Orang2 Berjasa & Dun-sanak-den Fun-tech

Kita terlahir di duniawi ini (atau, ke keduniaan ini; manah yg lebih pas yahh?) bukanlah dr ketiadaan semena. Bukan spt peristiwa Dentuman-Besar pd awal “ada”-nya alam jagad raya, yg secara fisika-teori muncul di (atau dari) “ruang hampa yg bener2 hampa atau tiada yang: sama sekali tak ada keber-ada-annya ada, bukan sekedar terlihat tiada atau hanya seolah-olah tak ada”. Singularitas, begitulah teori—meski hanya konseptual/abstraksi, tentunya disertai kalkulasi matematis yg tdk hoream utk terus dikaji-diuji/tdk pake percaya-percaya aja begitu saja—yg didengar Hawking muda ketika “dimentoring” oleh senior kampusnya sehingga kelak ilmuwan berkursi roda komputeristik dr Cambridge ini menulis kitab A Brief History of Time. Ia, si kafir tsb, menulis/berpikir/dan menghitung sejarahnya sang waktu itu sendiri—bukan hanya menggombal dan megalomania berpuisi, yg berbasis konon katanya “wahyu”—dimana sebelum Big Bang terjadi, dimensi waktu ini, “teorinya”, juga belumlah ada atau “dilahirkan”... masya Allah ya akhii! Kita, org2 yg konon beriman ini (meski hanya ikut2an arah angin dominan), tdklah akan pernah dilahirkan ke alam 0,1,2,3,4,5 dimensi ini—dimensi string nol vektor adalah dunia mikro sebesar biji zarah/atom dan dimensi tertinggi adalah gravitasi yg bisa “melipat” waktu—jika saja dan andaikan ‘pabila bapak-ibu, mama-papi, umi-abah kita lebih memilih hidup singel; atau menikah dgn pasangan lain (atau pasangan-pasangan lain) sehingga “memproduksi” campuran kode genetik yg lain, yg bukanlah diri kita spt se-ganteng dan se-bohay saat ini visualnya terlihat. Kita lahir dr sebuah proses di masa lalu yg adanya adalah sebelum adanya sel-sel memorik di otak kita; yg mengarsipkan time-line pengalaman “hidup kita”, yg mungkin kini sudah sulit utk diakses krn memori2 yg terbaru telah berkali-kali “menimpa”-nya; sehingga, barangkali perlu om-om hacker-ingatan pro (berbayar) utk me-recycle kenangan lama dr tempat paling tersuruk pra-pengalaman kita itu, entah dgn teknik macam apa.

Beda dgn anak-anaknya hewan atau binatang atau fauna yg baru (sbg contoh pd komunitas ummat ayam semisal) satu hari menetas saja mereka sudah diajak induknya utk “bekerja cari makan” (sambil bermain dan “jogging” jg mungkin), nyeker kesana kemari dgn bergerombol sambil berkeciap-keciap, seorg anak manusia/bayi butuh bertahun2 utk bergantung kpd org2 tuanya yg harus bertanggungjawab krn kagok saja sudah terlanjur ngebawa2 dia utk ikut-ikutan berkompetisi cari penghidupan di dunia yg cadas ini. Bahkan ada yg sampai 34 thn lamanya bernafas dgn oksigen bumi ini, masih saja ia hidup disuapi oleh orang tuanya; krn ketika ia coba juga cari makan kesana sini itu secara sesuatu, selalu mental saja ia terpelanting oleh kompetitor lain yg lebih cantik permainan politiknya gitu hehe. Krn itulah dlm “kode-etik” peradaban sosial-masyarakat-habitat para manusia-manusiawi politiking ini, bagi setiap calon ortu, sesosok bujang pejantan yg berniat mengawini pasangan gadis betina yg diincarnya, dan berencana membuat keturunan, dituntut dgn terminologi kualitatif harus sudah mapan. Tentu saja supaya nanti tidak keluar berita di koran: “ditemukan bayi malang telah dibuang di tong sampah atau di pinggir jalan dan kolong jembatan”; sungguh sebuah peluang kenikmatan yg bs mengundang terjadinya moral-hazard. Ketika saya sbg sesosok bujangan jantan yg jg dikarunia Allah dgn setangkai ponis ini pernah dgn setengah serius mengajak sesosok lawjen saya utk berkopulasi, ia menolak dgn alasan kurang lebih krn saya tdk mapan. Ia juga cinta, namun takut kalok generasi penerus kami nanti hidup di kekurangan gizi. Katanya, kita manusia beda dgn anak ayam yg kecil2 sudah pandai “wirausaha”, serta punya insting utk bertarung dgn pesaing. Sementara anak manusia ini butuh bertahun2 dikeloni dan kebetulan jg ia si betina kawanku tsb karakter yg agak kurang ke-mama-an (nggak betah main dgn anak2 kecil) sehingga ia khawatir tak bisa mengurus anak-anak kami yg imut dan msh berstatus variabel terikat tersebut. Mungkin ia sedang mabuk filsafat tempur dr Prof. Tsun Zu, hipotesis alternatif bahwa pemenang perang sudah bisa dipikirkan sebelum perang itu sendiri berjalan. Jadi, makan sendiri aja tuh cintanya Bang ya! Hehehehe.

Gw dilahirkan ke duniawi-simulasi ini sebetulnya punya posisi yg cukup mapan, sangat sangatlah mapan. Kelas-kelas atas bgt ya enggak juga sih. Apalagi jika posisi ngatasnya itu hanyalah ekonomi-gelembung belaka alias kekayaan berbasis hipotik/hutang, skill politiking dlm menebar pengaruh dan menawarkan garansi kpd banyak orang; mempunyai kepercayaan yg sangat besarrr namun akan meletus begitu sj ketika semua “ikatan” itu tiba-tiba menghilang pudar. Walau tidak berpunya dlm skala super besar itu tetapi apa yg melekat pd eksistensiku jg tdklah kecil; dan yg lebih penting lagi ia aset yg nyata dan bersifat dismobile. Ia adalah kekayaan alamiah-riil yg sangat2 sulit utk dirampok org lain kecuali terjadi kejadian luar biasa spt chaos atau kerusuhan sosial, atau perampasan mutlak oleh pihak yg berkekuasaan sangat sangatlah besar. Atau, waw niy keh keh keh keh keh!

(akan bersambung jika teransang lagi lanjut utk menulis, sekian dan hanya terima-gadis!)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!