungkin besoknya, aq gak ingat persis) kemudian saya menonton film "Grandpa"
tersebut. Ini film rating jelek di berbagai forum maya. Entah kenapa ku-download juga, mungkin didesak time-limit jatah kuota paket internet.
Yang jelas walok sudah sejak lama existing
ia sama sekalik tak menarik minatku at
all untuk prioritas menontonnya. Dan entah bodoh seperti apa yang sedang
menghinggapiku—padahal masih banyak koleksi film lebih bermutu lain yang sudah “kucolong” juga yang ngantri untuk
"dipelajari"—aq malah menonton film humor “tak dianggap orang” ini
tepat sesudah aq dibuat puas oleh film humor kelas-atas selera tinggi seperti
Anie Hall tadi. Betapa hambar akan menyaksikan film humor yang buruk setelah
menikmati yang sangat bagus. Ibarat sehabis senggama dengan Cleopatra, aq
malah tertarik mengimpoi pembantu Inem versi tidak seksi, duhh. Kalo dalam
dunia kajian seks ini mungkin akan didiagnosa sebagai kelainan hormon. Bosen melihat yang cantik-cantik terus, malah baru
teransang lagi begitu melihat betina biasa-biasa saja, hihihi.
Film "Jackass Bad Grandpa" ini
dibuat secara semi-dokumenter dengan takada satu pun aktor terkenal. Mungkin
yang produksi juga bukan produsen film yang sudah establish di bisnis ini. Oh, sebentar kayaknya aktor utamanya cukup
punya nama tapi kalo tak salah ingat ia di-make-up
jadi tua untuk memerankan sang grandpa
atau kakek si tokoh utama. Teknik semi-dokumenter ini pun sebetulnya untuk
jaman now udah biasa saja; bahkan
norak terkesan unproffesional dan low-budget seperti syuting-syuting amatir para youtuber yang makin menyemut di jagat self-publikasi dunia maya yang tambah
ramai aja itu. Cerita basic film ini
adalah tentang seorang kakek, yang baru saja "bebas" karena kematian
istrinya, mendapat "ikatan" lagi saat harus mengurus cucunya untuk
diantar ke kota lain tempat terdapat menantu/bapak dari cucunya itu. Aktor yang
akting dalam film ini hanya beberapa orang; yakni si kakek, cucu, anak, dan
menantunya. Selebihnya, setiap orang yang akan mereka temui adalah
"TIDAK TAHU" bahwa mereka sedang melakukan pembuatan film serius.
Banyak di antara gambar dalam film ini diambil dari sudut yang tersembunyi. Sound-nya sendiri memakai semacam mic penyadap di baju si kakek/cucu,
bukan tiang bermikrofon seperti yang umum kita lihat dalam adegan pembuatan
film. Alhasil, suara yang jelas terdengar hanya suara dialog si kakek dan sang
cucu; suara-suara orang lain terdengar agak samar.
Singkat cerita, film yang dirating norak/jelek oleh publik dunmay
ini ternyata bisa juga membuat saya tertawa dan cukup terhibur ternyata! Memang
harus diakui, berbeda dengan humor-sinis di Anie Hall yang high-level kelasnya, pada film ini kita disuguhi lawakan murahan
yang bisa saja dirasa basi. Akting terlalu terlihat dibuat-buat—sebetulnya ini
juga ada di Anie Hall, tapi itu memang teknik sinematografi yang disengaja—serta
dipenuh-penuhkan saja dengan klise.
Salah satu penanda humor murahan tersebut adalah eksploitasi seksual,
penggunaan kata-kata umpatan, atau olok-olok atas cacat/kekurangan fisik seseorang.
Hal semacam ini sudah terdapat pada adegan awal ketika sang kakek tua bangka
ini melakukan masturbasi di lubang koin mesin minuman depan sebuah minimarket. Ceritanya, sehabis
istrinya (sang nenek) meninggal ia merasa bebas untuk cari cewek/PSK buat
bersenang-senang. Tapi tiap toko/pub
telanjang yang ia temui selalu sedang tutup saat itu, hingga ia ketemu mesin
minuman yang ada lobangnya di depan
sebuah minimarket. Menjijikkannya,
kemudian kontol si kakek kejepit di lobang itu. Seperti dibilang, orang-orang
lain/publik di scene minimarket dalam film ini tak tahu kalo
ini syuting film sehingga terbengong-bengong
melihat si kakek meringis kesakitan anunya kejepit. Dan si kakek tentu saja
sedang akting dengan menggunakan penis palsu yang sampai lentur
memanjang sewaktu ia tarik-tarik dan membuat "penonton" lain di film
ini jadi ketakutan bakal putus. Dan
entah kenapa humor bajingan seperti ini bisa juga membuat gw ketawa
terbahak-bahak.... Hahahahaha! Okelah itu aja dulu, sayah ndak tahu lagi harus
berkata apa. Kebetulan tulisanku kali ini udah cukup panjang untuk pantas
disebut sebagai artikel dan bisa dimuat di blog untuk hadir sekedarnya; ya,
sudahlah kuakhiri saja lahh yaw. Dan selamat ikut menyaksikan bagi yang
berminat dan penasaran aja yaaa. Wassakamu’alaikum
wr, wb,. NB: salah satu adegan favoritku yang bikin ketawa dus terharu
adalah saat akting si cucu yang memajang dirinya sendiri di taman kota untuk
mencari/merayu calon "papa baru". Seruuu, mens!
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh