Ragam Bahasa Setya Novanto dalam Transkrip “Papa Minta Saham”
althug myengs still lovin u atawa pabilut, keep pede aza, say no inferior! |
PENDAHULUAN
Latar Belakangnya Masyaallah
Menjelang
akhir tahun 2016 jagat sosial politik Indonesia sedang dimuat dengan kehebohan
mahabesar akibat selip lidah seorang calon gubernur petahana di ibu kota
negara. Berkebetulan beliau berasal dari suku bahkan penganut agama minoritas.
Hanya gara-gara persoalan fungsi kata pakai yang dianggap menyinggung perasaan
dan harapan religius sebagian umat Islam di Indonesia, tugu monas yang kini
cuma dihuni rusa-rusa kurus satu dua ekor itupun disesaki gerombolan jemaah
pendemo dari berbagai sudut wilayah NKRI yang diklaim melebihi angka tujuh juta
massa—bahkan hampir empat kali lipat dari jumlah jemaah haji yang datang dari
seluruh penjuru dunia yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk wukuf di Padang Arafah,
Saudi Arabia saat musim haji tiba. Seorang ulama senior bahkan sempat
bertanya-tanya (secara retoris) tentang hukum fiqih demo sembari menempel ibadah
jum’atan kali ini, yang disebut-sebut sebagai bid’ah terbesar sepanjang sejarah
dienul Islam sejak Rasulullah wafat hingga lalu penuh dengan potret saling perang
dan silang pendapat, ternyata telah dengan gagah beraninya dibuat umat Islam
Indonesia. Menariknya MUI diberitakan hanya menjadi fasilitator bagi inisiasi
yang datang dari para ulama-ulama plus politikus mudanya; walau resminya memang
mengeluarkan fatwa juga (karena desakan) tapi kemudian ada juga ulama-ulama di
luar MUI yang berbeda pandangan seperti Buya Syafii Maarif mantan ketua
Muhammadiyah yang suka dicap liberal, bahkan mungkin sudah dikafirkan, oleh
kalangan ulama dan para muqolidnya yang
cenderung radikal, ekstrim, dan fundamentalis ataupun yang hanya ikut-ikutan
karena kurang pengetahuan tapi tergiur iming-iming.
Di
tengah gonjang ganjing kebangsaan yang kental dengan isu SARA ini—alamiah
ataupun tunggangan skenario politik—ternyata terselip sebuah berita minor yang
akan jadi isu besar juga seandainya tidak diletuskan saat suasana sedang panas
dengan hal lain seperti kasus (anggapan) penistaan agama ini. H. Setya Novanto,
mantan ketua DPR RI hasil pileg 2014 yang sudah mengundurkan diri sekitar setahun
yang silam karena tersandung kasus “Papa Minta Saham”, dikabarkan kini bisa
kembali lagi menjabati kedudukan semula. Artinya beliau akan menggantikan
kembali Ade Komarudin, kolega separtainya, yang dulunya justru didapuk untuk
menggantikan dia yang terpaksa mengundurkan diri. Padahal dulu kasus “Papa
Minta Saham” sangat membuat heboh pula bangsa ini selama berbulan-bulan
layaknya kasus penistaan agama yang menjadi trending
topic untuk tahun ini. Tidak tanggung-tanggung, materi kasus “Papa Minta
Saham” seperti membuka borok-borok yang sudah menjadi rahasia umum mengenai
semrawutnya pengelolaan negara ini dengan kongkalingkong pengusaha-penguasa
yang bahkan menyeret-nyeret nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden JK yang
baru saja terpilih setahun sebelumnya (hasil pilpres 2014). Terlebih kasus ini
pusat “gempanya” di tambang Freeport yang disebut sebagai tambang emas-uranium
terbesar di dunia; menjadi komoditas barter mantan presiden Indonesia untuk
bisa berkuasa dengan dukungan sang polisi dunia Amerika Serikat.
Atas
desakan publik (lewat suara di media massa dan media sosial), akhirnya Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) DPR-RI pun menyidangkan kasus ini; yang bahkan sempat
disiarkan live segala bagai kasus blanked guarantee-nya Bank Century di
zaman SBY-Boediono yang membuat lengser Menkeu Sri Mulyani (yang menariknya
kini di zaman Jokowi ia diminta mundur dari jabatan direktur di IMF untuk
pulang kampung jadi menteri lagi!). Kasus “Papa Minta Saham” yang sidangkan MKD
DPR-RI tahun 2015 lalu menemui antiklimaksnya saat H. Setya Novanto resmi
menyatakan mengundurkan diri. Lalu segala isu yang dibicarakan dalam materi
kasus “Papa Minta Saham” inipun bagai terbawa angin tidak pernah lagi ditindak
lanjuti. Mungkin karena terlalu besar resikonya karena orang-orang yang disebut
dan terkait adalah orang-orang penting yang punya banyak pengikut dan kekuatan
politik di negara ini. Memotong seorang aktor lapangan yang tahu banyak
berbagai modus permainan politik-bisnis untuk mengendus dan mengais rezeki
abu-abu dari Tuhan tersebut—seperti tokoh kita yang sempat melarikan diri ke
belahan lain planet bumi ini (Amerika Selatan tepatnya) Muhammad Nazaruddin
yang hingga kini masih mendekam di lapas khusus koruptor di Sukamiskin,
Bandung, Jawa Barat atau tandemnya Anas Urbaningrum dalam kasus
“Hambalang”—sudah cukup kiranya untuk mencegah pembuat gaduh bernyanyi dengan
kicauan sumbangnya itu.
Menariknya
adalah Setya Novanto ketika dilanda puting beliung terbongkarnya rekaman kasus
“Papa Minta Saham” ini sepertinya punya strategi cantik dengan mengundurkan
diri terlebih dahulu sebelum dipecat sehingga kini masih punya dalil
administratif bahkan moral untuk menjabat lagi. Terlebih persidangan MKD itu
sendiri hanya menjadi bahan olok-olok baru karena masyarakat juga sudah tahu
sama tahu bahwa para politisi itu akan saling melindungi sesamanya—yang
diistilahkan Gus Sholahuddin Wahid sebagai Mahkamah Koncone nDewe—dan bahkan
menghasilkan medan makna baru bagi istilah-istilah seperti yang mulia yang kini tak lagi bermakna mulia karena jubah hakim MKD
itu hanyalah diisi manusia-manusia politikus yang dalam survei kepercayaan
publik selalu menghias peringkat satu lembaga-lembaga terkorup di republik ini.
Sekarang,
dalam wabah wacana SARA yang super sensitif karena menyangkut subtopik
penistaan agama, tren opini dan perhatian masyarakat tersedot energinya kesana;
terlebih kemudian berbagai elemen kepentingan politik jadi melihat peluang
taman bermainnya pula dan saling berlombang menebarkan pengaruh kepada publik
awam yang minim pengetahuannya. Bisa dibayangkan, antar sekte-sekte keagamaan
yang aslinya sesama mereka tadinya saling gontok-gontokankini
seolah bertemu musuh bersama yang bisa menyatukan perbedaan-perbedaan
partikular mereka. Apalagi merujuk psikologi-sejarah kebangsaan kita yang
bersatu walau tidak satu saat dijajah dulu, tentu DNA tipe semangat itu masih
menurun ke karakter psikologis anak-cucu. Luar biasa sekali, ketika sebuah
ketidaktepatan diksi pernyataan politik dari lisan genit seorang penganut agama
lain telah membuat bersatu umat sebuah agama lainnya pula dalam kuantitas yang
bahkan tidak bisa ditandingi negeri asal agamanya ini semula yang masih sedang
sibuk saling berperang disana! H. Setya Novanto adalah seorang mualaf dan
politikus kelas atas yang cerdas betul melihat peluang. Saat ini adalah
momentum yang tepat untuk ia kembali.
Ini
bukan hanya peluang bisnis ecek-ecek seperti ide seorang anak muda yang melihat
potensi pasar lalu mencuitkan gagasan jaringan minimarket 212 atau 411 (merujuk
tanggal demo akbar tersebut) namun ini adalah tentang strategi politik
strategis karena seorang Novanto adalah politkus ulung yang punya karakter
tindak tutur berseberangan 180 derajat dengan orang bernama Ahok alias Basuki
Cahaya Purnama yang sedang berkasus saat ini tersebut. Mungkin setelah kasus
ini akhirnya meledak juga—sebelumnya orang-orang sudah banyak yang mencurahkan
kekhawatiran bahwa gaya bicara blak-blakan dan terus terang itu tidak cocok
untuk karakter masyarakat timur—para elit politik di Indonesia mulai sadar
bahwa mereka membutuhkan seorang yang pandai menjaga tuturan seperti Novanto.
Seseorang yang sejak mahasiswa sudah pandai berbisnis yang artinya menjaga
hubungan baik pertemanan. Seseorang yang sewaktu sudah melanjutkan studi S2
bersedia melakoni profesi sebagai sopir, tukang kebun, tukang cuci, bahkan
tukang pel di rumah mantan teman sekolahnya sembari mengembangkan jaringan
politik/pertemanan; hingga sebelum punya modal untuk mencalonkan diri sebagai
wakil rakyat, dari daerah lain yang jauh bahkan, ia telah mencicipi kursi komisaris/direksi
berbagai jenis perusahaan di tangannya.Dengan kemampuan jalin relasinya, tidak
salah jika kursi ketua dari sebuah dewan perwakilan rakyat (yang bisa
menjatuhkan presiden ini) dipercayakan untuk dia.
Fisik
Setya Novanto yang terlihat membungkuk, murah senyum, dan nada bicara datar
merendahkan diri ini disebut-sebut sebagai level teratas komunikasi. Orang yang
terlihat tidak terlalu pintar padahal sebetulnya dia sangat pintar itulah orang
yang sebenarnya pintar. Walaupun ia disebut kurang matang oleh pembinanya
konglomerat Sudikwatmono dalam sebuah wawancara di Majalah SWA tapi beliau
mengakui bahwa Novanto punya kemampuan lobi di atas rata-rata. Lelaki yang
sewaktu masih muda pernah menjadi model dan didapuk sebagai pria tampan
Surabaya 1975 (41 tahun yang silam) dan juga pernah meraih penghargaan
Indoesian Best Dressed Award di tahun 1993 ini patut kiranya kita perhatikan
kemampuan berbahasanya, di luar kekuatan skill non-verbalnya dalam
politik-terapan (ia tidak pernah sekolah di jurusan studi politik secara formal).
Bagaimanapun bahasa adalah alat utama untuk menebar pengaruh politik; makanya
Thomas Linda dan Shan Wareing menulis buku khusus tentang masyarakat, bahasa,
dan kekuasaan itu. Disebut-sebut di buku itu tentang bagaimana tidak sukanya
seorang George Orwell kepada bahasa politisi (Thomas, 2007: 63)
Namun
kiranya perlu disadari bahwa untuk konteks masyarakat timur berbahasa secara
tidak terus terang itu diperlukan; berbeda dengan kultur masyarakat barat.
Kalau merujuk kepada pembagian fungsi
bahasa dalam Thomas (2007: 12) maka basa-basi atau phatic terasa cukup penting untuk mengendalikan emosi rakyat timur.
Ia menjadi tak kalah penting dengan fungsi referensial, afektif, apalagi
estetik. Secara orientasi afektif bahkan gestur wajah dan nada suara Novanto
sangat cocok untuk menimbulkan rasa empati bahkan iba masyarakat. Ujungnya
kepercayaan sebagaimana yang diincar oleh setiap politisi. Akhirnya karena
maklum sama maklum segala kasus pun berhenti pada narasi humor untuk hiburan reality show bagi rakyat Indonesia yang
berkarakter ikut-ikutan yang lagi ramai dan sedang tren (psikologi massa).
Apalah daya. Dunia pendidikan Indonesia mungkin memang sedang kelabu selamanya
seperti disinyalir oleh Wahidi (2016) dan digugah oleh Abdurakhman (2016).
Dalam sebuah seminar literasi yang diadakan oleh perpustakaan daerah Sumatera
Barat juga disampaikan bagaimana rakyat kita menjelang bebas dari buta huruf
tapi masih sangat parah halnya dalam kebutaan pemahaman. Dididik hanya untuk
menjadi pelaksana dari industri berteknologi impor. Buta konsep, miskin teori.
Sehingga itulah kemasan berbahasa itu masih sangat penting dalam efektifitas
berkomunikasi kepada rakyat kita.
Pembatasan
masalah yang akan jadi fokus penelitian kali ini adalah tuturan-tuturan Setya
Novanto dalam transrip kasus “Papa Minta Saham” yang beredar sangat luas
setahun yang lewat (2015). Sementara rekaman audionya beberapa cuplikan dalam
durasi cukup panjang juga sering diputar oleh TV-TV nasional. Karena fokus
penelitian kali ini hanya pada transkrip percakapan maka faktor
ekstralinguistik hingga bahasa non-verbal yang menyertai tindak tutur lisannya
diabaikan. Akibatnya memang cukup banyak konteks transkrip ini yang akan sulit
dimengerti karena ia hanya penggrafisan dari bunyi-bunyi yang terdengar di
dalam rekaman. Rekaman ini sendiri konon sangat banyak yang dipotong karena
tentu saja punya akibat fatal dan vital bagi keamanan nasional karena akan
banyak menyebut orang-orang besar dan petinggi negeri ini. Bahkan menurut hemat
penulis, sebagaimana tuduhan Presiden Jokowi tentang aktor intelektual dibalik
demo yang menunggangi kasus penistaan agama oleh Ahok, hal ini sangat terkait
dengan kasus setahun lewat ini. Muhammad Riza Chalid, aktor dalam kasus itu
yang disebut-sebut sebagai big boss-nya
bisnis minyak Indonesia, bahkan ibundanya meninggal dunia tak lama setelah
kasus itu mencuat; dan sampai sekarang tidak tersentuh hukum, berbeda dengan
Muhammad Nazaruddin yang sampai harus diburu ke Argentina yang dikenal juga
sebagai tempat pelariannya para perwira Nazi setelah Hitler kalah dalam Perang
Dunia II. Tentu saja kita tidak perlu sebut-sebut pula kaitannya dengan
orang-orang besar berkuasa lainnya di negeri ini. Fokus penelitian kali ini
adalah ragam bahasa yang digunakan ketua DPR kita Bapak Setya Novanto dalam
transkrip kasus “Papa Minta Saham” yang menghebohkan itu. Luar biasa sekali
beliau. Orang lain sudah luar biasa jika bisa jadi ketua DPR dua kali dengan
menjabat selama dua periode pengabdian, Setya Novanto sudah menjadi ketua DPR
dua kali dalam satu periode saja (yang juga belum selesai); dan masih mungkin
kelak akan diperpanjang kontraknya oleh rakyat Indonesia yang tak kunjung
kenyang menyaksikan dagelan politik ini. Apa boleh buat. Barangkali memang strategi (mengutip kosakata yang
diulang-ulang empat kali oleh Setya Novanto dalam transkrip yang diteliti)
menggunakan bahasa berkemasan terlihat baik itu sangat perlu untuk menjaga
stabilitas nasional dan emosi rakyat.
Kajian Teori
Topik
yang paling populer dan utama dalam sosiolinguistik adalah variasi bahasa.
Berkembang pendapat bahwa sosiolinguistik adalah disiplin ilmu yang menelaah
variasi bahasa atau bahasa dalam masyarakat. Variasi bahasa dipandang sebagai
suatu fenomena kebahasaan yang memiliki dua sisi. Dari sisi internal, variasi
dianggap sebagai suatu varian yang tidak memberi pengaruh. Sementara dari sisi
lainnya yaitu sudut sosiolinguistik, variasi ”dicurigai” karena mengandung
makna tertentu. Variasi bahasa
merupakan pokok bahasan dalam studi sosiolinguistik, sehingga Kridalaksana
(1974, dalam Chaer dan Agustina 2004:61) mendefinisikan sosiolinguistik sebagai
cabang linguistik yang menjelaskan ciri-ciri variasi bahasa dan menetapkan
korelasi ciri-ciri bahasa tersebut dengan ciri-ciri sosial kemasyarakatan.
Variasi Regional
Di masa
lampau ketika teknologi komunikasi dan perkembangan media masa belum semaju
sekarang, orang dapat menyaksikan betapa gunung dan sungai memisahkan kelompok-kelompok
manusia yang menyebabkan munculnya perubahan-perubahan bahasa. Misalnya di
Inggris pada pengucapan kata-kata bahasa Inggris oleh orang-orang London,
Manchester, dan Hyde. Kata ’brush’ orang London mengucap [brLs], orang
Manchester mengucapkan [bras], dan orang Hyde mengucapkan [brais]. Di Indonesia
misalnya kata cengkeh, orang Batak Karo menyebut singke, orang Minangkabau
menyebut cangkeh, orang Lampung menyebut cangkih, orang Madura menyebut cengke,
dan orang Flores menyebut singke (Wijayakusuma, 1996:35)
Contoh-contoh
di atas membuktikan bahwa karena rintangan geografis seperti gunung dan sungai,
bahasa yang tadinya merupakan satu alat komunikasi bersama yang seragam antar
kelompok mengalami perubahan sebagai akibat dari perpindahan kelompok-kelompok
manusia itu dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain. variasi bahasa yang
disebabkan oleh faktor-faktor geografis ini menciptakan bahasa baru yang
mungkin masih dipahami oleh semua kelompok penuturnya, namun telah mengalami
berbagai perubahan. Bahasa baru ini disebut dialek.
Variasi Sosial
Kehidupan
sosial dalam masyarakat sangat mempengaruhi tingkah laku berbahasa. Kedudukan
sosial atau kelas sosial mengacu kepada golongan masyarakat yang mempunyai
kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta dan sebagainya. Seorang individu mungkin mempunyai
status sosial yang lebih dari satu. Misalnya si A adalah seorang guru yang
suaminya seorang pejabat. Jika dia seorang guru PNS, dia masuk ke dalam kelas
pegawai negeri dan juga masuk ke dalam kelas istri pejabat. Ketika dia
berkomunikasi dengan sesama PNS, bahasa yang digunakannya akan berbeda ketika
dia berkomunikasi dengan teman-temannya sesama istri pejabat. Variasi ini
menyebabkan munculnya ragam-ragam khusus yang lazim dituturkan oleh
masing-masing kelompok tersebut yang dinamakan sosiolek.
Dalam
pengkajian sosiolek ditemukan beberapa istilah yang menunjukkan adanya variasi
tertentu yang menghasilkan ragam-ragam bahasa tertentu pula. Istilah yang
terkait dengan sosiolek adalah (1) akrolek, (2) basilek, (3) vulgar, (4) slang,
(5) kolokial, (6) jargon, (7) argot, dan (8) ken (Nursaid dan Maksan,
2002:177). Akrolek adalah ragam bahasa sosial yang dianggap lebih tinggi atau
lebih bergengsi daripada ragam sosial lainnya. Basilek adalah ragam bahasa
sosial yang dianggap sebagai ragam yang kurang bergengsi atau dipandang rendah.
Vulgar adalah variasi sosial yang digunakan oleh kelompok yang kurang
terpelajar atau kurang berpendidikan. Slang adalah variasi sosial yang bersifat
khusus dan rahasia. Slang bersifat temporal karena slang pada suatu saat yang
akan dilupakan dan muncul slang lain yang lebih baru. Pemakai slang kebanyakan
adalah golongan remaja. Kolokial adalah variasi bahasa yang dipergunakan dalam
percakapan sehari-hari. Ragam kolokial tidak digunakan dalam bahasa tulis.
Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok
sosial tertentu. Ungkapan dalam bahasa jargon kurang dipahami oleh kelompok
luar namun tidak bersifat rahasia. Umpamanya bidang kedokteran, politik dan
ekonomi. Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada
profesi tertentu dan bersifat rahasia. Contoh argot dalam masyarakat Indonesia
adalah bahasa kaum atau kelompok waria. Ken adalah variasi sosial tertentu yang
bernama memelas, dibuat-buat, merengek-rengek, dan penuh kepura-puraan,
biasanya digunakan oleh para pengemis.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penelitian kali ini adalah untuk melihat bagaimana ragam bahasa yang digunakan
oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam forum yang bersifat tidak resmi. Terlebih
lagi transkrip “Papa Minta Saham” ini adalah sumber data rahasia yang tentunya
menarik untuk ditelaah.
PEMBAHASAN
Struktur Dialog Tiga Tokoh
Ada tiga
tokoh yang saling berdialog dalam transkrip yang terumbar ke publik ini.
Pertama Maroef
Sjamsoeddin (selanjutnya disingkat MS) yang merupakan direksi PT.
Freeport pada saat itu. Ia juga mantan perwira pasukan elit angkatan udara dan
terakhir berdinas di Badan Intelijen Negara. Kedua ada Muhammad Riza Chalid
(selanjutnya disingkat MR) seorang pengusaha papan atas dengan koneksi kelas
atas juga yang berusaha mempertemukan MS dengan orang ketiga dalam dialog ini
dan yang menjadi fokus analisis disini Setya Novanto (selanjutnya disingkat
SN), ketua DPR-RI saat itu. Dari struktur percakapan yang terdapat dalam
transkrip dari sebagian sadapan rekamannya yang diizinkan beredar ke
tengah-tengah masyarakat terlihat bahwa SN bukanlah pihak yang terlalu dominan
berbicara. Paling dominan adalah MR sebanyak 131 kali ditambah dua kali yang
diucapkan bersamaan dengan SN yakni pada kata widihhh dan ooooo. MS
sendiri bertutur sebanyak 110 kali. SN walau hanya mengkoleksi 97 tuturan namun
secara kualitas beberapa ujarannya itu disampaikan dengan sangat panjang lebar.
Tambah pula materi kontroversial banyak pada narasi dialog yang dibawakan SN.
Ini mungkin bisa saja mengindikasikan bahwa sasaran pengungkapan ke publik
rekaman ini adalah untuk menjatuhkan kursi ketua DPR yang diduduki SN.
Terlihat
juga dari keseluruhan percakapan ini bahwa SN hanya bersifat mengikuti
transaksi politik-bisnis yang dibuat MS dan MR. Seolah posisi beliau sebagai
ketua DPR menjadi jaminan bagi kelancaran negoisasi yang terjadi. Terlebih ia berasal
dari fraksi mayoritas Golkar yang pada pilpres berada di kubu yang kalah
sehingga awalnya sempat menjadi oposisi pemerintah. Seolah kehadirannya jadi
jaminan atas ganjalan politis atas apa yang sedang ditransaksikan. Awal-awal
dialog dalam percakapan transaksi ini terlihat kalimat basa-basi pendahuluan
mengenai isu aktual waktu itu yakni resepsi pernikahan anak sulung presiden di
Solo, Gibran Rakabuming sang pengusaha martabak yang mungkin mengikuti jejak
bapaknya untuk berwirausaha dulu supaya punya modal kapital sendiri untuk
terjun ke politik. Tentu kemudian pembicaraan menyerempet juga ke kultur
pernikahan orang Indonesia, kebijakan menteri PAN tentang jumlah undangan,
hingga pembiayaan persahabatan oleh pengusaha untuk keluarga pejabat yang sedang
punya hajatan.
Setelah
sesi basa-basi ini transkrip percakapan sepertinya di-skip mulai masuk ke materi utama pertemuan tiga tokoh ini yakni
mengenai perpanjangan kontrak, bagi-bagi saham, dan proyek tambahan terkait
Freeport Papua. Disini narasi tunggal SN yang sangat panjang mengemuka. Setelah
itu di-skip lagi ke percakapan antar
tiga tokoh tersebut terkait kontrak, saham, dan proyek Freeport ini. Awal-awal
pada sesi ini terlihat dialog didominasi oleh MR dan MS; SN hanya sesekali
berceletuk menimpali. Ketika mulai masuk pembicaraan cukup intensif tentang
lobi dengan Darmo dan Luhut SN mulai cukup aktif lagi bicara. Dalam pembicara
tentang pembebasan lahan di Papua dan Sumatera Barat hanya MS dan MR lagi yang
dominan. Baru ketika masuk pembicaraan tentang Luhut dan strategi lobi kembali
SN turut aktif.
Kemudian
naskah transkrip ini mulai masuk pada materi paling kontroversial yaitu
pernyataan MR bahwa Jokowi akan jatuh (dari jabatan presiden) kalau sampai
nekat menyetop kontrak Freeport di Papua. Setelah ini SN mulai panjang lebar
lagi bicara tentang pandangannya mengenai kepribadian Presiden Jokowi dan
strategi untuk menghadapinya; termasuk juga “skandal-skandal” politik yang
sedikit diungkap. Menjelang akhir percakapan banyak dibicarakan mengenai kondisi ekonomi negara yang morat
mari di zaman Jokowi ini. Terutama disini MR curhat tentang susahnya cari makan
bagi para pengusaha saat itu akibat ketatnya kebijakan pemerintah. Disini MR
menjelaskan betapa bermanfaat perannya sebagai makelar atau penghubung bagi
kepentingan ekonomi semua pihak di negeri ini. Dengan semua orang (tokoh kunci
atau elit atau patron) dikenyangkan dan happy-lah
negara ini bisa terhindar dari kerusuhan dan amuk massa. Di akhir transkrip
terlihat kesepakatan ketiga tokoh dalam pertemuan ini bahwa perpanjangan
kontrak Freeport ini selain menguntungkan bagi berbagai pihak di tingkat elit
yang mendapat jatah saham dan proyek juga berdampak pekerjaan untuk ribuan
rakyat kecil pegawai lokal Freeport.
Ragam Bahasa Setya Novanto
Hal
pertama yang sangat terlihat menonjol dalam bahasa lisan yang ditranskripkan
pada rekaman dialog ketiga orang ini adalah penggunaan bahasa yang sangat tidak
baku dan banyak diselingi campur kode. Sebagai contoh adalah pemilihan
penggunaan kata ganti persona tunggal pertama bahasa Indonesia dialek
betawi/jakarta yakni gua (biasa juga
dilafalkan dengan variasi gue). MR
sebagai yang termuda di antara tiga tokoh tersebut menggunakannya sebanyak 18
kali, MS sebanyak dua kali, sedangkan SN ternyata tidak pernah memakainya.
Bahkan MR pernah juga menggunakan nama singkat dirinya, Riza, yang lebih lumrah
dipakai oleh anak-anak. Orang dewasa biasanya tidak lagi menyebut nama sendiri
untuk kata ganti diri. SN hanya menggunakan kata saya untuk menyebut dirinya. Penggunaan ragam resmi ini menunjukkan
SN masih sangat menjaga kedewasaan dan kewibawaannya. Memang pejabat negara
yang sudah berumur jarang sekali menggunakan ragam panggilan gaul terdengar di
publik, berbeda sekali dengan kalangan artis, seniman, pengusaha, atau
sastrawan.
Dalam
transkrip ini kemudian diperlihatkan bagaimana MS memanggil SN dengan sebutan
pak ketua; begitu juga diceritakan bahkan Presiden Jokowi jika memanggilnya,
tidak dengan nama langsung atau Bapak SN misalnya. Ini menandakan situasi distal dalam kajian deiksis tindak
tutur. Tokoh-tokoh tersebut masih berusaha menggunakan ragam formal dan menjaga
jarak kesopanan terhadap SN. SN pun juga terlihat menjaga wibawa dengan tidak
bertingkah laku sok akrab seperti MR yang memang berposisi pengusaha sehingga
harus lebih luwes. Penggunaan deiksis pak ketua ini sekaligus menunjukkan
konteks jabatan SN dalam keterlibatannya pada dialog itu, bukan SN sebagai
personal atau pengusaha saja.
Kemudian
kita melihat juga dalam hal deiksis penggunaan kata dia oleh SN terhadap Presiden Jokowi. Bahkan dalam sebuah
percakapan SN menyebut Jokowi orang norak karena sebagai presiden terlihat
tidak berwibawa ketika bawa-bawa tas bagaikan seorang staf. Sedangkan terhadap
Luhut dan Jusuf Kalla baru lengkap
dengan panggilan pak. Ini menunjukkan SN berpandangan bahwa posisi presidennya
tidak terlalu jauh di atas posisi mereka bertiga yang terlibat dalam percakapan
yang mungkin disebabkan juga oleh faktor usia. Menteri-menteri yang disebut
dalam dialog ini pun juga menggunakan sebutan dia dan Darmo yang disebut beberapa kali hanya disebut nama saja.
Darmo ini merujuk pada staf brilian Luhut Panjaitan yang usianya paling muda
diantara orang-orang yang disebut dalam transkrip ini. Penggunaan kata Si ESDM yang merujuk pada Sudirman Said
oleh SN pada salah satu tuturannya menunjukkan juga pertimbangan faktor usia
ini. Kapolri saat inipun, saat itu belum, juga hanya dipanggil nama karena
usianya relatif lebih muda juga dibanding SN dan MS. MR adalah yang paling
sering menyebut Jokowi tanpa kata pak
meski ada juga kadang digunakan.
Ragam
bahasa tidak baku, bahasa slang, istilah asing, atau campur kode yang digunakan
oleh SN sebagai kosakata pilihannya adalah gak, enggak, ndak, gini, gitu, di
kita, pengin, ketemu, eh, kesel, bikin, masak (masa), seneng, ndak imbang,
udah, kebayang, samperin, ngobrol-ngobrol, diekspos, diklirken, ngomong,
opportunity, ngadep, goal, dimaintenance, pinter, unek-unek, dipinjemin,
cawe-cawe, dikerjain, happy, purchasing guarantee, merem, hayyahh, koppig,
macem-macem, merasani, ngerusak, kenceng, call, telpun, aja, udah deh,
cepet-cepet, kasih (beri), ngotot, bener, siapin, runding, norak, ngantem,
lempar-lemparan, cek gocek, ketemu, sreeet, dibatasin, jeblok, serahin, kayak
(seperti), drop, ditakutin, bener, tahu-tahu pisah, udah, tengahin, dong, stik,
share, ama (sama/dengan), hepi, share holder, yuk, dan ngatur.
Selain
itu SN (selain MS dan MR juga) kerap menggunakan istilah ragam intelektual yang
disebut oleh Thomas Linda dan Shan Wareing sebagai fungsi afektif bahasa.
Dengan diksi yang terlihat intelek seorang penutur akan memposisikan dirinya
dalam sebuah relasi kuasa dengan petuturnya. Beberapa kata yang tercatat
tersebut adalah seperti lounge, draft, prospek, sektor, saham, otsus, smelter,
privatisasi, konstalasi, dividen, presentasi, kredibilitas, fraksi-fraksi, dan
mekanisme. Dalam konteks atau referensi percakapan tiga tokoh dalam dialog
ini—meski SN secara struktural punya posisi lebih kuat—penggunaan jargon-jargon
intelektual lebih terlihat bersifat kebutuhan pragmatik komunikasi.
