"Resensi" Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan

"postingan blog-Q kali ini aQ persembahkan utk kalian yg mungkin sudah sejak TK mengikuti mata kuliah sastra bandingan, mengikuti program akselerasi plus pangkat plus, dipaksa cerdas sejak dini, tentu saja supaya jadi orkay dan orting (org penting) dan demi efesiensi kerja butuh contekan buat laporan tugasnya (tujuan menghalalkan cara) toh yg penting sukses pd akhirnya, ya kan? atau boleh juga save-an tugas kuliah gw ini dipakai bahan plagiat oleh calon professor yang sibuk berbisnis sehingga kerja2 formalitas gak penting ini didelegasikan saja kepada staffnya para generasi milenial yg sudah terbiasa bertindak instan mengandalkan sumber2 gratis dr internet tanpa terlalu dalam memeriksa (yahh walaupun ini aib toh kita lihat saja sisi positifnya si bapak org sukses calon professor itu telah membuka peluang kerja kepada seorang anak manusia, jgn negatif mulu melihat masalah, dalam kesempitan ada kesempatan), atau barangkali ada dosen kelas keterampilan menulis dari fakultas sastra sontoloyo yang ia sendiri tidak punya kemampuan menulis selain normatif, prosedural, dan full of cliche dan sesekali butuh bahan yg nyentrik monggo colong aja hasil kerjaku ini buat portofoliomu, dan kepada para pencopas yang budiman sekalian saya sekaligus menghaturkan mohon maaf ini baru sempat disalin apa adanya, belum sempat diedit dan dibaca lagi apalagi direvisi, maafkan aQ kurang sempurna dalam membantu miesie instan Andir eh Anda hehe"

qmu msh anaq seqolah, 1 semester s2...
A. PENDAHULUAN
Seusai dengar dan sesuai dengan penjelasan komprehensif Bu Yenni sebagai dosen pengampu pada mata kuliah sastra bandingan ini di kelas sore kami, maka pada tanggal 15 September 2016  itu saya pribadi bergerak cepat dengan meminjam buku rujukan utama karya Profesor Sapardi ini kepada seorang teman yang membawanya ke lokal. Sebelumnya telah saya usahakan untuk menelisik lokasi keberadaan buku ini ke perpustakaan UNP, baik gedung pusat maupun yang di gedung kuliah pascasarjana lantai empat; hasilnya nihil, walau cukup banyak kulihat daftar buah tulisan Pak Sapardi yang lain dikoleksi oleh UNP. Untunglah sebelum sempat pergi jauhmelacak eksistensi buku beliau yang satu ini ke perpusatakaan-perpustakaan lain di seantero Kota Padang atau mungkin saya harus keliling Sumatera Barat mengunjungi Uda Muhammad Subhan sang administratur di balik rak-rak buku sastranya Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, Padang Panjang—dengan suasana hati jujur saja agak murung atau pesimis karena pada katalog perpustakaan program pascasarjana UNP saja tidak ada tercatat yang artinya juga tidak ada seorangpun yang sedang meminjam atau dengan kata yang lebih jelas dan tidak bertele-tele: artinya betul-betul tidak ada dan (mungkin) tidak pernah ada!—akhirnya di hari atau tanggal yang saya kutip di awal paragraf kami ditakdirkan berjumpa juga untuk pertama kalinya.
Buku ini terlihat cantik dengan cover birunya (bukan warna asli karena ini fotokopian). Dengan kondisi bab satu yang sepertinya ada bagian yang tidak dibajak oleh sang pemoto-kopi alias awal menggantung sedikit, saya teruskan dulu membaca buku ini hingga bab empat sebelum mulai mengetikkannya saat ini karena besok ia si buku ini mesti dikembalikan kepada empunya. Sebagai sebuah buku teori dan rujukan utama sebuah mata kuliah S2 alhamdulillah ia bisa dibilang cukup tipis untuk saya bisa menetapkan tekad realistis guna menamatkan membacanya hingga huruf di halaman terakhir malam ini juga (amin....). Kadang pertolongan Tuhan memang datang dari arah yang tidak diduga-duga sebagaimana Tuhan sendiri yang konon menyatakannya.
Judul lengkap buku biru tipis yang cantik ini adalah “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan”. Dikarang atau mungkin lebih tepatnya ditulis oleh Profesor Sapardi Djoko Damono, guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang selain seorang akademisi atau peneliti juga dikenal menelurkan karya-karya puisi alias beliau penyair juga. Terakhir bertemu saya pribadi dengannya lebih dari sepuluh tahun silam dengan situasi ianya yang sudah sangat berumur dengan nafas ngos-ngosan; padahal hanya menaiki satu anak tangga saja ke ruang kuliah atau seminar kami di lantai dua. Terlihat sangat dedikasi beliau kepada kami para peneliti sastra muda yang masih ijo royo-royo ini untuk datang jauh-jauh dari kampus Depoksementara guru besar di kampus kami sendiri tidak pernah sekalipun masuk mengajar padahal tercatat namanya pada daftar mata kuliah. Tentu saja mungkin karena kesibukan di tempat lain, menulis, penelitian, dan seterusnya. Tapi poin saya dalam menyampaikan ini adalah semangat penyair Sapardi tersebut karena saya bisa ingat betul sebagai satu-satunya yang berdiskusi panjang—mungkin berdebat juga—waktu itu sampai-sampai teman yang lain tidak kebagian waktu meski isi pembicaraannya tentu sudah lupa dan saya tidak menemukan arsip catatannya. Terakhir kudengar kabar lewat info dunia maya satu dasawarsa kemudian ini beliau sudah mulai sering masuk dirawat di rumah sakit.
Sebagaimana tercatat, buku ini diterbitkan pada tahun 2005, tahun (mungkin) terakhir pertemuan kami.... Penerbitnya adalah Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional yang beralamat d Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta 13220 dengan nomor ISBN 9796855135. Artinya buku ini besar kemungkinan didanai oleh proyek pemerintah. Artinya, ada program dan visi misi presiden terpilih pada waktu itu, Bapak SBY, yang ingin diimplementasikan pada bidang bahasa dan sastra Indonesia lewat proyek buku ini. Diakui sendiri dalam kata pengantarnya oleh seniorku Bapak Dendy Sugono sebagai kepala pusat bahasa bahwa tujuan pembuatan buku ini adalah sebagai pegangan bagi para peneliti bahasa dan sastra yang tersebar di berbagai kantor balai bahasa daerah yang sedang tumbuh. Lebih tepatnya mungkin ini bukanlah buku pegangan aplikasi praktis dan teknis tapi lebih ke rujukan teoritis tetap kalau dilihat-lihat. Ini kasusnya sama seperti proses pencarian intelektualku tentang aplikasi praktis dan detil dari teori resepsi sastra versi Wolfgang Iser untuk bagaimana standar operasional penelitiannya pada karya-karya sastra dan objek pembaca. Karena tidak ada pegangan dan dosen pembimbingku sepertinya mereka juga tak punya pegangan maka hasrat untuk itu saya matikan sudah. Sebagaimana juga perkara teori bunyi puisi yang masih sangat general disinggung sekilas pada bagian sub-bab pada buku-buku teori lokal ataupun internasional (terjemahannya), tapi saya masih belum memadamkan hasrat untu mencari-cari lagi atau kalau diperlukan menciptakan prosedur detil dan teknisnya penelitiannya sendiri kelak dengan bantuan Tuhan nanti....
Kembali ke buku “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” karangan Sapardi Djoko Damono ini, tebal buku adalah 122 halaman alias 61 lembar ditambah lima halaman awal bernomor aksara romawi mengenai judul, keterangan teknis tentang penerbitan, kata pengantar, daftar isi, serta satu halaman kosong dan terakhir empat halaman cover atau sampul luar buku. Ketebalan harfiah buku ini setelah saya ukur dengan penggaris adalah sekitar 0,7 mm (versi fotokopi) dengan dimensi panjang 21 cm serta lebar 15 cm. Berat buku ini 160 gram dan layout huruf serta spasinya saya rasa cukup proporsional untuk nyaman dipandangi.
B. SARIPATI BAB
1. Pendahuluan di Buku
Sejak permulaan Sapardi menekankan batasan masalah bagi karyanya ini. Dikatakan bahwa buku ini adalah pegangan bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian dengan melakukan pendekatan sastra bandingan. Tapi pada kalimat berikutnya Sapardi sepertinya ingin menyatakan bahwa tidak tepat juga sastra bandingan ini memiliki batasan masalah. Kenapa? Karena pada hakikatnya—penggunaan kata filosofis begini bisa diartikan menggeneralisasi tapi bisa juga dimaknai sebaliknya sebagai menspesifiki—sebuah kegiatan penelitian itu adalah membanding-bandingkan. Terdapat penggunaan kata “pemamahan” pada kalimat kedua paragraf pertama—baiklah saya kutip langsung: “pada hakikatnya setiap penelitian menggunakan langkah membanding-bandingkan sebab hanya dengan langkah itu kita bisa sampai pada pemamahan suatu masalah”—yang mana kata ini saya curigai typo bahkan lolos dari mata editor penerbit sekelas kantor pusat bahasa padahal maksudnya adalah pemahaman. Tidak mungkin rasanya walau buku yang saya baca adalah versi fotokopian ini merupakan salah foto kopinya. Mustahil spesifik begitu pada kata yang satu itu. Ini menarik juga sedikit karena selain posisinya yang baru saja “tarikan nafas pertama” juga karena kata “pemamahan” tanpa dikoreksi maksudnya ke kata “pemahaman” tapi bisa saling paradigmatik juga. Kata “memamah” arti denotatifnya adalah pada kegiatan makan di rongga mulut kerbau yang lamat-lamat baru lumat untuk dicerna lebih lama lagi di lambung. Medan maknanya lalu berkembang sedemikian rupa ke proses pemahaman yang membutuhkan waktu dan kecermatan. Jadi agak klop juga walau sedikit ada beda cita rasa.... Terakhir Sapardi membuat wilayah masalah bahwa kajian perbandingan ini tidak hanya meliputin tulisan tapi juga lisan. Cuma agak disayangkan penjelasan menggantung karena secara paradoks diterangkan pula bahwa yang lisan itu tidak mengenal sastra jika dikaitkan dengan aksara. Namun tetap poinnya masih bisa ditangkap tentang keluasan dan keleluasaan objek kajian, yang bahkan menyentuh bidang lainnya pada wilayah kebudayaan. Akan tetapi kemudian bisa timbul masalah baru pada kemeluasan dan kemeleluasaan yang seakan tak membatasi ini. Semakin kencanglah olok-olok pada kajian sastra dan budaya dalam sosial-sains sebagai sebuah pseudo science oleh para positivis dari barisan natural-sains. Situasi makin parah ketika ilmuwan ilmu-ilmu sosial ini merasa minder pula terlihat kurang empirik dengan kemampuan untuk membuat pembuktian angka-angka lewat formula persamaan matematika guna mencapai status prestisius kepastian ilmiah lalu penelitian budaya pun dipaksa mengenakan gincu dan kosmetik statistik yang kerap terasa diada-adakan dan tidak esensial kehadirannya. Saya sendiri pernah melakukannya. Menghitung fonem/bunyi puisi untuk mengkait-kaitkannya dengan makna kata-kata. Jadi saya tidak sedang menyindir orang lain, mohon tidak dimarahi. Saya sedang mengkritik diri sendiri, secara terbuka bahkan ini. Mohon maaf jika ada yang kebetulan perangainya sama....
2. Beberapa Pengertian Dasar
            Perkara batasan masalah bagi sastra bandingan pada bab terdahulu ternyata baru dipecahkan pada bab dua ini. Kita dibuat bagai bertemu gaya suprise episode demi episode sinetron saja. Meski kata membanding-bandingkan itu sangat generik dalam kajian kesusastraan kesemuanya—bahkan pada analisis struktural tok pun tak pelak kita kerap memaknai sesuatu karena (dan butuh untuk) pembandingan kepada sesuatu yang lain di luar karya yang harusnya jadi fokus objek kajian strukturnya—ternyata pada disiplin kajian sastra bandingan ini Sapardi menyatakan bahwa dalam langkah-langkah yang dilakukannya metode perbandingan adalah yang utama. Mungkin masih agak kabur juga, tapi setidaknya sudah sedikit ada kemajuaan dari tumpang tindih pemahaman soal “hak” untuk membanding-bandingkan ini yang dibahas pada bab sebelumnnya. Kata “utama” ini jelas punya efek membuat garis pemisah diri dari fungsi kerja membanding-bandingkan pada metode penelitian sastra lainnya. Walau lagi—sebagaimana lumrahnya istilah-istilah pada metode penelitian kualitatif—kata “utama” ini tidak bisa kita angka persiskan juga di jumlah berapa posisinya. Ia pun hanya bisa dikira-kira dengan logika kepastian harus berporsi lebih besar dari hal lain yang dibandingkan kepadanya. Memang kita akan dibuat agak sedikit pusing ketika harus merumuskan ukuran bagi konsep-konsep yang tidak melekat wujud kongkretnya. Tapi jangan resah pula karena ternyata pakar matematika dan fisika nomor wahid di Indonesia pun karena beda kaca mata ilmu beda pemahaman pula bagi penjabaran konsep 4x6 atau 6x4 yang heboh beberapa waktu silam. Hanya bermula gara-gara jawaban seorang anak SD yang disalahkan gurunya lalu diprotes oleh kakaknya yang mahasiswa teknik jago matematika, lalu hebohlah se-Indonesia.
            Kembali ke kajian sastra bandingan, pada bab ini mulai dipertanyakan apa saja yang bisa dibanding-bandingkan. Akhirnya defenisi secara hakikat dan konsep awal tadi coba lebih diterangkan lagi wujudnya kepada aplikasi operasional dalam mengklasifikasi karya-karya sastra sebagai obyek penelitian yang nyata dan mulai bisa diukur. Ada Remak yang membuat batasan sastra bandingan kepada kajian sastra di luar batas negara dan hubungan sastra dengan bidang ilmu lain. Sementara menurut Nada sastra bandingan adalah suatu studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain, bagaimana terjadi proses saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra dan apa pula yang telah disumbangkannya. Sementara Guyard mengatakan bahwa pendekatan dalam sastra bandingan itu merupakan sejarah hubungan-hubungan antarbangsa. Guyard berpandangan bahwa sastra bandingan mensurvai pertukaran gagasan, tema, buku, atau perasaan di antara bangsa-bangsa di antara dua atau beberapa sastra. Kemudian ada juga Jost yang membagi-bagi pendekatan dalam sastra bandingan menjadi empat bidang: 1) pengaruh dan analogi, 2) gerakan dan kecenderungan, 3) genre dan bentuk, dan 4) motif, tipe, dan tema.
\           Sapardi membahas beberapa kelemahan pengertian sastra bandingan dari para teoritikus di atas. Misalnya soal keharusan batas negara yang jadi tidak relevan ketika kita harus membandingkan dua negara lintas benua yang berbahasa sama seperti Inggris dan Amerika. Sehingga kemudian semua defenisi itu akan dirajut untuk saling melengkapi pemahaman kita akan obyek kajian sastra bandingan. Dipaparkan juga tentang bagaimana perbedaan tradisi perbandingan di Prancis dan Amerika. Di Prancis biasanya yang dibandingkan adalah antar karya sastra sedangkan di Amerika karya sastra dibandingkan dengan bidang lain seperti seni lukis dan psikologi. Juga dibicarakan mengenai kata kunci “pengaruh”, mulai dari pengaruh dari sudut pandang sastrawan yang mempengaruhi atau dipengaruhi hingga pengaruh sosial-politik dari latar tempat dan zaman saat sebuah karya sastra dilahirkan. Sebagai penutup bab ini Sapardi mengkoreksi pandangan bahwa kajian hanya bisa dilakukan pada bahasa asli karya tersebut bukan terjemahan. Selama tidak merambah soal stilistiknya dan hanya berkutat pada tematik sebuah karya dalam bahasa terjemahan pun tidak soal dijadikan obyek kajian.
3. Perkembangan Sastra Bandingan
            Seperti biasa, perkembangan sastrapun sejarahnya selalu dimulai dari Yunani kuno sebagai akar peradaban barat pasca-renasiense. Tentu dalam konteks sastra dikaitkan pada mitologi saat itu. Kemudian peradaban eropa tentu juga kemudian dipengaruhi oleh kisah-kisah yang dimuat injil dalam perjanjian lama dan baru meski abad pertengahan dalam kekuasaan imperium gereja roma mereka anggap sebagai abad kegelapan. Pelopor kajian sastra bandingan disebut-sebut pertama kalinya tercetus oleh Sainte-Beuve di Prancis pada tahun 1868. Pada tahun 1827 dalam bahasa yang lebih samar Goethe sebagai bapak sastra jerman sebetulnya juga sudah menyinggung sastra bandingan dengan pernyataannya bahwa sastra nasional sekarang ini (abad 19 tersebut) sudah menjadi istilah yang tak bermakna dan bahwa zaman sastra dunia sudah dekat sehingga setiap orang harus mempercepat kedatangannya. Di Jerman mungkin terjadi anomali sedikit ketika tahun 1940 saat perang dunia kedua Hitler berkuasa dan membuat kesusastraan yang tidak pro ideologi ultranasionalis radikal tersingkir dan buku-bukunya dibakar. Seorang pimpinan propagandis sang fuhrer pada masa itu bahkan sudah bergelar doktor yang karya-karya filmnya menggelorakan spirit chauvinistik dan heroisme keunggulan ras arya Jerman. Terasa kontras bukan dengan penjelasan Sapardi tentang perhatian besar penyair Goethe kepada sastra dunia bahkan kebudayaan arab dan Islam sebagaimana diteliti oleh pengamat sastra timur tengah bernama Nada. Sapardi kemudian menyebut pengukuhan studi sastra bandingan terjadi ketika terbit jurnal Revue de Literature Comparee pada tahun 1921. Kemudian disebutkan bagaimana pada masa itu drama-drama Shakespeare yang jadi tonggak sastra dunia itu butuh ratusan tahun untuk mempengaruhi sastra Jerman dan Prancis pada masa itu. Terakhir dibicarakan mengenai sastra asia yang dibagi ke dalam tiga tradisi sastra besar, yakni Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Selatan. Klan sastra Timur Tengah disebut-sebut masih mirip dengan barat. Tradisi sastra Asia Selatan juga termasuk tua dengan berpusat di India dan melebarkan pengaruh ke selatan-tenggaranya hingga Indonesia dan ke utaranya mentok di Asia Tengah. Kelompol Asia Timur yang berpusat pada peradaban tua Cina punya fenomena tersendiri karena disebut oleh Kunst bahwa sastra Jepang dan Cina terlihat tidak ada hubungan. Dijelaskan juga atau lebih tepatnya saya kiri disebutkan saja sedikit tentangketidakadaan hubungan antara ketiga kelompok tradisi sastra asia ini dan bagaimana ketiganya mempengaruhi sastra klasik berbagai daerah di kepulauan nusantara.
4. Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada awal bab ini diutarakan sebuah postulat atau setidaknya asumsi bahwa di zaman sekarang hampir tidak mungkin lagi kita berhubungan dengan benda budaya yang sepenuhnya asli. Artinya kemungkinannya sangat teramat kecil sekali; sekedar taat untuk efisien menggunakan kata “sangat” pun saya rasa tidak bisa mewakili maksud frasa “hampir tidak mungkin” ini. Artinya lagi, benda budaya yang lahir pada zaman sekarang sudah menjadi jahitan mozaik dari karya atau benda-benda budaya terdahulu. Sementara kata “berhubungan” memiliki konteks pengertian proses meneliti bagi akademisi dan membaca atau menikmati bagi pengapresiasi. Alasan Sapardi adalah situasi “dunia datar” dan “bumi yang dilipat” dikarena kemajuan teknologi informasi berbasis ilmu elektronika. Kehadiran TV kabel lewat pancaran gelombang satelit bisa membuat konser grup trash metal super cadas semacam Metallica yang diwarnai aksi “beneran” bunuh diri seorang fans di Jakarta seperempat abad silam bisa disaksikan anak metal kere yang tak berongkos di Kota Padang dengan “nebeng” di kamar kos teman kayanya pada waktu yang sama tempat berbeda. Terlebih teknologi 4G yang mulai digenjot pemerintah Indonesia di tahun 2016 ini akan membuat informasi realtime berkapasitas besar seperti video berresolusi tinggi dan berdurasi panjang pun bisa di-delivery dengan kecepatan dan ketepatan waktu akan semakin mendekati nol detik. Tanpa delay atau penundaan, kecuali ada gangguan.
Situasi ruang dan waktu yang memampat inilah--bagai energi gelap dari lubang hitam di luar tata surya sana—yang menurut hemat Sapardi membuat proses mempengaruhi ataupun saling mempengaruhi antar karya sastra lintas negara atau supranasional jadi dipercepat berkali-kali lipat. Sapardi memberi contoh pembandingan kepada epos agung Mahabharata dari India yang butuh “perjalanan” ratusan tahun dulunya untuk “mencapai” Pulau Jawa. Hal yang menarik, menggelitik, dan menambah pengetahuan ala kadar saya tentang sejarah kesusastraan dunia adalah ketika di bab ini Sapardi berpernyataan bahwa:
Drama-drama Shakespeare yang dianggap sebagai tonggak sastra dunia itu menurut beberapa pakar dianggap tidak ada yang “asli”, alias semuanya pinjaman atau bahkan curian. Sumber curian itu bermacam-macam, mulai dari karya sastra sampai beberapa teks kronik dan sejarah.
Ini menuntut batin saya untuk mencari tahu lebih jauh kelak siapa-siapa saja pakar tersebut dan karya curian dari apa saja—semoga semuanya termaktub di daftar pustaka buku ini—dan apakah maksud anggapan disini berarti kira-kira saja pakai perasaan bukan berbasis penelitian yang bisa diuji? Sengaja juga pernyataan Sapardi dikutip utuh tidak dibahasakan sendiri untuk sedikit saja pada bahagian ini. Hal ini guna memunculkan secara sempurna wirkung dari proses pembacaaan teksnya yang begitu magis dengan kata “tonggak” serta sangat sarkastik dengan istilah “pencurian”. Kalau saya bahasakan sendiri asal sekedar berbeda dengan gaya narasi Sapardi takut-takut efek penyampaiannya jadi melembut, pincang maksud, dan hilang “greget”-nya. Nama besar William Shakespeare yang rasa-rasanya dikenal semua orang yang setidak-tidaknya pernah jatuh cinta sekali saja seumur hidupnya—suku-suku primitif saya rasa belum mengenal konsep percintaan romantis—ternyata pun mau tak mau terlibat dalam situasi saling mempengaruhi yang dikaji ilmu sastra bandingan ini. Padahal beliau hidup dan berkarya jauh sebelum internet ditemukan dan mulai massif digunakan pada paruh kedua abad ke-20. Artinya masih lebih besar kemungkinan untuk adanya benda budaya yang sepenuhnya asli?
Selain membicarakan bagaimana mitologi Yunani kuno mempengaruhi abad tulisan eropa hingga abad lisan dan tulisan timur, Sapardi juga coba membuktikan bagaimana tradisi lisan di daerah Indonesia bisa mempengaruhi karya tulis sastrawan era sastra Indonesia modern (setidaknya dihitung dari zaman penerbit resmi Balai Pustaka). Selain roman Siti Nurbaya dari Marah Rusli yang menurut keyakinan Sapardi dipengaruhi cerita Romeo dan Juliet atau mitos Oedipus yang bermigrasi ke Jawa Barat lewat Sangkuriang dan Jawa Tengah-Timur lewat  kisah Prabu Watu Gunung, ia juga menyebut bahwa novel Salah Asuhan adalah hasil pengaruh mitos tentang eksistensi cerita Malin Kundang si anak durhaka dari Minangkabau. Selain pengaruh dari barat yang terlebih dahulu berperadaban sastra modern, Sapardi juga melihat jika sastra orang timur pun bisa mempengaruhi eropa seperti kisah Calon Arang yang ketika ditampilkan ke Paris mempengaruhi dramawan negeri itu Artoni Artaud untuk membuat genre teater “kekejaman”. Dramawan Amerika Thornton Wilder meminjam teater Jepang Noh untuk membuat inovasi dramatik dalam karyanya yang berjudul Our Town. Terakhir disinggung pula bagaimana seorang pengarang besar di sebuah tempat ternyata dianggap kerdil di negara-negara asalnya.
5. Terjemahan
            Untuk memulai ringkasan dari saya sendiri tentang isi bab ini, sangat bergairah rasanya untuk mengutip utuh dan persis proposisi menarik dari Sapardi pada satu kalimat berikut ini. Sejarah sastra dunia telah menunjukkan bahwa ketidaksetiaan atau kekeliruan dalam penerjemahan kadang-kadang bisa menciptakan gairah dalam sastra bahasa sasaran. Saya pribadi bahkan meyakini bahwa tidak hanya kadang-kadang, justru penerjemahan itu sudah seharusnya tidak setia pada bahasa sumber agar menjadi kreatifitas baru. Pengecualian mungkin buat terjemahan karya tulis populer yang kurang dosis sastrawinya dan lebih menekankan deskripsi sepersis mungkin dengan “latar” dan konteks karya aslinya. Dengan kata lain, pengertian penerjemahan dalam karya sastra itu mesti diperluas kepada makna penafsiran. Tentu ini akan bersinggungan dengan wilayah kajian pengaruh interteks pada setiap karya kreatif baru. Tapi bukankah ini yang dikaji dalam sastra bandingan? Dan juga perlu kita ingat untuk perbandingan. Pada penerjemahan leterlek kitab suci Al-Qur’an saja sejak maraknya terorisme Islam ia mulai dipersoalkan. Dalam “terjemahan” versi kelompok Majelis Mujahidin Indonesia saja yang mengklaim berbasis tafsir, lebih dari separo dari 6000 lebih ayat dalam kitab ini dikoreksi dari versi terjemahan leterlek resmi oleh departemen agama RI. Belum jika kita harus membandingkan dengan tafsir versi sekte lainnya yang merasa lebih benar pula. Dan kemudian yang sudah umum diketahui pula adalah masalah orisinalitas injil yang disebut-sebut sudah campur aduk oleh berbagai versi tafsir berbagai kelompok atas prinsip-prinsip ajaran kristiani. Kembali ke ajaran Islam yang punya tradisi pemurnian lewat hafalan Qur’an dan ilmu jarh wa ta’dil dalam bidang hadits pun, kitab hadits paling shohih dari Imam Bukhori pun ternyata ada yang dikoreksi (di-dhoif-kan) oleh almarhum Syaikh Nashirudin Albani yang disebut-sebut imam mujtahid abad ini oleh setidaknya berbagai sekte-sekte di lingkaran kaum cenderung radikal. Apatah nasib riwayat hadits-hadits di luar kutubus sittah yang konon katanya relatif bisa dipercaya itu. Ini sebagai gambaran saja betapa tidak sederhananya masalah terjemahan hingga tafsir ini.
            Kembali ke isi bab lima buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini, cerita Sapardi dimulai dengan sejarah bagaimana tradisi tulisan di nusantara baru dimulai dari “terjemahan” atas epos Mahabharata dan Ramayana dari India oleh pujangga-pujangga kuno yang dipanggil para Mpu. Aksara sansekerta bermigrasi ke kebudayaan hindu di Sunda kuno (hanacaraka), Jawa Kuno (ngalagena), hingga Bali yang merupakan pelarian Majapahit yang tidak sudi tunduk pada mulai jayanya kerajaan Demak islami. Melayu sumatera keturunan pendatang gelombang kedua—yang pertama adalah suku-suku kuno seperti batak dan kerinci—mulai mengenal aksara Jawi yang dihasilkan dari datangnya kebudayaan Arab dan Islam. Pada pergantian abad 19 ke 20 mulai pula kebudayaan Cina mempengaruhi wilayah nusantara dengan bacaan liarnya karena tidak diterbitkan oleh badan resmi Balai Pustaka. Pada masa ini juga pengaruh barat atau eropa dikatakan mulai masuk. Di era pujangga baru terjadi dikotomi antara Sutan Takdir Alisjahbana yang positivis dengan pengaruh kemajuan barat vis a vis melawan Armijn Pane di pihak negativisnya lewat nuansa murung novel Belenggu hingga Senjakala Ning Majapahit. Jika tonggak sastra eropa dan dunia dianugerahkan kepada Shakespeare maka setelah perang dunia kedua dalam kancah sastra Indonesia muncul seorang anak muda yang hidup singkat bernama Chairil Anwar dengan revolusi bahasa dan sastranya. Chairil muda yang tidak pernah menjadi Chairil tua ini juga sangat dipengaruhi oleh karya sastra barat yang dibacanya. Kreatifitasnya dalam “menerjemahkan” sastra barat tersebut dicatat membuat perubahan signifikan ke dalam tuturan bahasa Indonesia yang masih sangat kemelayuan pada era sebelumnya. Perbandingan oleh Sapardi antara puisi Huesca-nya Chairil sebagai “terjemahan” yang masih agak setia atas “Poem” karya John Cornford atau pengaruh—sebagian orang menuduh plagiasi—puisi “The Young Dead Soldiers” karya Archibal Mac Leish kepada sajak 17 agustusan alias “Kerawang-Bekasi”-nya Chairil Anwar membuat Sapardi membuat kesimpulan di awal tadi betapa pemelencengan atau ketidaksetiaan atau bahkan pengkhianatan terjemahan itu bagus untuk kreatifitas seni.
            Pada era 50-an dan 60-an atau pascakemerdekaan yang saat rakyat kita lagi melarat-melaratnya karena harus mulai ekonomi berdikari setelah ditinggalkan penjajah Belanda itu, tradisi intelektual lewat migrasi pemikiran melalui terjemahan justru makin meledak lewat gaung berbagai aliran yang juga berkembang di barat seperti realisme, eksistensialisme, romantisisme, ekpresionisme, hingga modernisme. Terakhir yang tak kalah berkesan buat saya adalah penyampaian Sapardi tentang second existence atau kehidupan kedua sebuah karya sastra (ia meminjam istilah kepada Gifford).  Sebuah penerjemahan membuat sebuah karya bertahan hidup dengan mengalami kehidupan kedua. Proses penerjemahan pun kemudian bisa jadi seayun selangkah dengan proses penafsiran yang bisa saja butuh pergantian wajah, ketidaksetiaan, penambah-nambahan hingga butuh pengkhianatan sebagai tuntutan latar bagi konteks kehidupan keduanya. Pada bab ini Cuma ada sedikit (meminjam istilah SBY) bottle neck  bagi saya ketika Sapardi sepertinya meragukan tafsir tematik (tanpa stilistika) pada karya sastra terjemahan yang padahal ia berkeyakinan kuat pada bab sebelumnya.
6. Sastra Bandingan Nusantara
Jika karya sastra dan seni di seluruh negeri-negeri di Eropa mengacu ke mitologi Yunani dan Perjanjian Lama/Baru, hasil kebudayaan berbagai daerah di Indonesia sangat beragam dan tidak harus saling terkait. Bahkan kata Sapardi ada yang berkembang menjadi agama tersendiri. Hasil produk budaya Indonesia disebut sangat kaya. Tradisi sastra kita memiliki kekayaan genre yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa.
Untuk konteks sastra bandingan nusantara, Achadati Ikram dalam makalahnya mengerucutkan lima kategori Clements tentang studi sastra bandingan menjadi tiga saja, yaitu (1) genre dan bentuk, (2) periode, aliran, dan pengaruh, dan (3) tema dan mitos. Sapardi menyebutkan bahwa penelitian tentang genre bisa tumpang tindih dengan penelitian tentang pengaruh. Dalam artiannya yang lebih luas mencakup juga perubahan bentuk, saduran, dan terjemahan.
Dalam membandingkan berbagai karya sastra di daerah nusantara akan terlihat pengaruh latarnya. Sehingga prosa lirik "Pengakuan Pariyem"-nya Linus Suryadi AG akan sulit dipahami oleh masyarakat etnis selain Jawa. Kemudian adaptasi cerita asing ke nusantara juga akan menciptakan perbedaan. Ia pun bisa hadir dalam berbagai genre yang saling bercampur dengan cerita lainnya. Mahabharata yang berasal dari India muncul di Indonesia dalam berbagai bentuk. Di Melayu ia berbentuk Hikayat sedangkan di Jawa dalam bentuk kakawin. Dalam masyarakat Jawa dikatakan Sapardi bahwa kisah Mahabharata lebih populer dibanding kisah Ramayana. Namun di Bali yang masyarakatnya masih hindu Ramayanalah yang lebih populer. Ramayana di Bali ini kemudian bisa beralih wahana ke bentuk tarian yang ditampilkan dalam durasi terbatas di hotel-hotel mewah untuk keperluan bisnis dan hiburan.
7. Membandingkan Dongeng
            Hampir keseluruhan bab ini yang setebal dua belas halamanan ini digunakan sebagian besarnya untuk menuliskan ulang kembali tiga cerita dongeng oleh Sapardi untuk dibandingkan. Itupun sudah diringkas padahal. Tiga dongeng yang dibandingkan ini berasal dari tiga tempat berbeda dengan tema yang dianggap sama. Yang pertama Oedipus dari mitologi Yunani klasik, yang kedua cerita Sangkuriang dari Jawa Barat dan yang ketiga kisah Prabu Watugunung dari babad Jawa. Tentu akan sangat meletihkan jika untuk membuat laporan ini kami harus meringkas lagi ringkasan dari Sapardi itu. Jadi langsung saja pada inti perbandingan cerita adalah dimaksudkan untuk melihat bagaimana cerita yang punya tema sama bisa memiliki sedikit banyak perbedaan corak yang dipengaruhi oleh faktor asal mitologi masing-masing.
            Kegiatan membandingkan dongeng dalam studi sastra bandingan diyakini Sapardi tidak diutamakan untuk mengungkap yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain. Tapi Sapardi berpendapat ini lebih ditujukan untuk mengungkap kaitan-kaitan antara perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan yang ada dalam suatu masyarakat. Lebih tepatnya menurut kami adalah di berbagai masyarakat yang dibanding-bandingkan mitologi, dongeng, atau karya sastranya tersebut. Dalam sejarah perikehidupan anak manusia ini sangat banyak sekali ditemukan mitos diberbagai tempat yang terlihat mirip tapi tidak memiliki hubungan sama sekali satu sama lainnya. Sapardi menegaskan bahwa jika kita dalam mendekati masalah ini menggunakan prinsip saling mempengaruhi, mungkin sekali kita tidak akan sampai ke kesimpulan yang meyakinkan. Yang bisa kita lakukan—tegas Sapardi lagi—paling-paling hanya menunjukkan persamaan dan perbedaan yang ada dan setelah itu menentukan ada apa dibalik itu semua jika memungkinkan. Hal ini pulalah batasnya yang bisa dilakukan ilmuwan sekaligus penyair sekelas Sapardi dalam membanding-bandingkan kisah mirip Oedipus di Jawa Barat dan Jawa saja itu. Terakhir Sapardi menyinggung juga bagaimana mitos atau dongeng ini melahirkan sebuah teori Kompleks Oedipus dalam ilmu kejiwaan atau psikologi yang ditelurkan Sigmund Freud.
8. Dalam Bayangan Tagore
            Bab spesial ini dipersembahkan khusus oleh Sapardi untuk membahas hanya seorang Rabindranath Tagore, sastrawan Asia pertama asal India yang memperoleh Hadiah Nobel dalam bidang kesusastraan. Dikisahkan bahwa penyematan nobel ini terjadi setahun setelah kemunculan sajaknya yang berjudul “Gitanjali” dalam versi bahasa Inggris. Jika dunia saja bisa ia guncang bisa dibayangkan pula pengaruhnya ke kalangan sastrawan nusantara. Angkatan sastrawan era pujangga baru disebut-sebut Sapardi yang memulai kegandrungan kepada karya-karya dan gaya berkarya Tagore ini. Dari 1930-an berlangsung hingga 1950-an dan mulai dianggap memudar atau tidak terlalu kencang lagi pengaruhnya ketika pada tahun-tahun tersebut sudah sangat ramai berbagai genre beserta sastrawan-sastrawannya dari berbagai negeri di mancanegara mempengaruhi selerah dan mahzab sastra sastrawan lokal. Kemampuan generasi pujangga baru membaca karya Tagore disebut sebagai hasil pendidikan pada 1920-an era baru dimulainya sejarah sastra Indonesia modern dengan berdirinya penerbit resmi Balai Pustaka.
            Selain dipuji-puji akan kedahsyatannya ternyata ada juga kritik dan sinisme terhadap Tagore. Meski turut menyanjung Tagore sebagai seorang titan (tokoh yang sangat menjulang dan luar biasa perkasa) namun seorang J.C. Ghosh tak perlu merasa segan untuk menumpahkan pula sikap kritisnya tentang kurangnya “kedalaman” dalam karya-karya Tagore. Sapardi mengutip istilah yang digunakan dalam kritikan ini seperti lack of any deep-seated conflict in his nature, washy-washy dreaminess, sugared epithet, pretty-pretty imagery, pseudo-romantic bric-a-brac, bahkan cheapest affectations and mannerisms. Ghosh menambahkan bahwa kekurangan tersebut lebih tampak pada sajak-sajak terjemahannya ke dalam bahasa Inggris.
            Sebagian besar sajak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris ini dikerjakan oleh Tagore sendiri. Ini mengakibatkan ia berani bahkan meringkas dan memangkas cukup banyak dari karya-karya itu sendiri dari versi dalam bahasa aslinya Bengali. Kemudian Tagore juga punya latar keluarga elit-mapan sebagaimana penyair Amir Hamzah dari istana Melayu-Deli. Kalaupun ia melakukan perjalanan jauh keluar dari “istananya” itupun hanya untuk menghadiri seminar-seminar dimana ia menjadi pembicara. Tidak ada cerita episode dalam hidupnya harus bersentuhan mendalam dengan perikehidupan rakyat kelas bawah atau orang miskin. Apalagi mengalami chaotic sosial dalam pergaulan sebagaimana kisah fiksi tokoh kita dalam novel-novel Iwan Simatupang. Ia meresapi realita dengan berjarak darinya. Jadi wajar jika ada kritik terhadap tingkat kedalamannya. Ini mungkin mirip dugaan perbandingan Sapardi sebelumnya mengenai priyayi jawa lewat tokoh Lantip dalam fiksi Umar Kayam dengan thesis antropolog Clifford Geertz tentang religion of Java.
9. Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Membahas corak romantisisme ini, tak pelak lagi Sapardi pun di awal-awal langsung mengutip sajak "Berikan Aku Belukar" karya J.E. Tatengkeng yang kadung populer di kalangan pelajar remaja karena secara politis diperbolehkan untuk muat dalam bahan buku ajar mata pelajaran bahasa Indonesia. Tapi tentu kali ini bahasan Sapardi tidak menyempit pada tema cinta-cintaan--meskipun tidak pula bisa kita bilang tema cinta itu sesuatu yang sempit belaka--tapi meluas kepada apa yang dinamakan gerakan romantisisme--walau hal romantis ini bisa dipandang sesuatu yang sempit pula. Dalam analisis Sapardi yang dilakukan pada puisi bergaya romantik ini--yang seyogya setiap anak Indonesia yang pernah mengecap pendidikan dasar menengah mestinya juga bisa melakukannya--terungkaplah semangat zaman romantis dari makna dan pesan sajaknya untuk mewakili bahasan Sapardi tentang materi bab ini. Bahkan mungkin--walau terdengar agak berlebihan--dari judul sajaknya saja yang eksplisit begitu nestapa kita sudah bisa menebak inti penyampaian sajaknya tanpa perlu repot-repot melakukan analisis semiotika hingga mendetail ke komponen terkecilnya berupa unsur bunyi. Tapi tentunya buku ini akan terlalu tipis jika itu dilakukan dan lagi pula dalam analisis sains sosial itu konon yang penting adalah argumennya bukan jawaban singkat.
Dalam pembahasan tentang romantisisme ini disebut-sebut lagi pengaruh barat atau asing pada para sastrawan Indonesia. Dalam bahasa puitisnya Sapardi (yang memang merangkap penyair ini)--meski ditulis dalam sebuah buku acuan akademik--disebut-sebut bahwa gerakan romantik di barat merambat dari satu negeri ke negeri lainnya. Disini disebutkan pengaruhnya pada para pujangga baru sejak 1930-an walau faktanya novel-novel terbitan zaman balai pustaka sangat nyata sudah "tercemar" romantisisme. Ini mungkin bisa dibantah dengan asumsi bahwa romantisme dalam zaman pra-pujangga baru belum kebarat-baratan alias otentik tema cinta khas Indonesia saja. Mungkin jalan tengahnya dianggap bahwa paham romantisisme ini baru memuncak dan mengental di masa pujangga baru. Sapardi membawakan argumen fakta sejarah bahwa paham yang dianggap pengaruh atau berasal dari barat ini masuk ke Indonesia lewat jalur pendidikan formal (oleh Belanda, terkait politik etis) yang baru mulai ada pada 1920-an. Padahal di Eropa "isu" ini telah ada sejak abad sebelumnya.
Pada abad ke-18 mulai timbul pemikiran kritis terhadap penagungan akal pasca-renassaince yang mulanya mencerahkan barat dan dunia dari gelapnya pertikaian dan otoritas mistis lembaga agama pada abad pertengahan. Muncullah sajak-sajak seperti "London" dan "The Chimney Sweeper" karya William Blake atau "To The Chuckoo"-nya Wordsworth--ia dikatakan Sapardi sebagai tokoh utama gerakan romantik dalam perkembangan puisi Inggris--dan "To The Skylark"-nya Shelley. Di Indonesia kemudian ada sajak "Perempuan Penumbuk Padi" karya M.R. Dajoh, "Fantasi" karya Ipih, "Mencari" oleh Sanusi Pane, "Berika Aku Belukar" tadi, hingga drama "Bebasari" karya Rustam Effendi yang merupakan naskah drama pertama dalam sejarah sastra Indonesia modern. Nilai rasa adalah kata kuci utama yang diusung dalam gerakan ini sebagai sikapn protesnya atas akibat zaman akal yang menghadirkan efek negatif industrialisasi. Sebagaimana dicatat sejarah pada 1930-an ini adalah zaman depresi besar (ekonomi) di Amerika Serikat yang studi atasnya telah melahirkan sarjana-sarjana yang menjadi tokoh penting ekonomi dunia saat ini. Saking beratnya dan diyakini akan berulang sebagaimana sifat inflatif pertumbuhan ekonomi dalam sistem kapitalisme yang dianut dunia sekarang, ia harus disembuhkan dengan menciptakan "proyek" perang dunia kedua sehingga dihasilkan "pengajuan kredit baru" untuk membangun kembali. Efek negatif kesengsaraan perikehidupan manusia akibat kejamnya industri kapital inilah yang dipotret oleh penyair dengan hatinya (bukan akal) yang diistilahkan Wordsworth sebagai luapan spontan dari perasaan yang menggebu-gebu. Sementara para penguasa pemerintahan berbagai negara dengan akal sehat dan tangan dinginnya harus bekerja pula menjaga kelangsungan sistem ekonomi kejam itu karena memang begitulah hidup ini adanya.
10. Gatotkoco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada bab ini Sapardi melakukan praktik sekilas kajian perbandingan antara sajak "Gatoloco" karangan sastrawan dan wartawan senior Goenawan Mohamad--yang sudah jadi tokoh penting kesusastraan Indonesia modern sejak era "sixties" sebagai tokoh Manikebu (manifest kebudayaan) bersama almarhum Mochtar Lubis melawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan pada barisan Lekra (underbouw PKI) di kubu seberangnya--kepada sebuah kitab suluk Jawa yang berjudul sama. Jika pada kilas perbandingan lainnya berbagai karya dari berbagai sastrawan dibicarakan bersamaan, atau pada bab tentang Tagore berbagai karya (meski tidak semuanya juga oleh Sapardi diakui pernah dibaca) dari satu orang ini khusus dibicarakan untuk dibandingkan pada karya-karya sastrawan lain di dunia yang dipengaruhi, maka pada bab ke-10 ini khusus yang dibicarakan satu sajak saja dan perbandingannya kepada sebuah kitab pada masa klasik Jawa. Sajak "Gatoloco" karangan Goenawan Mohamad disebutkan ditulis pada tahun 1973 sedangkan kitab suluk "Gatoloco" tidak dituliskan tahun persisnya tapi dari isinya menunjukkan ditulis pada masa agama Islam sudah mulai memasuki pulau Jawa.
Sajak "Gatoloco" Goenawan Mohamad yang dibuka dengan imaji visual mengerikan tentang bersatunya tujuh juta sistem matahari. Penggunaan frasa 'sistem matahari' ini menunjukkan bahwa pengarang sajak punya wawasan tentang perkembangan ilmiah terkini dalam ilmu astronomi. Dengan kata lain, pilihan kata tersebut bukan berbasis legenda, takhayul, dan mitos ataupun fantasis surealistik subyektif semata pengarang. Sebagaimana dipaparkan kajian astronomi (bukan astrologi dan ilmu nujum), setiap bintang yang beredar di angkasa sana punya planet-planet tersendiri yang mengitari sehingga bintang-bintang tersebut tidaklah obyek tunggal dan ia membentuk sistem. Bintang planet bumi yang dinamakan matahari disebut dalam istilah inggrisnya sebagai solar system. Pengarang sajak ini ternyata punya pengetahuan yang avant garde mengingat seorang teman facebook penulis yang lahirnya baru 20 tahun sesudah sajak itu ditulis masih juga menulis status tentang mataharinya pusat galaksi. Anak muda abad 21 ini justru tidak kunjung upgrade bahwa di pusat galaksi bima sakti atau milky way tempat planet bumi dan bintang matahari ini berputar-putar terdapat lubang hitam (berbentuk bulat planet sebetulnya, bukan lubang menganga sebagaimana pencitraan leksikalnya) super massif yang menyedot semua sistem matahari terdekat untuk dimampatkan atau mungkin ditransfer ke dimensi antah berantah sehingga material atau gelombang cahaya pun tidak bisa lolos darinya--hingga kini belum diketahui apakah ada hal atau "sesuatu" yang bisa melebihi kecepatan cahaya kemampuan "berlarinya".
Sapardi mengabaikan citraan menarik larik pertama sajak ini. Mungkin karena ingin ringkas beliau langsung masuk ke tema besar sajak ini tentang ketuhanan atau hubungan manusia dan Tuhan. Hal ini dibuktikan Sapardi lewat berbagai makna pada berbagai baris sajak ini ataupun pilihan kata-katanya. Kemudian Sapardi menghubung-hubungkan sajak berjudul mirip ini dengan kisah Gatoloco dalam kitab suluk pada sastra Jawa klasik tersebut.
Pada suluk Gatoloco ternyata ceritanya memang menyerempet-nyerempet juga tentang tema ketuhanan. Bahkan menurut Sapardi memang itulah tema utamanya; klop dengan sajak "Gatoloco" Goenawan Mohamad. Sapardi tidak membahas lebih jauh variasi atau perbedaan nuansa antara keduanya untuk sebagai perbandingan. Mungkin karena tujuannya dibahas dibuku ini hanya untuk kilasan semata. Motif atau corak seksualitas di serat Gatoloco yang sangat ditampakkan kontras dengan sajak "Gatoloco" yang sama sekali tidak eksplisit membicarakan seksualitas dalam arti fisik, leksikal, dan eksplisit. Elemen kisah sajak "Gatoloco" yang cukup dominan mengumbar tentang para penjual ayat tuhan dalam serat Gatoloco sepertinya hanya sekilas dipotret pada periswa perdebatan Gatoloco dengan para sastri dalam sebuah sesi pengembaraannya. Dengan metode perbandingan sekilas Sapardi fokus pada tema besar kitab suluk tersebut bahwa filosofi manunggaling kawula gustri atau sangkan paraning dumadi dalam latar budaya religi kejawaaan disebut-sebut sangat kental hadir dipinjam dan dimanfaatkan pada latar modern sajak Goenawan Mohamad.
11. Alih Wahana
Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya tapi juga bisa dialihwahanakan. Alih wahana didefenisikan Sapardi sebagai perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Mungkin ada sedikit ekspansi ketika dalam bab ini Sapardi juga menyinggung "alih wahana" tokoh-tokoh ciptaan sastrawan Inggris A.A Wilne (1882-1956) seperti Winnie-the-Pooh dan lain-lain yang selain beralihwahana ke kartun dan film juga hingga menjadi barang dagangan. Artinya alih wahana tidak hanya meloncat dari satu atap kesenian ke loteng jenis kesenian yang lain. Ia juga menyeberang ke luar bidang kesenian yakni sektor ekonomi. Meski tidak dibicarakan Sapardi lebih lanjut ini kemudian juga berefek logika ke bidang non-seni lainnya seperti politik bahkan sains mungkin. Sebagaimana diketahui berbagai penemuan teknologi modern saat ini banyak di inspirasi oleh fiksi ilmiah bahkan seni rupa. Teknologi roket dan "pesawat" yang sanggup terbang ke luar angkasa--bahkan ada wahana yang sudah terdampar ke luar sistem tata surya dan kini sedang dipersiapkan "kapal-kapal" kecil menuju sistem bintang alpha centaury sang tetangganya matahari--awalnya hanya imajinasi penulis skenario dalam film-film fenomenal hollywood semacam Star Wars atau Star Trek. Catatan-catatan peradaban awal tentang formasi gugus bintang (hingga penamaannya) pun semulanya hanyalah kreasi seni lukis visual dari para filsuf dan "artis" bukan fisikawan apalagi insinyur.
Sapardi selesai bicara tentang alih wahana tokoh fiksi kartun tersebut ke barang dagangan atau sektor ekonomi kemudian menyebutkan "sastra bandingan memungkinkan juga masuk ke dalam 'kawasan' ini". Cuma sayang pembicaraan selanjutnya sepertinya masih membatasi alih wahana pada lingkup dunia seni. Mungkin dianggap terlalu jauh melangkah jika pembicaraan menapaki sektor lain seperti ekonomi, politik, sains, dan bahkan agama. Sebuah buku teori dasar tentunya tidak sanggup menahan beban kontroversi jika berani-beraninya menyatakan Sesuatu yang diyakini sebagai Tuhan oleh umat sebuah agama tertentu yang konkret ada massanya di dunia nyata pada zaman ini ternyata adalah alih wahana dari mitos atau fiksi tertentu pula pada zaman dulu. Tuhan Latta dan Uzza misalnya dalam kebudayaan Arab pra-Islam. Selain dituhankan, mereka juga menghasilkan wahana seni pahat patung yang jika ditelisik asal-usul kisahnya justru mengenai orang saleh yang dikeramatkan. Belum pola dan modus yang sama pada agama-agama lainnya. Sepintas boneka Rama dibicarakan tapi sepertinya dihindari untuk diteruskan dan dibelokkan kembali ke seni tari. Sapardi mungkin takut goncangan politik akibat bermain dengan isu ini sehingga memilih membatasi pembicaraan pada alih wahana dalam lingkup rumpun cabang kesenian saja.
Dalam bab ini lalu diceritakan bagaimana kisah termahsyur dari sastrawan tonggak dunia William Shakespeare, yakni Romeo dan Juliet, telah beralihwahana ke berbagai bentuk dan menyebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia pada tahun 1950-an ia telah menjadi cerita panggung sandiwara keliling atau ketoprak dengan isi cerita yang sudah dimodifikasi disana-sini meski mempertahankan tema cinta tragediknya. Sapardi bahkan memastikan sutradara dari versi cerita Kakang Romeo dan Diajeng Juliet di Indonesia tidaklah pernah membaca naskah asli drama ini dalam bahasa Inggrisnya. Tak kalah menarik Sapardi menyebut-nyebut pula--selain kisah Sitti Nurbaya--novel Atheisnya Achdiat K Mihardja terpengaruh tema dalam drama pementasan Romeo-Juliet ini. Berarti dalam kacamata Sapardi kisah cinta Hasan dan Kartini lebih menonjol porsinya dibanding kegalauan religiusitas pribadi Hasan yang tersimbolkan lewat judul novelnya.
Kemudian juga disinggung pada bab ini mengenai perbedaan yang sangat mendasar antara karya sastra dan wahana film, yakni dalam hal pengembangan imajinasi pembaca dan penonton. Contoh kasus yang dipaparkan adalah mengenai tokoh fiksi Sitti Nurbaya yang dalam filmnya divisualkan (dibatasi) ke dalam kecantikan apa adanya artis Novia Kolopaking. Format panjang dialog juga menjadi unsur yang dibicarakan Sapardi. Dalam wahana film tidak dimungkinkan dialog yang panjang dan bertele-tele sebagaimana yang aslinya terdapat pada novel; dan ini bisa punya dampak perubahan nilai estetiknya. Lalu kemudian juga disinggung alih wahana puisi ke seni lukis dan musik dan dampak-dampaknya.
12. Penutup
Sapardi menutup cakap-cakapnya dalam buku pegangan dasar untuk peneliti dan penelitian sastra bandingan ini dengan merujuk pada kategorisasi oleh Clements (1978: 7) yang pada dasarnya pula merupakan ramuan dari berbagai penawaran rumusan dan konsepsi sastra bandingan oleh berbagai orang ahli sastra dunia. Ada lima kategori yang diusulkan Clements dan diamini Sapardi disini serta hanya disetujui tiga diantaranya saja oleh Achdiati Ikram dalam makalahnya tentang sastra bandingan nusantara. Setelah di bab-bab sebelumnya dari awal hingga satu bab sebelum yang terakhir ini Sapardi lebih banyak bicara sejarah, konsep, dan teori-teori secara umum dan sekilas, kali ini ia tidak banyak lagi cerita-cerita tapi sudah masuk ke aplikasi model praktis penelitiannya dengan menyandarkan paradigma kepada kategori yang ditawarkan Clements dan Ikram tersebut.
Pertama dalam hal tema dan atau mitos dicontoh perbandingan antara Romeo dan Juliet dengan Roro Mendut karya J.B. Mangunwijaya. Diuraikan detail langkah-langkahnya, mulai dari membicarakan waktu dan tempat kedua karya, membicarakan perbedaan beberapa unsur formal seperti penokohan, pelataran, dan pengaluran, rangkaian peristiwa yang disusun dalam kedua karya sastra itu, dan terakhir dengan mengasumsikan kedua karya bukan asli maka bisa ditelisik perbedaan proses kreatif keduanya dalam "meninterpretasi" yang lebih asli. Cukup mengejutkan memang asumsi atau mungkin memang fakta yang disodorkan Sapardi disini bahwa ternyata Romeo dan Juliet pun bukan kisah asli. Mungkin maksudnya dalam konteks kajian intertekstualitas bahwa tidak ada karya sastra yang lahir tanpa dipengaruhi oleh karya sebelumnya. Atau mungkin memang ada penelitian yang tidak disebutkan di buku dasar ini bahwa karya Shakespeare ternyata juga "mencuri" dari mitos cinta abadi yang telah beredar lisan sebelumnya. Padahal di bab-bab sebelumnya kita telah dibuat begitu terkagum-kagumnya dengan karya agung William Shakespeare sang tonggak sastra dunia ini yang disebut-sebut mempengaruhi seluruh tema cerita serupa di berbagai belahan dunia melintasi zaman beratus-ratus tahun. Memang sebelumnya sudah disinggung Sapardi juga bahwa kemungkinan (jadi tidak pasti juga) bahwa naskah drama Shakespeare yang beredar sekarang adalah suntingan sarjana kemudian dan bahwasanya Shakespeare sendiri sebetulnya tidak menguasai sastra yunani klasik.
Kedua dalam hal genre dan atau bentuk dicontohkan perbandingan antara serial Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle dengan kisah bersambung Naga Mas dari Grandy's. Langkahnya bisa pembicaraan mengenai bagaimana kedua pengarang memanipulasi unsur-unsur formal untuk menciptakan ketegangan, jenis kejahatan yang frekuentif muncul dan pemecahannya, serta latar pelaksanaan kejahatan atau dalam istilah kepolisian sekarang tempat kejadian perkara. Kemudian disinggung juga bagaimana soneta dari abad ke-13 di Italia bisa membuat kepincut sastrawan Indonesia sejak zaman pujangga baru hingga zaman Jokowi saat ini.
Ketiga dalam hal gerakan dan atau zaman diterangkan Sapardi bahwa ia sudah susah payah menerangkan pada bab tiga jadi tidak perlu panjang lebar diulang lagi. Namun Sapardi masih berbaik hati meringkas bahwa dalam hal ini masalah yang dibicarakan adalah (1) ciri-ciri mashab (mungkin maksudnya mazhab yang lebih populer istilahnya dikenal publik) atau gerakan itu, meliputi diantaranya romantisisme, realisme, eksistensialisme, dan absurdisme, (2) situasi sosial politik dan budaya, dan (3) bagaimana kesusastraan yang menerimanya mengembangkan mashab itu di dalam genre-genre sastra yang ada.
Keempat dalam hal sastra dan bidang seni serta disiplin yang lain dicontohkan perbandingan antara puisi presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan musikalisasi sajaknya dan kemudian untuk perbandingan ke luar disiplin seni dicontohkan perbandingan antara novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan telaah antropologi Religion of Java karya Clifford Geertz yang konon katanya menetap bertahun-tahun di kota kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur yang terkenal dengan kampung (kursus bahasa) Inggrisnya. Ternyata pada bagian ini Sapardi meyakinkan lagi pembaca bukunya bahwa perbandingan karya sastra dengan bentuk di luar bidang seni bukanlah sesuatu yang haram.
Terakhir kelima adalah mengenai sastra sebagai bahan pengembangan teori. Disini sebagai penutup Sapardi kembali lagi-lagi menegaskan dan merasa perlu untuk nmenekankan bahwa membanding-bandingkan karya sastra dengan sastra serta bentuk kesenian yang lain dan disiplin ilmu yang lain merupakan kegiatan yang sah dalam pendekatan sastra bandingan. Lalu ada sedikit mungkin upaya bergaya bahasa dalam tulisan formal baku buku teorinya ini dengan mengatakan bahwa sastra menumbuhkan teori, bukan sebaliknya, yang kemudian oleh Sapardi sendiri dibantah dengan kalimat selanjutnya bahwa peran dan fungsi teori dalam menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas sastra semakin lama semakin terasa. Ternyata kalimat paradoks pun boleh juga sesekali digunakan dalam artikel ilmiah. Kalimat pamungkasnya pun cukup dialektik, membuat perasaan pembaca ikut turun naik. Kita mengharapkan lebih banyak lagi hasil penggunaan pendekatan ini, terutama sekali karena adanya kesadaran bahwa kita ini satu namun berbeda-beda!
C. KOMENTAR
            Kita masih kurang ahli dalam menguasai metode kita, dan dasar teori metode-metode ini masih terus berubah-ubah. Jadi masih banyak yang harus kita lakukan. Begitulah Rene Welleck dan Austin Warren menutup penjelasan panjang lebarnya dengan seabgreg daftar kepustakaan dalam buku referensi utama teori kesusastraan. Apalah jika dengan bermodalkan rujukan teori sedikit kita dapat untuk begitu pongah membakukan kepastian metodologi penelitian yang kita “temukan”. Mungkin yang dimaksud kita dalam cakapan duet Welleck dan Warren tersebut adalah mereka berdua, atau kita semua manusia peneliti sastra, atau jangan-jangan hanya untuk pembaca bukunya yang demi kesopan santunan tindak tutur mereka merasa perlu juga membawa-bawa kekurangan mereka. Padahal sangat luar biasa ramuan dan sintesa referensi yang mereka lakukan dengan perbandingan kepada berbagai karya sastra puncak maupun tidak begitu puncak dari seluruh penjuru dunia. Panjang lebar merumuskannya kepada satu buku pegangan standar toh mereka akhirnya “menyerah” juga pada ketidakpastian teoritik dunia sastra. Bahkan rasa-rasanya mengkomentari atau mengkritik buku “kitab suci” studi sastra dari dua orang profesor ini lebih menarik untuk dilakukan ketimbang hanya pada buku Sapardi Djoko Damono yang ditugaskan dalam laporan mata kuliah ini. Bak ujaran pepatah, “orang banyak bicara akan banyak tampak salahnya”. Segunung referensi yang coba dua akademikus ini ramukan “kesejajarannya” kepada kita para pembaca terasa memusingkan karena realitanya tentu antar berbagai teori itu sangat telanjang saling bertentangan. Apalagi jika dunia akademik berarsiran dengan situasi politik dimana sebuah teori hadir untuk meruntuhkan teori lain yang “dimusuhinya”. Dalam film filosofis “The Man From Earth” diperlihatkan bagaimana seorang profesor antropologi menunjukkan sangat ingin mencekik leher (teori/pendapat) dari orang-orang yang ahli di bidangnya sendiri tersebut (yang notabenenya adalah “guru-gurunya” juga) karena kemudian jika kita mau mengeksplorasi sendiri akan selalu ditemukan cacat pikir disana-sini. Dan kemudian dialektika ini tidak kunjung usai seperti dinamika berlanjut dalam teori kesusastraan yang disimpulkan Welleck dan Warren.
            Meskipun kemudian beliau berdua sebagai seorang yang berkarir di ranah ontologi positivisme bersikeras untuk ngeyel dengan “imannya” kepada teori yang “seni untuk seni” (untuk memagari disiplin studi sastra dari menjadi pengekor kajian keilmuan lainnya) tapi toh cara klasifikasi ala ganzheit tersebut tetap mengandung ketidakpastian. Dalam pembicaraan lain mengenai genre ataupun tipe dan kategori karya sastra, Welleck dan Warren bahkan merujuk pada pendapat yang menyebut bahwa semua itu pada ujungnya hanya kira-kira. Ini mirip-mirip dengan pendapat Prof. Ermanto dalam mata kuliah Linguistik Mutakhir ketika ditanya tentang kepastian batasan leksem setelah beliau menuduh Harimurti Kridalaksana kurang update bacaan bukunya ketika membuat kategori dan defenisi toh ternyata sinonimi itupun juga hanyalah kira-kita dan tidak ada yang mirip-persis sebenarnya. Meskipun, kembali ke Welleck dan Warren, dan ini menunjukkan paradoks keyakinan mereka lagi dalam silang pendapat antar berbagai referensi yang mereka gudangkan dan coba satukan warnanya karena postulat dunia positivistik mengimani bahwasanya untuk objek yang sama sudah seharus menunjukkan hasil yang sama walaupun didekati dengan berbagai metode yang berbeda, mereka menolak pandangan kritikus sastra objektif bahwa tidak ada sejarah sastra karena yang ada hanya sejarah manusia yang menulis.
            Ketidakpastian batasan ini pulalah kemudian yang ditunjukkan Sapardi Djoko Damono lewat buku dasar pegangan untuk penelitian sastra bandingannya ini. Persis sama dengan kekaburan yang terus terang dinyatakan Welleck dan Warren dalam bab bahasannya tentang sastra nasional dan perbandingan supranasional. Namun kabur bukan berarti tidak ada jejak-jejak yang bisa diikuti atau pemaknaan minimal yang (baru) bisa dirumuskan agar kita tidak menyerah kepada keadaan tidak mengerti sama sekali. Bahkan jelas terlihat ada struktur atau pola yang bisa dibangun secara teoritis dalam ilmu sastra bandingan ini, di tengah segala situasional yang chaotic pada praktis penciptaan karya sastra yang senantiasa dinamis. Kemudian dengan itulah teori dibangun untuk kemudian diuji kembali dengan kenyataan terbaru.
D. PENUTUPAN
            Apa yang diperbuat oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku pegangan untuk penelitian sastra bandingan ini sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk lingkup dasar teori dan kronika kesejarahan tentang ilmu sastra bandingan. Terlebih mengingat sastra bandingan ini akan berbicara tentang karya sastra seluruh dunia yang mustahil ada akademikus cukup umur untuk membacanya; sastra nasional bahkan daerahnya saja juga tidak akan. Sementara teknik sampel dari populasi dalam ilmu statistik kuantitatif akan menjadi persoalan tersendiri dalam paradigma kualitatif penelitian sastra yang sangat menghargai keunikan personal per setiap karya. Bahkan tanpa keunikan subjektif mungkin kita perlu bertanya apa pantas “sesuatu” itu disebut karya sastra ketimbang produk massal dari sebuah industri penerbitan buku. Welleck dan Warren pun membicarakan kemustahilan perlakuan khusus pada semua karya sastra ini walau kedua profesor itu seperti sudah gunung daftar bacaannya. Menguji orisinalitas dua buah karya saja untuk diketahui plagiasi atau pengaruhnya mereka juga nyatakan sulit untuk dilakukan. Begitupun keyakinan Sapardi yang menganggapnya tidak perlu. Akhirnya orang akan kembali ke karya puncak atau kapita selekta yang tentu saja tidak sampel acak dari keseluruhan populasi. Dari situlah teori disusun tak berkesudahan dan penuh kontraversi walau di sisi lain adanya polemik ini pulalah yang membuat dunia sastra menarik dan menggairahkan. Satu hal yang kurang dari buku Sapardi dan membuatnya lebih mirip buku teori seperti karya Welleck dan Warren adalah aplikasi praktek penelitiannya. Memang ada bagian sedikit yang menunjukkan langkah-langkah praktis ini tapi saya rasa masih kurang memadai alias baru level pengantar, padahal pada penjabarannya nantilah kesulitannya. Sebagian besar isi buku ini lebih bersifat kesejarahan dan teori. Tapi bagaimanapun itu sudah lebih dari cukup untuk membuka wawasan dan memantik hasrat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!