Sejarah "Tanah Pusako" Simpang By Pass Lubuk Minturun

Meski ngaku-ngaku sebagai seorang zahid, qonaah, dan tidak sudi bergabung dgn jemaat pemuja harta (dan kedudukan duniawi tea), ternyata si Ngaku-Ngaku ini kembali lagi akan bercerita tentang topik per-HARTA-an hehehe. Berkebetjulan baru sj tadi aq mendengar lagi (ya, ini bukan yg pertamax) cerita dari ibuku tentang tanah pusaka keluarga matrilinial ini—barangkali ada manusia masa depan yang butuh sumber data riset tertulis yg beraliran naturalis, sebuah confession yang tidak “disiap-siapkan”? Xixixi. Kupikir-pikir lebih baik kubuat pengetahuan ini menjadi artefak digital tertulis dan terbuka; setelah menimbang pelbagai hal, termasuk mengeleminiir watak licik untuk menyimpan pengetahuan ini utk diri sendiri doanx. Meski aq jg tdk menutup kemungkinan informasi ini bs dimanfaatkan oleh org2 lain yg punya motif jahatt’s, akan tetapi toh ada Gusti Allah swt yang tidak “tidur”, so don’t worry lah yaw! Huffftt panjang yah anak-anak kalimatnya.

A boy's best friend is his mother.
Anthony Perkins, "Psycho" (1960)


Kutanya ibuku, sepertinya adik-adik kandungku tidak begitu mengetahui “kisah” ini. Katanya khawatir membebani pikiran mereka; di tengah penghidupan mereka sendiri yg kini harus mereka arungi di tempat lain di balik gunung di seberang lautan. Bapusako laweh tapi harus cimakan di nagari urang lain gegara punyo niak mamak nan ndak mambimbiang kamanakan, nunggu dapek jatah se koq lai kayo kito di rantau, ouchhh sedih dot kom. Dan waku curiga bahwa di kalangan anak-anak dari bibi-bibiku, para kompatriotku itu, juga pada tidak begitu tahu juga cerita ini; walaupun ada dua orang perempuan yang umurnya lebih tua dariku. Mengingat, kata ibuku, bahkan adiknya yang paling bungsu, tetaku, juga tidak mau ambil pusing dengan “cerita” ini. Biasa, orang kota biasa hidup senang tak mau direpotkan masalah di kampuang nan jauah di mato wkwkwk. Padahal tetaku (etek) dua anak perempuannya itu berhak (bahkan bisa juga diartikan: berkewajiban) mengurus warisan herittage dari leluhur kita ini supaya tidak di-occupied orang lain nanti. Jangan tiba-tiba kelak baru nongol gitu aja ketika mulai merasa butuh secara ekonomi dan semata melihat pusaka-geografis kultural ini sebagai aset komersial belaka (untuk dijual, just to took the money). Tentu saja kini kami generasi para anak ini belum bisa berbuat apa-apa, karena generasi orang-orang tua kami masih hidup dan merekalah yang bertindak tentang ini. Mudah-mudahan yang lain juga ada yang mendapat “kisah” ini. Dan kalo tidak, makanya ini diriku digitalisasi supaya jadi catatan tertulis untuk diakses kalian nanti wahai generasi para anak cucu cicit cucut dstnya—yang matree dan melihat tanah pusako ini sebagai rebutan kueh ekonomi belaka, awas, kuhajar kalian di akhirat nantik, ckckckckck).

I love the smell of napalm in the morning.
Letkol Bill Kilgore, “Apocalypse Now” (1979)


Keempat-empat bidang tanah di Simpang By Pass Lubuk Minturun ini adalah belong to mygrandma, sang nenekku atau buyut kalian yang bernama Txxxxxx binti -sensor-. Nenek atau biasa dipanggil Amak ini—baik generasi anak2nya ataupun cucu2nya sama-sama memakai panggilan amak—berumah gadang di jalan antara Gaduang dan Surau Gadang. Jadi pandam kuburan keluarga kita berada di belakang eks-rumah gadang itu; walau aq pribadi lebih prefer utk dimakamkan di rumahku saat ini saja (wong siapa yang tinggal disana sekarang saja aq tidak persis kenal hehehe). Sewaktu kecil Amak dibawa oleh abak-nya ke rumah bakonya di Ikur Koto sana. Kalau ndak salah ingat, ini karena ibu dari Amak (nenek ibuku dan mama-mama kalian) lebih dulu meninggalnya; sehingga ayahnya balik ke rumah gadangnya memboyong anaknya. Dan Amak kita tumbuh besar disana. Seorang kawan sekolahku yang sewaktu kecil jualan onde-onde selalu jadi langganannya karena ibu/amak dari kawanku ini adalah teman masa kecilnya di Ikur Koto sana. Aq sendiri baru setelah sekolah di MTsN Gn. Pangilun mengenal si kawan ini. Dan Amak kita suami pertamanya pun orang kampung Ikur Koto ini. Kakek bagi anak-anak Tante xxxxx dan Uwan xxxxx.

Carpe diem, quam minimum credula postero!
Seize the day boys, make your lives extraordinary!
John Keating, “Dead Poets Society” (1989)


Suami kedua Amak barulah kakekku kakak beradik serta anak-anak Om Pxxxxx dan xxxxxx Bandung. Xxxxxx bin -sensor-, begitu nama ngarabnya xixi, berasal dari daerah menjelang pendakian tebing Lubuk Minturun sana. Istrinya juga ada beberapa dan salah satu cicitnya dari istri yang lain itu bahkan menikah dengan anak laki-laki omku tadi. Sewaktu menikah dengan Kakek -sensor-, Amak baru balik ke rumah gadangnya di Koto Panjang ini. Kakek ini agak cerdik orangnya—di rumah orang tuanya sendiri di Lubuk Minturun sana tanahnya juga luas sehingga ia kaya walau bukan kuli serta agak hobi kawin cerai dan kata ibuku orangnya malas bekerja namun pintar (membujuk wanita mungkin hehe)—sehingga ia mendapat pengetahuan bahwa kawasan seputar Simpang By Pass Lubuk Minturun ini—waktu itu tentu saja belum ada Jalan Padang By Pass—adalah warisan kepunyaan/pusako dari Amak sebenarnya. Amak ini kebetulan termasuk jalur keturunan beranak sedikit sehingga bagian-bagian pusakanya jadi terakumulasi. Saudara kandungnya cuma satu orang, biasa dipanggil angku, yang pernah bertemu denganku meski aq sudah sangat sulit untuk mengingatnya karena ia meninggal sewaktu aq masih sangat kecil. Sewaktu Amak dibawa ayahnya ke Ikur Koto (entah mungkin ia tak betah dirasani oleh famili-famili yang lain), tanah pusakonya yang luas ini konon oleh mamaknya Amak “dibagi-bagikan” kepada anggota keluarga yang lain yang paling terdekat dengan Amak yakni keluarga Amak Ni Desi (atau Mak Uwo) yang di sebelah rumahku kini ini. Aq tadinya berusaha memastikan maksud dibagikan disini apakah diberikan lepas sama sekali begitu saja, dipinjamkan, atau apakah, tapi ibuku sendiri juga tidak bisa memastikan karena kisah kasih-mengasih orang lama (atau zaman dulu) itu informasinya bersifat lisan dari mulut ke telinga tiada hitam di atas putih—makanya penting kan “cerita” ini ku-tulisan-kan sekarang, utk memperkecil peluang orang-orang jahat utk memesongkan “kebenaran” atas apa yang terjadi sebenarnya yaa.

You can't handle the truth!
Jack Nicholson, "A Few Good Men" (1992)


Kakekku yang tahu bahwa tanah di seputaran simpang ini sekarang adalah haknya Amak bersiasat untuk merebut kembali dengan menganjurkan Amak membuat rumah terlebih dahulu di atas tanah ini. Sifat kepemilikan kolektif tanah pusako dan nilai keekonomian zaman dahulu yang belum terlalu dihitung-hitung membuat kembalinya Amak ke tanah pusako-nya tidak menjadi persoalan—setidaknya secara terbuka alias kalau ada yang sudah pintar hitung-hitungan hanya bisa jengkel saja karena tanah ini memang belum milik pribadi-pribadi dan ada legalitas. Rumah Amak dan kakek kita tersebut didirikan tepat di sebelah rumah Amak Ni Desi, dan di sebelahnya lagi kemudian baru rumah ibuku belakangan dibangun. Jadi ceritanya, ini kata ibuku tentang strategi pintar abaknya: yakni dengan menggadaikan tanah pusako yang luas ini kepada keluarga Mak Uwo atau Amak Ni Desi tadi. Kenapa tanah ini bisa digadaikan kepada orang yang de facto menguasainya? Ini kita mulai bicara kemungkinan. Pertama, karena Mak Uwo itu memang tahu bahwa tanah ini hak (atau secara de jure) milik Amak kita dan ia hanya dititip-pinjamkan saja sebelumnya oleh para ninik mamak yang telah meninggal dunia. Sekali lagi pada fase ini masih berupa pengetahuan lisan tanpa bukti tertulis sehingga orang harus saling berunding berdasarkan ingatan apa yang dulu terjadi hingga kemudian bulat saling sepakat. Kebetulan keluarga Mak Uwo tersebut saat itu sangat baik ekonominya dibanding keluarga Amak. Maka, rumah Amak dan Kakek Karim berdiri dengan uang gadaian tanah pusaka ini dari Mak Uwo yang selama ini memetik hasil tanah pusako Amak. Pada fase ini sudah ada bukti tertulis tentang proses menggadaikan dengan sepengetahuan para mamak-mamak muda (atau pihak laki-laki yang masih hidup) di rumah gadang Amak yang di belakang tadi—yang paling disegani bernama Nxxxxxxx dan Mak Itam Sxxxxxx, sekarang merka semua sudah meninggal—yang itu berarti menunjukkan pengakuan dari keluarga pihak Mak Uwo tersebut bahwa tanah ini adalah milik Amak. Tapi tetap, hasil padi dari tanah ini (saat itu masih berupa sawah-sawah) mereka yang ambil dan Amak tidak mendapatkan apapun sama sekali. Sewaktu ibuku masih kecil, dan katanya Pele atau Teta masih di kandungan, ia mulai mengambil alih sawah sedikit demi sedikit. Ceritanya pihak laki-laki—Mak Ucu panggilannya asal rumah gadang Amak itu, entah familinya di level ke berapa—yang selama ini menggarap salah satu lahan akhirnya mengundurkan diri saja krn mungkin malu harus bertengkar dengan Amak yang sedang hamil anaknya waktu itu. Ketika kemudian anak perempuan tertua Amak (Tante -sensor- tadi) sudah bekerja, menikah, dan baik ekonominya, keluarga Amak ingin menebus gadai yang disepakati semula sehingga tanah ini sepenuhnya balik kepada Amak. Tapi Mak Uwo tadi tiba-tiba menolak mengakui tanah kami. Ini membuka kemungkinan kedua tentang entah hal apa yang membuat Mak Uwo tersebut yang tadinya mau mengakui ini tanah warisan Amak tapi sekarang jadi tidak. Pada periode ini keluarga kita tidak ngotot melawan dan tanah masih dikuasai keluarga Mak Uwo;  hingga kemudian datanglah proyek pembangunan jalan By Pass dan Mak Uwo tersebut waktu itu sudah meninggal dunia.

In case I don't see ya... good afternoon, good evening, and good night.
Jim Carrey, "The Truman Show" (1998)

Kata ibuku, salah satu yang paling berkeras mempertahankan tanah ini dari keluarga kita justru urang sumando yakni ayahnya Roni yang mantan polisi itu dan ialah yang membiayai untuk terus menggarap sawah supaya tetap jadi jadi “milik” mereka. Tapi seingatku waktu itu sudah cukup luas juga bagian sawah yang digarap ibuku, bersebelah-sebelahan dengan sawah Amak Ni Desi. Sewaktu mengukur-ngukur tanah yang kena proyek Jalan Padang By Pass, anak tertua Amak, Uwanlah. yang dibawa-bawa oleh petugas sehingga ujung-ujungnya tanah ini disertifikatkan atas nama anak-anak Amak. Mungkin karena Mak Uwo sudah tidak ada maka tidak ada di antara anak-anak mereka yang mempersoalkan kini tanah ini jadi milik anak-anak Amak kita. Kata ibuku, anak-anak dari Amak Ni Desi pun kemungkinan juga tidak terlalu mengetahui perkara asal-usul tanah ini. Yang agak pintar apalagi intelektual dari mereka memang tidak ada. Tapi relatif mereka agak baik orang-orangnya dan tidak ngotot pula sewaktu tanah ini kembali ke kami. Tapi ibuku khawatir bahwa mereka merasa masih berhak atas tanah ini tapi tak mau pusing mencari tahu sejarah yang sebenarnya. Setelah sertifikat atas tanah pusako di seputaran Simpang By Pass Lubuk Minturun ini legal atas nama keluarga kita, suami Amak Ni Desi meminta sebidang di pinggir jalan di seberang rumahnya untuk cucu-cucunya yang sekarang jadi tempat pencucian mobil. Tempat itu dari dulu memang abak inilah yang mengolahnya dan rasa-rasanya hingga aq SMA atau mungkin kuliah juga ia masih hidup. Mungkin ia memang sudah punya keteguhan mengolah tempat itu demi punya peninggalan untuk anak-anaknya karena yang tersisa kini tidak terlalu luas hanya sedikit pekarangan di seputar rumahnya. Kupikir-pikir karakternya juga tidak menyukai konflik dan ia mau meminta saja dengan cara baik-baik. Anak-anaknya juga tidak ada yang protes atas kembalinya hak kita walau di dalam hati mungkin mengkal dan hanya bisa menganyi hehe.

Go ahead, make my day!
Clint Eastwood, “Sudden Impact” (1983)


Dan yang kukhawatirkan sekarang adalah para urang sumando-nya yang lebih tidak tahu lagi sejarah tanah ini lalu merasa pula bahwa anak-anaknya dan para cucu mereka nanti masih berhak pula atas tanah kita. Aq barusan juga dapat cerita dari ibuku kalau ia pernah bertengkar dengan suaminya Ni Era yang mengurus tempat pencucian mobil itu sewaktu sedang memperbaiki saluran air. Aq sendiri juga pernah hampir ribut dengannya saat memperbaiki tempat air itu juga. Ibuku bercerita bahwa si Badut ini rupanya merasa pula kalau tanah kami ini “milik” bininya padahal sebagai orang luar ia tidak tahu apa-apa tentang sejarah tanah kita. Mungkin ia cuma dapat cerita dari lapau tempat pemuda-pemuda kampung yang mendengki bercerita setahu-tahunya mereka doank berbasis “isu di jalanan” tentang tanah pusako keluarga ini. Bisa juga berarti pihak keluarga sana masih mengungkit-ungkit cerita tanah ini karena merasa belum puas. Kata ibuku bahkan si Badut itu menyebut pula bahwa kalau ibuku meninggal ia juga ada gunanya untuk ngangkat nanti. Untung aq tahu cerita ini saat secara emosional lebih matang lagi untuk tidak menganggap penting apapun tindakan  si Badut itu. Kecuali ia terang-terangan nanti datang kesini untuk menantang (tidak bisa dihindarin lagi) karena saking kekinya padaku; dan itupun ibuku menyuruh tak usah diladeni. Rugi kita kalau harus mengalokasikan umur untuk berurusan dengan hasadnya orang-orang bodoh dan jumud seperti itu.

Get busy living, or get busy dying.
Andy Dufresne, “The Shawshank Redemption” (1994)


Oke, sekiranya ini dulu yang sempat untuk diarsip-digitalkan untuk pengetahuan di masa mendatang bagi siapapun yang memerlukan. Mudah-mudahan yang punya niat jahat dan busuk tidak bisa memanfaatkan ini. Karena, kalau tidak dibuat tertulis seperti ini besar juga kerugiannya karena khawatirnya cuma aq seorang di kalangan cucu Amak Txxxxxx yang punya pengetahuan tentang tanah pusako-nya dan umur siapa yang tahu kalau aq meninggal dunia tiada lagi yang tahu. Padalah pengetahuan ini saya kira penting bagi kalian wahai para generasi cicit untuk tahu—termasuk kalau aq punya keturunan nanti dan kalian mendapat hibah entah jenis apa hehe—sehingga, sekali lagi saya camkan (!), tidak hanya memandang tanah Amak ini sebagai aset keekonomian saja untuk dijual-jualin kepada orang lain sama sekali karena sekarang sudah dilegal-sertfikatkan secara hukum formal modern. Ada akar dan darah kalian yang berasal dari bumi sini. Yang tidak mau tahu tentang akar kalian ini (mungkin dianggap kampungan ndeso kekunoan) yaa sudah pergi saja sana jangan hanya nongol ketika mengendus saat ada uangnya hehe. Lain waktu mungkin akan kuedit yang perlu diperbaiki atau mungkin harus ditambahkan informasi yang kurang (mahal) hehe.

What we do in life, echoes in eternity.
Russell Crowe, "Gladiator" (2000)

Kisah ini dipersembahkan untuk kelen, cucu cicit dan seterusnya dari Nenek Txxxxxx pewaris "tanah pusako" di Simpang By Pass Lubuk Minturun Koto Panjang Ikur Koto Koto Tangah Padang, secara jalur matrilinial dalam adat minangkabau dan kemudian sistem kepemilikan legal modern di masa depan ataupun situasi barbar jika perang terbuka chaotik terjadi... xixixixi. Keep survive aja yaa the Dude's, may the Force be with you!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!