Analisis Sosiolinguistik / Biolingua Varietas Bahasa Ayam
Baiklah saudara sekalian-saudara sekalian,
qta kanjoetkan membuang-buang waktu dengan kisah berikutnya; berhubungan
artikel kami sebelumnya terasa topik berat juga: hepeng-hunting, so
dipikir-pikir atau dirasa-rasa sebaiknya kami lebih diendapkan lagi dulu saja
dulu saja lagi dulu. Biasalah, gegara di-rehatin
apa yang tadinya sudah begitu tegang hendak dimuncratkan ke hadirat publik kini
menjadi lesu kembali; saya pun agak-agak lupa tadinya kalimat cantik macam mana
hendak kususun sebagai sarana penyampai maksud dari ide dasar proposisi
struktur-dalam konsep narasi yang rasa-rasanya tadi sudah ketemu performance terbaiknya. Coba kutulis
ulang terasa basi, klise, agak normatif. Maklum saya sudah kadung punya kredo
hiperliterasi: daripada menulis biasa-biasa saja lebih baik tidak pernah
menulis sama sekali. Sekali lagi saya katakan ya: diam itu emas, bicara itu
perak, bagi sa- bicara dengan cara yang biasa-biasa saja alias konvensional itu
taik kucing buatku. Buat-ya aja lho ini
ya. Buat Anda atau org lain aq bisa maklum kok, taik toh ia juga ada consumer-nya.
Untuk kebutuhan tanam-tanaman yang
mencantikkan taman-tamanan di rumah-rumahan sangat-sangat mewah ya atau sa ini,
sekarung tai kebo itu kubeli harganya
bisa mencapai 100 ribu IDR sama tetangga fakir-miskin kami yang berumah
terkucil di tengah sawah sana. Gara-gara pengalaman ini aq yang walau kaya tapi
tak punya uang dan hanya berteman kitten ini—fyi karena orang tak punya uang
wajar dong si ini tersebut jadi
dijauhi sama temannya—sempat dibuat berpikir keras apakah mungkin taik ucing itu jadi punya nilai
keekonomian selain sekedar ornamen lucu-lucuan dalam sebuah prosa dan komedi sten-apps? Untunglah sa gak sampai kram
otak memaksakan diri untuk terlalu kreatif berburu ceruk baru lewat economic blue ocean strategy karena
segera insaf bahwa toh rejeki itu tak akan mana-kemana, cuman kadang belum/tak
akan ketemu saja—loh loh loh bagaimana akan sering bertemu jika kadang saja tak
ketemu? Oke jangan jijik dulu jika disini terlalu banyak diumbar teori dan
terminologi kelabu. Patinya ketahuilah bahwa tahi itu menyuburkan tanah, bahkan
membuat Pemantra Tardji-kalsum jadi cerpenis memukau lewat Hujan Menulis
Ayam-nya yang renyah bagai ceker goreng. Surealistis sekaligus hyper-realistik!
Oks, akhirnya saya jadi ingat mauk menulis
tentang ayam di tengah hujan. Saat ini, Padang 7 Oktober 2017 W.I.B sekitar
lewat pukul tujuh malam, kota ini tengah diguyur hujan lebat dengan
perkira-kiraan arus curahnya sekian koma sekian-sekian mikrometer per
mikrodetik per cek. Anda tak percaya? Sila An sekalian cek aja arsip-catatan
sejarah stasiun BMKG setempat—1 km sebelum Bandara Antarnasional Minang-ka-nabawi
dari arah pusat kota atau rumah megah-ya—jika dianggap cerita sa ini
PAKAI-bohong karena kebutuhan pemolaan bunyi sajak kata atau ritme kalimat dan
paragraf.
To be continued, but not to be with thou.... (sila diklik disini)
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh