Prospek dan Konsekuensi, Review Film In The Loop (2009)
Dalam kerangka mengabiz-abizkan quota
internet operator seluler tri dari Hongkong yang super banget promonya (terendus
sebagai spekulasi bisnis yang taksehat{i}), sebelum jatahku kadaluarsa dimakan usia...
mangka akhir-akhir ini aq banyak meluangkan waktu untuk men-download film2 “normal”—biasanya vacancy ke situs film cabul kayaknya neh
hehe—dari sebuah website yang
ber-kebenaran tidak diblokir pemerintah NKRI; dan kebetulan proses downloadnya
pun sangat-sangat mudah—tapi sekitar seminggu ini mulai agak sulit (ada
prosedur tambahan instal ini-itu dan harus pakai browser tertentu pulak). Tentu
saja dari sekian banyak file “menyia-nyiakan umur” yang kuunduh itu sebagian
besarnya belum sempat kuintip. Padahal pekerjaan hanyalah mondar-mandir, ka
kaler ke kidul saja di sekeliling rumah (kasur-sumur-dapur) dan pergi keluar
dari kompleks “kerajaanku ini” nyaris hanya untuk pergi kebaktian jum’at sekali
seminggu (kalau lagi moody untuk
mendengar ceramah pembodohan dari “ulama-ulamak” miskin wawasan sok yakin tahu
betul, bahkan propaganda-politiking marketing aliran antek entahlah xixixi).
Salah satu film kesimpan dina hardisk yang sempat kutontoni sampai
akhirnya ini adalah In The Loop produksi sekitar tahun 2009 atau sekitar delapan
tahun ke masa silam. Memang aq lagi gandrung dengan topik-topik time-loop seperti ini, Time Machine, In
Time, Predestination, filmnya Bruce Wilis tua-muda juga monyetnya Brad Pitt
idiot yang aq lupa judulnya, Run Lola Run, dan tentu saja yang paling berkesan
Groundhog Day (1993), cuma aq kecele ternyata In The Loop bukan. Tapi
sebelumnya aq juga sudah tahu ini film politik makanya kumakan, karena aq
pastinya melihat reviewnya dulu tidak asal download aja; namun pas mulai ada
waktu nonton, aq lupa dan berasumsi hanya dari judulnya. Hampir saja ku-cut nonton film ini (mungkin saking
beratnya) tapi akhirnya khatam juga.
Walau tidak suka (baca: tidak pandai atau
setidaknya kurang gesit dalam) praktik berpolitik (apalagi yang level
mikro/antar-personal) tapi aq orang yang hobi untuk mengamati dunya politiking
itu (terutama level makro/kontrol-massa, terlebih yang skalanya sudah permainan
internasionale). Buku memoarnya mantan agen mossad yang sewaktu masih kadet saja
sudah dilatih untuk mampu membuat kepercayaan seorang pemilik balkon rumah yang
tidak ia kenal sebelumya untuk dalam waktu spesifik menit tertentu harus dibujuk
memegang setangkai bunga dan berdiri di atas sana yang dulu pernah kubaca di
rumah seorang family yang (jarang-jarang)
cukup intelektual sampai sekarang tidak pernah bisa kulupakan labirin dengung/gema
kesan takjubnya. Tentu saja semua itu ada ilmunya (teknik mempengaruhi orang),
tapi juga tentu saja propaganda buku tersebut bisa saja fiktif atau setidaknya
dilebih-lebihkan. Pengalaman mengikuti semua ini membuat aq orang yang terbuka
dengan berbagai fenomena; memaklumi berbagai kemungkinan rumit dari segala apa
yang terjadi; tidak sudi dibohongi PAKAI generalisasi-simplifikasi; the devil in the detail. So, ojo kagetan, kata Pak Harto kan
hihi.
Okelahhh, penganternya aja sudah
kemana-mana nih gayss... film In The Loop ini sebetulnya buatku juga tidak
terlalu menarik, walau jelek juga tidak. Padahal aq bukanlah tipe yang pembosan
dengan film narasi berat, bahkan itulah sukanya. Tapi kini aq tertantang untuk
mereview film satu ini sehingga melatih diri untuk tidak hanya pick-up yang kita suka saja hehe.
Kulihat reviewnya dalam bahasa Indonesia jarang maka aq meluangkan waktu untuk
meramaikan sedikit. Situs-situs kritik film seperti Rottentomattoes dan Metacritic
kulihat memberi rating tinggi pada film ”berat” ini, jadi wajar tidak laku di
Indonesia huahahaha.
In The Loop adalah sebuah film yang
bercerita tentang para pekerja dan penasihat komunikasi di jajaran eksekutif
Amerika Serikat (US) dan Kerajaan Serikat (UK) xixi dengan setting khayalan
merujuk pada saat-saat menjelang ajal, eh, invasi militer koalisi negara barat
(termasuk Arab Saudi ya) ke Irak untuk menggulingkan “diktator” Saddam Hussein
sekitar tahun 2003 atau 2004 lah ya (males ah nge-check ke mbah google). Disini diperlihatkan bagaimana politik
komunikasi penerangan massa antara dua kubu pemihakan policy dari dua negara utama adidaya barat ini (The Anglo-Saxon). Baik di Inggeris ataupun
pemerintahan Amriks ada kubu yang pro ataupun kontra (di jajaran birokratnya).
Konflik utama dalam film ini adalah bagaimana slip of tongue dari seorang staf sekretaris negara Amirikiyyah membuat
keberadaan sebuah komite militer yang dibungkus dengan nama “komite untuk masa
depan” (yang mengindikasikan rencana penyiapan perang) terendus oleh pihak lain
yang tidak setuju. Dan ini sudah sejak awal film diputar problematikanya;
dibangun lewat penggunaan diksi kurang tepat oleh salah satu menteri British
pada sebuah wawancara yang menimbulkan kemajemukan/mutasyabihat tafsiran dan salah satu takwil terkuatnya memunculkan narasi tentang rencana perang oleh
pihak barat.
okehhh
ituh duluhhh, mumudahan bisa bercembun’x (biar blog ini tetep absen dulu
ajah).....
okayyy qt lanzutkan setelah kemaren2 sempat
belagak sok sibug dulu, sehingga crita q ini agak susu menggantung begitu,
namun demi melihat zudulnya yg belum kena di resensinya ini oklah mari
dilanjutkan ngaenyapruknyahh
Istilah “prospek dan konsekuensi” ini
digunakan oleh asistennya (aide/helper?)
ibuk sekretaris negara-untuk urusan diplomasi USA untuk mentiteli judul
makalah/risetnya (si gadis asisten itu) mengenai serangan barat ke Iraq.
Makalah ini dipuji oleh si ibu dalam konferensi bilateral antara pemerintahan
AS dan Inggris. Judul lengkapnya memiliki akronim PWIP-PIP atau semacam itulah
kira-kira yang dipendeki oleh si penulis sendiri dengan bahasa slang pros and cons. Di makalah itu dibeberkan
segala akibat untung rugi jika keputusan menyerang Irak jadi diambil pihak
barat. Buatku sendiri istilah ini cukup memantik perhatian karena prospek dan
konsekuensi adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan kita sebagai(mana)
manusia. Dalam paradigma hidup yang kalkulatif dan positivis-reduktif
(mengabaikan faktor-faktor di luar kontrol manusia) pros dan kons ini filosofis
yang mendasar banget kukira;
sebagaimana filsafat-istilah oposite-biner lainnya seperti punish and reward ataupun baik dan benar, untung rugi,
jujur pakai bohong dll.
Kembali ke cerita film, setelah tagword unforeseeable-nya Menteri Pembangunan
Internasinal Inggris Simon “Forester” menjadi isu publik—lalu belakangan tambah
panas dengan kelepasan mulut beliau bermetafor-ria di depan mikrofon media massa
dengan menelurkan lagi ungkapan climbing to
the mountain of conflict—langsung kemudian pro-kontra mengenai rencana
perang mengapung ke permukaan laut opini. Di film ini kemudian diperlihatkan
bagaimana orang-orang pintar yang mengurusi komunikasi publik di kedua negara
adidaya ini mencari jalan keluar dari masalah-masalah yang timbul. Termasuk
pada akhir cerita “mereka” mengarang sebuah informasi “agak palsu” setelah
informasi agak apa adanya bocor ke media massa karena kegegabahan Toby (salah
seorang penasehat komunikasi Simon Foster) ketika diputusin pacarnya setelah
nge-seks dengan stafnya ibuk sekretaris negara AS penulis PWIP-PIP tadi (teman
kuliahnya dulu) yang kata Toby “demi mencegah perang” padalah si cewek juga ada
siasat kepentingannya hehe. Juga diperlihatkan bagaimana keteledoran Toby
membocorkan informasi tentang komite perang kepada temannya di media massa,
meski kadang hubungan pertemanan dengan “orang media” ini juga dimanfaatkan
oleh staf-staf di pemerintahan untuk “mengendalikan” isu.
Film In The Loop sangat bagus bagi yang
ingin belajar bahasa Inggris-British level advanced karena disini aksen dan
slang mereka berhamburan bagai peluru magazine karena ini adalah sebuah film
yang penuh dengan dialog atau percakapan. Tentunya tipe fans film anti-NATO
(Not Act, Talk fOrever) alias penggemar genre action akan ngantuk mengikutinya. Disini juga akan banyak ditemui
variasi umpatan fuck ala Britania Raya
yang akan tiap sebentar keluar dari mulut Malcolm Tucker sang Kepala Komunikasi
Perdana Menteri Inggris. Saya sendiri kesulitan jika hanya menyimak subtitle indonesianya dan berkali-kali
mengganti ke subtitle inggris untuk
meyakinkan kata-kata tertentu yang dirasa penting untuk diketahui. Oke itu dulu
saja “resensi”-nya. Tanpa pendalaman, tanpa pemaknaan, apalagi permenungan dan
sublimasif. Ini juga rasanya sudah cukup panjang, entah siapa yang baca mungkin
hanya Tuhan hehe tapi ndak apa-apalah hidup ini toh hanya latihan demi latihan dan
ujian berkelanjutan. Oks cee you Gods!
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh