Sejarah "Tanah Pusako" Simpang By Pass Lubuk Minturun
Meski ngaku-ngaku sebagai seorang zahid,
qonaah, dan tidak sudi bergabung dgn jemaat pemuja harta (dan kedudukan duniawi
tea), ternyata si Ngaku-Ngaku ini
kembali lagi akan bercerita tentang topik per-HARTA-an hehehe. Berkebetjulan
baru sj tadi aq mendengar lagi (ya, ini bukan yg pertamax) cerita dari ibuku
tentang tanah pusaka keluarga matrilinial ini—barangkali ada manusia masa depan
yang butuh sumber data riset tertulis yg beraliran naturalis, sebuah confession yang tidak “disiap-siapkan”?
Xixixi. Kupikir-pikir lebih baik kubuat pengetahuan ini menjadi artefak digital
tertulis dan terbuka; setelah menimbang pelbagai hal, termasuk mengeleminiir
watak licik untuk menyimpan pengetahuan ini utk diri sendiri doanx. Meski aq jg tdk menutup
kemungkinan informasi ini bs dimanfaatkan oleh org2 lain yg punya motif jahatt’s,
akan tetapi toh ada Gusti Allah swt yang
tidak “tidur”, so don’t worry lah yaw!
Huffftt panjang yah anak-anak
kalimatnya.
A boy's best friend is his mother.
Anthony Perkins, "Psycho" (1960)
I love the smell of napalm in the morning.
Letkol Bill Kilgore, “Apocalypse Now” (1979)
Carpe diem, quam minimum credula postero!
Seize the day boys, make your lives extraordinary!
John Keating, “Dead Poets Society” (1989)
You can't handle the truth!
Jack Nicholson, "A Few Good Men" (1992)
In case I don't see ya... good afternoon, good evening, and good night.
Jim Carrey, "The Truman Show" (1998)
Go ahead, make my day!
Clint Eastwood, “Sudden Impact” (1983)
Get busy living, or get busy dying.
Andy Dufresne, “The Shawshank Redemption” (1994)
A boy's best friend is his mother.
Anthony Perkins, "Psycho" (1960)
Kutanya ibuku, sepertinya adik-adik kandungku
tidak begitu mengetahui “kisah” ini. Katanya khawatir membebani pikiran mereka;
di tengah penghidupan mereka sendiri yg kini harus mereka arungi di tempat lain
di balik gunung di seberang lautan. Bapusako
laweh tapi harus cimakan di nagari urang lain gegara punyo niak mamak nan ndak
mambimbiang kamanakan, nunggu dapek jatah se koq lai kayo kito di rantau, ouchhh
sedih dot kom. Dan waku curiga bahwa di kalangan anak-anak dari bibi-bibiku,
para kompatriotku itu, juga pada tidak begitu tahu juga cerita ini; walaupun ada dua
orang perempuan yang umurnya lebih tua dariku. Mengingat, kata ibuku, bahkan
adiknya yang paling bungsu, tetaku, juga tidak mau ambil pusing dengan “cerita”
ini. Biasa, orang kota biasa hidup senang tak mau direpotkan masalah di kampuang nan jauah di mato wkwkwk.
Padahal tetaku (etek) dua anak
perempuannya itu berhak (bahkan bisa juga diartikan: berkewajiban) mengurus
warisan herittage dari leluhur kita
ini supaya tidak di-occupied orang
lain nanti. Jangan tiba-tiba kelak baru nongol
gitu aja ketika mulai merasa butuh secara ekonomi dan semata melihat pusaka-geografis
kultural ini sebagai aset komersial belaka (untuk dijual, just to took the money). Tentu saja kini kami generasi para anak
ini belum bisa berbuat apa-apa, karena generasi orang-orang tua kami masih
hidup dan merekalah yang bertindak tentang ini. Mudah-mudahan yang lain juga
ada yang mendapat “kisah” ini. Dan kalo
tidak, makanya ini diriku digitalisasi supaya jadi catatan tertulis untuk
diakses kalian nanti wahai generasi para anak cucu cicit cucut dstnya—yang
matree dan melihat tanah pusako ini
sebagai rebutan kueh ekonomi belaka, awas, kuhajar kalian di akhirat nantik,
ckckckckck).
