Repiew Pelem “Colek Toket Sebel, Ahh”: A Little-bit of Self-consciousness nyah Para Kapirtalis atas Phenomenon Living in Thy Materialistic-world
Haihai.
Haree genee masih ada yang berkoar-koar tentang materialis, kapitalis,
sosialis; betapa rasanya gak bangett gitchyu yaa. Apalagi buat adek2 mahasiswa
sekitar pascamilenial (Genzet) yang mungkin sudah tidak pernah lagi bertemu di
kampusnya dengan abang2 “aktivis” kiri yang gimbal2 pemabuk dan penyimenk gitu—yang
jadi otaknya paling satu dua person, selebihnya buat ngegaya aja biar dikira
pemikir sosialis; karena, lebih dari sedekade terakhir ini dunia pergerakan
kemahasiswaan Indonesia berhasil didominasi (total bahkan) oleh kakak2 aroma
ikhwaniyyun yang setengah kemayu setengah terorris itu, wkwkwk. Mak enyak,
ketika PKC sekarang berhasil membuat Peking—ibu kotanya dinasti Manchuria yang
berciri khas rambut tail-ekor kuda
tersebut—menjadi kota paling menyamankan para ekspratiat (bahkan belum sampai 100 tahun dari munculnya Kakek
Mao Zedong muda—sang bapak besar era-modern
bangsa cinta, ia Stalinnya cina zaman republik jika Dr. Sun Yat Sen adalah
Lenin atau ideolognya—terlibat dalam suksesi kultural berdarah high ”cost”-nya rakyat Tiongkok dalam mengakhiri tradisi
ribuah tahun pada kekaisaran Puyi sang The Last Emperor yang setelah menjadi
rakyat biasa “dipulau-burukan” gitu oleh rejim kamerad-komunis setempat);
disaat milyarder Moskwa down-to-gorky-park
si Papa Abrahamovic menjadi donatur bagi klub papan atas Liga Inggris, kalo
ndak salah Chelsea; bahkan di saat Putra Mahkota klan nubuwat “tanduk satanic” dari syarqi-Najd untuk Arab era pasca-kontemporer, Muhammad bin Salman
bin Abd. Aziz As Saud (born, 1985)
berencana melakukan diversifikasi pendapatan negaranya agar tidak lagi bergantung
minyak fosil—kita sibuk beribadah aja, yang kerja keduniawian biar tenaga
asing tapirrr—dengan mendirikan proyek2 modernisasi west-tasted; yang bakal bikin puyeng bintang tujuh keliling para
juru misionaris “wahabis” Indonesia untuk menerangkan otentisme Islam versi
semenanjung arabia dengan telah bolehnya kini kaum annisa’ menyetir mobil, jadi anggota parlemen, hingga hendak
dibukanya gedung bioskop-maksiat segala rupa. Ehhhhh, udah gitu masih ada aja yang
dengan noraknya mengkritik agama kapitalisme global yang merupakan sebuah
keniscayaan peradaban. Orang sesat nih jangan-jangan.
"Kau tertarik pergi menuju sisi kegelapan. Tempat itu ingin
menunjukkan sesuatu. Tempat itu menawarkan sesuatu yang kau inginkan. Sehingga
kau bahkan tak berusaha untuk menghentikan dirimu."
(Star
Wars: The Last Jedi, 2017)
Tapi sebetulnya pemicunya bukan begitu saja dari sayah yah. Sayah mah
cuman tukang ikut-ikutan membesarkan bola apinya saja alias “turut ngomporin”.
Justru para kapitalis inilah yang memancing narasi-tanggapan lewat karya film yang
mereka lemparkan. Duh, kapitalis kapitalis apa itu. Kadang guwe juga
ngerasa munafik berolok2 tentang virtalis-virtalis ini. Kalo bukan karena
“jasa” sistematis kapital inilah, mana mungkin si guwe yang bertahun-tahun
tanpa pekerjaan pasti (apalagi tetap) untuk menghasilkan income masih saja bisa hidup hare-hare
asoyy nulis-nulis blog tidak “bermanfaat” yang tidak pernah masuk rank Alexa ini dan lagi tidak jarang
kritik2 pemerintah tanpa data A1, hihi. Tanpa memacit langsung sebuah private-capital, guwe ternyata masih
bisa maem dan bernapas (ngenthu ajja
nih yang belon, biaya nih euy). Dan menyimpan dalam map ijazah saja kompetensi-intelektualisis
guwe—ilmunya juga, cieee ‘ilmu euy, sebagian besar mungkin sudah terlupakan
telah—yang seharusnya bisa si guwe itu handalkan untuk nyari makan (lalu ngewek).
Sementara orang2 tak kompeten guwe lihat menyemut berprofesi di bidang
ini tanpa kulakukan apa2 memperbaiki sikon; karena dalam perpektif ekonomi kita
harus maklumin: yang namanya kebutuhan hidup atau tegaknya kendil itu
yahhh puting dan jembut pun bisa dijadikan barang jualan , alat negoisasi
sepanjang di-like pasar. Dan di
bidang guwe ini trennya memang demand
“pasar butuh” less-qualified person yang
kompetensinya kelas biasa2 saja ke bawah; supaya penurut dan hapal
aturan-aturan norak, hehe. Mungkin karena bidang ini dianggap subjek-studi
anak bawang yang gak penting2 amat harus digawangi oleh orang pintar yang sulit
dikontrol dan didogma. Tapi sepertinya di bidang2 lain sekarang juga having the same pattern problematikanya.
Baru saja tadi baca2 berita kalok sekarang di Indonesia ada ratusan lulusan
sekolah pilot yang harus menganggur. Padahal ini cita2 anak kecil banget yakk,
karena kesannya pasti jadi orang2an kaya. Mudah2an huru-hara miss-manajemen industri pendidikan ini tidaklah
membuat kementrian terkait harus seperti Hongaria, negerinya pemain bola George
Haji, yang didemo murid2nya baru2 aja nih yang merasa sekolah membuat mereka
tambah bodoh dan tertulis di spanduknya: otak kami dibuat makin menyusut!
Barangkali isi kepala anak2 imut itu juga harus diperiksa sarafnya oleh
para lulusan sekolah kedokteran abal2 jaman now
yang ternyata juga harus antri menganggur, hahahaha.
Waduh,
jadi ngomong apa nih si sayah. Padahal niatnya mo nge-repiuw pelem seperti
biasa biar blogging non-influencer ataupun endoser ini aktif lagi sarapnya. Oke,
kita bulat2kan hati sebelah kiri ataupun kanan dan bertekad dari kini hingga ke
depan untuk pokus membahas film masih fresh
ini (tahun kemaren kalo ndak salah) besutan komedian stand-up Ernest Perkasa (atau Perkosa?).
Saya ingat berminat menonton film ini karena baca berita ikutnya anak bungsu
presiden Jokowi kalo ndak salah. Dan ternyata dear Boy, jarang2 terjadi gw
bisa ketemu film Indonesia yang di luar ekspektasi. Marilah kita buat
tulisan kali ini lebih berstruktur dengan meresensinya terlebih dahulu—apapunlah
defenisinya rangkuman, ringkasan menurut para teoritikus itu. Kadang yang
klise itu bisa jadi akan cantik juga jika ia dihadirkan ke dalam tempat yang
sudah jenuh dengan keliaran seperti gaya2 menulis si sayah-guwe yang sengaja mengabaikan
pedoman ini. Qiqiqiqiqiqi.
“Perhaps the oxymoron of ‘organised chaos’ is a good way to define Mexico
City. In comparison, for example, with Sao Paulo or Lima, that sense of order
in spite of everything may be surprising.”
Luis
Fernando Lara (National Autonomous University of Mexico)
Resensi Film
“Cek Toko Sebelah”
Film
ini berkisah tentang dua orang anak dari seorang pemilik toko sembako
WNI-keturunan yg dear istri tertjintanja sudah meninggal. Ketika si bapak
memutukan utk “pensiun” ia memutuskan memberikan toko itu kepada anak bungsu
bukan kepada si sulung. Padahal si bungsu (diperankan Ernest, ane lupa namenye)
sudah punya karir yg bagus di kantoran dan bahkan hendak pindah berkantor ke
Singapura segala macam. Dan padahal juga, si sulung yang “hanya” seorang
fotografer pre-wedding sangat ingin meneruskan toko sembako tersebut. Si bapak
lebih percaya pada anak bungsunya dengan alasan si sulung ngurus hidupnya
sendiri saja masih susah. Kemudian jadilah dengan berat hati si bungsu mengurus
toko bapaknya dgn perjanjian hanya sebulan dan bisa tdk diperpanjang kalo ia
nggak suka. Termasuk-utama atas pengaruh pacarnya si bungsu tentu saja pd
akhirnya lebih memilih karir kantoran daripada jadi owner toko sembako. Ia
merasa cukup sebulan saja sambil cuti dari kantor utk menyenangkan si bapak.
Setelah anak yg ia percaya itu tdk mau utk terus meneruskan toko, si bapak
mulai diserang penyakit hingga dirawat segala macam. Sulung pun marah2 sama
bungsu. Mereka juga menemukan fakta bahwa bapaknya down karena akhirnya
memutuskan harus menjual toko keluarga penuh kenangan tersebut kpd sebuah
perusahaan properti. Dokumen jual beli sudah ditandatangani. Nah, akhirnya
sulung dan bungsu bekerjasama cari akal utk membatalkan terjualnya toko. Dgn
memanfaatkan sekretaris bohay dari agen perusahaan properti yg mereka berurusan
itu, lewat cara “mengarang” sebuah bukti foto perzinahan palsu, akhirnya
jual-beli toko berhasil dibatalkan. Kemudian sewaktu terbaring si bapak juga
mencuri dgn curhat si sulung kenapa ia sangat ingin mewarisi toko. Akhir cerita
happy ending toko diserahkan ke sulung dan bungsu pd akhirnya tetap bisa
parlente jadi orang kantoran. Oh, gitu aja? Kalo diresensi begini kayaknya
hambar yang sodara2? Klise macam sinetron2 membosankan. Tapi eitsss tunggu
dulu. Ibarat makan coklat silverqueen kacangnya itu nanti ada di dalamnya. Nah,
cantiknya film ini baru terlihat nanti di detilnya bukan garis besar ceritanya
memang. Ini membuat kita akan masuk ke pembahasan.
Apa Salahnya
Materialisme? Apalah Yang Bukankah Kapitalis(me) di Tanah-datar Allah?
Sodara
yg budiman sekalian. Ternyata ini sudah pukul 00.59 waktu setempat. Mataku
sudah terasa tunduh ceuk urang sundanese di bagian barat pulau java sana.
Biasanya aq malah sudah letih dan lelah jika sudah menginjak baru pukul delapan
malam. Masih sore itu mah, kata anak-anak kalong yang berkeliaran malam. Di
umur yang sudah kepala tiga lebih empat tahun sekian datang bulan ini, memang
klo ibarat atlet sepak bola sudah waktunya utk gantung sepatu. Energi dan fisik
sudah tdk se-prima umur dua puluhan dulu, terlebih pula daku memang sudah suka
sakit-sakitan dari sejak zaman masih bocah hehe. Sekitar lima tahun silam aq
masih sanggup utk tidur di emperan jalanan ibukota, dipenjara bersama para
gembel di Kedoya sana, tapi kini merosot sudah keropos tulang belulang rasanya.
Peak-time gw sudah lewat, makanya sekarang harus perbanyak wisdom saja bukan
aktivitas teknis lagi. Di saat org2 seumuran gw malam ini mungkin sedang
bekerja keras bareng partner lawan jenisnya utk bikin anak biologis, setidaknya
toh gw masih memanfaatkan usia utk menciptakan anak-anak ideologis lewat tulisan-tulisan
di blog ini (pede amat ya, merasa punya ideologi sendiri). Jadi seksi
pembahasan kita tentang film ini yang seharusnya need a lot of energy ini utk
sementara dibikin ringkas dulu juga. Nantik lah kalo sempat dan kalo ingat
direvisi lagi. Toh ini juga bukan artikel serius dgn aturan normatif tertentu
utk diikutkan lomba-publik demi mencari nafkah, ahayyy.
Sebetulnya
target gw kalo nonton film tuh sih yg nginggris-nginggris, utk membiasakan
telingaku dlm mendengar mereka casciscus tanpa harus modal terbang ke London
sana. Meski skeptik dgn film Indonesia—makanya aq sempat agak under estimate
dikit—kutonton juga film yg satu ini. Dan ternyata, sensasi menonton film yg
kesan umumnya dari sekedar resensi tadi itu kusebut sangat klise tersebut,
cukup terrific, fantastic. Sekilas yg bisa gw ingat sekarang cuma AADC dan
Merantau-nya Iko Uwais yg bisa mengalahkan kenikmatannya. Ini kebalikan dgn
AADC II yang kita dibuat terlanjur over-ekspektasi gitu. Intinya cerita film
ini klisenya memang memberi pesan moral tentang lebih pentingnya keluarga
dibanding harta. Dan pesan klise itu makin ke hari ini makin terasa basi krn
kini demi harta pecahlah sebuah hubungan keluarga (pengalam personal.com). Tapi
film ini punya cara lain utk membuat lebih bermutu narasi yang sekilas
biasa-biasa saja itu. Salah satunya yg bisa kuingat utk disebut sekarang adalah
penulisan skenario dan dialognya sendiri. Ada lebih dari satu dua part dialog
kulihat terasa otentik dan punya tingkat kedalaman filosofis spt biasa kita
temui dlm film-film barat yg kupikir selama ini tdk cocok jika narasi berat
didialogkan dlm bahasa Indonesia. Bukan kalimat2 filsafat utopis dan canggung
spt sering kita temui pd diksi2 yg tdk sesuai dgn profiling tokohnya. Aq masih
ingat bagaimana misal si blog nikenbicarafilm tersebut mengkritk Joko Anwar dlm
film “Pengabdi Setan” krn ada tokoh anak kecil menggunakan kosa kata “areal”.
Itu diksi yg terlalu intelektual buat seorang anak spt misalnya jika emak2 di
dapur mengomentari kematian tokoh sinetron idolanya dengan pilihan kosakata:
“apa urgensinya bagi Nyonya Esmeralda utk meracuni Maria jika memang cinta
suaminya telah sirna dan affair mereka bisa dijaga utk off the record?” Kalimat
spt ini mungkin match kalok yg ngomong Maia Estianty kpd kontestan Indonesia
Idol karena “pasar” acara semacam ini memang para teenager penutur bahasa
campur2. Ini salah satu objek yg perlu diriset oleh org film bahwa bahasa
Indonesia teoritis dan tertulis itu berbeda dgn bahasa dialek yang hidup
alamiah di tengah2 masyarakat. Sehingga mereka tdk lagi menghasilkan fim2 dgn
dialog2 yg norak spt membaca-diktekan naskah2 drama kuno dgn bahasa yg kaku.
