esei buat sirojawahaj




(SU)SASTRA INDONESIA

Dalam sebuah eseinya yang diberi judul “Keindonesiaan”, Seno Gumira Azidarma ikut mempersoalkan erti daripada kata ‘indonesia’ bagi label kesusastraan “kita”. Sejauh mana ia berjarak dengan sastra yang “bukan Indonesia”, sejauh mana pula ia punya ciri tersendiri (dan bisa dianggap berdiri mandiri sebagai sastra “yang Indonesiana”), Seno – barangkali untungnya – juga menambah kerumitan, mem-bikin jarak dengan kepastian jawaban. Sementara juga daripada itu, dalam bidang teori sastra, pada medio tahun ’80-an telah terbit pula sebuah buku yang berbicara tentang “menuju kritik sastra Indonesia yang relevan”. Buku yang berupa kumpulan makalah (dan esei) hasil pertemuan para kritikus sastra terkemuka Republik Indonesia di Padang (yang daerah bukan pusat itu) merupakan salah satu puncak akademis daripada tentang kegelisahan tentang menemukan bentuk metode penelitian sastra yang khas Indonesia. Sementara pula lagi daripada itu, cukup banyak penerapan-penerapan teori barat pada karya-karya sastra Indonesia yang dinilai sebagian kalangan cukup berhasil. Sementara pula lagi-lagi daripada itu, tak kurang pula banyaknya kalangan yang terus menggugat, menggugat, dan menggugatinya. Dan, siapa bilang persoalan tentang “sastra Indonesia” tersebut selesai sudah di masa sekarang?

Coba sekarang saya bertanya. Asumsikan saja dengan cara berpikir normal dan standar bahwa sebuah defenisi tentu merangkum pengertiannya, dan membedakan dirinya dari kelompok berdefenisikan lain, (tentunya) berdasarkan kesamaan ciri. Nah, lebih mirip mana sastra modern Indonesia sekarang dengan kesusastraan barat atau dengan sastra klasik Indonesia? Ataukah pula lebih mirip kesusastraan Arab, atau Afrika? Atau kerumitan ini kita tambah pula dengan kategorisasi yang bersifat periodik: sastra barat tersebut misal, sastra barat kontemporer atau sastra masa victorian-kah? Coba kita pikirkan, sastra mantera kita (sebagai bentuk kesusastraan yang katanya tertua) tentu sangat jauh berbeda dibandingkan puisi-puisi karangan J.E. Tentakeng, yang barangkali secara gampang bisa kita katakan lebih mirip kata-kata dalam drama Shekespeare, atau yang lebih didukung fakta sejarah adalah bahwasanya bentuk ekspresi kesenian sastrawan-sastrawan angkatan Pujangga Baru ceriteranya sangat dipengaruhi oleh tren stilistik para seniman Belanda dalam pada masa itu. Juga lagi, jika kita mencomot salah satu sastra klasik dari masa pengaruh Islam (bersama masuknya kesusastraan Islam dan Persia tentunya), lha, kisah-kisah Abu Nawas di daerah-daerah tersebut sebenarnya dari mana seh?
Tapi tenang. Saya tahu keluhan dari pembaca budiman sekalian atas tulisan-tulisan saya yang tak mempermudah urusan ini. Terlalu banyak sudut pandang dan patokan bercampur aduk dalam memberi klasifikasi. Oke. Kita gampangkan urusan dengan mengarahkan defenisi tentang “sastra Indonesia” tersebut sekedar pada soal media bahasa. (Sialnya, pengertian bahasa disini ndak pula sekedar bahasa Indonesia yang ya bahasa Indonesia, tetapi harus pula di-ke-masukkan bahasa-bahasa daerah dalam wilayah hukum republik kita ini sebab sastra zaman klasik pun harus dilingkupi. Dan saya ndak usah pula bertanya kapankah “Indonesia” itu bermulai, atau apakah bangsa papua adalah bangsa “Indonesia” tersebut?). Sekali lagi mari sederhanakan persoalan. Dengan pemersatu bernama bahasa Indonesia (dan bangsa Indonesia), kita telah mendapatkan sebuah ciri tentang sastra Indonesia. Lalu untungnya (bagi para pemikir yang menyukai kerumitan), sebab sifat bahasa yang “lintas sekto-teritorial”, sastra Indonesia yang berbahasa Indonesia ini juga tak lepas dari masuknya idiom-idiom hingga bulat-bulat kata-kata berbahasa asing (coba lihat deh bagaimana Remi Silado menipografikan kata ‘asing’ ini pada bukunya yang berjudul “9 dari 10 Kata Berbahasa Indonesia adalah Asing”), dari arab hingga ke negeri cina sampai ke USA. Sekali lagi pembaca budiman sekalian, yang ingin penyelesaian, kita pinggirkan faktor-faktor lain seperti, ideologi, budaya, gaya, dll. Kita cukup berbicara totok soal bahasa. Mengenai peristiwa alih kode dan campur kode dengan bahasa “lain” tadi, setidaknya secara kuantitas kita tentu bisa buktikan (dan ukur saja sekalian!) bahwa yang mengaku sebagai sastra Indonesia haruslah mayoritas menggunakan kata-kata berbahasa Indonesia. (Apakah harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar, atau “tertib” istilah terbarunya, sebab mengaku bersatu atas cita rasa kebahasaan? Jawabnya, kita bicara sastra dan tak usah menambah-nambah persoalan).
Pembaca yang budiman. Toh juga, seperti judul karangan kangArswendo Atmowiloto, “mengarang itu (kan) gampang”. Jika ingin memproduksi karya sastra Indonesia, Anda hanya perlu memiliki ide dan memunyai kemauan menulis (kalo saya tulis kemampuan menulis nanti panjang lagi soalannya). Tulislah (langsung saja kita sebut) karya sastra Indonesia dengan menggunakan bahasa Anda, yang (kembali lagi pada rumusan tadi) secara kuantitas ianya daripada itu mayoritas menggunakan kata-kata berbahasa Indonesia. Simsalabim, jadilah ia karya sastra Indonesia. Tentunya jika laku. Maka, yang penting itu karya Anda diakui oleh komunitas sastra Indonesia. However, pengakuan tak-lah selalu bervariabel tetap dengan kepastian pengertian. Apalagi kita bisa berdalih dengan teori kebahasaan Transformatif-nya Bapak Noam Chomsky. Secara competence dan esensi, tulisan tersebut bisa kita pastikan: berbahasa Indonesia dan merupakan kesusastraan Indonesia. Secara performance, terserahlah masing-masing punya lidah, telinga, dan mulut. Soal variasi, segala kerumitan , dan persoalan yang menyertainya, serahkanlah pada para “pemikir sastra” (Indonesia tersebut) untuk suntuk meneorikannya. Yang susah itu memberi judul. Lha, kenapa? Setidaknya saya saat ini mengalaminya.
Seperti yang dapat anda lihat, tulisan kali ini saya beri judul susastra Indonesia. Sementara kata ‘susastra’-nya sendiri baru saya singgung kali ini dan sesuatu kalimat yang sebelum ini. Berdasarkan buku Pengkajian Sastra-nya Ibu Partini Sardjono Pradotokusumo, susastra bisa diartikan mentah sebagai tulisan yang indah, ia berasal dari bahasa sansekerta. Jadi, jika Anda percaya kepada defenisi lokal bernama “keindonesiaan” tadi, hormatilah sansekerta dengan pinjaman kata ‘su’-nya. Sebab sastra doang berarti tulisan doang. Tapi tak apalah. Kenyataan juga tak membeda-bedakan antara sastra dan susastra. Anda-anda wahai pembaca yang budiman, ndak perlu ikut pusing. Biar saya yang serba mempermasalahkan ini marasa bersalah sendirian. Coba sekarang, saya dibingungkan apakah harus menuliskan susastra dengan tetap ‘susastra’ seperti pada kata berimbuh-gabungan ‘kesusastraan’, ataukah ‘soesastra’ seperti pada kata ‘soeharto’ (sementara djisamsoe lain lagi rujukannya – walaupun katanya antar bahasa juga saling pinjam meminjam dan ngaruh mempengaruhi –, dan pada judul saya malah menuliskan dengan tipografi (su)sastra). Pembaca yang budiman, hal ini semata-mata saya tuliskan karena pembicaraan susastra atau sastra kita sudah terlanjur memutlakkan diri pada standar kebahasaan. Dan omong=omong tentang standar kebahasa-Indonesiaan, EYD yang berlaku hingga sekarang tersebut (yang membuat saya mengeja Pak Karno dengan Sukarno), diresmikan dan ditanda tangani oleh mantan presiden (negara berbahasa Indonesia kita) dengan nama yang tertera: Soeharto.
Akhirnya, sebagai penutup, kembali juga kepada sementara daripada itu. Bahwasanya, daripada sebenar-benarnya dan sesungguh-sungguhnya, tulisan yang membahas sastra Indonesia (yang berbahasa Indonesia) ini, teramatlah sekiranya adapun dipenuhi oleh pelbagai hal-hal kesalahan berbahasa. Oh dewa licentia poetica, tebuslah dosa hamba. Oke, wassalam semua.

Depok, 3 Oktober 2005







-------------
-------------
keywords, content:

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

bunyi bunyi puisi rima statistik fonem fon puisi poe poet sajak sanjak cerpen short story sastra sastera literature analisis teori penelitian posmodernisme kontemporer medan makna semiotik semiotika resepsi sastra estetika resepsi pembacaan karya sastra

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

puisi cinta love aku sendiri alone tuhan god sunyi sepi alone indah beautiful hati heart hidup life

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

komputer computer website situs blog html adsense internet bunga flower taman garden

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city

uang money lowongan pekerjaan job pns cpns beasiswa gratis free mobil car politik obama bin laden bush europe eropa islam moslem buku book phone diskon asia indonesia minang kabau padang city
-----------------
-----------------

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!