"Resensi" Buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan
"postingan blog-Q kali ini aQ persembahkan utk kalian yg mungkin sudah sejak TK mengikuti mata kuliah sastra bandingan, mengikuti program akselerasi plus pangkat plus, dipaksa cerdas sejak dini, tentu saja supaya jadi orkay dan orting (org penting) dan demi efesiensi kerja butuh contekan buat laporan tugasnya (tujuan menghalalkan cara) toh yg penting sukses pd akhirnya, ya kan? atau boleh juga save-an tugas kuliah gw ini dipakai bahan plagiat oleh calon professor yang sibuk berbisnis sehingga kerja2 formalitas gak penting ini didelegasikan saja kepada staffnya para generasi milenial yg sudah terbiasa bertindak instan mengandalkan sumber2 gratis dr internet tanpa terlalu dalam memeriksa (yahh walaupun ini aib toh kita lihat saja sisi positifnya si bapak org sukses calon professor itu telah membuka peluang kerja kepada seorang anak manusia, jgn negatif mulu melihat masalah, dalam kesempitan ada kesempatan), atau barangkali ada dosen kelas keterampilan menulis dari fakultas sastra sontoloyo yang ia sendiri tidak punya kemampuan menulis selain normatif, prosedural, dan full of cliche dan sesekali butuh bahan yg nyentrik monggo colong aja hasil kerjaku ini buat portofoliomu, dan kepada para pencopas yang budiman sekalian saya sekaligus menghaturkan mohon maaf ini baru sempat disalin apa adanya, belum sempat diedit dan dibaca lagi apalagi direvisi, maafkan aQ kurang sempurna dalam membantu miesie instan Andir eh Anda hehe"
A. PENDAHULUAN
qmu msh anaq seqolah, 1 semester s2... |
Seusai
dengar dan sesuai dengan penjelasan komprehensif Bu Yenni sebagai dosen
pengampu pada mata kuliah sastra bandingan ini di kelas sore kami, maka pada
tanggal 15 September 2016 itu saya
pribadi bergerak cepat dengan meminjam buku rujukan utama karya Profesor
Sapardi ini kepada seorang teman yang membawanya ke lokal. Sebelumnya telah
saya usahakan untuk menelisik lokasi keberadaan buku ini ke perpustakaan UNP,
baik gedung pusat maupun yang di gedung kuliah pascasarjana lantai empat;
hasilnya nihil, walau cukup banyak kulihat daftar buah tulisan Pak Sapardi yang
lain dikoleksi oleh UNP. Untunglah sebelum sempat pergi jauhmelacak eksistensi
buku beliau yang satu ini ke perpusatakaan-perpustakaan lain di seantero Kota
Padang atau mungkin saya harus keliling Sumatera Barat mengunjungi Uda Muhammad
Subhan sang administratur di balik rak-rak buku sastranya Rumah Puisi Taufiq
Ismail di Aie Angek, Padang Panjang—dengan suasana hati jujur saja agak murung
atau pesimis karena pada katalog perpustakaan program pascasarjana UNP saja
tidak ada tercatat yang artinya juga tidak ada seorangpun yang sedang meminjam
atau dengan kata yang lebih jelas dan tidak bertele-tele: artinya betul-betul
tidak ada dan (mungkin) tidak pernah ada!—akhirnya di hari atau tanggal yang
saya kutip di awal paragraf kami ditakdirkan berjumpa juga untuk pertama
kalinya.
Buku
ini terlihat cantik dengan cover birunya (bukan warna asli karena ini
fotokopian). Dengan kondisi bab satu yang sepertinya ada bagian yang tidak
dibajak oleh sang pemoto-kopi alias awal menggantung sedikit, saya teruskan
dulu membaca buku ini hingga bab empat sebelum mulai mengetikkannya saat ini
karena besok ia si buku ini mesti dikembalikan kepada empunya. Sebagai sebuah
buku teori dan rujukan utama sebuah mata kuliah S2 alhamdulillah ia bisa
dibilang cukup tipis untuk saya bisa menetapkan tekad realistis guna menamatkan
membacanya hingga huruf di halaman terakhir malam ini juga (amin....). Kadang
pertolongan Tuhan memang datang dari arah yang tidak diduga-duga sebagaimana
Tuhan sendiri yang konon menyatakannya.
Judul
lengkap buku biru tipis yang cantik ini adalah “Pegangan Penelitian Sastra
Bandingan”. Dikarang atau mungkin lebih tepatnya ditulis oleh Profesor Sapardi
Djoko Damono, guru besar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang
selain seorang akademisi atau peneliti juga dikenal menelurkan karya-karya
puisi alias beliau penyair juga. Terakhir bertemu saya pribadi dengannya lebih
dari sepuluh tahun silam dengan situasi ianya yang sudah sangat berumur dengan
nafas ngos-ngosan; padahal hanya
menaiki satu anak tangga saja ke ruang kuliah atau seminar kami di lantai dua.
Terlihat sangat dedikasi beliau kepada kami para peneliti sastra muda yang
masih ijo royo-royo ini untuk datang
jauh-jauh dari kampus Depoksementara guru besar di kampus kami sendiri tidak
pernah sekalipun masuk mengajar padahal tercatat namanya pada daftar mata
kuliah. Tentu saja mungkin karena kesibukan di tempat lain, menulis,
penelitian, dan seterusnya. Tapi poin saya dalam menyampaikan ini adalah
semangat penyair Sapardi tersebut karena saya bisa ingat betul sebagai
satu-satunya yang berdiskusi panjang—mungkin berdebat juga—waktu itu
sampai-sampai teman yang lain tidak kebagian waktu meski isi pembicaraannya
tentu sudah lupa dan saya tidak menemukan arsip catatannya. Terakhir kudengar
kabar lewat info dunia maya satu dasawarsa kemudian ini beliau sudah mulai
sering masuk dirawat di rumah sakit.
Sebagaimana
tercatat, buku ini diterbitkan pada tahun 2005, tahun (mungkin) terakhir
pertemuan kami.... Penerbitnya adalah Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional yang beralamat d Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta 13220
dengan nomor ISBN 9796855135. Artinya buku ini besar kemungkinan didanai oleh
proyek pemerintah. Artinya, ada program dan visi misi presiden terpilih pada
waktu itu, Bapak SBY, yang ingin diimplementasikan pada bidang bahasa dan
sastra Indonesia lewat proyek buku ini. Diakui sendiri dalam kata pengantarnya
oleh seniorku Bapak Dendy Sugono sebagai kepala pusat bahasa bahwa tujuan
pembuatan buku ini adalah sebagai pegangan bagi para peneliti bahasa dan sastra
yang tersebar di berbagai kantor balai bahasa daerah yang sedang tumbuh. Lebih
tepatnya mungkin ini bukanlah buku pegangan aplikasi praktis dan teknis tapi
lebih ke rujukan teoritis tetap kalau dilihat-lihat. Ini kasusnya sama seperti
proses pencarian intelektualku tentang aplikasi praktis dan detil dari teori
resepsi sastra versi Wolfgang Iser untuk bagaimana standar operasional
penelitiannya pada karya-karya sastra dan objek pembaca. Karena tidak ada
pegangan dan dosen pembimbingku sepertinya mereka juga tak punya pegangan maka
hasrat untuk itu saya matikan sudah. Sebagaimana juga perkara teori bunyi puisi
yang masih sangat general disinggung
sekilas pada bagian sub-bab pada buku-buku teori lokal ataupun internasional (terjemahannya),
tapi saya masih belum memadamkan hasrat untu mencari-cari lagi atau kalau
diperlukan menciptakan prosedur detil dan teknisnya penelitiannya sendiri kelak
dengan bantuan Tuhan nanti....
Kembali
ke buku “Pegangan Penelitian Sastra Bandingan” karangan Sapardi Djoko Damono
ini, tebal buku adalah 122 halaman alias 61 lembar ditambah lima halaman awal
bernomor aksara romawi mengenai judul, keterangan teknis tentang penerbitan,
kata pengantar, daftar isi, serta satu halaman kosong dan terakhir empat
halaman cover atau sampul luar buku.
Ketebalan harfiah buku ini setelah saya ukur dengan penggaris adalah sekitar
0,7 mm (versi fotokopi) dengan dimensi panjang 21 cm serta lebar 15 cm. Berat
buku ini 160 gram dan layout huruf
serta spasinya saya rasa cukup proporsional untuk nyaman dipandangi.
B. SARIPATI BAB
1. Pendahuluan di Buku
Sejak
permulaan Sapardi menekankan batasan masalah bagi karyanya ini. Dikatakan bahwa
buku ini adalah pegangan bagi para peneliti yang ingin melakukan penelitian
dengan melakukan pendekatan sastra bandingan. Tapi pada kalimat berikutnya
Sapardi sepertinya ingin menyatakan bahwa tidak tepat juga sastra bandingan ini
memiliki batasan masalah. Kenapa? Karena pada hakikatnya—penggunaan kata
filosofis begini bisa diartikan menggeneralisasi tapi bisa juga dimaknai
sebaliknya sebagai menspesifiki—sebuah kegiatan penelitian itu adalah
membanding-bandingkan. Terdapat penggunaan kata “pemamahan” pada kalimat kedua
paragraf pertama—baiklah saya kutip langsung: “pada hakikatnya setiap
penelitian menggunakan langkah membanding-bandingkan sebab hanya dengan langkah
itu kita bisa sampai pada pemamahan suatu masalah”—yang mana kata ini saya curigai
typo bahkan lolos dari mata editor
penerbit sekelas kantor pusat bahasa padahal maksudnya adalah pemahaman. Tidak
mungkin rasanya walau buku yang saya baca adalah versi fotokopian ini merupakan
salah foto kopinya. Mustahil spesifik begitu pada kata yang satu itu. Ini
menarik juga sedikit karena selain posisinya yang baru saja “tarikan nafas
pertama” juga karena kata “pemamahan” tanpa dikoreksi maksudnya ke kata
“pemahaman” tapi bisa saling paradigmatik juga. Kata “memamah” arti denotatifnya
adalah pada kegiatan makan di rongga mulut kerbau yang lamat-lamat baru lumat
untuk dicerna lebih lama lagi di lambung. Medan maknanya lalu berkembang
sedemikian rupa ke proses pemahaman yang membutuhkan waktu dan kecermatan. Jadi
agak klop juga walau sedikit ada beda cita rasa.... Terakhir Sapardi membuat
wilayah masalah bahwa kajian perbandingan ini tidak hanya meliputin tulisan
tapi juga lisan. Cuma agak disayangkan penjelasan menggantung karena secara
paradoks diterangkan pula bahwa yang lisan itu tidak mengenal sastra jika
dikaitkan dengan aksara. Namun tetap poinnya masih bisa ditangkap tentang
keluasan dan keleluasaan objek kajian, yang bahkan menyentuh bidang lainnya
pada wilayah kebudayaan. Akan tetapi kemudian bisa timbul masalah baru pada
kemeluasan dan kemeleluasaan yang seakan tak membatasi ini. Semakin kencanglah
olok-olok pada kajian sastra dan budaya dalam sosial-sains sebagai sebuah pseudo science oleh para positivis dari
barisan natural-sains. Situasi makin parah ketika ilmuwan ilmu-ilmu sosial ini merasa
minder pula terlihat kurang empirik dengan kemampuan untuk membuat pembuktian
angka-angka lewat formula persamaan matematika guna mencapai status prestisius
kepastian ilmiah lalu penelitian budaya pun dipaksa mengenakan gincu dan
kosmetik statistik yang kerap terasa diada-adakan dan tidak esensial
kehadirannya. Saya sendiri pernah melakukannya. Menghitung fonem/bunyi puisi
untuk mengkait-kaitkannya dengan makna kata-kata. Jadi saya tidak sedang
menyindir orang lain, mohon tidak dimarahi. Saya sedang mengkritik diri
sendiri, secara terbuka bahkan ini. Mohon maaf jika ada yang kebetulan
perangainya sama....
2. Beberapa Pengertian Dasar
Perkara batasan masalah bagi sastra bandingan pada bab
terdahulu ternyata baru dipecahkan pada bab dua ini. Kita dibuat bagai bertemu
gaya suprise episode demi episode
sinetron saja. Meski kata membanding-bandingkan itu sangat generik dalam kajian
kesusastraan kesemuanya—bahkan pada analisis struktural tok pun tak pelak kita kerap memaknai sesuatu karena (dan butuh
untuk) pembandingan kepada sesuatu yang lain di luar karya yang harusnya jadi
fokus objek kajian strukturnya—ternyata pada disiplin kajian sastra bandingan
ini Sapardi menyatakan bahwa dalam langkah-langkah yang dilakukannya metode
perbandingan adalah yang utama. Mungkin masih agak kabur juga, tapi setidaknya
sudah sedikit ada kemajuaan dari tumpang tindih pemahaman soal “hak” untuk
membanding-bandingkan ini yang dibahas pada bab sebelumnnya. Kata “utama” ini
jelas punya efek membuat garis pemisah diri dari fungsi kerja
membanding-bandingkan pada metode penelitian sastra lainnya. Walau
lagi—sebagaimana lumrahnya istilah-istilah pada metode penelitian
kualitatif—kata “utama” ini tidak bisa kita angka persiskan juga di jumlah
berapa posisinya. Ia pun hanya bisa dikira-kira dengan logika kepastian harus
berporsi lebih besar dari hal lain yang dibandingkan kepadanya. Memang kita
akan dibuat agak sedikit pusing ketika harus merumuskan ukuran bagi
konsep-konsep yang tidak melekat wujud kongkretnya. Tapi jangan resah pula
karena ternyata pakar matematika dan fisika nomor wahid di Indonesia pun karena
beda kaca mata ilmu beda pemahaman pula bagi penjabaran konsep 4x6 atau 6x4
yang heboh beberapa waktu silam. Hanya bermula gara-gara jawaban seorang anak
SD yang disalahkan gurunya lalu diprotes oleh kakaknya yang mahasiswa teknik
jago matematika, lalu hebohlah se-Indonesia.
Kembali ke kajian sastra bandingan, pada bab ini mulai
dipertanyakan apa saja yang bisa dibanding-bandingkan. Akhirnya defenisi secara
hakikat dan konsep awal tadi coba lebih diterangkan lagi wujudnya kepada
aplikasi operasional dalam mengklasifikasi karya-karya sastra sebagai obyek
penelitian yang nyata dan mulai bisa diukur. Ada Remak yang membuat batasan
sastra bandingan kepada kajian sastra di luar batas negara dan hubungan sastra
dengan bidang ilmu lain. Sementara menurut Nada sastra bandingan adalah suatu
studi atau kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai kaitan kesejarahan dengan
sastra bangsa lain, bagaimana terjadi proses saling mempengaruhi antara satu
dengan lainnya, apa yang telah diambil suatu sastra dan apa pula yang telah
disumbangkannya. Sementara Guyard mengatakan bahwa pendekatan dalam sastra
bandingan itu merupakan sejarah hubungan-hubungan antarbangsa. Guyard
berpandangan bahwa sastra bandingan mensurvai pertukaran gagasan, tema, buku,
atau perasaan di antara bangsa-bangsa di antara dua atau beberapa sastra.
Kemudian ada juga Jost yang membagi-bagi pendekatan dalam sastra bandingan
menjadi empat bidang: 1) pengaruh dan analogi, 2) gerakan dan kecenderungan, 3)
genre dan bentuk, dan 4) motif, tipe, dan tema.
\ Sapardi membahas beberapa kelemahan pengertian sastra
bandingan dari para teoritikus di atas. Misalnya soal keharusan batas negara
yang jadi tidak relevan ketika kita harus membandingkan dua negara lintas benua
yang berbahasa sama seperti Inggris dan Amerika. Sehingga kemudian semua defenisi
itu akan dirajut untuk saling melengkapi pemahaman kita akan obyek kajian
sastra bandingan. Dipaparkan juga tentang bagaimana perbedaan tradisi
perbandingan di Prancis dan Amerika. Di Prancis biasanya yang dibandingkan
adalah antar karya sastra sedangkan di Amerika karya sastra dibandingkan dengan
bidang lain seperti seni lukis dan psikologi. Juga dibicarakan mengenai kata
kunci “pengaruh”, mulai dari pengaruh dari sudut pandang sastrawan yang
mempengaruhi atau dipengaruhi hingga pengaruh sosial-politik dari latar tempat
dan zaman saat sebuah karya sastra dilahirkan. Sebagai penutup bab ini Sapardi
mengkoreksi pandangan bahwa kajian hanya bisa dilakukan pada bahasa asli karya
tersebut bukan terjemahan. Selama tidak merambah soal stilistiknya dan hanya
berkutat pada tematik sebuah karya dalam bahasa terjemahan pun tidak soal
dijadikan obyek kajian.
3. Perkembangan Sastra Bandingan
Seperti biasa, perkembangan sastrapun sejarahnya selalu
dimulai dari Yunani kuno sebagai akar peradaban barat pasca-renasiense. Tentu dalam konteks sastra
dikaitkan pada mitologi saat itu. Kemudian peradaban eropa tentu juga kemudian
dipengaruhi oleh kisah-kisah yang dimuat injil dalam perjanjian lama dan baru
meski abad pertengahan dalam kekuasaan imperium gereja roma mereka anggap
sebagai abad kegelapan. Pelopor kajian sastra bandingan disebut-sebut pertama
kalinya tercetus oleh Sainte-Beuve di Prancis pada tahun 1868. Pada tahun 1827
dalam bahasa yang lebih samar Goethe sebagai bapak sastra jerman sebetulnya
juga sudah menyinggung sastra bandingan dengan pernyataannya bahwa sastra
nasional sekarang ini (abad 19 tersebut) sudah menjadi istilah yang tak
bermakna dan bahwa zaman sastra dunia sudah dekat sehingga setiap orang harus
mempercepat kedatangannya. Di Jerman mungkin terjadi anomali sedikit ketika
tahun 1940 saat perang dunia kedua Hitler berkuasa dan membuat kesusastraan
yang tidak pro ideologi ultranasionalis radikal tersingkir dan buku-bukunya
dibakar. Seorang pimpinan propagandis sang fuhrer pada masa itu bahkan sudah
bergelar doktor yang karya-karya filmnya menggelorakan spirit chauvinistik dan
heroisme keunggulan ras arya Jerman. Terasa kontras bukan dengan penjelasan
Sapardi tentang perhatian besar penyair Goethe kepada sastra dunia bahkan
kebudayaan arab dan Islam sebagaimana diteliti oleh pengamat sastra timur
tengah bernama Nada. Sapardi kemudian menyebut pengukuhan studi sastra
bandingan terjadi ketika terbit jurnal Revue
de Literature Comparee pada tahun 1921. Kemudian disebutkan bagaimana pada
masa itu drama-drama Shakespeare yang jadi tonggak sastra dunia itu butuh
ratusan tahun untuk mempengaruhi sastra Jerman dan Prancis pada masa itu.
Terakhir dibicarakan mengenai sastra asia yang dibagi ke dalam tiga tradisi
sastra besar, yakni Timur Tengah, Asia Timur, dan Asia Selatan. Klan sastra
Timur Tengah disebut-sebut masih mirip dengan barat. Tradisi sastra Asia
Selatan juga termasuk tua dengan berpusat di India dan melebarkan pengaruh ke
selatan-tenggaranya hingga Indonesia dan ke utaranya mentok di Asia Tengah. Kelompol
Asia Timur yang berpusat pada peradaban tua Cina punya fenomena tersendiri
karena disebut oleh Kunst bahwa sastra Jepang dan Cina terlihat tidak ada
hubungan. Dijelaskan juga atau lebih tepatnya saya kiri disebutkan saja sedikit
tentangketidakadaan hubungan antara ketiga kelompok tradisi sastra asia ini dan
bagaimana ketiganya mempengaruhi sastra klasik berbagai daerah di kepulauan
nusantara.
4. Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada
awal bab ini diutarakan sebuah postulat atau setidaknya asumsi bahwa di zaman
sekarang hampir tidak mungkin lagi kita berhubungan dengan benda budaya yang
sepenuhnya asli. Artinya kemungkinannya sangat teramat kecil sekali; sekedar taat
untuk efisien menggunakan kata “sangat” pun saya rasa tidak bisa mewakili
maksud frasa “hampir tidak mungkin” ini. Artinya lagi, benda budaya yang lahir
pada zaman sekarang sudah menjadi jahitan mozaik dari karya atau benda-benda
budaya terdahulu. Sementara kata “berhubungan” memiliki konteks pengertian
proses meneliti bagi akademisi dan membaca atau menikmati bagi pengapresiasi.
Alasan Sapardi adalah situasi “dunia datar” dan “bumi yang dilipat” dikarena
kemajuan teknologi informasi berbasis ilmu elektronika. Kehadiran TV kabel
lewat pancaran gelombang satelit bisa membuat konser grup trash metal super
cadas semacam Metallica yang diwarnai aksi “beneran” bunuh diri seorang fans di
Jakarta seperempat abad silam bisa disaksikan anak metal kere yang tak
berongkos di Kota Padang dengan “nebeng” di kamar kos teman kayanya pada waktu
yang sama tempat berbeda. Terlebih teknologi 4G yang mulai digenjot pemerintah
Indonesia di tahun 2016 ini akan membuat informasi realtime berkapasitas besar
seperti video berresolusi tinggi dan berdurasi panjang pun bisa di-delivery dengan kecepatan dan ketepatan
waktu akan semakin mendekati nol detik. Tanpa delay atau penundaan, kecuali ada gangguan.
Situasi
ruang dan waktu yang memampat inilah--bagai energi gelap dari lubang hitam di
luar tata surya sana—yang menurut hemat Sapardi membuat proses mempengaruhi
ataupun saling mempengaruhi antar karya sastra lintas negara atau supranasional
jadi dipercepat berkali-kali lipat. Sapardi memberi contoh pembandingan kepada
epos agung Mahabharata dari India
yang butuh “perjalanan” ratusan tahun dulunya untuk “mencapai” Pulau Jawa. Hal yang
menarik, menggelitik, dan menambah pengetahuan ala kadar saya tentang sejarah
kesusastraan dunia adalah ketika di bab ini Sapardi berpernyataan bahwa:
Drama-drama Shakespeare
yang dianggap sebagai tonggak sastra dunia itu menurut beberapa pakar dianggap
tidak ada yang “asli”, alias semuanya pinjaman atau bahkan curian. Sumber
curian itu bermacam-macam, mulai dari karya sastra sampai beberapa teks kronik
dan sejarah.
Ini
menuntut batin saya untuk mencari tahu lebih jauh kelak siapa-siapa saja pakar tersebut
dan karya curian dari apa saja—semoga semuanya termaktub di daftar pustaka buku
ini—dan apakah maksud anggapan disini berarti kira-kira saja pakai perasaan
bukan berbasis penelitian yang bisa diuji? Sengaja juga pernyataan Sapardi
dikutip utuh tidak dibahasakan sendiri untuk sedikit saja pada bahagian ini.
Hal ini guna memunculkan secara sempurna wirkung
dari proses pembacaaan teksnya yang begitu magis dengan kata “tonggak” serta
sangat sarkastik dengan istilah “pencurian”. Kalau saya bahasakan sendiri asal
sekedar berbeda dengan gaya narasi Sapardi takut-takut efek penyampaiannya jadi
melembut, pincang maksud, dan hilang “greget”-nya. Nama besar William
Shakespeare yang rasa-rasanya dikenal semua orang yang setidak-tidaknya pernah
jatuh cinta sekali saja seumur hidupnya—suku-suku primitif saya rasa belum
mengenal konsep percintaan romantis—ternyata pun mau tak mau terlibat dalam
situasi saling mempengaruhi yang dikaji ilmu sastra bandingan ini. Padahal
beliau hidup dan berkarya jauh sebelum internet ditemukan dan mulai massif
digunakan pada paruh kedua abad ke-20. Artinya masih lebih besar kemungkinan
untuk adanya benda budaya yang sepenuhnya asli?
Selain
membicarakan bagaimana mitologi Yunani kuno mempengaruhi abad tulisan eropa
hingga abad lisan dan tulisan timur, Sapardi juga coba membuktikan bagaimana
tradisi lisan di daerah Indonesia bisa mempengaruhi karya tulis sastrawan era
sastra Indonesia modern (setidaknya dihitung dari zaman penerbit resmi Balai Pustaka).
Selain roman Siti Nurbaya dari Marah
Rusli yang menurut keyakinan Sapardi dipengaruhi cerita Romeo dan Juliet atau
mitos Oedipus yang bermigrasi ke Jawa Barat lewat Sangkuriang dan Jawa
Tengah-Timur lewat kisah Prabu Watu Gunung,
ia juga menyebut bahwa novel Salah Asuhan
adalah hasil pengaruh mitos tentang eksistensi cerita Malin Kundang si anak
durhaka dari Minangkabau. Selain pengaruh dari barat yang terlebih dahulu
berperadaban sastra modern, Sapardi juga melihat jika sastra orang timur pun
bisa mempengaruhi eropa seperti kisah Calon Arang yang ketika ditampilkan ke
Paris mempengaruhi dramawan negeri itu Artoni Artaud untuk membuat genre teater
“kekejaman”. Dramawan Amerika Thornton Wilder meminjam teater Jepang Noh untuk
membuat inovasi dramatik dalam karyanya yang berjudul Our Town. Terakhir disinggung pula bagaimana seorang pengarang
besar di sebuah tempat ternyata dianggap kerdil di negara-negara asalnya.
5. Terjemahan
Untuk memulai ringkasan dari saya sendiri tentang isi bab
ini, sangat bergairah rasanya untuk mengutip utuh dan persis proposisi menarik
dari Sapardi pada satu kalimat berikut ini. Sejarah sastra dunia telah
menunjukkan bahwa ketidaksetiaan atau kekeliruan dalam penerjemahan
kadang-kadang bisa menciptakan gairah dalam sastra bahasa sasaran. Saya pribadi
bahkan meyakini bahwa tidak hanya kadang-kadang, justru penerjemahan itu sudah
seharusnya tidak setia pada bahasa sumber agar menjadi kreatifitas baru.
Pengecualian mungkin buat terjemahan karya tulis populer yang kurang dosis
sastrawinya dan lebih menekankan deskripsi sepersis mungkin dengan “latar” dan
konteks karya aslinya. Dengan kata lain, pengertian penerjemahan dalam karya
sastra itu mesti diperluas kepada makna penafsiran. Tentu ini akan
bersinggungan dengan wilayah kajian pengaruh interteks pada setiap karya kreatif
baru. Tapi bukankah ini yang dikaji dalam sastra bandingan? Dan juga perlu kita
ingat untuk perbandingan. Pada penerjemahan leterlek kitab suci Al-Qur’an saja
sejak maraknya terorisme Islam ia mulai dipersoalkan. Dalam “terjemahan” versi
kelompok Majelis Mujahidin Indonesia saja yang mengklaim berbasis tafsir, lebih
dari separo dari 6000 lebih ayat dalam kitab ini dikoreksi dari versi
terjemahan leterlek resmi oleh departemen agama RI. Belum jika kita harus
membandingkan dengan tafsir versi sekte lainnya yang merasa lebih benar pula.
Dan kemudian yang sudah umum diketahui pula adalah masalah orisinalitas injil
yang disebut-sebut sudah campur aduk oleh berbagai versi tafsir berbagai
kelompok atas prinsip-prinsip ajaran kristiani. Kembali ke ajaran Islam yang
punya tradisi pemurnian lewat hafalan Qur’an dan ilmu jarh wa ta’dil dalam bidang hadits pun, kitab hadits paling shohih
dari Imam Bukhori pun ternyata ada yang dikoreksi (di-dhoif-kan) oleh almarhum Syaikh Nashirudin Albani yang
disebut-sebut imam mujtahid abad ini oleh setidaknya berbagai sekte-sekte di
lingkaran kaum cenderung radikal. Apatah nasib riwayat hadits-hadits di luar kutubus sittah yang konon katanya
relatif bisa dipercaya itu. Ini sebagai gambaran saja betapa tidak sederhananya
masalah terjemahan hingga tafsir ini.
Kembali ke isi bab lima buku Pegangan Penelitian Sastra Bandingan ini, cerita Sapardi dimulai
dengan sejarah bagaimana tradisi tulisan di nusantara baru dimulai dari
“terjemahan” atas epos Mahabharata dan
Ramayana dari India oleh
pujangga-pujangga kuno yang dipanggil para Mpu. Aksara sansekerta bermigrasi ke
kebudayaan hindu di Sunda kuno (hanacaraka), Jawa Kuno (ngalagena), hingga Bali
yang merupakan pelarian Majapahit yang tidak sudi tunduk pada mulai jayanya
kerajaan Demak islami. Melayu sumatera keturunan pendatang gelombang kedua—yang
pertama adalah suku-suku kuno seperti batak dan kerinci—mulai mengenal aksara
Jawi yang dihasilkan dari datangnya kebudayaan Arab dan Islam. Pada pergantian
abad 19 ke 20 mulai pula kebudayaan Cina mempengaruhi wilayah nusantara dengan
bacaan liarnya karena tidak diterbitkan oleh badan resmi Balai Pustaka. Pada
masa ini juga pengaruh barat atau eropa dikatakan mulai masuk. Di era pujangga
baru terjadi dikotomi antara Sutan Takdir Alisjahbana yang positivis dengan
pengaruh kemajuan barat vis a vis melawan
Armijn Pane di pihak negativisnya lewat nuansa murung novel Belenggu hingga Senjakala Ning Majapahit. Jika tonggak sastra eropa dan dunia
dianugerahkan kepada Shakespeare maka setelah perang dunia kedua dalam kancah
sastra Indonesia muncul seorang anak muda yang hidup singkat bernama Chairil
Anwar dengan revolusi bahasa dan sastranya. Chairil muda yang tidak pernah
menjadi Chairil tua ini juga sangat dipengaruhi oleh karya sastra barat yang dibacanya.
Kreatifitasnya dalam “menerjemahkan” sastra barat tersebut dicatat membuat
perubahan signifikan ke dalam tuturan bahasa Indonesia yang masih sangat
kemelayuan pada era sebelumnya. Perbandingan oleh Sapardi antara puisi
Huesca-nya Chairil sebagai “terjemahan” yang masih agak setia atas “Poem” karya
John Cornford atau pengaruh—sebagian orang menuduh plagiasi—puisi “The Young
Dead Soldiers” karya Archibal Mac Leish kepada sajak 17 agustusan alias
“Kerawang-Bekasi”-nya Chairil Anwar membuat Sapardi membuat kesimpulan di awal
tadi betapa pemelencengan atau ketidaksetiaan atau bahkan pengkhianatan
terjemahan itu bagus untuk kreatifitas seni.
Pada era 50-an dan 60-an atau pascakemerdekaan yang saat
rakyat kita lagi melarat-melaratnya karena harus mulai ekonomi berdikari
setelah ditinggalkan penjajah Belanda itu, tradisi intelektual lewat migrasi
pemikiran melalui terjemahan justru makin meledak lewat gaung berbagai aliran
yang juga berkembang di barat seperti realisme, eksistensialisme, romantisisme,
ekpresionisme, hingga modernisme. Terakhir yang tak kalah berkesan buat saya
adalah penyampaian Sapardi tentang second
existence atau kehidupan kedua sebuah karya sastra (ia meminjam istilah
kepada Gifford). Sebuah penerjemahan
membuat sebuah karya bertahan hidup dengan mengalami kehidupan kedua. Proses
penerjemahan pun kemudian bisa jadi seayun selangkah dengan proses penafsiran
yang bisa saja butuh pergantian wajah, ketidaksetiaan, penambah-nambahan hingga
butuh pengkhianatan sebagai tuntutan latar bagi konteks kehidupan keduanya.
Pada bab ini Cuma ada sedikit (meminjam istilah SBY) bottle neck bagi saya ketika
Sapardi sepertinya meragukan tafsir tematik (tanpa stilistika) pada karya
sastra terjemahan yang padahal ia berkeyakinan kuat pada bab sebelumnya.
6. Sastra Bandingan Nusantara
Jika
karya sastra dan seni di seluruh negeri-negeri di Eropa mengacu ke mitologi
Yunani dan Perjanjian Lama/Baru, hasil kebudayaan berbagai daerah di Indonesia
sangat beragam dan tidak harus saling terkait. Bahkan kata Sapardi ada yang
berkembang menjadi agama tersendiri. Hasil produk budaya Indonesia disebut
sangat kaya. Tradisi sastra kita memiliki kekayaan genre yang tidak dimiliki
oleh banyak bangsa.
Untuk
konteks sastra bandingan nusantara, Achadati Ikram dalam makalahnya mengerucutkan
lima kategori Clements tentang studi sastra bandingan menjadi tiga saja, yaitu
(1) genre dan bentuk, (2) periode, aliran, dan pengaruh, dan (3) tema dan
mitos. Sapardi menyebutkan bahwa penelitian tentang genre bisa tumpang tindih
dengan penelitian tentang pengaruh. Dalam artiannya yang lebih luas mencakup
juga perubahan bentuk, saduran, dan terjemahan.
Dalam
membandingkan berbagai karya sastra di daerah nusantara akan terlihat pengaruh
latarnya. Sehingga prosa lirik "Pengakuan Pariyem"-nya Linus Suryadi
AG akan sulit dipahami oleh masyarakat etnis selain Jawa. Kemudian adaptasi
cerita asing ke nusantara juga akan menciptakan perbedaan. Ia pun bisa hadir
dalam berbagai genre yang saling bercampur dengan cerita lainnya. Mahabharata
yang berasal dari India muncul di Indonesia dalam berbagai bentuk. Di Melayu ia
berbentuk Hikayat sedangkan di Jawa dalam bentuk kakawin. Dalam masyarakat Jawa
dikatakan Sapardi bahwa kisah Mahabharata lebih populer dibanding kisah
Ramayana. Namun di Bali yang masyarakatnya masih hindu Ramayanalah yang lebih
populer. Ramayana di Bali ini kemudian bisa beralih wahana ke bentuk tarian
yang ditampilkan dalam durasi terbatas di hotel-hotel mewah untuk keperluan
bisnis dan hiburan.
7. Membandingkan Dongeng
Hampir keseluruhan bab
ini yang setebal dua belas halamanan ini digunakan sebagian besarnya untuk
menuliskan ulang kembali tiga cerita dongeng oleh Sapardi untuk dibandingkan.
Itupun sudah diringkas padahal. Tiga dongeng yang dibandingkan ini berasal dari
tiga tempat berbeda dengan tema yang dianggap sama. Yang pertama Oedipus dari
mitologi Yunani klasik, yang kedua cerita Sangkuriang dari Jawa Barat dan yang
ketiga kisah Prabu Watugunung dari babad Jawa. Tentu akan sangat meletihkan
jika untuk membuat laporan ini kami harus meringkas lagi ringkasan dari Sapardi
itu. Jadi langsung saja pada inti perbandingan cerita adalah dimaksudkan untuk
melihat bagaimana cerita yang punya tema sama bisa memiliki sedikit banyak
perbedaan corak yang dipengaruhi oleh faktor asal mitologi masing-masing.
Kegiatan membandingkan
dongeng dalam studi sastra bandingan diyakini Sapardi tidak diutamakan untuk mengungkap
yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain. Tapi Sapardi berpendapat ini
lebih ditujukan untuk mengungkap kaitan-kaitan antara perbedaan-perbedaan dan
persamaan-persamaan yang ada dalam suatu masyarakat. Lebih tepatnya menurut
kami adalah di berbagai masyarakat yang dibanding-bandingkan mitologi, dongeng,
atau karya sastranya tersebut. Dalam sejarah perikehidupan anak manusia ini
sangat banyak sekali ditemukan mitos diberbagai tempat yang terlihat mirip tapi
tidak memiliki hubungan sama sekali satu sama lainnya. Sapardi menegaskan bahwa
jika kita dalam mendekati masalah ini menggunakan prinsip saling mempengaruhi,
mungkin sekali kita tidak akan sampai ke kesimpulan yang meyakinkan. Yang bisa
kita lakukan—tegas Sapardi lagi—paling-paling hanya menunjukkan persamaan dan
perbedaan yang ada dan setelah itu menentukan ada apa dibalik itu semua jika
memungkinkan. Hal ini pulalah batasnya yang bisa dilakukan ilmuwan sekaligus
penyair sekelas Sapardi dalam membanding-bandingkan kisah mirip Oedipus di Jawa
Barat dan Jawa saja itu. Terakhir Sapardi menyinggung juga bagaimana mitos atau
dongeng ini melahirkan sebuah teori Kompleks Oedipus dalam ilmu kejiwaan atau
psikologi yang ditelurkan Sigmund Freud.
8. Dalam Bayangan Tagore
Bab spesial ini
dipersembahkan khusus oleh Sapardi untuk membahas hanya seorang Rabindranath
Tagore, sastrawan Asia pertama asal India yang memperoleh Hadiah Nobel dalam
bidang kesusastraan. Dikisahkan bahwa penyematan nobel ini terjadi setahun
setelah kemunculan sajaknya yang berjudul “Gitanjali” dalam versi bahasa
Inggris. Jika dunia saja bisa ia guncang bisa dibayangkan pula pengaruhnya ke
kalangan sastrawan nusantara. Angkatan sastrawan era pujangga baru
disebut-sebut Sapardi yang memulai kegandrungan kepada karya-karya dan gaya berkarya
Tagore ini. Dari 1930-an berlangsung hingga 1950-an dan mulai dianggap memudar
atau tidak terlalu kencang lagi pengaruhnya ketika pada tahun-tahun tersebut
sudah sangat ramai berbagai genre beserta sastrawan-sastrawannya dari berbagai
negeri di mancanegara mempengaruhi selerah dan mahzab sastra sastrawan lokal.
Kemampuan generasi pujangga baru membaca karya Tagore disebut sebagai hasil
pendidikan pada 1920-an era baru dimulainya sejarah sastra Indonesia modern
dengan berdirinya penerbit resmi Balai Pustaka.
Selain dipuji-puji akan
kedahsyatannya ternyata ada juga kritik dan sinisme terhadap Tagore. Meski
turut menyanjung Tagore sebagai seorang titan
(tokoh yang sangat menjulang dan luar biasa perkasa) namun seorang J.C. Ghosh
tak perlu merasa segan untuk menumpahkan pula sikap kritisnya tentang kurangnya
“kedalaman” dalam karya-karya Tagore. Sapardi mengutip istilah yang digunakan
dalam kritikan ini seperti lack of any
deep-seated conflict in his nature, washy-washy dreaminess, sugared epithet,
pretty-pretty imagery, pseudo-romantic bric-a-brac, bahkan cheapest affectations and mannerisms.
Ghosh menambahkan bahwa kekurangan tersebut lebih tampak pada sajak-sajak
terjemahannya ke dalam bahasa Inggris.
Sebagian besar sajak
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris ini dikerjakan oleh Tagore sendiri.
Ini mengakibatkan ia berani bahkan meringkas dan memangkas cukup banyak dari
karya-karya itu sendiri dari versi dalam bahasa aslinya Bengali. Kemudian Tagore
juga punya latar keluarga elit-mapan sebagaimana penyair Amir Hamzah dari
istana Melayu-Deli. Kalaupun ia melakukan perjalanan jauh keluar dari
“istananya” itupun hanya untuk menghadiri seminar-seminar dimana ia menjadi
pembicara. Tidak ada cerita episode dalam hidupnya harus bersentuhan mendalam
dengan perikehidupan rakyat kelas bawah atau orang miskin. Apalagi mengalami chaotic sosial dalam pergaulan
sebagaimana kisah fiksi tokoh kita dalam novel-novel Iwan Simatupang. Ia
meresapi realita dengan berjarak darinya. Jadi wajar jika ada kritik terhadap
tingkat kedalamannya. Ini mungkin mirip dugaan perbandingan Sapardi sebelumnya
mengenai priyayi jawa lewat tokoh Lantip dalam fiksi Umar Kayam dengan thesis
antropolog Clifford Geertz tentang religion
of Java.
9. Jejak Romantisme dalam Sastra Indonesia
Membahas
corak romantisisme ini, tak pelak lagi Sapardi pun di awal-awal langsung
mengutip sajak "Berikan Aku Belukar" karya J.E. Tatengkeng yang
kadung populer di kalangan pelajar remaja karena secara politis diperbolehkan
untuk muat dalam bahan buku ajar mata pelajaran bahasa Indonesia. Tapi tentu
kali ini bahasan Sapardi tidak menyempit pada tema cinta-cintaan--meskipun
tidak pula bisa kita bilang tema cinta itu sesuatu yang sempit belaka--tapi
meluas kepada apa yang dinamakan gerakan romantisisme--walau hal romantis ini
bisa dipandang sesuatu yang sempit pula. Dalam analisis Sapardi yang dilakukan
pada puisi bergaya romantik ini--yang seyogya setiap anak Indonesia yang pernah
mengecap pendidikan dasar menengah mestinya juga bisa
melakukannya--terungkaplah semangat zaman romantis dari makna dan pesan
sajaknya untuk mewakili bahasan Sapardi tentang materi bab ini. Bahkan
mungkin--walau terdengar agak berlebihan--dari judul sajaknya saja yang
eksplisit begitu nestapa kita sudah bisa menebak inti penyampaian sajaknya
tanpa perlu repot-repot melakukan analisis semiotika hingga mendetail ke
komponen terkecilnya berupa unsur bunyi. Tapi tentunya buku ini akan terlalu
tipis jika itu dilakukan dan lagi pula dalam analisis sains sosial itu konon
yang penting adalah argumennya bukan jawaban singkat.
Dalam
pembahasan tentang romantisisme ini disebut-sebut lagi pengaruh barat atau
asing pada para sastrawan Indonesia. Dalam bahasa puitisnya Sapardi (yang
memang merangkap penyair ini)--meski ditulis dalam sebuah buku acuan
akademik--disebut-sebut bahwa gerakan romantik di barat merambat dari satu
negeri ke negeri lainnya. Disini disebutkan pengaruhnya pada para pujangga baru
sejak 1930-an walau faktanya novel-novel terbitan zaman balai pustaka sangat
nyata sudah "tercemar" romantisisme. Ini mungkin bisa dibantah dengan
asumsi bahwa romantisme dalam zaman pra-pujangga baru belum kebarat-baratan
alias otentik tema cinta khas Indonesia saja. Mungkin jalan tengahnya dianggap
bahwa paham romantisisme ini baru memuncak dan mengental di masa pujangga baru.
Sapardi membawakan argumen fakta sejarah bahwa paham yang dianggap pengaruh
atau berasal dari barat ini masuk ke Indonesia lewat jalur pendidikan formal
(oleh Belanda, terkait politik etis) yang baru mulai ada pada 1920-an. Padahal
di Eropa "isu" ini telah ada sejak abad sebelumnya.
Pada
abad ke-18 mulai timbul pemikiran kritis terhadap penagungan akal
pasca-renassaince yang mulanya mencerahkan barat dan dunia dari gelapnya
pertikaian dan otoritas mistis lembaga agama pada abad pertengahan. Muncullah
sajak-sajak seperti "London" dan "The Chimney Sweeper"
karya William Blake atau "To The Chuckoo"-nya Wordsworth--ia
dikatakan Sapardi sebagai tokoh utama gerakan romantik dalam perkembangan puisi
Inggris--dan "To The Skylark"-nya Shelley. Di Indonesia kemudian ada
sajak "Perempuan Penumbuk Padi" karya M.R. Dajoh, "Fantasi"
karya Ipih, "Mencari" oleh Sanusi Pane, "Berika Aku
Belukar" tadi, hingga drama "Bebasari" karya Rustam Effendi yang
merupakan naskah drama pertama dalam sejarah sastra Indonesia modern. Nilai
rasa adalah kata kuci utama yang diusung dalam gerakan ini sebagai sikapn
protesnya atas akibat zaman akal yang menghadirkan efek negatif
industrialisasi. Sebagaimana dicatat sejarah pada 1930-an ini adalah zaman
depresi besar (ekonomi) di Amerika Serikat yang studi atasnya telah melahirkan
sarjana-sarjana yang menjadi tokoh penting ekonomi dunia saat ini. Saking
beratnya dan diyakini akan berulang sebagaimana sifat inflatif pertumbuhan ekonomi
dalam sistem kapitalisme yang dianut dunia sekarang, ia harus disembuhkan
dengan menciptakan "proyek" perang dunia kedua sehingga dihasilkan
"pengajuan kredit baru" untuk membangun kembali. Efek negatif
kesengsaraan perikehidupan manusia akibat kejamnya industri kapital inilah yang
dipotret oleh penyair dengan hatinya (bukan akal) yang diistilahkan Wordsworth
sebagai luapan spontan dari perasaan yang menggebu-gebu. Sementara para
penguasa pemerintahan berbagai negara dengan akal sehat dan tangan dinginnya
harus bekerja pula menjaga kelangsungan sistem ekonomi kejam itu karena memang
begitulah hidup ini adanya.
10. Gatotkoco: Kasus Peminjaman dan Pemanfaatan
Pada
bab ini Sapardi melakukan praktik sekilas kajian perbandingan antara sajak
"Gatoloco" karangan sastrawan dan wartawan senior Goenawan
Mohamad--yang sudah jadi tokoh penting kesusastraan Indonesia modern sejak era
"sixties" sebagai tokoh Manikebu (manifest kebudayaan) bersama
almarhum Mochtar Lubis melawan Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan pada
barisan Lekra (underbouw PKI) di kubu seberangnya--kepada sebuah kitab suluk
Jawa yang berjudul sama. Jika pada kilas perbandingan lainnya berbagai karya
dari berbagai sastrawan dibicarakan bersamaan, atau pada bab tentang Tagore
berbagai karya (meski tidak semuanya juga oleh Sapardi diakui pernah dibaca)
dari satu orang ini khusus dibicarakan untuk dibandingkan pada karya-karya
sastrawan lain di dunia yang dipengaruhi, maka pada bab ke-10 ini khusus yang
dibicarakan satu sajak saja dan perbandingannya kepada sebuah kitab pada masa
klasik Jawa. Sajak "Gatoloco" karangan Goenawan Mohamad disebutkan
ditulis pada tahun 1973 sedangkan kitab suluk "Gatoloco" tidak
dituliskan tahun persisnya tapi dari isinya menunjukkan ditulis pada masa agama
Islam sudah mulai memasuki pulau Jawa.
Sajak
"Gatoloco" Goenawan Mohamad yang dibuka dengan imaji visual
mengerikan tentang bersatunya tujuh juta sistem matahari. Penggunaan frasa
'sistem matahari' ini menunjukkan bahwa pengarang sajak punya wawasan tentang
perkembangan ilmiah terkini dalam ilmu astronomi. Dengan kata lain, pilihan
kata tersebut bukan berbasis legenda, takhayul, dan mitos ataupun fantasis
surealistik subyektif semata pengarang. Sebagaimana dipaparkan kajian astronomi
(bukan astrologi dan ilmu nujum), setiap bintang yang beredar di angkasa sana
punya planet-planet tersendiri yang mengitari sehingga bintang-bintang tersebut
tidaklah obyek tunggal dan ia membentuk sistem. Bintang planet bumi yang
dinamakan matahari disebut dalam istilah inggrisnya sebagai solar system.
Pengarang sajak ini ternyata punya pengetahuan yang avant garde mengingat
seorang teman facebook penulis yang lahirnya baru 20 tahun sesudah sajak itu
ditulis masih juga menulis status tentang mataharinya pusat galaksi. Anak muda
abad 21 ini justru tidak kunjung upgrade bahwa di pusat galaksi bima sakti atau
milky way tempat planet bumi dan bintang matahari ini berputar-putar terdapat
lubang hitam (berbentuk bulat planet sebetulnya, bukan lubang menganga
sebagaimana pencitraan leksikalnya) super massif yang menyedot semua sistem
matahari terdekat untuk dimampatkan atau mungkin ditransfer ke dimensi antah
berantah sehingga material atau gelombang cahaya pun tidak bisa lolos
darinya--hingga kini belum diketahui apakah ada hal atau "sesuatu"
yang bisa melebihi kecepatan cahaya kemampuan "berlarinya".
Sapardi
mengabaikan citraan menarik larik pertama sajak ini. Mungkin karena ingin
ringkas beliau langsung masuk ke tema besar sajak ini tentang ketuhanan atau
hubungan manusia dan Tuhan. Hal ini dibuktikan Sapardi lewat berbagai makna
pada berbagai baris sajak ini ataupun pilihan kata-katanya. Kemudian Sapardi
menghubung-hubungkan sajak berjudul mirip ini dengan kisah Gatoloco dalam kitab
suluk pada sastra Jawa klasik tersebut.
Pada
suluk Gatoloco ternyata ceritanya memang menyerempet-nyerempet juga tentang
tema ketuhanan. Bahkan menurut Sapardi memang itulah tema utamanya; klop dengan
sajak "Gatoloco" Goenawan Mohamad. Sapardi tidak membahas lebih jauh
variasi atau perbedaan nuansa antara keduanya untuk sebagai perbandingan.
Mungkin karena tujuannya dibahas dibuku ini hanya untuk kilasan semata. Motif
atau corak seksualitas di serat Gatoloco yang sangat ditampakkan kontras dengan
sajak "Gatoloco" yang sama sekali tidak eksplisit membicarakan seksualitas
dalam arti fisik, leksikal, dan eksplisit. Elemen kisah sajak
"Gatoloco" yang cukup dominan mengumbar tentang para penjual ayat
tuhan dalam serat Gatoloco sepertinya hanya sekilas dipotret pada periswa
perdebatan Gatoloco dengan para sastri dalam sebuah sesi pengembaraannya.
Dengan metode perbandingan sekilas Sapardi fokus pada tema besar kitab suluk
tersebut bahwa filosofi manunggaling kawula gustri atau sangkan paraning dumadi
dalam latar budaya religi kejawaaan disebut-sebut sangat kental hadir dipinjam
dan dimanfaatkan pada latar modern sajak Goenawan Mohamad.
11. Alih Wahana
Karya
sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya tapi
juga bisa dialihwahanakan. Alih wahana didefenisikan Sapardi sebagai perubahan
dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Mungkin ada sedikit
ekspansi ketika dalam bab ini Sapardi juga menyinggung "alih wahana"
tokoh-tokoh ciptaan sastrawan Inggris A.A Wilne (1882-1956) seperti
Winnie-the-Pooh dan lain-lain yang selain beralihwahana ke kartun dan film juga
hingga menjadi barang dagangan. Artinya alih wahana tidak hanya meloncat dari
satu atap kesenian ke loteng jenis kesenian yang lain. Ia juga menyeberang ke
luar bidang kesenian yakni sektor ekonomi. Meski tidak dibicarakan Sapardi lebih
lanjut ini kemudian juga berefek logika ke bidang non-seni lainnya seperti
politik bahkan sains mungkin. Sebagaimana diketahui berbagai penemuan teknologi
modern saat ini banyak di inspirasi oleh fiksi ilmiah bahkan seni rupa.
Teknologi roket dan "pesawat" yang sanggup terbang ke luar
angkasa--bahkan ada wahana yang sudah terdampar ke luar sistem tata surya dan
kini sedang dipersiapkan "kapal-kapal" kecil menuju sistem bintang
alpha centaury sang tetangganya matahari--awalnya hanya imajinasi penulis
skenario dalam film-film fenomenal hollywood semacam Star Wars atau Star Trek.
Catatan-catatan peradaban awal tentang formasi gugus bintang (hingga
penamaannya) pun semulanya hanyalah kreasi seni lukis visual dari para filsuf
dan "artis" bukan fisikawan apalagi insinyur.
Sapardi
selesai bicara tentang alih wahana tokoh fiksi kartun tersebut ke barang
dagangan atau sektor ekonomi kemudian menyebutkan "sastra bandingan
memungkinkan juga masuk ke dalam 'kawasan' ini". Cuma sayang pembicaraan
selanjutnya sepertinya masih membatasi alih wahana pada lingkup dunia seni.
Mungkin dianggap terlalu jauh melangkah jika pembicaraan menapaki sektor lain
seperti ekonomi, politik, sains, dan bahkan agama. Sebuah buku teori dasar
tentunya tidak sanggup menahan beban kontroversi jika berani-beraninya
menyatakan Sesuatu yang diyakini sebagai Tuhan oleh umat sebuah agama tertentu
yang konkret ada massanya di dunia nyata pada zaman ini ternyata adalah alih
wahana dari mitos atau fiksi tertentu pula pada zaman dulu. Tuhan Latta dan Uzza
misalnya dalam kebudayaan Arab pra-Islam. Selain dituhankan, mereka juga
menghasilkan wahana seni pahat patung yang jika ditelisik asal-usul kisahnya
justru mengenai orang saleh yang dikeramatkan. Belum pola dan modus yang sama
pada agama-agama lainnya. Sepintas boneka Rama dibicarakan tapi sepertinya
dihindari untuk diteruskan dan dibelokkan kembali ke seni tari. Sapardi mungkin
takut goncangan politik akibat bermain dengan isu ini sehingga memilih
membatasi pembicaraan pada alih wahana dalam lingkup rumpun cabang kesenian
saja.
Dalam
bab ini lalu diceritakan bagaimana kisah termahsyur dari sastrawan tonggak
dunia William Shakespeare, yakni Romeo dan Juliet, telah beralihwahana ke
berbagai bentuk dan menyebar di berbagai penjuru dunia. Di Indonesia pada tahun
1950-an ia telah menjadi cerita panggung sandiwara keliling atau ketoprak
dengan isi cerita yang sudah dimodifikasi disana-sini meski mempertahankan tema
cinta tragediknya. Sapardi bahkan memastikan sutradara dari versi cerita Kakang
Romeo dan Diajeng Juliet di Indonesia tidaklah pernah membaca naskah asli drama
ini dalam bahasa Inggrisnya. Tak kalah menarik Sapardi menyebut-nyebut
pula--selain kisah Sitti Nurbaya--novel Atheisnya Achdiat K Mihardja
terpengaruh tema dalam drama pementasan Romeo-Juliet ini. Berarti dalam
kacamata Sapardi kisah cinta Hasan dan Kartini lebih menonjol porsinya
dibanding kegalauan religiusitas pribadi Hasan yang tersimbolkan lewat judul
novelnya.
Kemudian
juga disinggung pada bab ini mengenai perbedaan yang sangat mendasar antara
karya sastra dan wahana film, yakni dalam hal pengembangan imajinasi pembaca
dan penonton. Contoh kasus yang dipaparkan adalah mengenai tokoh fiksi Sitti
Nurbaya yang dalam filmnya divisualkan (dibatasi) ke dalam kecantikan apa
adanya artis Novia Kolopaking. Format panjang dialog juga menjadi unsur yang
dibicarakan Sapardi. Dalam wahana film tidak dimungkinkan dialog yang panjang
dan bertele-tele sebagaimana yang aslinya terdapat pada novel; dan ini bisa
punya dampak perubahan nilai estetiknya. Lalu kemudian juga disinggung alih
wahana puisi ke seni lukis dan musik dan dampak-dampaknya.
12. Penutup
Sapardi
menutup cakap-cakapnya dalam buku pegangan dasar untuk peneliti dan penelitian
sastra bandingan ini dengan merujuk pada kategorisasi oleh Clements (1978: 7)
yang pada dasarnya pula merupakan ramuan dari berbagai penawaran rumusan dan
konsepsi sastra bandingan oleh berbagai orang ahli sastra dunia. Ada lima
kategori yang diusulkan Clements dan diamini Sapardi disini serta hanya
disetujui tiga diantaranya saja oleh Achdiati Ikram dalam makalahnya tentang
sastra bandingan nusantara. Setelah di bab-bab sebelumnya dari awal hingga satu
bab sebelum yang terakhir ini Sapardi lebih banyak bicara sejarah, konsep, dan
teori-teori secara umum dan sekilas, kali ini ia tidak banyak lagi
cerita-cerita tapi sudah masuk ke aplikasi model praktis penelitiannya dengan
menyandarkan paradigma kepada kategori yang ditawarkan Clements dan Ikram
tersebut.
Pertama
dalam hal tema dan atau mitos dicontoh perbandingan antara Romeo dan Juliet
dengan Roro Mendut karya J.B. Mangunwijaya. Diuraikan detail
langkah-langkahnya, mulai dari membicarakan waktu dan tempat kedua karya,
membicarakan perbedaan beberapa unsur formal seperti penokohan, pelataran, dan
pengaluran, rangkaian peristiwa yang disusun dalam kedua karya sastra itu, dan
terakhir dengan mengasumsikan kedua karya bukan asli maka bisa ditelisik
perbedaan proses kreatif keduanya dalam "meninterpretasi" yang lebih
asli. Cukup mengejutkan memang asumsi atau mungkin memang fakta yang disodorkan
Sapardi disini bahwa ternyata Romeo dan Juliet pun bukan kisah asli. Mungkin
maksudnya dalam konteks kajian intertekstualitas bahwa tidak ada karya sastra
yang lahir tanpa dipengaruhi oleh karya sebelumnya. Atau mungkin memang ada
penelitian yang tidak disebutkan di buku dasar ini bahwa karya Shakespeare
ternyata juga "mencuri" dari mitos cinta abadi yang telah beredar
lisan sebelumnya. Padahal di bab-bab sebelumnya kita telah dibuat begitu
terkagum-kagumnya dengan karya agung William Shakespeare sang tonggak sastra
dunia ini yang disebut-sebut mempengaruhi seluruh tema cerita serupa di
berbagai belahan dunia melintasi zaman beratus-ratus tahun. Memang sebelumnya
sudah disinggung Sapardi juga bahwa kemungkinan (jadi tidak pasti juga) bahwa
naskah drama Shakespeare yang beredar sekarang adalah suntingan sarjana
kemudian dan bahwasanya Shakespeare sendiri sebetulnya tidak menguasai sastra
yunani klasik.
Kedua
dalam hal genre dan atau bentuk dicontohkan perbandingan antara serial Sherlock
Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle dengan kisah bersambung Naga Mas dari
Grandy's. Langkahnya bisa pembicaraan mengenai bagaimana kedua pengarang
memanipulasi unsur-unsur formal untuk menciptakan ketegangan, jenis kejahatan
yang frekuentif muncul dan pemecahannya, serta latar pelaksanaan kejahatan atau
dalam istilah kepolisian sekarang tempat kejadian perkara. Kemudian disinggung
juga bagaimana soneta dari abad ke-13 di Italia bisa membuat kepincut sastrawan
Indonesia sejak zaman pujangga baru hingga zaman Jokowi saat ini.
Ketiga
dalam hal gerakan dan atau zaman diterangkan Sapardi bahwa ia sudah susah payah
menerangkan pada bab tiga jadi tidak perlu panjang lebar diulang lagi. Namun
Sapardi masih berbaik hati meringkas bahwa dalam hal ini masalah yang
dibicarakan adalah (1) ciri-ciri mashab (mungkin maksudnya mazhab yang lebih
populer istilahnya dikenal publik) atau gerakan itu, meliputi diantaranya
romantisisme, realisme, eksistensialisme, dan absurdisme, (2) situasi sosial
politik dan budaya, dan (3) bagaimana kesusastraan yang menerimanya
mengembangkan mashab itu di dalam genre-genre sastra yang ada.
Keempat
dalam hal sastra dan bidang seni serta disiplin yang lain dicontohkan
perbandingan antara puisi presiden penyair Sutardji Calzoum Bachri dengan
musikalisasi sajaknya dan kemudian untuk perbandingan ke luar disiplin seni
dicontohkan perbandingan antara novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan
telaah antropologi Religion of Java karya Clifford Geertz yang konon katanya
menetap bertahun-tahun di kota kecamatan Pare, Kediri, Jawa Timur yang terkenal
dengan kampung (kursus bahasa) Inggrisnya. Ternyata pada bagian ini Sapardi
meyakinkan lagi pembaca bukunya bahwa perbandingan karya sastra dengan bentuk
di luar bidang seni bukanlah sesuatu yang haram.
Terakhir
kelima adalah mengenai sastra sebagai bahan pengembangan teori. Disini sebagai
penutup Sapardi kembali lagi-lagi menegaskan dan merasa perlu untuk nmenekankan
bahwa membanding-bandingkan karya sastra dengan sastra serta bentuk kesenian
yang lain dan disiplin ilmu yang lain merupakan kegiatan yang sah dalam
pendekatan sastra bandingan. Lalu ada sedikit mungkin upaya bergaya bahasa
dalam tulisan formal baku buku teorinya ini dengan mengatakan bahwa sastra
menumbuhkan teori, bukan sebaliknya, yang kemudian oleh Sapardi sendiri
dibantah dengan kalimat selanjutnya bahwa peran dan fungsi teori dalam
menumbuhkan dan mengembangkan kreativitas sastra semakin lama semakin terasa.
Ternyata kalimat paradoks pun boleh juga sesekali digunakan dalam artikel
ilmiah. Kalimat pamungkasnya pun cukup dialektik, membuat perasaan pembaca ikut
turun naik. Kita mengharapkan lebih banyak lagi hasil penggunaan pendekatan
ini, terutama sekali karena adanya kesadaran bahwa kita ini satu namun
berbeda-beda!
C. KOMENTAR
Kita masih kurang ahli dalam menguasai metode kita, dan
dasar teori metode-metode ini masih terus berubah-ubah. Jadi masih banyak yang
harus kita lakukan. Begitulah Rene Welleck dan Austin Warren menutup penjelasan
panjang lebarnya dengan seabgreg daftar kepustakaan dalam buku referensi utama
teori kesusastraan. Apalah jika dengan bermodalkan rujukan teori sedikit kita
dapat untuk begitu pongah membakukan kepastian metodologi penelitian yang kita
“temukan”. Mungkin yang dimaksud kita dalam cakapan duet Welleck dan Warren
tersebut adalah mereka berdua, atau kita semua manusia peneliti sastra, atau
jangan-jangan hanya untuk pembaca bukunya yang demi kesopan santunan tindak
tutur mereka merasa perlu juga membawa-bawa kekurangan mereka. Padahal sangat
luar biasa ramuan dan sintesa referensi yang mereka lakukan dengan perbandingan
kepada berbagai karya sastra puncak maupun tidak begitu puncak dari seluruh
penjuru dunia. Panjang lebar merumuskannya kepada satu buku pegangan standar
toh mereka akhirnya “menyerah” juga pada ketidakpastian teoritik dunia sastra.
Bahkan rasa-rasanya mengkomentari atau mengkritik buku “kitab suci” studi
sastra dari dua orang profesor ini lebih menarik untuk dilakukan ketimbang
hanya pada buku Sapardi Djoko Damono yang ditugaskan dalam laporan mata kuliah
ini. Bak ujaran pepatah, “orang banyak bicara akan banyak tampak salahnya”.
Segunung referensi yang coba dua akademikus ini ramukan “kesejajarannya” kepada
kita para pembaca terasa memusingkan karena realitanya tentu antar berbagai
teori itu sangat telanjang saling bertentangan. Apalagi jika dunia akademik
berarsiran dengan situasi politik dimana sebuah teori hadir untuk meruntuhkan
teori lain yang “dimusuhinya”. Dalam film filosofis “The Man From Earth”
diperlihatkan bagaimana seorang profesor antropologi menunjukkan sangat ingin
mencekik leher (teori/pendapat) dari orang-orang yang ahli di bidangnya sendiri
tersebut (yang notabenenya adalah “guru-gurunya” juga) karena kemudian jika
kita mau mengeksplorasi sendiri akan selalu ditemukan cacat pikir disana-sini.
Dan kemudian dialektika ini tidak kunjung usai seperti dinamika berlanjut dalam
teori kesusastraan yang disimpulkan Welleck dan Warren.
Meskipun kemudian beliau berdua sebagai seorang yang
berkarir di ranah ontologi positivisme bersikeras untuk ngeyel dengan “imannya” kepada teori yang “seni untuk seni” (untuk
memagari disiplin studi sastra dari menjadi pengekor kajian keilmuan lainnya)
tapi toh cara klasifikasi ala ganzheit tersebut tetap mengandung
ketidakpastian. Dalam pembicaraan lain mengenai genre ataupun tipe dan kategori
karya sastra, Welleck dan Warren bahkan merujuk pada pendapat yang menyebut
bahwa semua itu pada ujungnya hanya kira-kira. Ini mirip-mirip dengan pendapat
Prof. Ermanto dalam mata kuliah Linguistik Mutakhir ketika ditanya tentang kepastian
batasan leksem setelah beliau menuduh Harimurti Kridalaksana kurang update bacaan bukunya ketika membuat
kategori dan defenisi toh ternyata sinonimi itupun juga hanyalah kira-kita dan
tidak ada yang mirip-persis sebenarnya. Meskipun, kembali ke Welleck dan
Warren, dan ini menunjukkan paradoks keyakinan mereka lagi dalam silang pendapat
antar berbagai referensi yang mereka gudangkan dan coba satukan warnanya karena
postulat dunia positivistik mengimani bahwasanya untuk objek yang sama sudah
seharus menunjukkan hasil yang sama walaupun didekati dengan berbagai metode
yang berbeda, mereka menolak pandangan kritikus sastra objektif bahwa tidak ada
sejarah sastra karena yang ada hanya sejarah manusia yang menulis.
Ketidakpastian batasan ini pulalah kemudian yang
ditunjukkan Sapardi Djoko Damono lewat buku dasar pegangan untuk penelitian
sastra bandingannya ini. Persis sama dengan kekaburan yang terus terang
dinyatakan Welleck dan Warren dalam bab bahasannya tentang sastra nasional dan
perbandingan supranasional. Namun kabur bukan berarti tidak ada jejak-jejak
yang bisa diikuti atau pemaknaan minimal yang (baru) bisa dirumuskan agar kita
tidak menyerah kepada keadaan tidak mengerti sama sekali. Bahkan jelas terlihat
ada struktur atau pola yang bisa dibangun secara teoritis dalam ilmu sastra
bandingan ini, di tengah segala situasional yang chaotic pada praktis penciptaan karya sastra yang senantiasa
dinamis. Kemudian dengan itulah teori dibangun untuk kemudian diuji kembali
dengan kenyataan terbaru.
D. PENUTUPAN
Apa yang diperbuat oleh Sapardi Djoko Damono dalam buku
pegangan untuk penelitian sastra bandingan ini sebetulnya sudah lebih dari
cukup untuk lingkup dasar teori dan kronika kesejarahan tentang ilmu sastra
bandingan. Terlebih mengingat sastra bandingan ini akan berbicara tentang karya
sastra seluruh dunia yang mustahil ada akademikus cukup umur untuk membacanya;
sastra nasional bahkan daerahnya saja juga tidak akan. Sementara teknik sampel
dari populasi dalam ilmu statistik kuantitatif akan menjadi persoalan
tersendiri dalam paradigma kualitatif penelitian sastra yang sangat menghargai
keunikan personal per setiap karya. Bahkan tanpa keunikan subjektif mungkin
kita perlu bertanya apa pantas “sesuatu” itu disebut karya sastra ketimbang
produk massal dari sebuah industri penerbitan buku. Welleck dan Warren pun
membicarakan kemustahilan perlakuan khusus pada semua karya sastra ini walau
kedua profesor itu seperti sudah gunung daftar bacaannya. Menguji orisinalitas
dua buah karya saja untuk diketahui plagiasi atau pengaruhnya mereka juga
nyatakan sulit untuk dilakukan. Begitupun keyakinan Sapardi yang menganggapnya
tidak perlu. Akhirnya orang akan kembali ke karya puncak atau kapita selekta
yang tentu saja tidak sampel acak dari keseluruhan populasi. Dari situlah teori
disusun tak berkesudahan dan penuh kontraversi walau di sisi lain adanya
polemik ini pulalah yang membuat dunia sastra menarik dan menggairahkan. Satu
hal yang kurang dari buku Sapardi dan membuatnya lebih mirip buku teori seperti
karya Welleck dan Warren adalah aplikasi praktek penelitiannya. Memang ada
bagian sedikit yang menunjukkan langkah-langkah praktis ini tapi saya rasa
masih kurang memadai alias baru level pengantar, padahal pada penjabarannya
nantilah kesulitannya. Sebagian besar isi buku ini lebih bersifat kesejarahan
dan teori. Tapi bagaimanapun itu sudah lebih dari cukup untuk membuka wawasan
dan memantik hasrat.
Komentar
Posting Komentar
silakan komen yaw mmmmmmuuuahhhhh