Hidup Mewah dan Agama

Belakangan ini sedang hot pemberitaan infotainment tentang seorang ustadzah yang dituduh abal-abal dan katanya difitnah suka bergaya hidup mewah. Belum lagi prasangka negatif tentang ijazah formal da'i yang bersangkutan dalam disiplin ilmu keagamaan sehingga punya legalitas etis untuk "berfatwa" atau menceramahi orang awam tentang apa itu kebenaran.

Bagaimanapun kebenaran yang sebenarnya itu katanya objektif, tapi ketika pemahaman akan objek itu berproses dalam otak beserta segenap referensi pribadi seorang anak manusia tentulah subjektifitas akan hadir. Padahal kalau kita mau jujur formalitas pendidikan juga bukan jaminan objektitas opini dari lobang mulut seseorang anak manusiawi.

Sebenarnya bukan hanya belakangan ini. Beberapa lebih ke belakang lagi--setidaknya sejak fenomena kematian Ustadz "gaul" Uje--isu tentang da'i abal-abal atau mubaligh yang belum pantas untuk ditampilkan sebagai ulama publik telah lama mencuat. Bahkan ada yang kelihatannya memang mumpuni alias terampil memaparkan ilmu agama secara substansial--dalam ukuran tertentu--seperti Mamah Dedeh yang tidak hanya modal skill retorika plus wajah cakep yang sudah lumrah dibutuhkan dalam ekonomi industri performing massa, tetap saja omong-omong di belakang layar tentang tarif-tarifan dalam bisnis dakwah ini jebol juga mengemuka sulit untuk ditutup-tutupi. Kalau ndak salah beliau dipatok 25 juta per titik jika saya tidak salah ingat ya. Bayangkan, sekali cuap-cuap untuk mecocok-cocokkan sebagian ayat atau hadits dengan realita zaman sekarang (melalu perspektif si penceramah) bisa dapat sepeda motor baru dua hehe.

Padahal, jika kita merujuk pendapat ahli hadits Kyai Ali Mustafa Yakub yang baru meninggal kemaren ini, tarif dakwah itu semestinya fleksibel bahkan ikhlas jika tidak dibayar. Mematok tarif hanya ada dalilnya bagi rukyah/pengobatan. Tentu akan ada perdebatan lanjut karena model dakwah modern yang dievent-organizerkan pada zaman sekarang--yang artinya melibatkan organisasi bisnis yang harus memberi makan banyak karyawan--jika berbasis tarif seikhlasnya akan bangkrut dong usahanya.

Meski kemudian ini bisa dibantah lagi dengan keyakinan tentang pertolongan Tuhan bagi orang-orang yang mukhlisin. Bagaimanapun tentu kita tidak bisa sama sekali meremehkan referensi beliau yang merupakan muridnya ibn Baz yang merupakan rujukan ulama akbar mujtahid mutakhir bagi umat Islam zaman sekarang.

Kembali ke Ustadzah Oki yang saya maksudkan pada menu kalimat pembuka di atas, selain soal tarif juga mencuat kembali diskursus gaya hidup mewah di kalangan da'i. Belum lagi kita membahas ulama politikus yang harus membiayai organisasi politiknya--juga membiayai tampilan layak bagi pergaulan elitnya--lalu harus cari uang ke sana ke mari hingga ditangkap KPK yang ketahuan.

Kadang lucu juga rasanya berita keagamaan koq malah nongol pada sesi acara TV yang lekat dengan gossip/ghibah dunia artis. Dan tentunya bisa dimaklumi pada jenis TV Show begini tampilan glamour sudah lumrah menjadi syarat industrinya. Mungkin itulah pula dunia dakwah pun mesti menyesuaikan diri dengan selera zaman dan tuntunan strategi bisnis pada masa ini dan medium itu.

Saya sendiri termasuk yang berpendapat cukup ekstrim mengenai gaya hidup mewah yang menunggangi agama seperti gitu. Saya sangat setuju dengan pendapat almarhum Ali Mustafa Yakub sang penulis artikel bernas "Haji Pengabdi Setan" itu yang mengkritik peristiwa shalat berhadiah mobil di Bengkulu sebagai sebuah kesyirikan. Kalau guyonan saya, ibadah berhadiah wanita pasti lebih bikin semangat lagi para pria.

Dalam kadar yang sangat parah bagi saya kecintaan pada harta/duniawi boleh jadi sudah jatuh pada kesyirikan/menuhankan yang mana merupakan dosa tertinggi dibanding dosa-dosa lainnya dalam Islam; bahkan dibanding dosa maha besar seperti membunuh dengan sengaja yang tidak ada alasan meringankan/membenarkan. Seingat saya bahkan disebutkan dalam hadits orang yang terbunuh ketika melawan orang yang berusaha membunuh untuk menguasai hartanya berstatus syahid. Artinya kita tidak diperbolehkan sabar dan mengalah pada pembunuh yang bermotif merampas harta orang. Ini menunjukkan betapa berbahayanya watak mata duitan.

Namun kita harus komprehensif juga melihat realita manusiawi yang sudah fitrahnya seneng sama duit/duniawi karena di situlah letak enak/kenikmatan. Makanya bagi saya upaya diskredit pada orang yang bergaya hidup mewah harus pula kita batasi agar tidak melampaui batas. Ibarat air yang mesti mengalir ke bawah begitu jugalah fitrah hawa nafsu manusia yang hanya dengan melawannya bisa membuat kita ditinggikan. Dan sebagai sesama manusia kita juga harus memaklumi bahwa itu tidaklah mudah.

Dibanding berkonflik; berkompromi dan mencari titik-titik persamaan alias bersikap positif dengan kodrat matre itu tentulah lebih mudah dan menyenangkan. Makanya bagi manusia yang akalnya jadi karyawan keinginannya akan dicari-carikanlah pembenaran bagi orientasi hawa nafsunya mulai level pokok/dasar hingga naik (atau turun?) tanpa batas ke level luxorious. Ceilee kayak gw gak punya napsu saja.

Tapi ya itulah, berpikir idealis bagi saya tetap harus dijaga kemurniaannya dari teracuni pilihan-pilihan sikap kita yang harus realistis pada batas kesanggupannya. Makanya bagi saya gaya hidup mewah para ustadz atau ustadzah tersebut itupun walau tercela tidaklah membuat mereka lantas menjadi seolah-olah sudah seperti akan dikafirkan. Benar dan salah itu bagi saya harus dilihat nuansa atau kategori-kategori detailnya. Akan terjerumus dalam kesesatan pandangan kita jika menggeneralisir pada sikap oposisi binner hitam putih saja.

Jika merujuk pada Nabi Muhammad dalam agama Islam maka kita akan dapati contoh sempurna tentang ketakwaan/kebenaran. Beliau selain ahli ibadah dan alim tentunya tapi juga zuhud kehidupannya. Beliau tidak memanfaatkan posisinya sebagai junjungan orang banyak untuk mengeruk keuntungan dengan hidup bermewah-mewah. Kalau kita dalam posisi beliau pastilah sudah akan memonetisasinya kedudukan politis tersebut untuk dijadikan sebagai akses ke sumber-sumber ekonomi.

Bahkan jika kita lihat defenisi pengangguran pada zaman kontemporer ini--yang dikaitkan dengan peran seorang manusia untuk diperbudak oleh jaringan ekonomi perbankkan alias dijadikan oli-oli untuk mesin kapitalisme yang persentase keuntungannya selalu mengalir kepada para bandar di puncak piramida--maka nabi anti riba yang sangat dicintai umatnya ini bisa jadi unemployee juga statusnya. Konon beliau cuma mengambil sedikit ghanimah untuk disimpan sebagai bekal hidup keluarganya selama setahun.

Memang ada juga riwayat beliau berdagang serabutan mungkin seperti pedagang online macam saya sekarang tapi kita semua mengetahui bahwa beliau sangat tidak menyukai pasar sebagai tempat paling disukai Iblis karena banyak tipu daya disana (manusiawi). Bisa dibilang hidup beliau hanya ditunjang dengan hadiah dari shahabat-shahabatnya karena para nabi diharamkan menerima sedekah. Dan tentu tak elok jika beliau ada yang mengupah sebagai pekerja.

Gaji sebagai "kepala negara" juga belum ada karen pada zaman beliau belum ada organisasi pemerintahan yang berbasis "fiskal" karena tujuannya memang bukan kemakmuran duniawi apalagi kemakmuran elitis. Karena hubungan sosial berbasis keikhlasan, "uang" pada masa itu mengalir alamiah saja tanpa perlu diakal-akali/diperebutkan meski sebagai corak kehidupan ada juga terdapat riwayat tentang manusia kemaruk seperti Dzul Khuraisah yang disebut-sebut sebagai nenek moyangnya khawarij karena protes dapat bagian harta sedikit atau kisah populer tentang mujahidin pemanah pada perang uhud yang meninggalkan posnya karena silau melihat ghanimah yang berserakan. Belum lagi jika kita merujuk para ahlu suffah murid-murid beliau yang mungkin akan dicap pengangguran juga dalam terminologi kapitalisme modern yang memang berusaha melakukan psiko-war terhadap calon budak-budaknya.

Tapi tentunya tidak semua orang sanggup untuk bergaya hidup sewara' dan selevel nabi tersebut. Toh ada juga shahabat-shahabat nabi yang menjadi pebisnis--mohon jangan disama-samakan dengan akal bulus pebisnis modern--dan terlihat hidup lebih mewah dalam kadar tertentu. Tapi kita juga bisa saksikan bahwa banyaknya harta mereka bukanlah untuk hidup glamour/pamer tetapi lebih banyak untuk disedekahkan memberi makan orang miskin alias untuk beramal saleh untuk bekal akhirat tanpa siasat akal bulus memotong sekian persen untuk kenikmatan dunia supaya dapat surga dua kali: dunya wal akhirat.

Namun kita juga tak bisa menuntut para agamawan zaman sekarang untuk sanggup level zuhudnya setara generasi terdahulu. Okelah kepanjangan nih, singkat kata gini aja: gaya hidup mewah di kalangan ustadz selebritas tidaklah sampai mengkafirkan tetapi memang tercela. Kita harus bisa memaklumi jika level keimanan mereka masih sangat jauh ketimbang para nabi dan murid-muridnya. Akhir kata, dari pada mencela kelakuan orang lain lebih baik idealisme tersebut kita terapkan untuk diri sendiri. Tidak mudah bukan? Makanya ketika menasehati orang lain tentang nilai-nilai ideal, kita nggak perlu ngotot/maksa lah. Kecuali kita sedang punya motif/modus dan strategi politik/bisnis yang dalam konteks tertentu tidak ada juga salahnya bahkan perlu hehehe.

Contoh untuk akhirul kalam: makhluk allah yang sudah alamnya bergaya hidup mewah yang biasa mendatangkan ustadz bayaran ke istananya untuk ngajar ngaji anak-anak supaya tetap terus ke surga kelak. Dengan kata lain, ada share market atau pangsa pasar yang butuh jenis da'i tipe mereka. Tentunya da'i tipe Abu Dzar bakal bikin mereka menutup hidung karena gelisah dan merasa imun. Akhirnya para da'i harus menyesuaikan diri dengan atmosfer steril calon konsumennya. Dan itu butuh "biaya perawatan". Salah atau benarkah pernyataan gw ini nantilah kita tanyakan pada komisi fatwa MUI setelah analisis dalil bagi haramnya mencuri listrik yang dimohonkan PLN bisa cepat kelar. Maklum kerja prosedural itu kadang lucu dan tidak boleh diukur pake pertanyaan apakah masuk akal. Apalagi olok-olok logika seperti: memangnya kalau mencuri yang lain halal?

Kompasiana, 04 Mei 2016
http://www.kompasiana.com/wem/hidup-mewah-dan-agama_5729ec5e65afbd6f15be7633

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!