In The Aisle (2018), Film Tdk Terlalu Banyak Bicara yg Membuatku Jadi Ingin Membicarakannya

mother of animal's character
Nomor yg akan sa bicarakan kali ini adalah sebuah (mungkin) karya indie dari Eropa (entah NOMOR BRP maksudku, yg penting keren aja klo diksinya kuantitatif-numerik begini, berasa lebih ilmiyyah dan serba pasti gitu-gitu); yg jika ditilik dari bahasanya sptnya produksi dari negera Jerman sang agresor PD II ketika dipimpin ahli demagogi Sang Fuhrer yg berkumis menggemaskan kayak Kak Freddie Merkurie. Atau mungkin juga ini saya tenggarai dari negeri tetangganya di sebelah selatan (jadi tepatnya memang agak ke tenggara), yaitu Austria, yg kalo ndak salah juga menggunakan bahasa yg sama, masih pengaruh kebudayaan Eropa Barat, dan belum termasuk negri Balkan atau Eropa Timur spt Polandia, Hungaria, dan Rumania yg ce-nya cakep2 gitu (jadi ingat film Three Weeks, Two Days, and Four Mounth—kalo ndak salah—tentang gadis kuliahan yg menyewa dokter penggugur kandungan yg mana ilegal by law di negara bekas komunis keji tak bermoral non-Islam KONTOLOYO tsb, xixixi). Yang jelas semua pemain/pemeran dlm film ini adalah asing bagiku semua—tidak pernah tampak tampangnya di film2 Hollywood, Bollywood, atau Nollywood, apalagi Boyolalywood—termasuk aktor pemeran utama prianya, kecuali si aktris cewek tandemnya yg entah pernah main di film mana tapi gw merasa akrab dgn perwajahannya (halahh, emangnya lay out sampul buku Nek?).

"There are no uniforms in war now. The little girl that looks like your little sister's hippie friend on holiday might be a weapon of mass destruction." (Mile 22, 2018)


Film termasuk berkategori muram dan beralur lambat ini bercerita tentang seorang cowok bujangan pendiam yang bertato di sekujur tubuhnya ketika baru mendapatkan pekerjaan “normatif” di sebuah supermarket atau katakanlah hypermarket. Apakah penggunaan konjungsi ketika pada kalimat non-klise di atas menimbulkan kerancuan makna, hehe, pengen mencret rasanya gw klo harus berbusa2 membahas ini utk meyakinkan kaum merasa paling tahu benar bagaimana membuat “kalimat yg benar” menurut gundulmu! Cowok aktor utama bernama Christian ini—atau oleh translator subtitel file unduhan (ilegal) yg kutontoni diterjemahkan jadi Kristen (biasanya nama aktris cewek nih, kayak Stewart {Bella Vampire} atau Dunst “Spiderwoman”)—dlm rangka menjalani kehidupan sbg warga masyarakat yg normal, santun, dan membosankan di sebuah negara kafir yang hukumnya tegak dgn tertib—walau tentu saja tetap harus di-backup oleh kemakmuran, selain masyarakat yang sudah maju dlm pengetahuan dan kemampuan berpikir—akhirnya melakoni profesi sebagai man in charge (tapi sebelumnya jadi kacung posisi terbawah dulu) di sebuah seksi minuman2 botol di sebuah minimarket besar atau hypermarket tadi.

Untuk pertama kalinya ia disupervisi oleh seorang senior bernama Akang Bob. Hingga ketika menjelang akhir film Bob diceritrakan membunuh dirinya sendiri (krn ia mati kebosanan dgn pekerjaaan monoton itu, selain faktor lain spt kesepian tak beranak istri, pokoknya suka2nya penulis cerita film ini lah yaa), lakon utama kita si cowok pendiam Kristen atau Kristian ini akhirnya ketiban durian runtuh “mendadak” jadi pria nomor satu di lorong penuh krat botol minuman yg haram dan memabukkan itu. Lalu dimanakah posisi si cewek aktris sudah terkenal yg aq singgung di awal2 tadi, woman on top atau back off side-kah? Otak virno qamu guys, film ini bercerita tentang proses (apa ya istilah kerennya yg pakai “sasi-sasi” gitu, gw lagi lupa nih) menyesuaikan diri si Kristian dgn pegawai2 hypermarket lainnya dan si cewek itu salah satunya (maaf kali ini aq juga lupa namanya).

Saya kira supermarket atau mall dan yang cinta sejenisnya sudah tak terhitung lagi kerapnya dimasukkan jadi latar sebuah film. Termasuk film sendu-sadistik mengerikan berlatar waktu zaman cowboys kayak Hatefull Eight yg dibintangi Om Samuel Jackson itu yang menjadikan Minnie Groceries sebagai latar tempat utamanya (anggap saja bar, atau lebih tepatnya diterjemahkan grosiran/toko kelontong seharusnya nih, itu adalah semacam supermarket utk ukuran zaman old yeahh). Terakhir kutonton sekuel film Sicario juga dibuka mengerikan dgn cara meledakkan sebuah minimarket oleh sekelompok terroris berjenggot yg komat-kamit dulu baca takbir sebelum meyakini dirinya terbang instan ke surga yg entah kenapa tidak kunjung didemo kedubes Amerika oleh Keluarga Alumni 212 krn terang-terangan menghina stereotype mujahidin kita; tdk ada instentif elektoralnya tentu saja, hehe. Nah, tapi baru kali ini saya lihat supermarket jadi latar utama atau dominan-nya. Bahkan dalam film In The Aisle ini (aisle ini diterjemahkan dari gangen bahasa Jermannya, yakni gang atau lorong) latar hypermarket ini menurut hitung-hitungan “kuantitatif agak2” ala gw ada mengisi 90% dari frame film. Di luar setting dlm hypermarket bisa disebut saja, yakni: rumahnya Kristian, kamar mandinya si tokoh cewek, dapurnya Bob, dan sebuah halte atau bis kota ala Jerman.

Dari segi ini saja film ini sudah dapat poin plus di mata gw karena punya otentitas atau ide orisinal alias yg belum terpikir oleh film2 sebelumnya. Saya “yakin” org Indocarr yg inferior akan identitasnya dan hobi membebek pd serbabudaya impor ini juga akan meniru-niru dgn membuat film berlatar Indomaret, Alfamart, atau Minang Mart misalnya. Krn dgn setting terbatas semacam ini sebetulnya menguntungkan dlm hal ongkos produksi krn tdk terlalu banyak “membiayai” lokasi. Secara personal gw juga suka krn salah satu film paling favorit gw selain Before Sunrise dan AADC (halahhh) adalah Phonebooth yg membuat gw terkesima krn bisa menciptakan suspensi meski hampir 99% hanya berlatar di sebuah kotak telpon umum pinggir jalan gitu. Konon katanya sutradari film The Commuter yg keturunan India tsb adalah spesialis film2 setting terbatas gini. Tapi gw belum sempat juga menyelesaikan “mempelajari” koleksi karya-karyanya yg jumlah juga belum sampai belasan sih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!