Miusikk of de Heart (1999): Film Mengharoekan Yg Bisa Bikin Para-Antum Pd Loepa Makan, Bahkan Tak Ingat Lg Siapa Toehan! Man Robbuka?
ya ampun, dikutip thesis ini lho, duh gusti,... |
You teach humanities at a state college, Phil. You're not fucking Hawking! That wasn't cool.
(People You May Know, 2017)
(People You May Know, 2017)
Selain berkecimpung dg film2 berbobot yg terpinggirkan, aq juga tentu tiada pernah meng-haram-kan diri dari sinema2 populer/kotak kantor (maksud ee: box office) yg—baik krn juga berbobot pun atau krn ia mewakili sebwah kalcer atawa trend atau regime atau bahkan hegemonik (politik kesuksesan). Tjontohnja kali ini, kita akan membahas sebuah film hollywood biasa-biasa saja dg bintang utama Meryl Streep sang aktris langganan Oscar/Academy Award tsb. Kuperhati-perhatikan, ibu yg satu ini terlihat sama saja rawut paras mukanya—Nek Titik Puspa kalah deh—sejak masih memerani mama2 muda pada film Kramer vs Kramer (sekitar 1970-an) dg tandemnya aktor legendaris Dustin Hoffman hingga peran nenek2 owner sebuah firma koran besar dlm The Post, dg kompatriot aktor yg tak kalah akan me-legendaris si abang Tom Hanks (tahun kemaren, klo ndak salah menang Oscar juga mereka bedua).
Di film
Music of Myheart (MoMh, 1999) ini, Neng Meryl akan memeranin seorang guru musik
bernama Ibuk Roberta Gusparici (persisnya aq lupa, pokok ee nama2 italic gitu deh) yg mengajar instrumen
biola yg berdawai utk sebuah sekolah dasar di suatu kawasan yg kumis (istilah
kompetitornya Jokowi-Ahok di Pilgub DKI dulu Bang Foke aka Ir. Ing, Fauzi Bowo
yg tebel kumis dan “kumis”-nya itu, hehe, {kini beliau klo ndak salah jadi dubes
untuk Jerman, almamater universitasnya} yg merupakan singkatan dari: kumuh
& miskin). Ibu guru Roberta ini mengajar di East Harlem, New York
(semacam Tambora atau Kalideres mungkin klo di Jakarta) yg ternyata merupakan
sebuah epik based on true story.
Dikernakan swaminya yg seorang perwira militer US Army eh Navy Seal kayaknya
(pernah dinas di Hawai) memilih utk lari sama istri orang (tema lagu dangdut
banget nih), Roberta musti jadi single
mother (? mungkin maksudnya single
parent) bagi dua anak son-nya:
Nick dan Lexi. Tentu, spt kata neneknya Nick dan Lexi—tempat setiap wanita
yg dicampakkan akan kembali—mereka berdua sangat banyak makannya (sehingga
si nenek jebol anggaran dapurnya), maka mami-tunggal (emangnya
turnamen bulu tangkis coy) keak Mama Roberta ini harus segera mencari pekerjaan
sendiri walaupun dlm pekerjaan itu tentu saja bukan ia yg sendiri (bahasa itu
memang lucu dipikir2, koq ada ya yg terlalu serius mengatur2-i kayak tabiat
miringnya para gerombolan/komplotan grammar-NAZI, xixixi).
Tidak
singkat cerita—krn baru awal nih gw mau meresensikannya, masak lo mintak
disingkat2 aja—sesuai kpd keahlian, passion,
sekaligus pendidikan formalnya di bidang musik (khususnya biola), Roberta
diterima bekerja di sebuah sekolah di East Harlem tsb. Awalnya ia melamar
disini berkat rekomendasi “teman (tidurnya)” yg ia temui kebetulan sewaktu awalnya
bekerja jadi tukang membungkus kado di sebuah toko (dimana gerangan Mira-nya
coba?). Namun ia sempat ditolak walau punya beking krn ia tdk punya
pengalaman mengajar musik secara formal yg tentu saja krn ia selama ini
ikut suami sang tentara yg “suka” berpindah2 tempat tugas. Berkat sebuah
pertunjukan dadakan talent-show yg
cukup memukau bareng Nick dan Young Lexi—yg tentu saja ia ajar sendiri lewat homeschooling, xixi—ia akhirnya diterima
dan mendapatkan amanah menjalankan sebuah kelas program khusus. Ini
penting ane “garistebali” dan kemudian perlu juga ente “garisbawahi” (harfiah
banget kan?) krn akan menjadi sudut pandang kunci analisis kita kali ini
tentang (cerita) filmnya. Pelajaran muzik biola yg diampu Bu Roberta bukanlah
mata pelajaran inti/(sejam nih
gw memikirkan kosakata paling tepat untuk menyampaikan maksud gw secara paling
persis tapi belum ingat juga nih sob, sorry) utk murid sekolah kids of
Mamarika!
Dikisahkan
oleh cerita atau diceritakan oleh kisah (maksod lo?) bahwa Roberta
berhasil dgn “program khususnya” sehingga ia menjadi semacam role model pembelajaran formal di
kawasan sekitar. Berawal dari satu kelas di satu sekolah papan bawah/underdog atau bukan unggulan, kini ia
mesti mengundi calon muridnya dari beberapa sekolah krn saking banyaknya
peminat. Hingga ketika datanglah suatu saat... saat ketika datang sesuatu
hingga (pretttttt !!!!!). Ya Alloh, Baim agak lupa persis jalan
ceritanya. Intinya dan pokoknya gini
aja dech: ketika bersiap utk sebuah pertunjukkan penting (Bu Guru Roberta and her kids partner), mendadak dewan
pendidikan setempat menghapus pendanaan bagi program khusus kelas musik biola-nya
Roberta utk dunia pendidikan dasar kawasan Harlem Timur itu. Tentu saja dg
alasan mapel musik dan seni2an gitu dianggap tidak urgentif. Seperti
klise krn hanya sains dan pelajaran agama lah (atau mungkin juga ekonomi) yg
jadi prioritas bagi peserta didik utk bekal menghadapi kerasnya kompetisi
persaingan cari makan di dunia nyata homo
homini lupus yg akan mereka hadapkan nanti. Ini mirip2 tematiknya Bu Guru
eks-marinir dalam film Dangerous Minds yg memabukkan murid2nya dgn “keindahan”
puisi yg tentu saja dipandang hanya pelajaran sampah tidak berguna yg wasting time oleh para ortu murid (dlm contoh kasus di film
itu org negro) dari kalangan penghasilan menengah ke bawah yg utk cari makan
aja susah itu, hehe.
“Namanya
juga film” (dan memang bgt juga di kisah nyatanya), tentu kemudian ada perlawanan
atau episode konflik. Krn dinas terkait tdk mau membiayai kelas musik ini—yg
mana padahal sebetulnya adalah yaitu cuman utk menggaji satu org ibuk Roberta
ini aja toh, Bunda Roberta dkk yg bersimpati dan bertelkomsel (mungkin juga yg
cuma turut-turutan/psikologi massa) mencanangkan kegiatan utk
menghasilkan pendanaan mandiri (fund
raising) utk program “spesial” mereka ini. Kenapa pelajaran musik dan
seni2an begini mesti dianak-tirikan? Apalagi jikapun dunia seni adalah anak
tiri, tetap saja mestinya tidak dibeda-bedakan dg anak kandung (rights equality) walaupun sekalipun anak
yg dikandung adalah si Malin Kandang? Apakah ini akan jadi film tentang kisah
klise, klasik, namun selalu relevan spt Nona Bawang Merah iri-irian dg Noni
Bawang Putih? Atau kita masuk ke diskursus yg lebih berat lagi spt cap bidang
ilmu pseudo-saintifik, wacana
hiper-realitas, moral-hazard dan
etika perikehidupan kontemporer hingga narasi aliran posmo-Islami yg
didengung2kan itu? Baeklah, taeklah. Krn artikel kali ini sudah cukup panjang,
mataku sudah mulai mengantuk, lutut mulai terasa loyo, dan dunia mimpi “di alam
sana” sudah melambai2 menanti aq; cerita-cerita kita yg disusun tanpa metode
paradigmatik pendekatan disiplin ilmu yg se-ketat cd plus reduktif bin
generalisir normatif prosedural ini akan disambungkan kepada di lain kali aja.
Tenang sob... tuhan tdk tidur walau tinta2 sudah mengering dan kalimat
sudah selesai Dituliskan!
I'm not
naturally a violent man, but
if this thing
is not working soon,
I'm going to
show you another side of me.
Well, I'm not
naturally a worried man,
but how do I
know when I do fix
this thing you
won't just kill me?
(The
Hurricane Heist, 2018)
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh