Nyepi dan Tirani Mayoritas

Parayaan Nyepi di Bali membuat kita tercenung kembali: apa itu tirani, apa itu mayoritas, apa itu demokrasi, bahkan apa itu agama? Ok deh tidak usah bawa-bawa orang lain, saya saja yang tanggung jawab, dan tulisan ini sama sekali tidak SARA dunk. Penghormatan yang mesti diberikan oleh segenap elemen nasional yang ada di Bali kepada ritual Agama Hindu merupakan sebuah apresiasi dari minoritas pada mayoritas atau represi halus mayoritas pada minoritas? Uniknya untuk konteks Bali ini, mereka adalah mayoritas atas minoritas dalam minoritas yang menjadi mayoritas. Di kebudayaan nasional Indonesia yang mayoritas Islam ini kita, oke deh saya ajja, sudah maklum juga dengan represi agenda-agenda kebudayaan (agama?) Islam terhadap minoritas Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Kejawen, dll. Saat bulan Ramadhan misalnya, tempat pelacuran tutup sementara dan warung-warung makan diregulasi situasioniil waktu buka tutupnya. Kalangan non-Islam tentu sudah terbiasa untuk menghadapi siklus tahunan ini; yang repot barangkali kalangan Islam yang tidak mau ikut repot dalam menjalankan ritual agamanya. Hegemoni secara lebih halus dapat juga misalnya kita temui pada tayangan-tayangan infotainment yang tiba-tiba selama sebulan menampilkan artis-artis menutup aurat dan lagu-lagu berlirik tobat. Ujung-ujungnya dakwah juga kepada penonton dari agama lain yang tentunya melanggar SKB Menteri. Tentu penonton yang tidak suka dipengaruhi oleh syiar erotis tersebut tinggal memencet tombol off misal untuk tayangan televisi. Tapi menariknya untuk Nyepi di Bali, ritual agamanya cukup sangat lebih hegemonik tirani kultur mayoritasnya. Di kala nyepi tersebut sepulau Bali akan sepi aktivitas yang dalam artian lain sepulau itu akan menjalankan semua. Dimana letak ruang publik lain? Untungnya hanya sepulau itu dan tak sepanjang bulan puasa. Kendali hegemonis atas ritual mayoritas Hindu ini juga akan lebih kuat dengan satgas pecalang-pecalangnya, tidak selonggar himbauan-himbauan mayoritas Muslim saat melancarkan hegemoniknya. Sesungguhnya pada persinggungan-persinggungan batas atas berbagai unsur, mayoritas-minoritas ini, yang dibutuhkan adalah regulasi yang sayangnya kerap tak jelas karena hendak mengatur hukum yang tertinggi, yakni agama masing-masing. Menariknya sering terlihat kecaman atas hegemoni Islam dalam menindas keyakinan lain. Atas dasar HAM? Lalu saat kultur Bali begitu kita hormati dan jaga meski minoritas secara nasional demi apakah? Apa karena UUD? Karena Bali sebagai daerah wisata juga menarik uang dari Barat yang membawa ajaran HAM dan Demokrasi? Kenapa tidak penghormatan serupa juga Islam Nasionalis berikan juga kepada minoritas lainnya; yang engga ada uangnya? Maaf saja tulisan ini sekali lagi bukan tentang SARA, tidak juga budaya ataupun mengenai agama, tetapi sepertinya tentang DUIT.

https://www.kompasiana.com/wem/nyepi-dan-tirani-mayoritas_54ff9274a33311ec4c5106a0

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!