PENUTUP
Demikianlah
uraian singkat yang baru bisa penulis sampaikan dari analisis terbatas yang
dilakukan terhadap teks transkrip bocoran rekaman kasus atau skandal “Papa
Minta Saham” di penghujung tahun 2015 silam. Fokus penulis lakukan pada tuturan
aktor Setya Novanto terlebih dahulu sebagai yang paling minimal berbicara namun
paling kuat pengaruh kuasanya sebagai pejabat tinggi negara di sebuah lembaga
tertinggi negara dalam sistem politik trias
politica negara kita. Batasan kajian sosiolinguistik yang penulis lakukan
bukanlah utama mengenai substansi percakapan rahasia antara tiga aktor dalam
rekaman ini, melainkan kepada ragam atau variasi bahasa yang digunakan oleh
mereka khususnya Setya Novanto sebagai ketua dari Dewan Perwakilan Rakyat saat
itu. Disini bisa dilihat bagaimana pengaruh hegemoni kekuasaan di tangan Setya
Novanto membuat kehadirannya dibutuhkan dalam melancarkan proyek-proyek bisnis
yang akan diusahakan oleh para pengusaha terkait kebijakan pemerintah. Kuasa
Setya Novanto tidak hanya pada lembaga legislatif namun menjamah hingga
eksekutif. Bahkan bisa disaksikan bagaimana beliau bisa menyuruh ketua lembaga
yudikatif untuk membantu-bantu dia dalam usahanya meyakinkan presiden. Gaya
berbahasa yang digunakan ketua DPR Setya Novanto dalam rekaman ini terlihat
santai dan tidak seketat narasi terkontrolnya dalam pernyataan resmi atau tidak
rahasia di depan media massa. Dari sini kita juga bisa melihat bagaimana
kesantaian dalam pilihan bahasa diharapkan bisa melancarkan sebuah urusan
bisnis meski ada resiko jika terbongkar akan menjadi skandal besar. Namun semua
orang juga tahu bisa ditutup lagi dan kini kursi ketua DPR oleh Setya Novanto
bisa kembali diduduki.
"postingan blog-Q kali ini aQ persembahkan utk kalian yg mungkin sudah sejak TK mengikuti mata kuliah sastra bandingan, mengikuti program akselerasi plus pangkat plus, dipaksa cerdas sejak dini, tentu saja supaya jadi orkay dan orting (org penting) dan demi efesiensi kerja butuh contekan buat laporan tugasnya (tujuan menghalalkan cara) toh yg penting sukses pd akhirnya, ya kan? atau boleh juga save-an tugas kuliah gw ini dipakai bahan plagiat oleh calon professor yang sibuk berbisnis sehingga kerja2 formalitas gak penting ini didelegasikan saja kepada staffnya para generasi milenial yg sudah terbiasa bertindak instan mengandalkan sumber2 gratis dr internet tanpa terlalu dalam memeriksa (yahh walaupun ini aib toh kita lihat saja sisi positifnya si bapak org sukses calon professor itu telah membuka peluang kerja kepada seorang anak manusia, jgn negatif mulu melihat masalah, dalam kesempitan ada kesempatan), atau barangkali ada dosen kelas keterampilan menulis dari fakultas sastra sontoloyo yang ia sendiri tidak punya kemampuan menulis selain normatif, prosedural, dan full of cliche dan sesekali butuh bahan yg nyentrik monggo colong aja hasil kerjaku ini buat portofoliomu, dan kepada para pencopas yang budiman sekalian saya sekaligus menghaturkan mohon maaf ini baru sempat disalin apa adanya, belum sempat diedit dan dibaca lagi apalagi direvisi, maafkan aQ kurang sempurna dalam membantu miesie instan Andir eh Anda hehe"
DAFTAR RUJUKAN
Abdurakhman, Hasanudin. 2016. “Industri dan Pendidikan
Kita”. Artikel dalam Harian Haluan Edisi 6 Desember.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Nababan, PWJ. 1991. Sosiolinguistik:
Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguistik: Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam
Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumarsono. 2007. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: SABDA.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yule, George. 2006. Pragmatik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahidi, Adel. 2016. “Pendanaan Pendidikan dan Pungli”.
Artikel dalam Harian Haluan Edisi 1 Desember.
Wardaugh, Ronald. 2006. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell.
http://print.kompas.com/2015/12/02/Inilah-Transkrip-Percakapan-Setya-Novanto-dan-Riza
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh