Review Film The Battle of Sex (2017): Mengintip Pentasan Luar-Dalam
Haii, sobatt movie-lovers sekalian, ataupun yg
melebihi duakalian atau multi-kalian. Hadir lagi neh, blog-blog'an narasi non-mainstream ke para
pirsawan sebaran normal se-kalian, asekkk. Gpp lah sesekali ngintip yg seger-seger melipir,
kali-kali ente sedang
stuck hidup berkubang konservatifisme yg serba normatif-normatifan.
Tentu saja, berstruktur itu perlu. Formalitas itu kudu. Prosedur itu mau gak
mau, uka gak uka yo mesti diikutin apa adanya "konsensus" hukum acara
yg sudah positif berlaku mengatur tata perilaku tubrukan kepentingan antar
sesama kita para manusiawi banyak akal dan penuh topeng niyy. Sedap
dech!
Ane kangen neh, pengen nge-repiew pelm lagi sebagai
saluran mainan baru ane dalam melatih kemampuan verbal otak kramku ini ketika
meracik ide ke dalam kata-kata yg meng-konkret-kan gagasan, bahkan luapan
jiwa, hadehhh. Kebetulan ada taufik menarik nih sekarang. Sebuah film base
on "true"-story lagi (katanya) yg kebeneran juga berjudul agak ganjen:
Pertempuran Kelamin; walau
memang
ia sangat obviously literally alias tdk ada mutasyabihat atau yg perlu ditakwil-takwilkan. Ya,
bahkan seks dalam arti kamus yg reduktif itu. Salah satu makna yg
ada dalam lema KBBI daring
kulihat baru kemaren barusan. Bukan krn merasa penting mencari arti kata
menurut opini tukang buat kamus, melainkan kebetulan aja digoda oleh statistik
data pencarian populer hari ini, hahahahaha! (Dasar org sinting: nulis
sendiri, baca sendiri, lalu ketawa-ketawa sendiri!) Oya, mungkin aja judul
persisnya film yg ku-review ini agak
salah eja dikit, karena setelah kucek file
yg bersangkutan sudah lenyap dari rak pustaka digitalku. Maklum lagi pake
hardisk SSD nih, ukurannya limited
jadi harus berhemat-hemat (kalok mo beli yg kapasitas gede harganya masih
berjeti-jeti bokkk). Wakwaw, mo pamer malah jadi menyedihkan. Dus, spt biasa,
saat nulis aq biasanya posisi offline
utk bisa membuang-buang waktu cek-cek lagi ke negara internet. Yang jelas
kuingat tentu saja kata battle dan sex-nya (entah yg mana yg menyandang the), insyaallah. Alhamdu... lillah... motivasi bottle- seks membuat gw ngerasa makin religius!
God,
I wish my bathtub got this hot. Why didn't you tell me you were rich?
(Nadine
Franklin to Erwin Kim dalam Film “The Edge of Seventeen”, 2016)
Film
ini adalah memoar sekitar-an peristiwa ketika petenis gaek mantan juara dunia
Amrik era sixties-70’an Bobby Riggs melakukan tarung mix jender dengan juara
dunia cewek Nona King-siapa-gitulah-namanya (kalok ndak salah ingat Jane) yg
diperankan pemain cewe oscar La La La
Land itu (ingat, file film-nya
udah kehapus dan gak ada catatan lain gw tentang nama mbak ini). Pada masa itu
domestisisasi kaum perempuan juga masih cukup kuat di Amerika Sepatriarkat
bahkan (male superior-animal cultural),
sehingga hadiah untuk turnamen tenis
kalangan perempuan jauh lebih rendah daripada hadiah bagi kompetisi di antara
para pejantan. Sampai ada ungkapan—kalok ndak salah dari si produser Pak Jack
Kramer itu—yang menyatakan: karena orang lebih tertarik menonton olahraga
laki-laki daripada melihat para betina berotot saling bertanding (pada
masa itu). Ibuk King dan para betina ini kemudian protes dan membuat turnamen
tenis sendiri serta cari sponsor sendiri hingga dikeluarkan dari federasi atlet
yang sudah establish ada. Kemudian di
akhir cerita King ditantang bertanding oleh petenis pria gaek Riggs yg berjiwa
pejudi tsb. Pria itu akhirnya kalah, setelah sebelumnya menang mudah
(setidaknya begitu terlihat di film) melawan Margaret Court—mbak satu ini lebih
mudah mengingat namanya, mungkin krn aq merasa ia lebih cantik dari pemeran
wanita utama walau ia sudah beranak dan sedang berlaki—yang sempat pula jadi
petenis wanita nomor satu mengalahkan Nona King. Tentu saja ini tidak
pertandingan apple to apple karena
Mbak King melawan petenis pria veteran yang umurnya mungkin sekitar hampir 20
tahun di atasnya (dan itupun harus petenis wanita nomor satu pula yang mampu
mengalahkannya). Namun sebetulnya disinilah pelajaran tentang aspek panggung
luar-dan-dalam pada film ini; bagi kaum berakal supaya tdk terjebak pd
pemaknaan dangkal atas judul film secara leterlek sebagai pertandingan-kelamin
antara pria dan lelaki, eh, wanita kaliii!
Everyone
in the world is as miserable and empty as I am. They're just better at
pretending.
(Mona,
Mamanya Nadine)
Oya,
(red: kebanyakan oya oya nih tulisan tulisan gw yakkk), sa mo mintak muuph sama
pembaca tulisanku yg mengira dan berharap dan berpersepsi gw sebagai pria
cabul sedang me-review sebuah
film virno, hahahaha. Gak tahu juga, kenapa gw bisa download film ini. Mungkin saja krn gw kira ada adegan parnonya
tapi ehhhh ternyata: cuman maen penis, eh, tenis! Oke, kita mulai masuk ke
cerita-cerita panggung dalamnya. Dunia serba konspirasi, kecurigaan,
kritisisme, negativistik, not as you seen
on tv, yang akan membuat berasap otak orang-orang yang malas berpikir
terlalu ndalem. Manusia-manusia
regular yg biasanya menyukai amalan-amalan repetitif, rutinitas, prosedural,
mekanistis. Orang-orang yang imun terhadap kebiasaan-kebiasaan asing, hal-hal
baru, dan segala yg serba tidak pasti? Percayalah manusia jenis spt Anda itu
layak musnah dalam beberapa abad ke depan krn akan kalah bersaing dgn kegesitan
kerja robot dan yg serba terkomputasi, bwuahahahaha! Gw punya kutipan keren
perihal ini dari buku seorang pemikir bidang manajemen sumber daya manusia (tentu
saja sayah tak baca bukunya, hanya ngutil dari artikel yg dibaca selintas
entah dimana di net hihi); tapi ah males juga makan waktu nyari-nyari dimana
kesimpennya “otak eksternalku” itu. Oppsss, lagi-lagi gw buang-buang waktu
membicarain watak orang, para manusiawi. Padahal biasa aja itu, dan mereka
mayoritas absolut hehe.
I
know kids can be mean. But if you get a chance, fart into their backpacks.
(Tom,
Papanya Nadine)
Wokehh,
singkek saja kita cut the chitchat
langsung to the point ke mymaksud
(lagi pula ini artikel gratisan, masak Anda berharap dapat ilmu
tenaga-terlalu-dalam; wong tujuh tahun kuliah berbiaya mahal, bisa saja Anda
hanya akan dapet cek gosong kalok tidak pintar-pintar cari pengetahuan sendiri
di dunia lain). Dari film tentang tenis ini—sebuah olahraga paling membosankan
normor dua di dunia kupikir setelah golf dulunya, paling cuman dipakai buat
ngegaya aja oleh kalangan sosialita jetset
spt anak muda sukses yg kesandung/keekspos licik2nya kayak Kak Gayus Tambunan, tapi
ternyata... rahasia ah, bayarr kalo mau taukkk, dari sini—kita bisa belajar utk tdk menjadi orang yang
tidakk banal, dangkal dalam mengartikan sebuah narasi, kaum kacamata kuda.
Tidak salah memang mengartikan film ini sebagai sebuah pertandingan tenis
semata antara makhluk berkelamin lelaki versus kelamin perempuan sebagaimana
arti kamusnya yg disokong visual polos cerita filmnya. Atau agak meningkat
sedikit level pemahaman otak Anda dengan melihat peristiwa itu sebagai sejarah
emansipasi wanita di dunia olahraga atau lebih spesifiknya bisnis olahraga di
U.S sana. Namun ada tingkat kedalaman yg lebih berlapis lagi jauh kesana bisa
ditafsirkan atas peristiwa sepele biasa saja ini sepertinya begitu di
permukaannya. Ya, tidak salah juga stop pd pemaknaan dangkal di permukaan
itu. Ya, benar adanya perlu berpikir praktis dan make it simple aja begitu. Dunia ini juga memang membutuhkan para semut
pekerja yang mengandalkan ototnya dan ngototnya. Bisa bayangkan gedung-gedung
pencakar langit di Manhattan, New York sana hanya akan sekedar gambar komik di
atas kertas tanpa pernah nyata andai semua pria seloyo Prof. Stephen Hawking
fisiknya (btw pria tercerdas sejagat raya sesudah Einstein yg hidup di atas
kursi roda ini mampu dapat dua loh bini ck nanny-nya,
its all about the money hehe). Ya,
tentu saja tuhan menciptakan orang-orang bertakdir bodoh karena mereka
bermanfaat dan bisa dimanfaatkan juga. Absolutely,
gw tdk perlu menyangkal itu. Namun jika Anda tertarik dan punya kemampuan utk
lepas dari gravitasisme kaum bumi-datar ini, ada semesta luas pengetahuan dan
pemaknaan yg sedang menanti di jagat-luar sana. Mau tau bagaimana pemaknaan sok
dalam si saya sang penulis artikel ini atas film Battle of The Sex tersebut?
Bukan krn saya nie anti yg gratis-gratis sekarang, tapi pengetahuan
hanya akan sampai kepada orang-orang yg sanggup utk memuatnya. Dan saya ndak
mau jadi anggota jemaat pembuat kerusakan (the
mufasidun) dengan memberi Anda tegangan berlebih. Merusak kepalsuan
hari-hari normal Anda para kaum buih ikut-ikutan arah angin dominan. Udah ah,
melenceng ngemengin kelakuan “wajar” manusia lagi gw. Sekian, weh.
Have
a nice life without me, fuckers!
(Suicide
Letter-nya Mr. Bruner, Guru Kelas Nadine)