Review Film Bird Box (2018), Ketika Hidup Hanya Bisa Melihat Dalam Kotak


burung di dalam kotak
Olympia: “You're not soft like me. I'm so spoiled. My parents have always done everything for me and then my husband, and I just... I got soft from all that love.”

Malorie: “Well, I was raised by wolves, so consider yourself lucky.”

(Bird Box, 2018)

Kalik ini hamba akan menulisken repiew pelem tepat sesudah menontoninya. Right above my this movie-laptop, not on mypetite compie ass usually. Walau sudah 9 malam, ternyata mitikiini belum kunjung kendor juga tegangan voltage-nya; se-hingga saat ini. Masih sore Om, kata Bang Bencong; mungkin krn efek tadi siang aku tidur2an siang meniru2in kebiasaan org2 Eropa Selatan sana (Spain, Italy, Balkan; ceileee) yg tak semakmur kubu Eropa Utara itu (Skandinavia, Germany, Holland, England, Scotland, Ireland, Woles; wakwaw). Yupss, daripada mengisi waktu luang yg (L)UANG SELALU gini dgn baca2 hatetepe//ceritapanasbas.kom atau nonton adegan Vivi (video virno)—dgn nawaitu supaya semakin termotipasi utk masyuk syurga apapunlah caranya (hasekk), yg dijanjikan hadiah biDADAri2 bugil perawan teruss, yg full terkontrol and costumer-costumizily tsb (cewek “rakitan”)—kan lebih berkwualitas hidup ini jika kita melakukan masturbasi naratif kehidupan saja lewat alam fantasi simulatif sebuah pemfikiran independen. Berpikir terus Bray, kapan bertindaknya? Kerja, kerja, kerja dong; begitulah narasi iklan politik-parodi terbaru Partai Gerinda utk mengolok2 brand Jokowinomics yg di-publish via twitter barusan kulihat juga siang ini. Sayang sekali.

Salah satu film yg paling kukenang adalah Speed 2 (atau 1?) yg dibintangin Sandra Bullock yg fenomenal ttg pembajakan sebuah bis/bus/bes itu. Aq menonton film ini sekira umur masih SMA sewaktu liburan ke Banda Aceh—atau mungkin juga masih MTs/SMP sewaktu itu, gw agak lupa neh—di rumahnya salah seseorang kekerabatan. Kalo ndak salah itu pertama kalinya gw mencicip nonton film di Blueray-disc Player, bukan hanya film skedulannya stasion TV; walau aq juga agak lupa, pengalaman nonton film Tarzan-X dulu di rental VCD deket rumah ini apa sebelum atau sesudahnya. Kayaknya waktu itu “si aku ‘itu’” juga masih (berukuran) kecil, krn kalo ndak salah ku juga tertidur menontonnya; alias, BELUM TERLALU BALIGH utk terlalu serius mengamati adegan wanita telanjang, hehe. Yang jelas sewaktu menonton film Kencang ini (maksudku Speed ini) sangat berkesan berasa; dan menurut dugaanku secara unconsiciouness—maksudnya sugesti alam bawah sadar, gak tahu tepat apa tidak ini mah diksi vocabularies-nya teh—saat itu cukup memengaruhi psikologistikku utk kelak menyukai “sastra visual” yg satu ini. Waktu itu yg ditonton sekali dua film di-gas pull Bro, yakni: satunya lagi sang film lejendaris tea The Taitanik. Yang merekomendasikan menonton (adalah) sepupu perempuanku yg umurnya kira2 sewaktu saya udah nguliah di Unjat dianya masih anak es-em-eaaaa putih abu2 (sambil bergaya alay). Dalam memoriku ini, kurasa sodariku itu sangat antusias dgn dua film tsb; sementara aq pada waktu itu cuma BOCAH KAMPUNG yg kagak ngerti gunanya menonton film selain utk liat2 perkelahian, tembak-tembakan, atau org ciuman.

Jarang terlihat batang hidung mancungnya (apalagi buah dadanya), kali ini aq (versi dewasa) bertemu lagi dgn Mbak Sandra Bullock tsb lewat download film ilegal terbaru di situs Indotwentyonekom yg entah kenapa “selalu lolos” blokirannya project Nawala Kominfo, hehe. Saya jadi merasa sangat perlu menulis review ini—yg dalam satu sudut memandang hal bisa dianggap ngasih promosi gratisan kepada bisnisnya org2 kafir, qiqiqiqi—krn menjelang akhir film disuguhi plot yg aq kesulitan utk memprediksi bagaimana penulis cerita film ini akan bisa mengakhirinya dgn semanis mungkin. Padahal ini jenis film horror dunia dystopia musibah akhir zaman stereotipis gitu2 deh; yg pd umumnya akan menghasilkan CERITA KLISE belaka presedennya mah. Artinya: ini film pop dan komersiil sangatt; dan dalam perspektif tertentu: “gampang dicerna”. Namun tentu, sebuah film pop an sich belaka itupun jika penontonnya bukan manusia reguler—melainkan sesosok cowok yg punya special-taste dan hobi nyinyiran “makna dalam” dibalik segala sesuatu hal spt Uda penulis postingan blog yg tampan kali ini—tentu saja bisa akan rame juga apresisasinya. Dan review film kali ini adalah “APRESIASI” akan cerita film-nya—yg berbasis dari cerita novel juga katanya, halahhh, masih zaman novel2an ayeuna, aihh?—; sama sekali bukan overrating-judgement hanya krn gw menyukai aktris pemerannya (lewat akting di film lainnya). Namun tentu perlu dipaparkan disclaimer dulu bahwa secara subjektif gw memang penyuka film genre fiksi ilmiah; tapi tidak (utk) horror dan agak kurang suka juga (tepatnya bosan) dgn genre drama menye2. Kebetulan nuansa fiksi ilmiah, drama, dan horror menyatu di film ini dan entah kenapa racikannya terasa pas gitu; tanpa ada satu bagian jadi faktor yg merusak elemen lainnya spt tuduhan fans apk instagram atas kurang cantiknya bibit anak (keturunan dari suami lama) artis Ussy di foto keluarga barunya dgn suami baru yg lebih ganteng2 serigala. Pandangan ini tentu saja menurut subyektifitas dan salero personalku sajo; tapi lihatlah bahasan berikut gw ini utk bisa “mengobjektifikasisasikannya” (ala makk bahasa kau!) agar punya nilai yg “terstandarisasi” juga kpd penilaian publik (<== gw merasa kurang klik dgn vocab yg satu ini, tapi hingga detik penulisan ini belum menemukan istilah lain lagi yg lebih “ngepas”).

Malorie: “What are you doing? Now they think they're gonna go outside
and climb trees with all these new kids and see butterflies and flowers!”

Tom: “It's a story.”

Malorie: “It's not a story. It's a lie (mytranslation: itu bukan FIKSI, itu mah FIKTIF namanya Rocky!). Because they'll never climb trees, they are never gonna make new friends. Why make them believe that?”

Tom: “Because they have to believe in something. What is this for
if they don't have anything to believe in?”

Malorie: “So that they survive!”

Tom: “Surviving is not living now.”

Malorie: “They're gonna die if they listen to you!”

Tom: “Life is more than just what is. It's what could be. What you could make it. You need to promise them dream that may never come true. You need to love them knowing that you may lose them at any second. They deserve dreams. They deserve love. They deserve hope. They deserve a mother.”

Tom: “They deserve a mother. You haven't given them names, Mal. Their names are Boy and Girl! Think about that.”

Malorie: “Every single decision I have made
has been for them. Every single one.”

(Bird Box, 2018)

Juaalan Ceritanyahh

Di swuatu waktu (yakk, gw make kata dpn nie bkn buat keterangan lokasi suka2 gw lah; ngapain Lo yg rempong, dasarr grammar-stazi!) pada masa sekitar sekarang2 juga—atau masa depan yg kelihatannya juga belum terlalu jauh (dari 2018 M/1440 H ini)—datanglah “sesuatu” yg membuat banyak org (baca: hampir semua org) jadi melakukan tindakan membunuh diri sendiri secara massif (psikologis massa lagi neh). Sesuatu ini dalam film-nya (deiksis ‘–nya’ disini merujuk kpd nomina dlm frasanya itu sendiri yaitu kata‘film’; aneh kan, gak ada teori2 “ahli bahasa” sontoloyo itu yg otaknya akan mampu membahasnya)—yg tentu saja seharusnya begitu jugalah dlm novelnya, aminnn (<== tandanya tidak tahu sehingga hanya bisa meyakin2kan diri, xixi)—divisualkan spt sebuah hembusan angin atau semacam senjata pemusnah massal biologis yg menular lewat pergerakan udara. Rasa-rasanya ada (atau bahkan mungkin banyak juga) tema film yg spt ini. Cuma rasa-rasanya lagi (maklum, lulusan bidang ilmu kualitatif pseudo saintifik), dlm film lainnya sesuatu tsb menguasai manusia lewat sistem pernafasan (kayak chemical-weapon); sedangkan dalam film Bird Box kali ini ia menular lewat pemenglihatan mata (lo tau kah bedanya dgn pilihan kata berimbuhan ‘penglihatan’ saja jika kupakai wahai ORG2 SOSIO-HUMANIORA GUUOBLOGG?). Yg mirip2 ini ada film Skylight—sekuelnya dibintangi juga oleh aktor (sekaligus pesilat) kenamaan Indonesia asal ranah minang Uda Iko Uwais sang bintang film Merantau dan Redemption (Merantau 2)—yg terlihat lebih posmo secara setting waktu krn lokasinya mostly di gedung2 pencakar langit perkotaan modern; dan dlm film itu sesuatu ini menyerang (atau “menguasai manusia” lewat dilihat mata juga) dgn dibawa oleh pesawat alien komplit bersenjatakan lasernya. Sementara dlm film Bird Box ini, sesuatu tsb cuma digambarkan lewat semacam tiupan angin langkisau, hihi—ada satu film juga yg mirip ini tapi sayah agak lupa pastinya, kalo ndak salah The Happening yg dibintangin Mark Wahrlberg juga, sang partner main Uwais di Mile 22 produki tahun ini—tanpa jelas keberadaan atau kedatangan “pesawat” aliennya spt eksplisit hadir mawujud dlm The Arrival-nya Christoper Nolan.

Awalnya “virus” ini menebar (apakah gw yg pertama menggunakan kata spt ini/dlm konstruksi non-klise spt ini?) diseluruh (koq disatukan?) bagian benua Eropa. Lalu kemudian sampailah “beliau” di benua Amerika sbg tempat setting bagi film ini. Dari “peta daerah terdampak” yg dihadirkan sekilas pada salah satu scene terlihat juga sesuatu ini sudah meliputi Afrika bagian utara, bagian barat benua Amerika Latin/selatan, dan kemudian dari Eropa menyambung lewat tengah selatan Rusia hingga ke Cina timur laut, semenanjung Korea, lalu nyebrang ke Alaska. Gw agak lupa apa gugus kepulauan di Jepang masuk, tapi yg jelas kepulauan Indonesia hingga “semenanjung” India dan Arabian Peninsula, Afrika tengah hingga selatan, Australia, bahkan Amerika utara tengah ke daerah timurnya masih tampak clear dari agresifitas terror kiamat si sesuatu yg menghembus itu (<== diksi yg salahkah ini secara gramatika pseudo-sains?).

Lalu ketika “virus”, wabah, disiase, atau sesuatu ini mulai menyerang daerah lokasi film ini—kemungkinan California atau Washington (state, bukan yg ibukota) di bagian barat laut USA—mulailah cerita dramatis ttg tokoh utama film ini. Malorie, itulah nama bumil (wanita hamil) yg diperankan Sandra Bullock. Ia seorang pelukis single parent alias jando indak balaki. Ketika virus itu menyerang hampir semua org, Mal (yak, mirip nama istri tersayangnya D’caprio dlm Inception) sedang dlm perjalanan mobil dari cek kandungan di sebuah rumah sehat. Ia berhasil selamat dari “terkaman” massal si Virus dan mengurung diri bersama beberapa org lainnya di sebuah rumah random yg ditemukan di tengah perjalanan. Jadi menurut penulis cerita film ini, si Virus hanya akan bisa “merasuki” org2 yg melihatnya di luar rumah/bangunan. Selama sebuah rumah itu tertutup semua jendela dan pintunya dari “cahaya” di luar sana, maka amanlah. Jadi bersikap inklusif itu tdk bisa dianggap hal positif dlm film ini ya. Jika keluar rumah, org harus menutup matanya pakai blindfold agar tidak melihat apapun dan semacam virus itu tak bisa merasukin. Ya, pokoknya begitulah; suka2 yg menulis cerita lah yaa utk BIKIN SERU kisahnya.

Pada suatu waktu krn kehabisan setok makanan (ibarat mobil yg ruin of gasoline gitu), maka “keluarga dadakan” sebuah semacam bahtera salvation Nabi Nuh ini (yg berjumlah kira2 8-9 org aja) terpaksa harus ke dunia luar juga utk pergi “nyolong” kebutuhan akomodasi ke supermarket terdekat. Berkat bantuan teknologi GPS (artinya sistem satelit masih bekerja di antariksa sana) mereka bisa mencapai tujuan (bahkan PP lho) tanpa harus melihat keluar jendela mobil yg dicat tertutup hitam pekat. Sempat jatuh juga satu korban jiwa disana bernama Charlie (bukan Hebdo)—seorang pria kulit hitam gendut wikipediawan penyuka teori konspirasi—akhirnya rombongan tim advance atau raider ini akhirnya bisa bawa syurga stock makanan juga utk setahun lamanya akhirnya; kembali ke safe house di titik selamat semula rumah random tadi. Sempat ada “debat moralitas” ketika salah satu anggota tim yg paling selfish mengusulkan mereka utk tdk usah kembali saja deh. Kelak di bagian berikutnya kita akan bisa tahu betapa kesiagaan SI BAPAK TUA GUNDUL PENCURIGA NEGATIVISME yg menjengkelkan ini kadang ada perlunya juga utk bisa survive dari berbagai-aneka trick kejahatan manusia (min syari waswasil khannas, surah An-Nas: 4).

Terusss, penghuni rumah random inibiar Lu terhibur dikit dari ketidakmengertian akan humor yg gw selipkan lewat diksi ini krn kekurangan pengetahuan Lu, baiklah gw infokan intertek’s-nya: jadi, suatu waktu Justin Bieber bikin heboh krn menyebut Indonesia sbg negara random (artinya, negara gak penting atau gak terperhitungkan) yg ada dlm list jadwal tur/konser dunianya; kalok Lu juga gak tau Bieber ini siapa, kayaknya Lu memang org shalih yg sedang bersemedi di gua Hira’—suatu waktu bertambah lagi populasinya dgn kehadiran seorang ibu2 hamil bernama fat-Olympia (kalo Lu punya pengetahuan ttg karakter fat-Ammy dlm trilogi Pitch Perfect I II III, mungkin Lu baru bisa ketawa dgn diksi guwa!). Kelak ia akan MELAHIRKAN BAYI SECARA BERJAMAAH/BARENGAN dgn Malorie di waktu yg sama dan di kasur yg sama. Trouble-maker baru hadir dgn masuknya ke komunitas kecil yg selamat dari “kiamat” di dunia luar itu seseorang yg ternyata “semacam” gila bernama Gary (ini bagian pembahasan nantilah, gw agak sulit juga ngasih istilah apa tepatnya). Dari mulut Gary ini kita dapat pengetahuan bahwa ternyata orang gila tak mempan dgn virus “sesuatu” itu—pada scene terbunuhnya Charlie di supermarket sebelumnya oleh seseorang yg masih ada disana yg juga agak gila menjadi jelas sekarang logika ceritanya—dan entah bagaimana nih film punya plot-hole sedikit: koq si Gary ini juga gila tapi bisa utk tak gila. Tapi ini lagi2 bagian pembahasan lah nanti. Kita lanjut dululah bagi2 spoiler jalan ceritanya dulu saja.

Singket cerita aja lah ya, tibalah suatu masa akhirnya si Gary “psiko” tak tahu balas budi ini bisa berulah memainkan “jati dirinya”. Semua “domba2 selamat” di dalam rumah random tadi—kecuali sepasang org berpacaran dadakan (dua2nya yg berakting full naked ke-gap lagi ngewe sembunyi2 sama Malorie di sebuah ruangan) yg kemudian kabur bawa mobil yg dugaan saya mengucilkan dua-diri ke supermarket tempat syurga supply makanan dan seorang tuan rumah org chinese overseas yg mati setelah lihat luar ruangan via CCTV—berusaha “disembelih” satu per satu oleh Gary saat seisi rumah lagi rempong krn Olympia dan Malorie janin bayinya akan brojol keluar. Tapi ternyata Gary juga tewas; dan yg selamat adalah Malorie, dua bayi yg baru lahir, dan seorang kulit hitam bernama Tom yg notabene naksir sama Malorie (ia yg sukses bunuh si Gary). Berasa agak aneh juga ada cowok naksir kpd cewek ketika ketemu dia lagi bunting besar, tapi yg betul2 plot hole adalah peran Gary “psiko” yg GAK WARAS tapi bisa tahu gitu timing paling tepat utk “bunuh2in” org seisi rumah. Apalagi sebelumnya diceritakan si Gary ini kayak org normal cerita ttg org2 gila yg selamat dari wabah; padahal belakangan diceritakan dianya sendiri juga gila. Mungkin pesan moralnya adalah: waspadalah, kita tdk pernah benar2 tahu apakah org yg di hadapan kita ini normal atau abnormal. Saya pernah membaca blog curhat seorang mahasiswi UGM yg bercerita bahwa di kampusnya ada org suka MONDAR-MANDIR GAK JELAS dan dianggap udah sedeng tapi di sisi lain ia org yg cerdas krn kalo diajak diskusi ternyata punya wawasan luas. Mungkin ini senior “mahasiswa abadi” jurusan filsafat yg stress lalu D.O krn gak suka membuang2 waktu lagi menimba ilmu dangkal-klise dari dosen2 pekoknya—kita tahu sama tahulah, faktor politis di Indonesia ini lebih ampuh dibanding kompetensi utk memoncerkan karir seseorang (makanya kini dipromosikan soft-skill alih2 hard skill/honest-skill alias jujur-kojur, qiqiqiqiqi).

Ayo, saya usahakan dipersingkat lagi resensi critanya. Ketika dua bayi tadi yg cuman diberi nama –sementara Boy dan Girl sudah lewat periode “batita”, datanglah suatu masa adegan cakak-banyak lagi yg kali ini Tom mati saat bertempur dgn rombongan org gila kebal-wabah yg survey ke beradaan makhluk waras yg masih hidup di rumah2 (sungguh ini film aneh, org gilanya cerdas2 spt senior gendeng-nya mahasiswa UGM tadi...). Malorie kemudian memutuskan membawa Boy dan Girl utk menunggangi rakit menuju hilir sungai yg lewat radio ia dengar terdapat komunitas manusia yg selamat berkumpul. Tentu saja, selama di luar ruangan/rumah mereka semua harus menutup mata dgn kain dan melatih diri utk menebak arah serta membuat penanda dgn tali atau jumlah langkah. Bisa dibayangkan bagaimana dgn mata tertutup ibuk dua anak ini harus menyusuri sungai (blind-rafting bok!) selama sekitar 2x24 jam! Syukurlah suspensi cerita dibuat memuncak pada fokus satu scene krn sepanjang sungai itu mereka bertiga hanya bertemu satu jeram yg deras arusnya. Yahhh, namanya juga film ya, suka2nya dan pinter2nya penulis cerita lah ya bikin PLOT DAN KONTEN SERU utk karyanya. Kalo dunia nyata harus diimitasi sepenuhnya spt tuduhan Aristoteles tentang ketidak-otentikan karya sastra, wah betapa membosankannya hidup kita yg datar minim peristiwa dramatis ini. Kalo di koran juga kenyataan hanya jadi berita kalo ada faktor kriminal, lepas-tangkap aktris prostitusi, pisah ranjang para selebriti, intrik2 politik bagi2 jatah “makan” hajat humanitat, iklan2 jualan mimpi kenikmatan-hakiki, dan sejenisnya hehehe. Oke segitu saja dulu, kepanjangan juga akhirnya “resensinya” ini. Bagaimana akhir ceritanya yg gw sulit tebak itu silakan tonton sendiri. Dan sebetulnya tadinya gw punya banyak pembahasan menarik tentang ini; termasuk terkait dgn judulnya sendiri: Kotak/Sangkar Burung, dan fungsi tempelan “kotak burung” yg terkesan maksa dihadirkan dlm film ini yg GW YAKIN ESENSIAL dlm narasi versi novelnya sehingga dijadikan utk judul. Tapi kapan2 lagi lain kali lah yaw, ada hal lain yg lebih urgensi neh utk dikerjaken (edisi sok sibuk). Wokehhh, bye bye... mmmuaachhhh!

Felix: "Apa yang sebenarnya terjadi?" Charlie: "Ini babak penghabisan." Cheryl: "Maaf, apa ???" Charlie: "Babak penghabisan.... Kemanusiaan telah dinilai, dan kita dinyatakan mengecewakan...." (Sangkar Burungmu, 2018)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!