Mengenal Jurusan Sastra Indonesia Sontoloyo

Tidak ada yg perlu disesali dlm hidup ini, selama kita tdk melakukan perbuatan kejahatan (tentu saja yg merupakan kejahatan menurut gundulku!). Kesalahan atau keputusan salah adalah trek yg mesti didaki, kita belajar dari itu dan--spt kata entah siapah saya tiada ingat namanya (yg penting ngutip dulu biar kelihatannya banyak baca dan intelektual)--teruslah berbuat kesalahan krn pd akhirnya diujungnya baru ditemukan kebenaran. Kerasa kurang keren yaa klo kalimat persisnya dikarang sendiri. Lagi pula filosofi begini paling cocoknya utk metode trial and error kali ya (itupun klo at the end story, u get those lucky "bad ass" luck fellas!). Tapi klo pun ada yg perlu disesal-kan--bedakah dg disesal-i(?), sok atuh diatur-aturi dan diseolahpastikan (pseudo-kepastian)--maka hal paling tersesalkan dan tersesali dan tersesal dlm hidupku adalah keputusan dunguku ketika memilih melanjutkan studi ke perguruan tinggi dg memilih program studi sastra indonesia dan membuang2 waktu utk menamatkannya, hehe. Ibarat bagai Kartini-nya Achdiat K Mirhardja yg membuka "roman" phenomenon-nya sudah sejak paragraf awal dg naratie negativ (atau setdknya melow) saat "meratapi" ajal Kang Hasan tersayang.

Sptnya memang novel luar biasa atau tdk biasa-biasa saja itu (yg sebelumnya kita under-ekspektasi kan) hanya bisa dihasilkan oleh penulis sekali muncul sehabis itu menghilang (spt di-quote oleh promotornya sang cerpenis dlm Ruby Spark: keep mediocre, makes your best and then disappear); bkn yg menjadikannya profesi dan rutinitas utk cari makan yg akhirnya menghasilkan "karya maksa" alias produk industrial (tapi tak ideal). Seingat-ingatku skrg--yg bertahun2 ada dlm aroma karya sastra Indonesia sub-Jawa Barat, novel Atheis inilah karya puncak dari sana yg memang sangat jarang kecuali barisan sastra biasa-biasa saja menuju buruk (kasta menengah ke bawah). Sekarang ada disebut2 Eka Kurniawan; tapi ya itu, sastrawan-profesi ini menurutku tdk otentik hasilnya. Lagipula gw memang sudah tak tertarik lagi mengikuti perkembangan (tapi pengkerutan) kesusastraan terkini ini. Klo mau menambah pengetahuan mending baca non-fiksi lah, klo mau hiburan mending nonton video porno lah. Menurut gw ada kesalahan (yg mendasar bahkan) yg dibiarkan oleh org2 yg kepintarannya sy ragukan itu tentang paradigma kesusastraan dan atau studi sastra. Dikit2, lagi2, hanya bisa ngutip Horace, dulce n utile, yg jelas2 igauan itu, xixixi.

Hebat betul ya gw, pemahaman org banyak dilawan. Tapi ya itulah, akording to judul gw kini sedang pengen membahas topik ttg kesusastraan dan studi sastra sontoloyo ini. Tentu sj skop kemampuan ceracauku baru terbatas ttg sastra indonesia. Klo karya kelas dunia (terlepas dari faktor hegemoninya) gw paling baru baca terjemahan Perempuan di Titit Nol-nya si sastrawati Mesir Saadawi atau entah siapalah namanya itu, atau kumcer Hemingway spt terjemahannya (klo ndak salah ingat) Buk Melanie Budianta yg ada cerpen Fifty Grand tsb yg klo ndak salah lagi tentang dunia petinju kayak film Fight Club di top five rating website IMDB. Atau paling juga nonton Great Gatsby-nya Fritzgerald dg bintang Leonardo D'caprio, bahkan cuma Midnight in Paris-nya Woody Allen yg mempertemukan para penulis kelas dunia abad 19 di sebuah klub sosialita itu. Bahkan utk bicara sastra daerah pun gw mengakui tdk kompeten krn lebih banyak mengikuti sastra berbahasa Indonesia sbg bidang studi formalku.

Tumben memang judul postingan blogku kali ini klise dan normatif banget kayak artikel-artikel how to ini itu yg bertebaran gratis di internet sana. Kecuali diberi gigitan sedikit pd buntutnya dgn kosakata pisuhan yg sedang tren akhir2 ini: sontoloyo! Artikel ini memang ditujukan utk dibaca oleh org2 pandir dan otak biasa2 saja (maksud gw ummat sebaran normal yg gak suka mikir ribet dan hanya mengkonsumsi pengetahuan praktis sehingga butuh penjelasan2 sederhana dg kalimat2 berstruktur se-simplistis mungkin). Kalo target pembaca tulisan ini remaja SMA gitu-gitu mungkin memang sudah agak telat krn musim SPMB, UMPTN, atau entah apa namanya sekarang itu tentu sudah lewat jelang akhir tahun begini. Tapi kebetulan lagi heboh Jokowi yang menyebut2 politik sontoloyo--yg ujung2nya membuat org menggali lagi ttg makian terkenal Soekarno kpd kaum islam sontoloyo yg di-tjap kolot itu, maka gw jadi pengen bicara ttg bidang studi ijazah S1-ku ini, hehe.

Bagi adik2 (dan) adinda sekalian para pelajar culun yg terbersit ingin masuk universitas dan kuliah di jurusan sastra indonesia, bahasa indonesia, bahasa dan sastra indonesia, sastra bahasa indonesia, sastra indonesia bahasa dan entah apalah lagi penamaannya--bayangkan, soal penamaan utk judul ini saja org2 yg katanya pakar bahasa dan budaya itu sudah semrawutan jumpalilalitan bingung sendiri--saya hanya mengingatkan untuk Anda bisa belajar dari pengalaman hidupku sehingga tdk tergolong kpd kaum salah jurusan, hihihi. Terlebih beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo mendorong generasi muda agar lebih banyak yg belajar teknik dan sains, alih2 humaniora yg pseudo-saintifik kental tindak tanduk kedok politiking itu, hehe. Dan klo aq tak salah ingat pun beasiswa LPDP dari Kemenkeu ini (dana abadinya jadi bunga bank lho akhi, haram lho ukhti) juga didorong utk memperkecil alokasinya pd bidang2 non-eksak yg "tidak berguna" ini. Memang sudah seharusnya begitu! Tapi sebetulnya gw juga tdk dlm konteks mengikuti dikotomi bidang ilmu eksak dan non-eksak (yg gw juga setuju bisa saja menyesatkan, terlebih jika menggunakan terminologi ilmu pasti: apa sih kepastian itu(?), certainty its not refer to reality kan kata Abah Einstein). Gawatnya, para "petinggi" bidang studi non-eksak (yg mungkin minder) ini malah berusaha membuat disiplin ilmunya dipermak, digincu prestise kepastian dgn meng-kamuflase metode risetnya pakai angka2 statistik utk pendekatan kuantitatif ala ilmu sosial! Banyak aQal kamu say, berpolitik elu buoy, halahhh....

....bersambung coy!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!