Di film
“Cek Toko Sebelah” ini saya pun menemukan kesegaran dan sptnya mereka berhasil
mendapatkan penulis skenario yg handal, tdk lagi org2 lama dgn gaya bersastra
yg klise begitu2 saja. Sebagian besar pemeran film ini adalah temen2nya Ernest
sendiri sesama komika sehingga mereka juga sudah menjadi org2 yang terbiasa
action di depan lensa kamera. Saya masih harus memikirkan kenapa akting mereka
terlihat begitu cantik walau basis mereka adalah cuma melawak dgn teknik pidato
nyaris diam di satu titik. Justru kemudian aq menemukan titik kelemahan pd
performa aktor kawakan Tora Sudiro yg—tidak jelek, tapi—sudah terlalu biasa dgn
gaya slaptic-nya yg selalu begitu-begitu saja dari film ke film yg sudah
terlalu banyak dimainkannya. Jadi terasa membosankan. Ini mirip kritik kdp Angela Hayes dlm film
peraih Oscar 1999 “American Beauty” yg justru krn terlihat cantinya ia terasa
too ordinary, nothing special. Tora menurut saya krn sudah terlalu sering punya
peran orang lucu seperti tdk punya variasi gaya selain tipe kebatak-batakan dlm
nada bicara dan melambai-melambai dgn badan jangkungnya. Ia justru terasa
spesial ketika memerankan tokoh serius dmn film “Banyu Biru” yg sangat lambat
membosankan itu, hehe. Akting puncaknya kukira ada pada saat si bapak dan si
sulung berpelukan di depan kuburan almarhum mama mereka. Wow, kukira pemeran si
sulung ini berhasil mengekspresikan puncak tangisan tertahan dlm bentuk akting
yg belum pernah kulihat sebelumnya. Padahal ia bukan aktor yg terkenal. Justru
aktor-aktris yg terkenal krn kita sudah pernah melihat gerak-geriknya jadi
merasa bosan ketika melihat di film lain ia masih ber-gestur ria spt itu juga.
Nah, bicara ttg kuburan krn di film ini mengisahkan tentang WNI-keturunan
kulihat ada aspek dakwah keagamaannya juga dgn simbol-simbol mereka yg terlalu
terlihat. Padahal ini film dgn market muslim Indonesia utamanya, yaa mestinya
biar correct secara politically harusnya itu maket palang2an kenapa tdk sih
disembunyikan saja, hehe. Mungkin krn mereka tdk mengerti betapa sensitifnya
anak2 kampung di Indonesia yg hidup dlm
atmosfer bidaya yg monokultural bisa phobia pd simbol2 agama lain tsb.
Oya terakhir, ttg topik materialismenya singkat saja sementara ini kutarik dr
film ini. Jelas bahwa sett org2 dlm film ini adalah para materialis tulen yg
hidup di tengah2 belantara metropolitan spt yg dikritik John Lennon dlm filmnya
“Living in Material World” tsb. Apalagi ini film tentang suksesi bisnis sebuah
toko (walau) kecil. Menarik kita melihat nilai-nilai yg hadir dr film ini
ketika org yg hidupnya bergelimang urusan peruangan bisa punya pertimbangan yg
non profit oriented. Kecenderungan orientasi pd karir bonafide pun bisa sesaat
diabaikan demi sebuah nilai2 koneksitas hubungan keluarga yg di dunia nyata
rasanya sudah sangat kecil kemunkinannya utk bisa terjadi. Tapi toh di akhir
film Ernest atau si bungsu bisa kembali ke karir kantoran dan calon bininya pun
berteriak gembira walau sudah memaksakan hati utk mau menerima jika calon
suaminya pd akhirnya cuma jadi juragan sembako kecil-kecilan! Hahahahahahahaha.
Oks, sekian dulu, byeee... oya, satu penanda penting dlm melihat pesan film ini
adalah (Hemingway konon menolak istilah pesan ini bagi karya2nya) spt yg
diucapkan berulang-ulang oleh ibu atasan kantor si bungsu mengutip soundtrack
film “Keluarga Cemara”: “harta yg paling berharga, adalah keluarga”. Beneran
nih? Huffffthhh, panjang juga jadinyahh....
Simpang Wem, By Pass Lubuk Minturun, 25 Januari 2018 at 2.04 A.M
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh