7Bh Per 7 Thn, Budget-kate Knowledge-update Seorang Sarjono Paimo
Mungkin ini akan terdengar memalukan. Sangat teramat memalukan bahkan betul. Tapi
ya sudahlah me-redundant. Nih aji mumpung aq sedang-sudah tidak punya kemulaan eh “kemaluan”. Ataupun
punya, tapi terasa ia tak ade kerana sudah lama tidak tiada kunjung untuk
“kami bergunakan". Mohon maaf wak haji, jika kata sambung yang harusnya-mutlak ditulis secara karena ini memang sengaja saya ejain berbeda dengan versi resmi/monotone
yang tertera dalam keterangan (atau opini pembuat) kamus; mungkin untuk membuat jengkel para dogmator tata bahasa
Indonesia beku hehe. Bagiku agak menggelikan saja ketika doktrin konvensi (entah dimana bermufakatnya?) aturan bahasa formal dipaksakan untuk dipatuhi juga dalam situasi dan ragam lain. Plank nama usaha misalnya, ya suka-suka kreatifitas orang gila itulah ianya. Bahkan dalam penulisan ilmiyyah pun seyogyanya saran-teknis penulisan jangan malah menghambat (bahkan mereduksi) dalam pengungkapan ide dan konsep, lalu memandulkan perkembangan ilmu. Apalagi berkait kreatifitas dan estetika.
Oh, ini otoritas ahli! Sorry dude, gw udah baca penjelasan katanya ahli itu; banyak yang argumennya ndak jelas dan ternyata mendalilkan ke paradigma pokoknya (kalok subjek agama atau ilmu perdukunan sila-silahkan ajalah visinya begitu). Apalagi ahli yg punya afiliasi politik, entah sukarela atau terpaksa, pasti bias dan penuh tendensi. Hasilnya argumen ilmiah akal-akalan (dunia kepentingan). Atau barangkali aja gw yang begok, penyakit sok-sokan ngritik para pemula. Tapi yahh bagaimanapun koplak juga klo kita ngomong melenceng dari konsensus komunikasi. Seperti kretin (anak alay), kata seorang bos mafia: "speaks nonsense that only another cretin can understand" wkwkwk. Kembali ke “kemaluan”, untuk sementara-sering faktor anu itu akan kuabaikan. Mudah-mudahan tulisan nakal ini tidak dibaca oleh para bocah itu yang anu masih kecil. Bahaya memang, bisa ngebuat ngeguncang.
Beberapa minggu yang silam, “negara federal” Sumatera Barat sedang ada perhelatan huakbar. Mungkin intel-intel KPK-RI turut memantau ke kota Padang dengan kode sandi baralek untuk operasi tangguak gadang-nya; seperti sesaat sebelum dibongkarnya gurita sogok bisnis pembangunan infrastruktur jalan ala politik bagi-bagi jatah untuk raja-raja kecil di “negara-negara bagian”. Tapi mungkin juga tidak, karena perhelatan daerah kali ini terdapat di sektor kering yang miskin penganggaran bernama dunia perbukuan. Ya, Minang Book Fair itulah namanya yang entah kenapa diinggris-inggriskan oleh para region-stakeholders yang (pada) snobbis itu, sebagaimana dikritik oleh penulis-penulis yang fanatik bahasa Indonesia baik dan benar. Para fundamentalis bahasa iki hehe. Kerana tidak sempat juga kasena (muuph disengaja lagi)--takut dicegat razia polisi-jujur karena lokasi festivalnya yang di area pusat kota sehingga bisa kanai tilang yang kini nilainya ratus-ribuan (alesan)--akhirnya aq mengobati kekecewaan dan rasa rindu melihat tumpukan buku (diskon) ke Gramedia Padang saja di Jalan Damar deket taplau sana. Cukup sekali naik angkot sajah ti imah abdi mah. Sakalian pengen napak tilas menggelandang tadinya ke Sari Anggrek dan sekeliling Pasar Raya. Melakoni dramaturgi kehidupan bak tokoh kitanya Lelakon karya Iwan Simatupang atau ibarat aksi resedivis Carl Johnson yang punya pekerjaan menabrak-nabrakkan mobil yang ditumpanginya ke segenap penjuru kota San Andreas dalam storyline game fenomenol Grand Theft Auto III itu halahhh.
Oh, ini otoritas ahli! Sorry dude, gw udah baca penjelasan katanya ahli itu; banyak yang argumennya ndak jelas dan ternyata mendalilkan ke paradigma pokoknya (kalok subjek agama atau ilmu perdukunan sila-silahkan ajalah visinya begitu). Apalagi ahli yg punya afiliasi politik, entah sukarela atau terpaksa, pasti bias dan penuh tendensi. Hasilnya argumen ilmiah akal-akalan (dunia kepentingan). Atau barangkali aja gw yang begok, penyakit sok-sokan ngritik para pemula. Tapi yahh bagaimanapun koplak juga klo kita ngomong melenceng dari konsensus komunikasi. Seperti kretin (anak alay), kata seorang bos mafia: "speaks nonsense that only another cretin can understand" wkwkwk. Kembali ke “kemaluan”, untuk sementara-sering faktor anu itu akan kuabaikan. Mudah-mudahan tulisan nakal ini tidak dibaca oleh para bocah itu yang anu masih kecil. Bahaya memang, bisa ngebuat ngeguncang.
Beberapa minggu yang silam, “negara federal” Sumatera Barat sedang ada perhelatan huakbar. Mungkin intel-intel KPK-RI turut memantau ke kota Padang dengan kode sandi baralek untuk operasi tangguak gadang-nya; seperti sesaat sebelum dibongkarnya gurita sogok bisnis pembangunan infrastruktur jalan ala politik bagi-bagi jatah untuk raja-raja kecil di “negara-negara bagian”. Tapi mungkin juga tidak, karena perhelatan daerah kali ini terdapat di sektor kering yang miskin penganggaran bernama dunia perbukuan. Ya, Minang Book Fair itulah namanya yang entah kenapa diinggris-inggriskan oleh para region-stakeholders yang (pada) snobbis itu, sebagaimana dikritik oleh penulis-penulis yang fanatik bahasa Indonesia baik dan benar. Para fundamentalis bahasa iki hehe. Kerana tidak sempat juga kasena (muuph disengaja lagi)--takut dicegat razia polisi-jujur karena lokasi festivalnya yang di area pusat kota sehingga bisa kanai tilang yang kini nilainya ratus-ribuan (alesan)--akhirnya aq mengobati kekecewaan dan rasa rindu melihat tumpukan buku (diskon) ke Gramedia Padang saja di Jalan Damar deket taplau sana. Cukup sekali naik angkot sajah ti imah abdi mah. Sakalian pengen napak tilas menggelandang tadinya ke Sari Anggrek dan sekeliling Pasar Raya. Melakoni dramaturgi kehidupan bak tokoh kitanya Lelakon karya Iwan Simatupang atau ibarat aksi resedivis Carl Johnson yang punya pekerjaan menabrak-nabrakkan mobil yang ditumpanginya ke segenap penjuru kota San Andreas dalam storyline game fenomenol Grand Theft Auto III itu halahhh.
Singkat cerita--nantik semampai pulak cerita awak nie ke Nieu
Orleans, Greenland, hingga La La La Land sana--sampailah aq di toko buku
usahanya grup Kompos yang satu itu
setelah terengah-engah nikmat kerana jalan kaki sikit dari BRI-S jl.veteran
yang sudah lama juga tak ku-update-in
sisa saldo rekening tabungan pembayar tagihan bulananku (secara daring) itu.
Seperti sudah kuprediksi sebelumnya, begitu masuk spot pajangan buku-buku (katanya) sastra aq langsung disambut
tumpukan buku best seller dari
“sastrawan-sastrawan besar” seperti Tere Liye dan sejenisnya. Langsung
kuperhatikan satu demi satu judul buku “ustadz” motivator yang pinter merangkai kata-kata klise yang satu
itu (untuk memikat para gadis-gadis remaja labil penggemar harapan-harapan
indah yang dilukiskan lelaki-lelaki buaya produser sinetron-sinetron “positif’);
dan rasa-rasanya hanya dengan membaca judul saja saya merasa sudah tahulah
kira-kira isinya akan seperti apa.
Lalu kulihat barisan rak-rak lainnya, syukurlah masih ada
nama-nama sastrawan beneran walau
jauh dari kata komplit untuk merepresentasi peta kesusastraan yang sebenarnya. Tapi
ya bisa dimaklumilah, karena ini memang ranahnya dunia bisnis yang punya
perhitungan tersendiri, bahkan syahadat khusus barangkali. Bahkan, pertimbangan
politik geng-geng relasi-koneksi antar kubu-kubu sastrawan pun aromanya kuat
tercium bawunya. Dan sudah pasti, buku kritik sastra tak akan laku. Tukang
kritik, siapa pula yang mau tahu? “Simply
the way the world works. Holy shit!” (The Big Short 2015, menit ke
01.05.50) Akhirnya, setelah bosan nyinyir-nyinyirin orang lain kayak begini, aq
pun turun ke lantai bawah meninjau lapak bursa. Memang tidak terbersit niat
sedikit pun di sukma dompetku untuk mengeluarkan Rp.100 ribu perak hanya untuk mendapatkan
satu eksemplar kumpulan sajak-sajak yang tidak begitu istimewa itu. Hanya karena
kebetulan penyairnya dikenal aktif ikut acara ini itu dan punya teman
dimana-mana jadilah seolah-olah karyanya ditafsir-tafsirin punya makna
mahadahsyat luar biasa. Dunia puisi. Dunia yang kering pembaruan akhir-akhir
ini.
Bahkan ada juga yang “ditolong” menerbitkan buku puisi hanya
karena ia dosen fakultas sastra. Padahal karya kreatifnya itu ndak kreatif sama
sekali adanya. Mungkin karena terlalu banyak terpengaruh dengan apa yang ia
(diwajibkan) baca. Sehingga tulisannya itupun terlihat kaku; karena ia gemetaran
berkarya akibat “tugas itu” adalah hasil perintah resmi (ancaman) atasan di
Kemenristek dan birokrat oldschoold di Dikti sana. Walau mungkin gak salah juga karena that's life is... tapi ini mengingatkanku pada kakaknya Bu Yuk yang dicaci maki Wisaran Hadi dalam novel Negeri Perempuan-nya. Saya sendiri pernah membaca
cerpen karya seorang dosen yang keterlaluan sangat baku dan eyd-nya.
Konstruksi-konstruksi kalimatnya terasa seragam diulang-ulang model
begitu-begitu juga. Nyaris tidak ada irama. Apalagi dinamika melodi yang bermain
di dalamnya untuk membaharui "standar" estetika. Estetikanya hanya meniru
model-model bersajak lama. Full of
cliche. Oh Dear Godot... sebegitunya guwa mengkritik rekan sejawatku
seolah-olah aq mampu untuk menulis dengan lebih baik dari mereka xixixi. Ah
setidaknya “karya sastra” yang sangat tertib, santun, dan very-very templately so much
seperti itu kukira sangat tepat untuk bahan ajar anak SD atau TK setidaknya.
Sudahlah, mari kita ambil sisi positifnya aja deh.
Waduhh, kemana pula ceritaku kali ini berkelok-kelok
mengalurnya. Baiklah kita flashback
saja. Di lapak bursa lantai bawah Gramedia Padang ini akhirnya aku beli buku
yang hanya dijual 10k saja per item-nya
(snobbis.xom). Lumayan tebal-tebal untuak
pambungkuih lado yang sudah kuprediksi tak akan punya waktu untuk
membacanya; dan itupun hanya satu yang terkait bidang sususastra, tepatnya susastra
kuna, yang aq sendiri juga kurang meminatinya (karena lebih tertarik sastra
kontemporer, bahkan futuristik {bukan future-mistik}, kalau-kalau kelak ia belum sirna hehe). Ada
tujuh biji buku yang kuboyong pulang ke peraduanku; kebanyakan bertema sosial-politik bahkan ekonomi
(eh profilnya Sofyan Wanandi, entah kenapa kubeli juga walau tahu biografi terbitan sendiri banyak ngarang cerita pilihan saja tentunya). Tapi lumayanlah. Uang cepek-ceng yang tadinya bisa habis hanya untuk
satu ekstemplar jika beli baru itu, sekarang jadi masih ada kembalian untuk biaya
pacaran. Dan lumanyun berat juga
ketika aq harus ngangkutnya dengan-secara berjalan dikit; karena kuawatir kelamaan nanti nunggu
angkot buat pulang kampuang. Mungkin angkot yang kunaiki kemaren itu adalah rit yang terakhir buat langsung ke depan
rumah; karena waktu sudah hampir maghrib ini adalah jatah cari nafkahnya
papa-papa pengojek di Simpang Tebiang sono. Lewat counter Oppo Smartphone kulihat gerombolan sales-sales muda sedang
dilatih supervisor-nya untuk punya
nyali berjualan hingga ke tengah-tengah jalan raya--bersaing dengan pengemis-pengemis
jujur rahimullohutaala dan para pengumpul
dana sumbangan bencana banjir Kabupaten 50 Kota--seperti terlihat dari yang
sempat kufoto pada gambar terakhir.*
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh