Review Film The Band’s Visit, Mencari Titit Temu Lintas Agama
Pastinya bukan karena Kak Emmy, mungkin dikarenaken shock melihat cantiknya Ronit Elkabezt (waktu
pertama kulihat sudah berumur hampir 50), setelah khatam mengikuti
bertahun-bertahun sidang gugat cerei dari suaminya Simon Kalem di film Gett The
Trial of Viviane Amsalem (2014), aku tak dibikin penasaran untuk menelusuri
karya-karya selanjutnya dari sineas Israel ini. Mungkin lebay kalau aku
mengklaim dibuat syok segala rupa hanya gara-gara melihat muka wanita yang
sudah tidak muda lagi itu (jadi teringat metamorfosis tokoh Celine dalam
trilogi before-nya Richard Linklater
yang cute itu-haaahh). Namun
mengingat sebagai muslim yang terdidik untuk benci dan selalu negatif melihat
Yahudi ini aku mungkin akan dibuat kecele
karena muka wahyudi itu ternyata tidaklah seseram monster-monster yang
diimajinasikan ke kepala kita sebelum-sebelumnya. Ternyata wanita ahlul-kitab
itu ada cantiknya juga (purak-puraknya kita belum pernah lihat sebelumnya,
maklum kebutuhan retorika sang demagog). Pantas toh sebagian mahzab fiqih
menafsirkan halal-thayib oleh Qur’an untuk mengimpoi-inya (mohon maaf kepada
para ledies tidak berlaku sebaliknya
yaaa). Yah, setidaknya mahdab aqidahnya geng Ulil Abdala dkk itu lah yaw hihi.
Kalo tidak salah ingat
pasti yang salahnya lupa, aku pertama kali jadi terperosok menonton film
wahyudi ini gara-gara menelusuri list
rating 100% di kritik film situs “tomak busuk” alias rotentomatoes.com yang
konon terindeks bereputasi internasional dengan faktor dampak tergantung
setoran itu (pakai bohong nih ceritanya) . Maklum kuota internet sedang sangat
buaanyak—yang dahulu kalanya sangat sulit didapat gini—jadi sayang kalau tidak
dipakai nyedottt anu... Jujur saja kalau tidak kupakai nonton film berseni
(ataupun pop) kadang aku daripada mubazir (hampir expire) kupakai-in juga buat download film bersemi alias bokep.
Lho, bukannya sudah diblokir pemerintah sejak era Ustadz Tivvy? Blokir
jenggotmu! Padahal kadang bahkan seringnya yang di-download juga tak sempat ditonton. Hanya menuh-menuhin hardisk buat
dipakai bohong eh dimanfaatkan apabila aku butuh (berusaha menggunakan retorika
bernada positif #siasat.com). Harap maklum, aku ini pandai dalam menciptakan
dalil eh dalih bahwa apa-apa yang tersumbat harus dialirkan supaya tidak menjadi penyakit (filosofi tukang urut).
dadah2 sayonaranya om2 pulisi muslim al-masri kpd tante yahudi israil dlm chorusnya the band visit |
Back to the movie, akhirnya sampai jugalah aku ke film kedua Mbak
Ronit kafir yang matilah ia tahun kemaren kena kanker dan jasadnya tidak lagi
utuh dan menyemburkan wewangian itu (nyindir
ahlu cucokologi). Mungkin karena yang kali ini ada aroma sangat arabnya maka
aku tertarik ngulik. Tentu saja film
Gett juga sangat menarik, sehingga jadi top
review dimana-mana. Bayangkan ia bisa membuat sebuah kisah ciamik ber-suspense hanya dengan syuting di sebuah
ruang sidang pengadilan agama sepanjang film layaknya 12 Angry Men nan legendaris itu. Namun untuk kali ini aku mau
mereview yang The Band’s Visit ini dulu sajalah, mumpung masih fresh dalam ingatan of memory. Aku ndak tahu apa fungsi huruf s pada kata band dalam judulnya itu; apakah tanda kepemilikan
atau bentuk plural. Bukankah band itu
sendiri sudah pasti benda jamak? Baru kena di judul saja aku sudah dibuatnya
ow-ow karena feeling so bad in grammar walau
aku tahu bahwa struktur bahasa itu penuh-banyak dengan
pengecualian-pengecualian pokoknya pengecualian karena sifatnya yang
konvensional dan arbiter-manasuka belaka. Jadi kumohon berhentilah orang-orang
ilmu bahasa merasa bidang kajiannya ilmu pasti. Ndak usah merasa minderlah
dengan orang-orang eksak sehingga kajian bahasa pun diusaha-usahakan seperti
rumus-rumus matematika. Ini mah akal-akalan formalitas-prosedural namanya. Sibuk
di bungkus dan kemasan akhirnya kita keropos di substansi dan esensi. Tapi
begitulah yang terjadi ketika dunia ilmiah pun di kampus-kampus lebih
didominasi oleh para politikus hehe.
Dan tentang politik kita
bisa belajar banyak dari film The Band’s Visit ini. Sama sekali ndak bikin
mumet koq seperti kalau harus nonton
film dokumenter tentang perang enam hari Arab vs Israel di tahun 1967. Apalagi
menusuk hati dan merontokkan keimanan seperti pembantaian-pembantaian kamp
pengungsi atau bom jihad yang tidak pandang bulu siapa saja yang mungkin akan
jadi korban. Sebagaimana judulnya, film ini agak musikal malahan. Tapi ya
memang tidak terlalu. Walau sangat sedikit musiknya, film ini cukup
mengingatkanku kepada Pitch Perfect, La la la Land, Whiplash dan terakhir Sing
Street (satu lagi ada film kartun berjudul Sing belum sempat kutonton). Tampilan band-nya pun hanya pada scene
akhirnya saja bisa kita saksikan. Sepanjang film ini penuh dengan ngobrol-ngobrol chit-chat alias basa
basi dan formalitas-komunikasi antara dua kultur yang saling berbeda bahkan
saling berperang hingga kini: Arab-Islam dan Israel-Yahudi. Kenapa ia bisa jadi
menarik?
Ya sudah, silahkan tonton
sendiri. Ternyata sudah panjang juga punyaku hehehe. Note: aku bisa dapat dari
google drive dalam format mp4, so sangat kuencenggg
sedotannyaaa, n pake forji yaa sob biar speedy
beneran dan jangan pakai dibohongi
yaaaa!
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh