Bushwick (2017), Satu Buah Thriller-War-Action-Singkat Yg di Sejak Awal2 Sudah Membuatku Tahan Tegang Selama 12 Menit 30 Dtk

"Avengers 4 tidak berjalan seperti yang kamu pikirkan. Ini adalah film yang berbeda dari yang kamu kira, dan juga kematiannya nyata. Saya hanya ingin memberi tahumu bahwa itu nyata, dan semakin cepat kamu menerima itu, semakin cepat kamu akan dapat melanjutkan ke tahap kesedihan berikutnya."
(Christopher Markus, Penulis Avengers: Infinity War )

gembel kiddos ibukota
Jumpa lagi sobat, kita di dunia yg tak linier, dimana semwa planning dan siasat ente itu akan dihampakan. Pada posting blog kali ini ane akan menunda dulu curhat2annya mengenakan fakultas bahasa dan sastra yg penuh manusiawi2 sontoloyo itu. Disamping saya sendiri jg tdk tertarik utk membincangkannya—krn pd akhirnya bisa memaklumi toh, akan kemudian gw juga habis nonton film kereen abiss nih brayy; sampai2 saya menyimpangkan-dari petunjuk kitab suci kamus-normatif ituh ttg pengaksaraannya yg baik dan benar utk kosakata pujian lebayy gw atas film atau pilem yg akan kita bahasa kali ini. Lagi pulak “tulisan” kan hanyalah tiruan dari bunyi bukan? Dan spt fatwa Professor Toteles: fiksi hanyalah imitasi realitas, sehingga nilainya lebih rendah. Barang kw grade sekian, klo bahasanya orang dagang mah yg kekinian; dan mungkin sudah begitu juga sejak masa kekunoan? Apakah kelihaian atau kegaliran manusia itu juga mesti melewati tahap2 evolusi? Hingga ia/mereka mampu menciptakan matematika rumit spt pada kejahatan sophisticated kerah putih ala skema ponzi-nya enterpreneur Bernie Murdoch yg dihukum vonis penjara selama ratusan tahun itu? Entahlah Isabel, saya juga tdk sepenuhnya mengerti hanya punya hobi mengomentari. 


"Anda dapat menggunakan pakaian seperti profesional dan berperilaku yang pantas untuk pekerjaan Anda, namun sesaat setelah Anda membuka mulut, aksen Anda akan berkhianat." (Melissa Hogenboom)


Maka parole atau logat atau bahasa kampung (yg membuatmu merasa “inferior”) itulah bahasa yg sebenarnya. Bahasa realitas yg dinamis, bukan rekayasa tatabahasa fantasional yg beku sehingga tdk aflikatif; meski klo ini motifnya otak/mental nyari proyek sekali lagi aq maklum dan no-comment mestinya, meskinya jadi gatal krn ini merusak nalar berilmu. Jadi seharusnya ini jadi proyekannya ilmu komunikasi subjudul strategi berbicara formal, klise, fatic, dan usaha konformitas (gw bikin istilah keren ach: super-ego social-blending) atas turbulensi pertukaran ego-privatnya per ide di kepala masing2. Sekshingga: mestinya yg unggul itu adalah tiruan kreatif, bukan tiruan normatif (produk massal, fabrikasi); krn tiruan sudah barang tentu—jgn2 ada pulak nih anggauta klub grammar-STASI (fyi: polisi rahasia Jerman Timur sebelum tembok Berlin dirobohkan) yg nyinyirin penggunaan diksi ‘barang’ alaku ini krn bagi dia dkk se-komplotannya: arti/makna kata ‘barang’ haruslah terbatas kpd hanya apa2 yg dibuat2 oleh penulis/peng-opini kamus basa-basi formalitas yg cupu-cebong-kampret itu—tdk ada yg (harus) persis kecuali antum sindikat pemalsu barang seni (sah, nyambung). Coba pikirkan: bagaimana bisa love dan sex dan (bahkan) fuck dlm bhs Inggris bisa bermakna sama (ex: make-love atau fuck me pls), sementara org Indonesia pura2 membedakan ‘cinta’ dgn ‘seks’. Padahal kosakata yg satunya malah diserap dari “pikiran barat” (mudah2an msh nyambung). Sopan santun atau hipokrasi aka kemunafikan cq kepalsuankah ini? Lalu bagaimana dgn senggama, kelamin (secara fisik biologis ataupun mentalitas-spiritualitas), hingga istilah yg lebih ilmiyyah semisal ber-kopulasi? Dari mata turun ke hati, atau ke “nit-not”–nya sang Mr.Happy? Yuk daripada semakin menyimpangkan-dari, kita kembali aja ngobrolin film. Silahkan diintip!


Kedatangan Tony adalah ‘udara segar’ bagi Eilis. Kekakuan lidahnya saat melayani konsumen berangsur menjadi lunak. Saya berpendapat, jatuh cinta mampu mengubah mereka yang mengidapnya menjadi seseorang yang berbeda. "Awalnya saya berpendapat bahwa Eilis adalah sosok tertutup. Kemudian saya menyadari bahwa Eilis sebenarnya menunggu seseorang yang tepat untuk memulai bercerita." Di salah satu adegan dalam restoran, Eilis nampak bercerita panjang lebar dengan Tony dan lupa memakan hidangannya. Eilis secara penuh membuka identitas sesungguhnya.
(Iza Anwar, Blogger)


Film Bushwick—nama sebuah area(l <--- emang persawahan!) di Brooklyn, NY-USA (neighbourhood-nya Mohamad Tison cilik) ini acap kalik kulihat jadi setting-an film Coliwood dgn Manhattan-kerahputih sbg kontrasnya—bercerita ttg perjalanan sosok manusia, spt Ebiet G Ade, menyambung hidup dari pintu ke pintu dlm masih sebuah RT saja yg penuh intaian maut krn adanya perang tak terduga di dalam kota. Titik. Udah, itu aja sih simpelnya cerita film ini. Dangkal memang klo tidak masuk ke tahapan analisis dan diurai “mikroba” nilai2 kehidupan ataupun pos-kehidupannya. Tapi sudahlah Isabel, ane sudah dibuah letih oleh narasi meletup-letup dlm dua paragraf awal atas sana (jangan nengok langit ya, krn “daerah langit” dlm konsep dunia org2 yg percaya bahwa bumi bulat adalah “wilayah” khayal saja alias fiksi, hihihihi). Mau tau kenapa aq bilang jadi tegang nonton film ini? Kalo sudah tegang tentunya perasaan Anda akan dibuat naik turun gonta ganti kecepatan secara drastis ke langit fantasi bersama Lion Air nomor penerbangan JT-610 TEA? Okehh, sila download bajakan file digitalnya selagi kita masih beruntung jadi warga negara dunia (kelas) ketiga (terbelakang) yg hukumnya sudah runtuh walau langit diyakini dg kedua kelopak mata tampaknya masih utuh ada.... Let’s check it out!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!