Korupsi dan Realitas Persepsi Sosial, Cubitan Pilkada Jabar

Hasil 'quick qount' Pilkada Jabar sore ini menunjukkan bahwa pasangan Aher-Demiz yang diusung tunggal PKS bisa menang satu putaran dikarenakan mencapai suara lebih dari 30% sendirian. Kontrasnya pasangan Paten PDIP nyaris mencapaii dengan kisaran 28%, sebuah situasi yang terlalu menggoda untuk tidak diperkarakan nanti ke MK. Seandainya saja kekuatan "sekuler" ini bergabung dengan Dede Yusuf yang memeroleh kisaran 24%--apalagi andaikan juga di-'support' Golkar--tentulah partai dakwah pertahana akan terjungkal dalam merebut posisi strategis untuk "logistik" Pilpres 2014 ini yang dalam bahasanya gubernur 'incumbent' Ustadz Ahmad Heryawan sendiri, "daerah dengan jumlah penduduk terbesar." Sebuah bahasa psikologis yang "menarik" untuk menyemangati kader-kader PKS di tengah-tengah kasus "konspirasi" yang "tidak terduga" dan "tiba-tiba" saja "barusan" mereka alami.

Lebih menarik lagi, dalam sebuah wawancara pasca kemenangan ini Aher menyatakan berniat untuk RI-1. Menarik sejalan dengan keberaniannya untuk kali ini bertarung tanpa perlu berkoalisi dan yang juga sejalan dengan target tiga besar Pilpres 2014 oleh tersangka KPK Ustadz Luthfi Hasan Ishaq. Padahal menurut pengamat politik salah satu strategi kampanye Aher-Dedi Mizwar di TV sehingga bisa menang begini adalah dengan tidak lagi memasang 'background' bendera PKS kebanggaan mereka dengan citra paling bersih korupsi sebelum-sebelumnya. Menarik juga ketika ditanya wartawan tentang peran popularitas calon wagubnya yang artis tersebut bagi kemenangan PKS ini Aher agak menetralisir dengan menyebut kekuatan jaringan kadernya. Kekalahan telak Dede Yusuf mungkin menimbulkan keyakinan baru Aher tentang struktur politik terkini, termasuk terkait isu korupsi.

Sebuah pertanyaan muncul, apa "isu" atau "fakta" korupsi PKS yang baru saja menghentak tidak ada pengaruh sama sekali? Banyak pendapat dan sudut pandang atau segmentasi peristiwa yang bisa dianalisis. Tapi saya berniat melihat dari segi persepsi rakyat tentang korupsi. Saya memilih untuk berbicara di tingkat sosial dulu belum budaya karena setidaknya dua hal: pertama isu kultur bisa sensitif, tendensius, dan sara, dan kedua kompetensi akademisnya agak berat kalau sudah bicara kebudayaan masyarakat tertentu. Kita tentu sudah kerap mendengar tentang permisifnya rakyat dengan isu korupsi, jadi walaupun bicara tentang Pilkada Jabar sesungguhnya tidaklah hanya bicara tentang sosial atau budaya masyarakat Jawa Barat. Kepermisifan itu bisa dipandang dalam pengertian kemuakan ataupun ketidakmautahuan dan kemakluman. Ini menarik kemudian jika dikaitkan dengan situasi ekonomi "kapitalis" dan "liberalis" yang semakin masuk ke kehidupan tradisional masyarakat. Dalam budaya atau relasi sosial tradisional, cap matre masih punya makna negatif, sedangkan seperti kita lihat dalam bangsa yang maju sistem ekonominya cap ini sudah tidak relevan karena segala hal sudah semakin sangat terkait uang.

Kemudian dalam tata norma atau nilai, korupsi memang, setidaknya hingga saat ini dengan apapunlah defenisinya, masih bercitra jelek. Dalam masyarakat yang semakin modern kejelekan itu koridornya adalah formalitas fakta hukum; jadi sedahsyat apapun korupsi tidak masalah sepanjang sukses mengakali hukum. Beda dengan masyarakat tradisional yang persepsi pun tanpa fakta sudah menghadirkan nilai. Tentu seperti halnya dalam masyarakat modern, rekayasa fakta dan persepsi ini tentu saja bisa diakali buat yang "mampu". Hanya saja akal-akalan ini lebih "jorok" pada sistem hukum dan norma tradisional dan lebih butuh "operasi canggih" dalam norma hukum modern. Menarik kemudian kita melihat posisi masyarakat Indonesia saat ini yang masih menginjakkan kaki secara tidak jelas pada dua posisi ini: tradisional dan modernisme/posmo.

Hukum adalah norma-norma formal yang statis di tengah nilai-nilai sosial yang dinamis. Dari ini dapat kita pahami bagaimana formalitas hukum korupsi lebih terbatas pada fiskal keuangan suatu negara atau lembaga ketimbang menyentuh korupsi sektor swasta secara keseluruhan yang lebih dahsyat sebab basisnya murni konsensus politik "business to business" (suka sama suka) dalam kemajemukan nilai moral manusia dan keabstrakan ideologinya. Melihat isu atau fakta korupsi ini di antara legalitas kepastian hukum dan dialektika sosial atau realitas nilai-nilai yang benar-benar hidup di tengah-tengah masyarakat (bukan moral platonis) yang harus berkompetisi hidup dalam sistem ekonomi kapital modern dengan aneka model sumber-sumber keuangan barunya yang belum diformalitas-kongkritkan jenis-jenisnya oleh, semisalnya, kitab-kitab suci membuat timbul pertanyaan: bagaimanakah kita memandang korupsi? Kemudian apakah kita secara hakiki menolak korupsi? Bahkan bagaimana korupsi kita buat defenisi? Kembali ke hasil Pilkada Jabar awal 2013 ini dengan peristiwa-peristiwa sosial, politik, dan hukum yang mengiringinya tidak salah kita harus buka kitab lagi untuk memahami: jelekkah korupsi di mata masyarakat ini secara substansi? Goenawan Mohammad pun kukira akan berkerut keningnya membaca ini, apalagi Ust. Dr. Firanda dan guru agama untuk anak-anak TK lainnya hihi.

https://www.kompasiana.com/wem/korupsi-dan-realitas-persepsi-sosial-cubitan-pilkada-jabar_551fa892a333117a41b65bba

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!