Contoh Perbandingan Cerpen (Silakan Copas dan Jangan Lupa Bayarr PAKAI Do'a Yakk!)


Kedahuluwan, Oh No!

Sastra adalah salah satu masalah yang sangat klasik. Terasa semakin asing dari kehidupan sosial masyarakat. Entah telah mencapai titik jenuh, tidak diapresiasi yang bahkan oleh kalangan profesional sastra sendiri, menjadi produk massal yang kehilangan tuah, ataukah hanya karena keringnya kreatifitas baru dan juga polemik baru karena dunia sastra terkini yang terlalu santun. Salah satu masalah yang sangat kekinian dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia justru adalah isu agama. Padahal YB Mangunwijaya membuka bincang-bincangnya yang “tersistematematika” dan juga teraksitektur secara luwes dan kreatif dalam buku legendarisnya tentang sastra dan religiositas itu (begitu ejaannya ditulis oleh beliau) dengan klaim sebuah postulat atau dalil bahwa pada awal mula segala sastra adalah religius.
Jika agama berasal dari kosakata bahasa sansekerta yang ternyata juga menginduk ke bahasa-bahasa eropa, dalam kosakata masyarakat Indonesia yang didominani muslim juga populer istilah dien atau bahkan milah yang berarti jalan (bisa juga aliran). Sayangnya bahasa-bahasa arab/semit itu sekeluarga juga dengan bahasa-bahasa tua eropa. Ya sudah, artinya sama saja dengan istilah religi dari bahasa Inggris; politik saja ternyata yang membuatnya seolah berbeda. Belum diketahui apakah istilah agama bagi bahasa-bahasa asia tenggara/austronesia asli. Jangan-jangan nenek moyang kita religius tanpa membentuk agama.
Agama suka juga disebut dengan istilah religiusitas untuk konsepsi yang lebih luas atau mendalam. Meski mungkin akan ditolak oleh sebagian pihak jika agama dan religiusitas dibeda-bedakan. Karena bagi sebagian pihak ini agama punya arti tunggal dan bahkan bentuk tunggal pula, yaitu agamanya ia sendiri. Di luar agamanya bukanlah agama tetapi pengingkaran terhadap Tuhan atau atheisme serta pengikut Lucifer/iblis dan kafir. Bahkan yang berada di dalam cawan koalisi keagamaanya itupun jika diduga punya konsepsi ketuhanan yang berbeda (wahdatul wujud atau assyaariyun misalnya dalam Islam) maka akan dikeluarkan dari kotak ukhuwah atau takfir.
Tapi jika kita sudi untuk melihat dari sudut pandang “pihak” luar ini, bisa jadi pihak luar itu memandang pihak agama inilah yang tak bertuhan sebagaimana diklaim sepihak oleh pihak ini itu tadi. Lalu jika kita tidak bersedia keluar dari tempurung pemandangan kotak masing-masing pihak, maka menjadilah ia konflik abadi, zero sum game, saling mengenyahkan, yang kalah jadi sampah menang jadi cancang. Lalu setiap pihak akan menanam saham kontribusi untuk menciptakan neraka apokaliptik di duniawi bagaikan kota Aleppo yang terbakar hari-hari ini. Sebuah tempat dimana para anak-anak gadis meminta fatwa untuk membunuh diri sendiri, ditolak oleh masyaikhnya disuruh bersabar namun diberitakan akhirnya meloncat juga mereka dari balkon-balkon rumah mereka untuk mengakhiri hidup ketimbang menjadi tawanan seksual musuh-musuh beda sekte keagamaan (atau lebih tepatnya mungkin juga afiliasi politik dan ekonomi).
Bagi sebagian pihak, religiusitas tidak perlu terkungkung dalam institusi keagamaan karena hubungan manusia dengan Tuhannya semestinyalah sesuatu yang personal dan intim. Sesuatu yang intim tentu tidak elok menjadi tontonan publik, bukan untuk diumbar, dipamerkan, dianalisis, kecuali bocor dan ada yang iseng menayangkan. Religiusitas jika diinstitusikan ke dalam aneka lembaga-lembaga agama maka arsirannya dengan dunia politik/bisnis yang penuh tipu daya itu tentu tak bisa dielakkan meski ada juga yang merumuskan fikih kekuasaan. Sebagaimana sudah umum diketahui istilah reformasi dalam sejarah renassaince di Eropa muncul karena laku korupsi pada institusi keagamaan ini yang sampai-sampai bisa membuat/menjual sertifikat masuk surga untuk kalangan jetseat atau dermawannya yang bersedia untuk sejumlah hartanya disumbangkan.
Rasa-rasanya kelakuan demikian tidak akan pernah hilang hingga abad google dan bisnis start-up ini, meski formatnya lebih canggih disamarkan dengan berbagai kemasan istilah bahasa serta propaganda gincu-gincu retorika ayo berpikir positif tersebut. Memang sulit untuk disalahkan karena nilai keekonomian ini selain pada aspek kebutuhan dasar manusia untuk bertahan hidup tentu saja selanjutnya adalah iming-iming tawaran sejuta kenikmatan yang minim akuntabilitas itu (cuma dengan argumen: katanya).
Di tengah himpitan hidupnya rakyat kecil Indonesia yang konon katanya religius tersebut, juga harapan untuk tetap bisa hidup enak setelah mati nanti bagi kalangan beradanya, olok-olok yang memantik keraguan akan harapan kehidupan nikmat yang ditawarkan oleh sebuah atau sejumlah agama tentu saja akan mengundang datangnya murka berjamaah dari massa arus utama. Sebetulnya ini juga sudah sering terjadi sebagai riak-riak kecil di forum-forum perdebatan intelektual ataupun pseudo-intelektual, cuma kali ini aurat mereka terumbar ke tengah keramaian, menarik perhatian kalangan non-intelektual yang lebih massif secara kuantitatif lalu terjadi sebuah kapitalisasi politik atau dalam bahasa kerennya penunggangan. Olok-olok berupa riak atau cubitan kecil itu akan diabaikan karena kekuatan tidak terakumulasi untuk mempersoalkan. Begitu momentum politiknya kena, elemen-elemen yang punya kapling pengaruh masing-masing bisa bertemu kepentingannya. Lalu jadilah ia gelombang masalah besar dan bisa dibesar-besarkan untuk terus menggelembung; terus disirami bensin sampai modal untuk membeli bensinnya tidak lagi mengucur dari para bandar lalu gelembung meletus kembali ke periode anti-klimaks. Pasar punya mekanismenya tersendiri untuk otomatis menyehatkan diri, begitulah kira-kira seperti doktrin ekonomi neo-liberal.
Semangat mendemo orang yang dianggap menista agama seperti Basuki Cahaya Purnama itu membuat kita takjub dengan religiusitas/agama orang Indonesia. Jutaan massa berkumpul melakukan model ibadah Jum’at yang pertama sejak zaman Rasulullah SAW yang ternyata baru terjadi di Indonesia. Entah berapa persen orang yang betul-betul mengerti agamanya disana ataukah hanya selaksa buih yang ikut-ikutan saja seperti dituduhkan ketua PCNU Australia Professor Nadirsyah Hosein yang sangat kompeten pengetahuan agamany. Bahkan lucunya belakangan Ustadz Irfan S. Awwas, sang gembongnya kelompok Majelis Mujahidin Indonesia dan adiknya Abu Jibril itu pun, entah sengaja atau tidak mengakui juga mengenai ini dengan ternyata beliau pakai kata buih juga dalam tulisan tadaabbur-nya di eramuslim.com yang tentunya dengan merujuk tekstual hadith nabi tentang kualitas kuantitas jutaan massa pendemo 212 ini atau ratusan ribu jemaat perintis di 411 dulu. Para buih ini jika merujuk Mangunwijaya (1988) itu, ia menyebutnya dengan istilah “statistik”, yaitu yang beragama karena motif jaminan material, karir politik, cari jodoh, atau karena tidak ada pilihan lain. Menarik juga ini jika ada ahli statistik yang bisa membakukan rumus untuk menginferensia parameternya; apakah memang “para statistik” inilah yang menjadi pusat kurva dari genta sebaran normal?
Mungkin juga tidak bisa disalahkan karena memang rakyat Indonesia punya karakter gotong royong; mengerti atau tidak kalau tidak ikut mereka akan merasa tidak enakan dengan lingkungan sekitarnya. Ujung-ujungnya resiko sosial-ekonomi duniawi juga jika punya hubungan buruk dengan relasi. Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia pun masih terjadi kontroversi mana yang lasykar bandit atau pahlawan kesiangan karena dalam karakter orang timur memang gotong royong bisa terjadi antara yang putih dan yang hitam karena dipersatukan kepentingan.
Ada positifnya juga. Jika tidak karena perasaan senasib dan sekepentingan tidak akan ada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan—sudah jamak diketahui bahwa bahasa melayu pasar secara pragmatis sudah lacur jadi lingua franca—bahkan tidak akan muncul konsep dan wujud NKRI melainkan kemerdekaan daerah-daerah mandiri. Meski pula untuk itu di periode-periode awal agak mengalami turbulensi juga sehingga persatuan sempat menjadi persatean. Padahal Muawia radiyallahuanhu menyatakan bahwa jika ada sehelai rambut saja yang menghubungkanku dengan seorang muslim maka aku tidak akan memutuskannya. Luar biasa indah memang agama di tingkatan teori, tapi kenyataannya lain lagi.
Kembali ke pendemo penistaan agama tadi, tentu kita tidak bisa pungkiri memang ada sebagian orang yang datang dengan semangat jihad yang menyala-nyala penuh gelora, tidak sekadar ikut-ikutan meramai-ramaikan saja atau apalagi supaya dapat masuk tivi atau bisa jalan-jalan ke Jakarta dari Garut secara nyeker. Bahkan hasil pantauan Densus 88 Polri diberitakan elemen paling radikal dalam Islam (kelompok jemaah teror) turut berpartisipasi sembari dibuntuti intel. Meski juru bicara/retorika dari kalangan radikal yang kurang sepaham dengan grup teror ini mengklaim bahwa jumlah mereka terlalu sedikit (tidak seterkenal da’i TV) untuk bisa mempengaruhi massa umat (awam) ini. Bisa dibayangkan jika pengantin “bom syahid”—yang bahkan terbaru ini disiapkan seorang akhwat itu—meledakkan diri di tengah jutaan massa muslimin pendemo itu bagai bom dekat parkiran masjid nabawi belum lama lalu terjadi juga di Arab Saudi—kita bisa memaklumi dari jengkelnya kalangan radikal pada sikap diam Arab dan Turki atas kalahnya para mujahidin mempertahankan Aleppo.
Memang ada semacam fakta terkini dibicarakan bahwa sejak massa reformasi bangsa Indonesia dipandang lebih religius. Artinya kondisi perikehidupan di zaman orde baru dianggap lebih sekuler atau bahkan penyembah thagut menurut kelompok paling ekstrim pandangannya. Terbukanya kran informasi dan meledaknya arus pemikiran baru keagamaan—termasuk propaganda kalangan neo-radikal—yang dibarengi kepulangan generasi terdidik baru dari tanah arab bisa disebut sebagai pemicunya. Dalam kultur berpikir masyarakat timur agama memang adalah obat mustajab untuk menjawab berbagai masalah yang baru saja mereka melewatinya. Korupsi adalah karena tidak mendalami agama. Otoriter adalah karena tidak taat agama. Krisis ekonomi karena tidak bermuamalah sesuai tuntunan sunnah. Krisis moral karena tidak adanya uswatun hasanah. Tahu-tahu setelah mengenal agama, perang dan ledakan bom malah terjadi dimana-mana.
Salah satu realita sosial yang terkontraksi menjadi kutub-kutub ideologi pasca-Orde Baru ini adalah dikotomi antara kalangan tradisional-kultural vs generasi religius modern dan paham neo-radikal. Karya sastra adalah salah satu sarana untuk memotret fenomena sosial. Sastra bisa menjadi pencatat bagi sejarah apa yang terjadi. Dua karya sastra yang akan dibandingkan kali ini bisa dilihat mewakili dua kubu yang dipertentang-tentangkan oleh penulis saat ini. Pertama adalah cerpen “Lelaki Tak Bernama” (selanjutnya disingkat LTB) karangan Helvy Tiana Rosa (selanjutnya disingkat HTR) dan kedua adalah cerpen “Burung Kembali ke Sarang” (selanjutnya disingkat BKS) karang Muhammad Fudoli Zaini (selanjutnya disingkat MFZ). Bisa juga dilihat dua karya ini dalam konteks sastra serius atau es besar versus sastra populer atau kebudayaan massa. Bahkan juga bisa menilik kedua karya sastra (atau dianggap karya sastra) ini sebagai wakil dari dua zaman yang berbeda sekitar tiga puluh tahun jaraknya. Bisa pula perbedaan jenis kelamin pengarangnya, bahkan potret ideologi religiusitasnya. Tulisan kali ini akan mencoba mendedah kedua karangan yang penuh ketidaksetipean itu dengan melihat aspek kesastraannya, baik secara intrinsik maupun tentunya harus secara ekstrinsik supaya analisis karya sastra (atau yang dianggap karya sastra ini) tidak kering kehilangan konteksnya. Memang tidak mudah mendefenisikan sastra/susastra, bahkan oleh seorang Seno Gumira Ajidarma.
Pembahasan
            Hal pertama yang paling mencolok membedakan cerpen LTB dan BKS adalah durasinya, baik panjang karangan secara fisik maupun lama latar waktu cerita. Walau sama-sama dikategorikan cerita pendek yang salah satu defenisinya selain disebut sebagai bacaan sekali duduk juga dirumuskan ke dalam jumlah kata, ternyata kedua cerpen ini beda sangat timpat tingkat kependekannya. Secara statistik jumlah kata LTB terukur berjumlah 6.235 kata sedangkan BKS hanya terdiri dari 1.104 kata. Secara latar waktu BKS bisa dianggap berdurasi sesiang suntuk—meski tidak terlalu pasti dispesifikkan oleh bentuk ceritanya yang surealistik—sedangkan LTB lebih realis dengan durasi cerpen yang memakan waktu bertahun-tahun, yakni dari sejak tokoh utamanya masih gadis SMA hingga ia kuliah, tamat, dan punya pekerjaan pertama.
            Hal kedua yang juga tak kalah mencolok seperti sudah sempat disinggung sebelumnya adalah bentuk surealistik pada cerpen BKS dan realis pada LTB. Bentuk surealis pada BKS bisa dilihat pada kutipan berikut ini:
Seperti ia mendengar suara bergema. Seperti dari langit atau langit-langit kalbunya. Ia menghapus pelupuk matanya yang basah. Sementara angina terus mendesah.
                 “Tak ada yang harus kau sedihkan. Tak ada yang harus kau senangkan.”
                 “Aku tahu, tapi aku sering alpa.”
                 “Semua akan hanya lewat.”
                  “Ya, semua akan hanya berkelebat.”
                 “Dan selanjutnya adalah perjalanan panjang. Sekarang engkau seperti hanya berteduh di bawah pohon rindang.”
                 “Aku sering bimbang.”
                 “Tak ada yang harus kau bimbangkan. Engkau siap?”
                “Aku tidak tau, siap atau senyap.”
                “Engkau luka?”
                 “Aku suka lupa”
                  “Engkau lunta?”
                 “Aku ingin lunta dalam cinta.”
                 “Engkau dahaga?”
                 “Aku ingin menghirup anggur cintaNya.”
                 “Engkau mabuk?”
                  “Aku ingin mabuk sehidup suntuk?”
                   Lubang lahad yang menganga telah ditimbun. Jasadnya telah tertimbun. Sedihnya dan senangnya telah tertimbun. Langit dekat ubun-ubun. Mengendap-endap. Udara pengap. Matahari sembab.
            Sangat jelas terlihat bagaimana paparan dialog yang ditulis oleh MFZ pada cerpen ini adalah ragam percakapan yang tidak pernah ada di dunia nyata dalam bentuk dialek atau sosialek manapun. Bahkan disini ditunjukkan bahwa dialog tersebut adalah percakapan batin di kalbu tokoh dalam cerita ini dengan Tuhannya. Penggunaan kata “langit atau langit-langit kalbu” untuk menunjuk latar dialog terkutip tersebut memperlihatkan betapa pengarang membuat kabur batas antara dunia nyata (alam langit dalam dunia nyata karangan) dengan dunia pikiran (langit-langit kalbu tokoh dalam karangan).
            Sementara itu dalam cerpen LTB karangan HTR sangat kentara sekali genre realisnya sebagai sebuah fiksi pop. Berikut dikutipkan:
PRANNNGGG! PRANNNGGG!
Kaca jendela yang berada tepat dibelakangku pecah porak-poranda. Seorang Ibu mengaduh memegangi pelipisnya yang berdarah!
“Serbuuuuuuuuuu! E… eh…, mau kemana lu! Jangan lari! Bangsattt!”
Ya Allah, seorang pelajar dengan tubuh berdarah naik ke atas bus ini. Aku bingung harus bagaimana. Pelajar itu mencari-cari tempat sembunyi.
“Hei! Gila! Kenapa naik ke sini? Bisa-bisa kami yang jadi sasaran!” teriak seorang bapak panik. Sementara seorang wanita memeluk bayinya erat-erat.
“Sa… ya bisa… mati… kalau… tu… run…,” kata pelajar itu lemah.
Si Mas Kotak-kotak segera memapah anak itu bersembunyi di antara bangku.
“Eh, mane die?! Hajarr! Bunuhh!
“Pak, jalanin bisnya!” teriak seorang Ibu panik.
“Nggak bisa, Bu! Mereka bergerombol di depan!” bentak Pak Sopir tak kalah panik.
DUG! DUG!
PRANGGGG! PRRANNGG!
Segerombolan pelajar naik ke dalam bus membawa berbagai senjata. Pengecut! Beraninya ramai-ramai! Sungguh aku ingin meludahi anak-anak tengil ini!
“Mane tuh anak?! Periksa-periksa!” teriak mereka.
Seluruh penumpang bergidik.
“Adik cari siapa?” Suara penuh kesejukan itu bergetar.
“Minggir lu! Jangan ngalangin gue kalo nggak mau mampus!”
Lelaki dengan kemeja kotak-kotak hijau itu beristighfar.
“Nie die, Coy! Gue temuiin! Ni die!”
“Hajarrrr! Tusuk!”
Para pelajar itu maju dan… aku serasa tak berpijak di bumi… mereka membacoknya! Seluruh penumpang histeris!
“Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii…?”
CRESH….
“Aaaaa!” aku terkejut.
Lelaki berbaju kotak-kotak…, Mas Abdullah jatuh tersungkur sambil memegangi dadanya. “A…dikku…, bagai…mana…kali…an bisa… berbuat… begi…ni,” gumamnya pedih.
            Narasi dialog di atas adalah salah satu momen yang klimaks dalam cerpen LTB. Sangat telanjang sekali bisa dianalisis bahwa peristiwa digambarkan begitu realistik. Walau ada sedikit ganjalan kerealistisan pada kalimat “Tahan! Berkacalah, bagaimana kalian bisa membunuh saudara sendiriii…?” namun pada umumnya dialog dan narasinya sangat penuh dengan situasi yang pas sebagai adegan aksi. Narasi deskripsi seperti akan dikutipkan berikut dari cerpen LTB sangat dominan mewarnai sepanjang cerita sebagai penanda genre cerita realisnya.
Lelaki itu terus bicara. Dan lama-lama para penghuni bus, termasuk aku larut mendengar omongannya. Seorang bapak yang sebelumnya duduk terkantuk-kantuk di sampingku, kini duduk tegak dengan kening berkerut. Seorang mahasiswi yang duduk tak jauh di hadapanku terlihat memiringkan kepala dan memicingkan matanya. Dua pemuda berambut gondrong yang baru saja bermaksud mengamen segera mengurungkan niatnya, bahkan kondektur sesaat lupa menagih ongkos!
Wah, lelaki ini membuat semua terkesima!
            Kemudian secara kuantitas minor, pada cerpen LTB ini selain narasi yang sangat realis juga terdapat juga narasi puitis seperti akan dicontohkan pada kutipan di bawah ini:
Ramadhan, jelang berbuka puasa. Di dalam kereta api Jabotabek dari kampus menuju Cikini, kulihat airmata mengambang di pelupuk mata lelaki tak bernama itu. Ia masih seperti dulu. Aneh, tapi kharismatik. Dengan semangat yang tak surut sedikit pun. Bahkan pada saat puasa begini ia membuatku ingin menangis.
            Namun secara umum narasi dalam cerpen LTB masih sangat realistik dan elemen puitiknya hanya sesekali digunakan sebagai ornamen pemanis. Dalam cerpen BKS justru narasi puitik ini sangat dominan digunakan. Hampir di setiap paragraf dan baris cerpen ini terdapat repetisi bunyi, bahkan kata, bahkan diikuti atau diperkuat persamaan pola struktur kalimatnya. Bisa kita lihat lewat contoh berikut ini yang merupakan paragraf pembuka dan penutupnya.
Dari Allah kembali ke Allah. La ilaha illallah.
Di sepanjang jalan yang terbayang wajah anaknya. Di trotoar yang terbayang wajah anaknya. Di kaca etalase yang nampak wajah anaknya. Pada deretan judul buku-buku yang terpampang  nama anaknya. Pada cercit burung yang terdengar suara anaknya. Sejak kemarin sore ia telah pergi. Burung kembali ke sarang-Nya. Dari sunyi kembali sunyi. Dari sepi pulang sepi.
.......
Meja-meja itu tiba-tiba saja seperti berdebu. Tembok kelabu. Kursi-kursi tegak kaku. Dan di lantai itu, terserak, ia melihat mainan-mainanNya. Pada judul buku-buku itu ia melihat namaNya. Di cermin itu ia melihat wajahNya. Di mata isterinya ia melihat wajahNya. Di tempat tidur ia melihat wajahNya. Di atas kursi ia melihat wajahNya. Di atas kursi ia melihat wajahNya. Di bayangkannya sendiri ia melihat wajahNya!
Manakah engkau Kasihku?! 
           

Penutupan
            Demikianlah analisis sementara pada kedua cerpen tersebut. Kesimpulannya cerpen BKS terlihat sebagai sastra serius dan LTB sebagai sastra populer.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROSEDUR PENERBITAN BUKU

Dari Badaceh, Hingga ke Jimek

LAGU NGETOP JULI 1998 - OKTOBER 2000, MY DIARY: THE MEMORY REMAINS!