I love the smell of napalm in the morning.
Letkol Bill Kilgore, “Apocalypse Now” (1979)
Keempat-empat bidang tanah di Simpang By
Pass Lubuk Minturun ini adalah belong to
mygrandma, sang nenekku atau buyut kalian yang bernama Txxxxxx binti -sensor-.
Nenek atau biasa dipanggil Amak ini—baik generasi anak2nya ataupun cucu2nya
sama-sama memakai panggilan amak—berumah
gadang di jalan antara Gaduang dan Surau Gadang. Jadi pandam kuburan keluarga
kita berada di belakang eks-rumah gadang itu; walau aq pribadi lebih prefer utk dimakamkan di rumahku saat
ini saja (wong siapa yang tinggal
disana sekarang saja aq tidak persis kenal hehehe). Sewaktu kecil Amak dibawa
oleh abak-nya ke rumah bakonya di
Ikur Koto sana. Kalau ndak salah ingat, ini karena ibu dari Amak (nenek ibuku
dan mama-mama kalian) lebih dulu meninggalnya; sehingga ayahnya balik ke rumah
gadangnya memboyong anaknya. Dan Amak kita tumbuh besar disana. Seorang kawan
sekolahku yang sewaktu kecil jualan onde-onde
selalu jadi langganannya karena ibu/amak
dari kawanku ini adalah teman masa kecilnya di Ikur Koto sana. Aq sendiri baru
setelah sekolah di MTsN Gn. Pangilun mengenal si kawan ini. Dan Amak kita suami
pertamanya pun orang kampung Ikur Koto ini. Kakek bagi anak-anak Tante xxxxx
dan Uwan xxxxx.
Carpe diem, quam minimum credula postero!
Seize the day boys, make your lives extraordinary!
John Keating, “Dead Poets Society” (1989)
Suami kedua Amak barulah kakekku kakak
beradik serta anak-anak Om Pxxxxx dan xxxxxx Bandung. Xxxxxx bin -sensor-, begitu nama
ngarabnya xixi, berasal dari daerah menjelang pendakian tebing Lubuk Minturun
sana. Istrinya juga ada beberapa dan salah satu cicitnya dari istri yang lain
itu bahkan menikah dengan anak laki-laki omku tadi. Sewaktu menikah dengan
Kakek -sensor-, Amak baru balik ke rumah gadangnya di Koto Panjang ini. Kakek ini
agak cerdik orangnya—di rumah orang tuanya sendiri di Lubuk Minturun sana
tanahnya juga luas sehingga ia kaya walau bukan kuli serta agak hobi kawin
cerai dan kata ibuku orangnya malas bekerja namun pintar (membujuk wanita
mungkin hehe)—sehingga ia mendapat pengetahuan bahwa kawasan seputar Simpang By
Pass Lubuk Minturun ini—waktu itu tentu saja belum ada Jalan Padang By Pass—adalah
warisan kepunyaan/pusako dari Amak
sebenarnya. Amak ini kebetulan termasuk jalur keturunan beranak sedikit
sehingga bagian-bagian pusakanya jadi terakumulasi. Saudara kandungnya cuma
satu orang, biasa dipanggil angku,
yang pernah bertemu denganku meski aq sudah sangat sulit untuk mengingatnya
karena ia meninggal sewaktu aq masih sangat kecil. Sewaktu Amak dibawa ayahnya
ke Ikur Koto (entah mungkin ia tak betah dirasani
oleh famili-famili yang lain), tanah pusakonya yang luas ini konon oleh
mamaknya Amak “dibagi-bagikan” kepada anggota keluarga yang lain yang paling
terdekat dengan Amak yakni keluarga Amak Ni Desi (atau Mak Uwo) yang di sebelah
rumahku kini ini. Aq tadinya berusaha memastikan maksud dibagikan disini apakah diberikan lepas sama sekali begitu saja,
dipinjamkan, atau apakah, tapi ibuku sendiri juga tidak bisa memastikan karena
kisah kasih-mengasih orang lama (atau zaman dulu) itu informasinya bersifat
lisan dari mulut ke telinga tiada hitam di atas putih—makanya penting kan
“cerita” ini ku-tulisan-kan sekarang, utk memperkecil peluang orang-orang jahat
utk memesongkan “kebenaran” atas apa yang terjadi sebenarnya yaa.
You can't handle the truth!
Jack Nicholson, "A Few Good Men" (1992)
Kakekku yang tahu bahwa tanah di seputaran
simpang ini sekarang adalah haknya Amak bersiasat untuk merebut kembali dengan
menganjurkan Amak membuat rumah terlebih dahulu di atas tanah ini. Sifat
kepemilikan kolektif tanah pusako dan nilai keekonomian zaman dahulu yang belum
terlalu dihitung-hitung membuat kembalinya Amak ke tanah pusako-nya tidak menjadi persoalan—setidaknya secara terbuka alias
kalau ada yang sudah pintar hitung-hitungan hanya bisa jengkel saja karena
tanah ini memang belum milik pribadi-pribadi dan ada legalitas. Rumah Amak dan
kakek kita tersebut didirikan tepat di sebelah rumah Amak Ni Desi, dan di
sebelahnya lagi kemudian baru rumah ibuku belakangan dibangun. Jadi ceritanya,
ini kata ibuku tentang strategi pintar abaknya: yakni dengan menggadaikan tanah
pusako yang luas ini kepada keluarga
Mak Uwo atau Amak Ni Desi tadi. Kenapa tanah ini bisa digadaikan kepada orang
yang de facto menguasainya? Ini kita
mulai bicara kemungkinan. Pertama, karena Mak Uwo itu memang tahu bahwa tanah
ini hak (atau secara de jure) milik
Amak kita dan ia hanya dititip-pinjamkan saja sebelumnya oleh para ninik mamak
yang telah meninggal dunia. Sekali lagi pada fase ini masih berupa pengetahuan
lisan tanpa bukti tertulis sehingga orang harus saling berunding berdasarkan
ingatan apa yang dulu terjadi hingga kemudian bulat saling sepakat. Kebetulan keluarga
Mak Uwo tersebut saat itu sangat baik ekonominya dibanding keluarga Amak. Maka,
rumah Amak dan Kakek Karim berdiri dengan uang gadaian tanah pusaka ini dari
Mak Uwo yang selama ini memetik hasil tanah pusako
Amak. Pada fase ini sudah ada bukti tertulis tentang proses menggadaikan
dengan sepengetahuan para mamak-mamak muda (atau pihak laki-laki yang masih
hidup) di rumah gadang Amak yang di belakang tadi—yang paling disegani bernama
Nxxxxxxx dan Mak Itam Sxxxxxx, sekarang merka semua sudah meninggal—yang itu berarti
menunjukkan pengakuan dari keluarga pihak Mak Uwo tersebut bahwa tanah ini
adalah milik Amak. Tapi tetap, hasil padi dari tanah ini (saat itu masih berupa
sawah-sawah) mereka yang ambil dan Amak tidak mendapatkan apapun sama sekali.
Sewaktu ibuku masih kecil, dan katanya Pele atau Teta masih di kandungan, ia
mulai mengambil alih sawah sedikit demi sedikit. Ceritanya pihak laki-laki—Mak
Ucu panggilannya asal rumah gadang Amak itu, entah familinya di level ke
berapa—yang selama ini menggarap salah satu lahan akhirnya mengundurkan diri
saja krn mungkin malu harus bertengkar dengan Amak yang sedang hamil anaknya
waktu itu. Ketika kemudian anak perempuan tertua Amak (Tante -sensor- tadi)
sudah bekerja, menikah, dan baik ekonominya, keluarga Amak ingin menebus gadai yang
disepakati semula sehingga tanah ini sepenuhnya balik kepada Amak. Tapi Mak Uwo
tadi tiba-tiba menolak mengakui tanah kami. Ini membuka kemungkinan kedua
tentang entah hal apa yang membuat Mak Uwo tersebut yang tadinya mau mengakui
ini tanah warisan Amak tapi sekarang jadi tidak. Pada periode ini keluarga kita
tidak ngotot melawan dan tanah masih
dikuasai keluarga Mak Uwo; hingga kemudian
datanglah proyek pembangunan jalan By Pass dan Mak Uwo tersebut waktu itu sudah
meninggal dunia.
In case I don't see ya... good afternoon, good evening, and good night.
Jim Carrey, "The Truman Show" (1998)
Kata ibuku, salah satu yang paling berkeras
mempertahankan tanah ini dari keluarga kita justru urang sumando yakni
ayahnya Roni yang mantan polisi itu dan ialah yang membiayai untuk terus
menggarap sawah supaya tetap jadi jadi “milik” mereka. Tapi seingatku waktu itu
sudah cukup luas juga bagian sawah yang digarap ibuku, bersebelah-sebelahan
dengan sawah Amak Ni Desi. Sewaktu mengukur-ngukur tanah yang kena proyek Jalan
Padang By Pass, anak tertua Amak, Uwanlah. yang dibawa-bawa oleh petugas
sehingga ujung-ujungnya tanah ini disertifikatkan atas nama anak-anak Amak.
Mungkin karena Mak Uwo sudah tidak ada maka tidak ada di antara anak-anak
mereka yang mempersoalkan kini tanah ini jadi milik anak-anak Amak kita. Kata
ibuku, anak-anak dari Amak Ni Desi pun kemungkinan juga tidak terlalu
mengetahui perkara asal-usul tanah ini. Yang agak pintar apalagi intelektual
dari mereka memang tidak ada. Tapi relatif mereka agak baik orang-orangnya dan
tidak ngotot pula sewaktu tanah ini
kembali ke kami. Tapi ibuku khawatir bahwa mereka merasa masih berhak atas
tanah ini tapi tak mau pusing mencari tahu sejarah yang sebenarnya. Setelah
sertifikat atas tanah pusako di
seputaran Simpang By Pass Lubuk Minturun ini legal atas nama keluarga kita,
suami Amak Ni Desi meminta sebidang di pinggir jalan di seberang rumahnya untuk
cucu-cucunya yang sekarang jadi tempat pencucian mobil. Tempat itu dari dulu
memang abak inilah yang mengolahnya dan rasa-rasanya hingga aq SMA atau mungkin
kuliah juga ia masih hidup. Mungkin ia memang sudah punya keteguhan mengolah
tempat itu demi punya peninggalan untuk anak-anaknya karena yang tersisa kini
tidak terlalu luas hanya sedikit pekarangan di seputar rumahnya. Kupikir-pikir
karakternya juga tidak menyukai konflik dan ia mau meminta saja dengan cara
baik-baik. Anak-anaknya juga tidak ada yang protes atas kembalinya hak kita
walau di dalam hati mungkin mengkal
dan hanya bisa menganyi hehe.
Go ahead, make my day!
Clint Eastwood, “Sudden Impact” (1983)
Dan yang kukhawatirkan sekarang adalah para
urang sumando-nya yang lebih tidak tahu lagi sejarah tanah ini lalu
merasa pula bahwa anak-anaknya dan para cucu mereka nanti masih berhak pula
atas tanah kita. Aq barusan juga dapat cerita dari ibuku kalau ia pernah
bertengkar dengan suaminya Ni Era yang mengurus tempat pencucian mobil itu
sewaktu sedang memperbaiki saluran air. Aq sendiri juga pernah hampir ribut
dengannya saat memperbaiki tempat air itu juga. Ibuku bercerita bahwa si Badut
ini rupanya merasa pula kalau tanah kami ini “milik” bininya padahal sebagai
orang luar ia tidak tahu apa-apa tentang sejarah tanah kita. Mungkin ia cuma
dapat cerita dari lapau tempat pemuda-pemuda kampung yang mendengki bercerita
setahu-tahunya mereka doank berbasis
“isu di jalanan” tentang tanah pusako
keluarga ini. Bisa juga berarti pihak keluarga sana masih mengungkit-ungkit
cerita tanah ini karena merasa belum puas. Kata ibuku bahkan si Badut itu
menyebut pula bahwa kalau ibuku meninggal ia juga ada gunanya untuk ngangkat nanti. Untung aq tahu cerita
ini saat secara emosional lebih matang lagi untuk tidak menganggap penting
apapun tindakan si Badut itu. Kecuali ia
terang-terangan nanti datang kesini
untuk menantang (tidak bisa dihindarin
lagi) karena saking kekinya padaku; dan itupun ibuku menyuruh tak usah
diladeni. Rugi kita kalau harus mengalokasikan umur untuk berurusan dengan
hasadnya orang-orang bodoh dan jumud
seperti itu.
Get busy living, or get busy dying.
Andy Dufresne, “The Shawshank Redemption” (1994)
Oke,
sekiranya ini dulu yang sempat untuk diarsip-digitalkan untuk pengetahuan di
masa mendatang bagi siapapun yang memerlukan. Mudah-mudahan yang punya niat
jahat dan busuk tidak bisa memanfaatkan ini. Karena, kalau tidak dibuat
tertulis seperti ini besar juga kerugiannya karena khawatirnya cuma aq seorang
di kalangan cucu Amak Txxxxxx yang punya pengetahuan tentang tanah pusako-nya dan umur siapa yang tahu
kalau aq meninggal dunia tiada lagi yang tahu. Padalah pengetahuan ini saya
kira penting bagi kalian wahai para generasi cicit untuk tahu—termasuk kalau aq
punya keturunan nanti dan kalian mendapat hibah entah jenis apa hehe—sehingga,
sekali lagi saya camkan (!), tidak hanya memandang tanah Amak ini sebagai aset
keekonomian saja untuk dijual-jualin kepada orang lain sama sekali
karena sekarang sudah dilegal-sertfikatkan secara hukum formal modern. Ada akar
dan darah kalian yang berasal dari bumi sini. Yang tidak mau tahu tentang akar
kalian ini (mungkin dianggap kampungan ndeso
kekunoan) yaa sudah pergi saja sana jangan hanya nongol ketika mengendus saat ada uangnya hehe. Lain waktu mungkin
akan kuedit yang perlu diperbaiki atau mungkin harus ditambahkan informasi yang
kurang (mahal) hehe.
What we do in life, echoes in eternity.
Russell Crowe, "Gladiator" (2000)
What we do in life, echoes in eternity.
Russell Crowe, "Gladiator" (2000)
Kisah
ini dipersembahkan untuk kelen, cucu cicit dan seterusnya dari Nenek
Txxxxxx pewaris "tanah pusako" di Simpang By Pass Lubuk Minturun Koto Panjang
Ikur Koto Koto Tangah Padang, secara jalur matrilinial dalam adat
minangkabau dan kemudian sistem kepemilikan legal modern di masa depan
ataupun situasi barbar jika perang terbuka chaotik terjadi... xixixixi. Keep survive aja yaa the Dude's, may the Force be with you!
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh